Labels

Sunday, March 24, 2013

Bittersweet


             You say good morning
When it's midnight
Going out of my headAlone in this bed
I wake up to your sunset
And it's driving me madI miss you so bad
And my heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged

            Lagu beraliran rock galau itu bergema di dalam ruangan kecil dengan pintu tertutup rapat. Seorang gadis duduk bersila di atas tempat tidur dengan mata menerawang ke arah jendela. Tatapannya kosong. Pundak gadis itu bergerak turun naik. Jemarinya yang kecil terlihat sibuk mengucek-ngucek matanya yang mulai memerah. Sebuah kotak persegi panjang tergeletak di sampingnya. Sesekali ditariknya benda tipis berwarna putih yang ada di dalam kotak itu. Kertas tipis itu tidak lagi bersih kala cairan kental keluar dari indra penciumannya. Lantai kamar itu pun kini sudah dipenuhi tisu yang ia buang sembarangan.
            Tok.. tok... tok...
            “Leoni, buka pintunya!” Terdengar teriakan seorang gadis dari balik pintu kamar.
            Ternyata telinga gadis itu masih konsentrasi mendengar. Gadis yang dipanggil Leoni itu memandangi pintu yang diketuk barusan.
            “Leoni, buka pintunya. Ini gue Tara.”
            Cukup lama ia hanya memandangi pintu jati itu. Akhirnya dengan langkah gontai, ia berjalan menuju pintu. Dipegangnya daun pintu itu dan terdengar bunyi berdecit setelahnya.
            “Yaampun, Le. Lo berantakan banget.” Tara memperhatikan Leoni setelah pintu terbuka. Dipandanginya sahabatnya itu dari ujung rambut sampai mata kaki.
            Tangis Leoni kembali pecah saat melihat sahabatnya itu. Dipeluknya Tara dengan erat. Ia menangis lagi, cengukan lagi, ingusnya keluar lagi. Sakit itu terasa lagi.
            Tara sempat kaget melihat ekspresi Leoni yang tiba-tiba. “Sabar, Le. Lo harus sabar. Semuanya nggak akan berakhir cuma gara-gara ini,” ucap Tara sambil menepuk-nepuk pundak Leoni.
            Tara perlahan melepaskan pelukan Leoni dan mengajaknya untuk duduk di pinggir tempat tidur milik Leoni. Tara meninggalkan sahabatnya itu sendiri di sana. Sementara ia memunguti tisu-tisu yang memenuhi lantai. Tak lupa ia mematikan tape, menghentikan grup band itu untuk bernyanyi.
***
            Leoni masih terisak, berusaha menghentikan tangisnya. Namun terasa sulit baginya. Tara tidak memaksa Leoni untuk berhenti, karena ia pikir sahabatnya itu tahu sendiri dimana batas kemampuan air matanya.
            “Kalau lo udah bisa cerita, gue siap buat dengerin,” ujar Leoni.
            Leoni menutup mulutnya yang bersendawa dengan sebelah telapak. Kemudian membenamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangan berjari-jari kecil tersebut. Leoni menarik napas dalam-dalam setelah melepaskan kedua tangan yang menutupi wajahnya. Ia berusaha tersenyum meski pipinya masih terasa sakit.
            “Gue baik-baik aja kok,” ucapnya kepada Tara.
            Tara mencelos. “Gimana lo bisa baik-baik aja setelah diselingkuhi sama Nata.”
            Perlahan Leoni berjalan menuju meja rias yang terletak di dekat jendela. Ia duduk di atas sebuah kursi kecil menghadap ke arah cermin besar.
            “Jadi ini wajah gue setelah diselingkuhi,” ucapnya getir.
            Kedua matanya bengkak. Hidungnya merah. Wajahnya sembab. Kesimpulannya, Leoni sudah menghadapi semuanya dari semalam.
            “Gue bodoh. Ya, gue emang bodoh.”
            “Lo nggak bodoh, Le. Orang yang mencintai orang lain itu nggak bodoh.” Tara kini sudah berdiri di belakang Leoni. Ia genggam pundak sahabatnya itu. Berusaha memberi semangat.
            “Gue tahu ini berat. Tapi lo harus berusaha ngelewati ini semua,” Tara memberi saran. “ Jangan sampai ada dendam di dalam hati lo, Le.”
            “Kok nasib gue jelek banget ya, Ra,” tutur Leoni dengan mata berbinar.
            “Bukan nasib yang jelek, tapi Allah memberi lo pengalaman dan pelajaran baru di dalam hidup lo.”
            Leoni menatap Tara dari balik cermin. “Jadi gue harus berterimakasih sama Allah karena udah kasih gue hadiah kayak gini?” Tanyanya dengan nada datar.
            “Bukan gitu, Le,” sanggah Tara. “Lo sekarang ambil hikmahnya aja. Lo mungkin belum bisa ngerti sekarang, tapi nanti, gue yakin lo bisa ngerti apa yang gue maksud,” ucapnya meyakinkan.
            “Gue nggak nyangka mereka bisa nusuk gue dari belakang.” Tara kembali melambungkan pikirannya ke masa lalu.
            “Udah gue bilang, jangan mudah percaya sama orang yang baru kita kenal. Lo tau kalau Nesya itu mantan Rangga, tapi lo malah curhat semuanya ke dia.”
            “Gue juga nggak tahu kenapa. Gue ngerasa awalnya Nesya itu satu pikiran sama gue. Makanya gue bisa anggep dia temen,” ungkap Leoni.
            “Nggak semua yang senasib sama kita jadi punya pikiran yang sama.”
            Leoni mengangguk. “Ya. Lo bener, Ra. Gue masih rada bingung aja sama semua kejadian ini. Gue masih bingung sama Rangga. Bingung sama Nesya. Dan, bingung sama diri gue sendiri.”
            Tara meraih kursi yang terletak di sebelah kanan meja rias. Ia kini duduk di samping Leoni.
            “Rangga katanya suka sama lo. Entah atas dasar apa dia langsung nembak lo setelah putus dua hari dari Nesya.”
            Leoni menyimak ucapan Tara dengan seksama.
            “Saat itu, Nesya mungkin ngelakuin kayak apa yang lo lakuin sekarang. Dan, disaat itu lo terpikat sama Rangga sampai lo mau nerima dia.”
            Leoni tidak berkomentar apa-apa. Ia masih menunggu kelanjutannya.
            “Cuma 30 hari kalian bisa bertahan, karena lo ngerasa Rangga berubah. Dan akhirnya lo cari tahu tentang Rangga dulu saat pacaran dengan Nesya langsung ke orangnya.”
            Leoni mengangguk. Ia membenarkan ucapan sahabatnya itu.
            “Lo ceritain semuanya ke Nesya dengan alasan dia dulu diposisi yang sama kayak lo. Tapi kenyataannya, di saat itu juga ternyata dia dan Rangga udah sama-sama lagi walau tanpa status.” Tara menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya. “Kesimpulannya, cinta mereka belum selesai.” Tara tersenyum di akhir ucapannya.
            “Dan secara nggak langsung gue adalah orang ke tiga diantara mereka.” Leoni menyimpulkan.
            “Lo bukan pihak ketiga, Le. Lo cuma kena imbas Rangga saat dia ngerasa bosen sama Nesya. Dan lo─” ucap Tara mengarahkan telunjuknya ke wajah Leoni. “Termakan rayuannya.”
            “Hahaha...” Leoni tertawa. “Lo bener, Ra. Gue masuk mulut buaya saat itu. Tapi sekarang gue udah bebas.”
            “Dia nggak nanya kenapa lo tiba-tiba mutusin dia?” Tanya Tara.
            Leoni menggelang. “Nggak. Dia cuma minta maaf.”
            Tara geleng-geleng kepala mendengar jawaban Leoni.
            “Udah, sekarang lo lupain semuanya. Jangan galau-galau lagi. Cowok kayak dia nggak pantes buat digalauin. Yakin deh, lo pasti bisa dapet yang lebih baik.” Tara tersenyum lebar memandang sahabatnya itu. “Sekarang gimana kalau kita karaokean,” ucapnya memberi usul.
            Raut wajah Leoni langsung berubah antusias. “Ayok. Gue mau banget.”
            “Oke. Sekarang lo siap-siap. Gue mau nelpon Mayang sama Sisil dulu.”
***
            “Le, lo mau nyanyi apaan?” Tanya Mayang disela-sela suara Tara yang sedang asyik bernyanyi.
            “Pastinya lagu galau,” sahut Sisil yang duduk di paling ujung.
            Mereka berempat kini berada di dalam ruang karaoke yang cukup besar. Ketiga sahabatnya itu memberikan hiburan yang sangat membantu bagi Leoni.
            “Terserah deh, gue nyanyi apa yang ada di playlist aja,” ucapnya.
            “Mau lagu galaunya Rio Febrian atau Marcell atau Glen atau─”
            “Lo sebutin aja semuanya,” ucap Mayang memotong kata-kata Sisil.
            “Biasanya kalau kita lagi galau, rada-rada lupa sama lagu yang sesuai suasana hati. Jadi gue bantu ingetin Leoni,” tutur Sisil sambil nyengir.
            Leoni tertawa melihat ulah kedua sahabatnya itu. Ia bahagia memiliki mereka yang sangat peduli pada dirinya. Sekarang ia sadar, tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Waktunya bangkit dan menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu.
***
            Waktu bergulir begitu lambat. Sisa-sisa kenangan itu masih sering terlintas di benaknya. Singkat namun begitu berbekas baginya. Setiap sudut kota ini memiliki kenangan tersendiri baginya.
            “Gimana, udah bisa move on?” Tanya Mayang kepadanya saat mereka makan di sebuah tempat makan.
            Leoni memandang sahabatnya itu persatu. Jelas terlihat raut penasaran di sana. Beberapa hari ini mereka sering sekali meluangkan waktu untuknya.
            “Perlahan. Pelan-pelan gue yakin gue akan biasa aja sama dia.”
            “Wajar sih, Le, lo susah lupa. Rangga kan yang pertama buat lo. Gue juga dulunya gitu. Sampe sekarang aja kadang masih sering inget,” tutur Sisil sambil mengaduk-aduk jus jambunya.
            Leoni tidak berkomentar dengan ucapan Sisil barusan. Matanya menatap bebas ke arah jendela besar di sampingnya. Ada banyak orang lalu lalang di sana. Ia teringat lagi. Ia melihat lagi.
            Rangga, bisiknya dalam hati. Ia melihat orang yang sama seperti di masa lalunya.
            “Le, itu kan Rangga.” Tunjuk Tara ketika melihat seorang pemuda mengenakan kaus polos warna merah masuk ke dalam resto yang sama dengan mereka.
            Spontan Mayang dan Sisil langsung sibuk sendiri mencari yang ditunjuk Tara. “Mana, mana?” tanya mereka berbarengan.
            “Dia sendirian,” ucap Tara lagi.
            Leoni tidak ikut menoleh melihat yang dilihat ketiga sahabatnya itu. Ia masih diposisi yang sama seperti sebelumnya. Duduk menunduk dengan mata menatap butiran soda di dalam gelas plastik.
            “Apa nggak ada tempat lain selain tempat yang gue datangi,” Leoni bergumam.
            Belakangan ini ia jadi sering bertemu dengan Rangga. Entah itu di kampus─mengingat fakultas mereka yang bersebelahan─atau di luar kampus. Seperti sekarang ini. Bagaimana ia bisa sukses move on bila terus dikejar bayang-bayang mantan.
            “Le, lo udah selesai makan kan? Kita pergi sekarang yuk,” ajak Mayang.
            Leoni mengerti dengan kecemasan yang dirasakan sahabatnya itu.
            “Ntar aja, May. Kenapa buru-buru.” Leoni mengangkat kepalanya. Menatap Mayang yang masih memandangnya. Seperti menunggu jawaban. “Tenang aja, gue baik-baik aja kok. Nggak harus menghindar kan?”
            Tara, Sisil, dan Mayang saling pandang saat Leoni melemparkan pandangan itu ke arah mereka.
            “Iya, Le. Lo nggak harus kabur kok. Emangnya lo maling yang ketangkap basah. Yang ada tuh dia yang mesti kabur dari sini,” ucap Sisil semangat.
            Leoni memberikan senyum termanis kepada Sisil.
            “Iya. Buat apa gue lari. Anggep aja ini latihan.”
            “Latihan?” Tanya Tara dengan kening berkerut.
            “Iya. Latihan mental,” jawab Leoni singkat.
            Tiba-tiba Sisil bertepuk tangan. “Gue setuju sama lo, Le,” ucapnya kepada Leoni.
            Ada banyak cara di dunia ini yang membuat kita bisa bertahan. Selalu saja ada kata aku merindukanmu dibalik kalimat aku ingin melupakanmu.
***
            Deg!
            Sesaat angin yang berhembus di sekitar lehernya terhenti. Mendadak seperti ada yang mencekik hatinya. Bibirnya kering dan bergetar. Otaknya limbung dan sekarang matanya panas. Leoni cemburu.
            “Dia sengaja atau apa sih?”
            Leoni masih bisa mendengar Tara yang mengomentari sepasang kekasih yang sedang duduk sambil makan bubur ayam enam meter dari tempat mereka duduk sekarang.
            “Le, lo baik-baik aja?” Tanya Mayang.
            Leoni mengangguk pelan. Bagaimana bisa untuk saat ini ia masih baik-baik saja sementara ia menyaksikan sendiri mantannya makan bersama gadis lain. Di hadapannya. Begitu dekat. Luka itu datang lagi.
            “Lo jangan terpancing, Le,” ucap Sisil. “Lo nggak usah peduliin mereka. Anggep aja mereka bukan orang yang lo kenal.”
            Leoni memandang ketiga temannya itu. Ia bisa merasakan kekhawatiran mereka terhadap dirinya.
            “Gue baik-baik aja,” ucapnya.
            “Jangan nangis, Le.” Tara segera memeluk Leoni yang terlihat hendak menangis.
            Di pundak Tara, Leoni mengucurkan air matanya. Ia tidak menghapus setiap tetesannya yang mengalir. Dibiarkannya setiap tetes itu jatuh membasahi baju Tara. Tidak ada kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Hanya isak tangis yang berusaha ia tahan. Hatinya belum sepenuhnya kuat menerima kenyataan yang sudah terjadi.
            “Udah, Le. Lo harus kuat. Ini ujian buat lo.”
            Sisil mengelus-elus pundak Leoni yang turun naik. “Tara bener, Le. Lo harus bisa ngelewati ujian ini biar ngebuktiin kalau lo udah bener-bener bisa move on dari Rangga.”
            “Makin lo nangis, makin mereka seneng. Apalagi Rangga, dia bakal ngerasa kalau lo pasti belum bisa ngelupain dia,” ujar Tara.
            Leoni melepaskan pelukan Tara. Dihapusnya air mata yang membasahi kedua pipinya yang tirus.
            “Gue tahu ini yang pertama bagi lo. Jadi gue ngerti banget perasaan lo, Le. Lo harus bisa ngelawan rasa cemburu dan rasa kecewa lo itu,” ucap Tara semangat, memandang mata bulat Leoni yang dinaungi alis tebal berbulu mata lentik.
            Leoni mengangguk mantap. Kemudian berusaha menarik kedua ujung bibirnya.
            “Nah gitu dong. Itu baru Leoni yang tegar,” tutur Mayang. Leoni tertawa. Semua ikut tertawa.
            “Eh, Le, gue dapet rekomendasi dari temen gue. Katanya ada peramal kartu tarot yang bisa ngeramal dengan tepat sesuai yang lagi lo rasain.”
            Bukan hanya Leoni yang tercengang dengan ucapan Sisil. Tara dan Mayang pun, mereka ikut antusias ingin tahu kelanjutannya.
            “Dimana tempatnya?” Tanya Mayang langsung.
            “Bisa ngeramal apa aja?” Tara menimpali.
            “Duh, satu-satu dong kalau nanya. Bingung nih gue,” gerutu Sisil sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
            “Tempatnya deket rumah gue. Dan dia bisa ngeramal apa aja,” lanjutnya.
            “Gue mau dong diramal,” ucap Tara.
            “Kayaknya asyik tuh,” Mayang menambahi.
            “Gue juga pengen. Makanya gue mau sekalian ajak kalian. Gimana, Le, lo mau ikut kan?”
            Ketiga sahabatnya itu menatap Leoni. Menunggu jawaban darinya.
            “Oke. Gue ikut,” jawabnya.
***
            “Lo yakin ini tempatnya?” Tanya Mayang saat mereka menginjakkan kaki di sebuah bangunan mirip rumah adat khas Sumatera Selatan.
            “Iya, gue yakin kok. Udah sesuai alamatnya,” jawab Sisil.
            Leoni berjalan di paling belakang setelah Tara. Tidak ada tanda-tanda orang lain selain mereka di tempat itu. Ia merasakan aura mistis begitu kental di tempat itu. Entah kejutan apa yang menanti mereka di ujung lorong.
            “Sil, lo yakin ini berpenghuni? Gue takut banget nih.” Mayang bergidik ketakutan.
            Sisil mempercepat langkahnya. “Kayaknya ini semacam kejutan deh,” sahutnya dengan mata terus menatap ke depan.
            “Gue benci kejutan,” balas Mayang.
            Di tempat itu mereka melihat banyak keris dan batu giok yang dijadikan hiasan untuk cincin dan kalung. Semuanya tersusun rapi di dalam etalase kaca yang berjejer di sisi kanan dan kiri lorong rumah tersebut.
            “Gila, ni tempat horor banget.” Leoni memandang ke sekeliling ruangan yang didominasi warna hitam. Mulai dari alas lantai, cat dinding yang setengahnya hitam, dan pernak-pernik yang berbau mistis. Bulu kuduknya berdiri saat tatapannya mendarat di sebuah hiasan dinding berupa kepala burung hantu dengan mata membelalak lebar.
            “Selamat datang, Mbak.”
            Tiba-tiba terdengar suara yang menyapa mereka. Leoni langsung memindahkan tatapannya dari sana. Mencoba melihat apa yang terjadi di barisan depan. Kemudian ia melangkah mendekati Sisil dan Mayang. Berdiri di samping Tara.
            “Dia siapa?” Tanya Leoni kepada Tara.
            “Resepsionisnya,” jawab Tara.
            “Oh. Gue kirain madamnya.”
            Leoni memperhatikan Sisil yang sibuk menulis data di buku besar yang sudah hampir penuh. Butuh waktu lima menit untuk menyelesaikan semua administrasi mereka.
            “Silakan, Mbak. Madamnya ada di atas. Masuknya satu-satu ya,” ucap gadis resepsionis itu ramah.
            “Iya. Makasih, Mbak,” sahut Sisil. Kemudian ia berjalan duluan dengan yang lain mengekor di belakang.
            Mereka berjalan melewati lorong yang lebih sempit dari lorong sebelumnya. Sepertinya rumah ini memang punya banyak lorong, pikir Leoni. Jalannya terhenti ketika Tara yang berjalan di depannya menghentikan langkah.
            “Kenapa?” Bisik Leoni.
            Tara mengangkat bahunya tanda tidak tahu.
            “Siapa yang mau masuk duluan?”
            Leoni memandang Sisil yang bertanya ke arah mereka. Ia tidak mau menjawab, karena jelas ia tidak ingin jadi yang pertama mencoba.
            “Le, lo mau duluan nggak?”
            “Nggak,” jawabnya cepat.
            “Yaudah kalau nggak ada yang mau, gue masuk duluan aja ya,” ucap Sisil kepada ketiga sahabatnya. Mereka semua mengangguk setuju.
            Leoni memandang Sisil yang menaiki tangga menuju tempat madam tarot yang membuatnya penasaran.
***
            Leoni akhirnya mengubah semua persepsinya mengenai peramal tarot yang ia ciptakan di bawah alam imajinasinya. Wanita yang dipanggill Madam itu, tidak seperti peramal yang ia bayangkan. Tidak ada bola kristal di atas meja kayu yang hampir mirip dengan meja kerja denga tumpukan kertas dan rak-rak plastik. Tidak ada rambut panjang dan mantra-mantra aneh yang seperti yang pernah ia lihat di sebuah tayangan di televisi mengenai peramal.
            “Namanya siapa?” Tanya madam itu memulai pembicaraan.
            “Leoni.”
            “Kamu baru putus ya?”
            Leoni tercekat saat menyadari pertanyaan madam tersebut.
            “Emangnya keliatan jelas ya, Madam?”
            Leoni masih kelihatan takut-takut untuk bertanya kepada wanita itu.
            “Kelihatan sekali. Dan, malah kamu punya keinginan untuk balas dendam. Saya benar kan?”
            “A─” Ia bingung harus menjawab apa. Sepertinya ia tidak perlu lagi bertanya, karena madam ini sudah tahu semuanya, Leoni membatin.
            “Mau menyangkal?” Tanya madam itu sekali lagi.
            “Awalnya emang ada niat mau balas dendam sih, Madam. Tapi─” Leoni menggantungkan kalimatnya.
Peramal itu tidak mendesaknya. Sepertinya ia masih menunggu kelanjutan kalimat Leoni.
“Saya pikir itu bukan cara yang terbaik,” lanjutnya.
“Coba kamu ambil tiga kartu di hadapan kamu,” Madam itu memberi perintah kepada Leoni.
Dengan ragu-ragu Leoni mengambil tiga kartu secara acak. Ia berikan kartu itu kepada wanita itu. Masih dalam keadaan tertutup.
“Ini.” Perlahan peramal wanita itu membalik kartu tarotnya. “Kartu pertama ini menyatakan kalau kamu akan terkena masalah jika tidak segera melupakan dia.”
Leoni memandang kartu berwarna agak keunguan bergambar seorang wanita seperti suku Indian yang sedang terkurung di dalam sangkar.
“Masalah apa ya, Madam?”
“Semua pekerjaan kamu mudah terganggu karena kamu akan sering ingat masa lalu.”
“Jadi saya harus gimana, Madam?”
Ia tidak pernah mengira bahwa karena seorang laki-laki bisa mengacaukan pikirannya.
“Kartu kedua.” Madam itu mengetuk-ngetuk kartu yang masih belum dibaliknya. “Laki-laki.” Ia menunjuk kartu yang telah dibaliknya. “Dua orang laki-laki yang sedang mendekati kamu.”
“Siapa, Madam?” Leoni terlihat penasaran dengan ucapan yang dikatakan wanita itu barusan.
“Bisa jadi orang yang sudah kamu kenal, dan yang satu lagi orang baru dalam kehidupan kamu.”
Leoni menatap mata wanita itu dalam-dalam.
“Apa saya bisa membuka hati untuk mereka?” Tanyanya kemudian.
“Itu jalan lain selain fokus ke masa depan yang ingin kamu raih.”
“Menurut pengamatan Madam, berapa lama lagi saya bisa mendapatkan salah satunya?”
Madam itu tidak langsung menjawab. Ia melempar senyum kepada gadis muda dihadapannya itu. “Kartu ketiga ini, seperti yang kamu lihat. Laki-laki itu berada begitu dekat denganmu,” jelasnya.
Leoni mendengus pelan. “Yang bener, Madam,” ucapnya setengah tidak percaya.
“Saya bukan Tuhan yang bisa tahu persis nasib kamu, saya cuma perantara yang di atas untuk menyampaikan apa yang bisa saya lihat dari kamu. Jadi atau tidak jadinya nanti, yang di atas yang akan mengaturnya.”
“Iya, Madam. Saya tahu.” Leoni menundukkan kepala. Memandangi ketiga kartu dihadapannya.
“Dari awal, memang kamu sudah salah pilih.”
Leoni mendongakkan kepalanya cepat. “Maksud Madam?”
“Sepertinya kamu tidak tahu kalau laki-laki itu memang tidak berniat baik dari awal.”
Matanya panas kala mendengar ucapan yang meluncur bebas dari mulut wanita yang baru setengah jam dikenalnya itu. Wanita yang hampir mengetahui semua tentang dirinya. Sampai tentang hal yang ia sendiri tidak menyadarinya.
“Cinta nggak cukup cuma pakai hati. Ada logika yang semestinya berfungsi di sana. Cinta yang tidak menggunakan logika, itu cinta-cintaan namanya.”
Tulang-tulangnya mendadak ngilu. Seperti mendengar teriakan dari masa lalu. Ia kembali terbayang cinta-cintaan yang ia ciptakan bersama Rangga.
“Kamu sekarang sudah punya pengalaman yang jangan sampai kamu lakukan lagi,” tutur Madam itu memberi nasihat.
“Hahaha,” Leoni tertawa. “Harusnya dari awal saya bilang terima makasih sama dia.”
***

No comments:

Post a Comment