Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 15

            “Wah, selamat ya, Dra, lo lulus duluan dari gue. Lo emang hebat.” Ardi masih mendekap Indra dalam pelukannya.
            “Lo buruan susul gue dong. Jangan betah di sini,” ucap Indra menggoda sahabatnya itu.
            Ardi melepaskan pelukannya. Ditatapnya sahabatnya yang sebentar lagi akan pergi jauh meninggalkannya. Mengapai mimpinya yang sebentar lagi akan terwujud.
            “Indra.”
            Indra dan Ardi menoleh berbarengan saat terdengar namanya dipanggil. Ardi memperhatikan sekeliling ruangan besar yang dipenuhi oleh mahasiswa berjubah hitam dengan senyum lebar yang menghiasi wajah masing-masing. Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berlari-lari kecil dengan pakaian yang sama seperti Indra datang menghampiri mereka.
            “Siapa, Ar?” Tanya Indra kepada Ardi.
            “Zarel,” jawabnya.
            “Indra,” panggil gadis itu lagi.
            Indra bisa mendengar dengan jelas kali ini suara yang memanggil namanya itu.
            “Selamat ya,” ucap Zarel kepada Indra.
            Indra memberikan senyum terbaiknya kepada Zarel. Meski ia tidak bisa melihat bahwa itu Zarel, namun Indra sangat hapal dengan suara khas itu. “Makasih ya. Kamu juga, selamat ya.” Mereka saling berjabat tangan.
            “Wah emang bener-bener pasangan yang serasi ya. Sekarang kalian berdua udah duluan ninggalin gue,” ujar Ardi. Wajahnya terlihat murung. Ada ke irian dan kebahagiaan sekaligus yang bersarang di wajahnya.
            “Hai,” terdengar sapaan dari arah belakangan mereka.
            Indra sudah tahu suara siapa itu.
            “Fiona sama Le,” Zarel berbisik kepadanya.
            Fiona dan Leandra melebarkan kedua lengannya. Siap memeluk Zarel. Namun, Ardi lebih dulu mendekat ke arah mereka.
            “Eh, Ar. Kok lo sih yang ngedeket,” ucap Fiona terkaget.
            “Kita bukan mau meluk lo, ndut.” Leandra menimpali.
            “Hahah...” Indra dan Zarel tertawa melihat tingkah ketiga sahabatnya itu.
***
            Zarel memandang Indra dari balik jubah hitam dan topi toga yang masih setia menaungi kepala mereka dari dua jam lalu. Kali ini hanya dia yang bisa memandang Indra. Bukan  karena tidak ada orang lain di sini. Tapi karena Indra tidak akan pernah lagi bisa memandangnya.
            “Habis ini kamu mau kemana?” Tanya Zarel kepada Indra yang duduk di sebelahnya.
            Mereka tidak lagi di dalam ruang besar yang penuh kebahagiaan itu. Indra mengajak Zarel keluar. Duduk di taman di samping gedung wisuda.
            “Aku mau ke Jepang,” jawabnya dengan posisi kepala masih menghadap lurus ke depan.
            Zarel tahu Indra tidak pernah bercanda untuk masalah pendidikannya.
            “Kamu lulus seleksi penerimaan S2 di Hokkaido?”
            “Mmm...” Indra mengangguk.
            Zarel membulatkan matanya. “Hebat. Aku emang yakin kamu pasti bisa ngelakuin itu.”
            “Kamu mau ikut?”
            Zarel menggeleng. “Aku nunggu kamu di sini aja. Makanya, cepet selesain kuliah di sana, terus pulang ke sini.”
            “Iya, bawel,” sahut Indra sambil menjetik pelan hidung Zarel.
            “Kamu  harus bisa keliling dunia seperti impian kamu.” Zarel memandang Indra, memberinya semangat.
            “Pasti, karena aku udah dapet tiketnya.”
            Zarel mengkerutkan keningnya. “Tiket?”
            Lagi-lagi Indra mengangguk.
            Ia menunjuk topi toganya. “Ini. S1 adalah tiket keliling dunia.”
            Bukan hanya Zarel yang setuju dengan  pernyataan itu. Rumput-rumput di sekitar mereka pun ikut mengangguk tanda setuju. Sebenarnya kebahagiaan adalah milik mereka yang mau berusaha.
THE END

Between


Bagian 14

            Orang yang kita cintai menjadi tidak berarti di saat kita hilang ingatan. Mungkin itu adalah cara terbaik untuk melupakan kenangan pahit yang tidak ingin di kenang. Zarel merasa jika bisa, ia ingin kehilangan setengah kenangannya saat bertemu Darka. Atau mungkin ia dapat mengubur kenangan itu di dalam pasir dan tidak akan pernah menggalinya lagi.
            “Nyari harta karun?”
            Tiba-tiba indra pendengaran Zarel menangkap suara yang begitu dekat dengannya. Suara yang belakangan ini menjadi begitu dekatnya.
            Ia menengadahkan kepalanya. “Ngubur kenangan,” Zarel menjawab pertanyaan Indra.
            Indra ikut berjongkok di depannya. Ikut menggali-gali pasir berwarna putih itu.
            “Maaf ya, Dra,” ucap Zarel pelan. Kepalanya masih tertunduk menatap butiran pasir yang menggunung.
            “Minta maaf kenapa?”
            “Udah ngerepotin kamu dengan masalah aku.”
            “Aku kan emang pernah janji sama kamu akan ngajak kamu ke tempat ini lagi.”
            Zarel menatap Indra dengan tatapan kosong. Sinar matanya meneliti setiap lekuk wajah pemuda itu.
            “Mata kamu indah, Dra.” Zarel tersenyum.
            “Indah dengan keterbatasan. Sekarang, aku cuma bisa lihat sampai batas kamu duduk.”
            Indra duduk sekitar 50 centimeter di hadapannya. Hanya sebatas itu pemuda itu bisa melihat sekarang.
            “Kamu bisa lihat aku dengan jelas?” Tanya Zarel.
            “Samar-samar.”
            Zarel memalingkan wajahnya menatap ke sekeliling tempat itu. Berjuta-juta butiran pasit terhampar luas di tempat itu. Semuanya tampak berkilau karena terpaan sinar matahari sore. Sedikit panas namun teduh di bagian lain. Zarel mencium aroma pasir yang khas. Gelak tawa dari pengunjung pantai yang sibuk mengabadikan momen bersama. Ada juga yang sengaja mengukir nama mereka di atas pasir lalu memotretnya. Ia dapat melihat jelas dari balik kedua bola mata yang tidak berkekurangan ini. Sedangkan Indra, hanya kesamaran yang ada di sekitarnya.
            “Penglihatan kamu bisa kembali normal kan?” Zarel bertanya takut-takut kepada Indra.
            “Udah nggak ada harapan lagi, Za. Tinggal tunggu waktunya aja.” Darka tertawa kecil.
            “Apa ini penyakit keturunan?”
            “Sepertinya bukan.”
            Zarel tidak bersuara. Ia yakin Indra masih ingin melanjutkan ceritanya.
            “Aku lahir sama seperti kalian, normal dan sehat, tanpa kurang satu apapun. Tapi saat di usia 6 tahun, penglihatanku mulai berangsur-angsur turun dan hanya mencapai 1 meter.”
            Zarel betul-betul menyimak cerita Indra. Ia tidak melepaskan sedikit pun pandangannya dari wajah oval itu.
            “Akhirnya saat diperiksakan ke dokter, aku divonis menderita glaukoma.”
            Zarel sempat mencari informasi di internet mengenai glaukoma. Salah satu penyakit mata yang diakibatkan saluran cairan yang keluar dari bola mata. Cairan itu perlahan-lahan akan menjepit saraf mata hingga mengakibatkan kebutaan.
            “Apa kamu sempat kecelakaan?” Zarel bertanya. Ia baru ingat, glaukoma bisa diakibatkan oleh usia atau kecelakaan.
            Indra mengangguk. “Dulu saat umur 4 tahun, aku pernah jatuh dari sepeda dan kepalaku terbentur keras,” ucapnya. Ia mulai mengingat-ingat masa 15 tahun silam. “Anehnya, waktu itu sama sekali nggak ada luka. Dan setelah diperiksa ternyata baru tahu bahayanya.”
            “Terus?” Zarel mulai penasaran.
            “Benturan keras itu membuat cairan di bola mata pecah dan menimbun saraf mata.”
            Zarel refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia benar-benar tidak menyangka separah itu akibatnya.
            Indra merasa sakit bila mengingat kondisinya yang divonis berujung pada kebutaan. “Pemeriksaan rutin ke dokter dan dokter nyaranin untuk pakai kacamata.” Ia kemudian menggeleng pelan. “Tapi itu sama sekali nggak membantu. Yang ada malah semakin kabur.” Dan ini adalah bagian terpentingnya. “Sampai usia 15 tahun, operasi enam kali yang udah aku jalanin juga nggak memberikan kesembuhan. Kata dokter, operasi hanya menahan dan memperlambat kebutaan.”
            Zarel termenung mendengar cerita ini langsung dari Indra. Awalnya ia mengira tidak sampai separah itu. Tapi ternyata dugaannya salah.      
            “Tapi semangat kamu nggak pernah surut, Dra. Jujur aku kagum sama itu.”
            “Sempet Ibu waktu itu nyuruh aku untuk berhenti sekolah, karena temen-temen yang selalu mojokin. Bilang kalau aku nggak bisa lihat.” Ia tertawa kecil. “Dan karena kesendirian itulah aku sadar, yang bisa aku andalkan hanya diri aku sendiri. Aku yang harus merubah duniaku sendiri dengan tangan ini walau tanpa mata,” ujarnya.
            “Dan terbukti sampai sekarang kamu bisa ngelakuin itu.”
            Darka mengubah posisi duduknya. Berusaha mencari kenyamanan.
“Aku nggak tahu kapan kebutaan itu akan datang. Entah saat aku bangun tidur. Atau saat aku sendirian. Aku nggak pernah tahu.”
Zarel memandang ke sekelilingnya. Mengamati tempat itu dari sudut matanya.
“Saat waktu itu tiba, kamu akan punya dunia yang baru,”ujar Zarel.
“Aku sendiri merasa belum siap untuk nerima dunia itu. Makanya mulai dari sekarang aku udah banyak latihan.”
“Latihan?” Zarel mengernyitkan heran.
Indra mengangguk pasti.
“Latihan apaan?”
“Latihan jalan dengan tongkat, biar ntar udah terbiasa,” jawab Indra, tersenyum menatap Zarel.
Zarel terkekeh mendengar lelucon Indra.
Makin sore orang-orang yang berkunjung ke tempat ini juga makin ramai. Zarel merasa orang-orang ini juga punya tujuan sama dengannya. Tujuannya dengan Darka, dulu, yang sampai sekarang tidak akan pernah terwujud.
“Ngomong-ngomong, kamu tadi gali-gali pasir buat apaan?” Indra menatap Zarel yang sekarang duduk bersila, sama sepertinya.
“Buat ngubur kenangan.”
Indra tertawa bergumam mendengar jawabannya.
“Kenapa ketawa?” Zarel balik bertanya. “Nggak percaya? Nih.” Tunjuknya ke dalam lubang yang telah ia gali tidak terlalu dalam.
“Kamu putus dari Darka?” Tebak Indra. Membuat Zarel langsung menatapnya.
“Kamu tahu dari siapa?” Zarel menyipitkan matanya. “Pasti dari Leandra atau nggak Fiona, iya kan?” Tanyanya curiga.
Indra menggeleng mantap. “Kalau cewek udah bertingkah konyol, apalagi kalau bukan diputusin sama cowoknya,” tutur Indra cuek.
“Hah?” Zarel tertegun menatap Indra. Tidak habis pikir kenapa Indra bisa menyimpulkan hal aneh seperti itu.
“Bukan dia atau aku yang mutusin. Ini kesepakatan kita masing-masing,” ujar Zarel.
“Aku nggak tahu alasan kalian putus karena apa. Tapi─”
“Itu bukan karena kamu kok.” Zarel cepat-cepat memotong ucapan Indra.
Indra menarik kedua ujung bibirnya begitu lebar hingga kedua pipinya sakit. Zarel menatap Indra seperti orang bodoh.
“Kok kamu ketawa?”
“Lucu aja lihat ekspresi kamu tadi,” ungkap Indra.
Zarel buru-buru menundukkan kepala. Alih-alih mencegah Indra menjadi merasa tidak enak, malah dirinya sendiri yang menjadi malu.
“Aku nggak masalah kalian mau putus karena siapa. Kalau udah nggak cocok ya lebih baik jangan diterusin,” ujar Indra.
“Iya.” Zarel hanya menjawab pelan. Ia masih merasa malu akibat tingkahnya sendiri.
“Udah nggak usah dipikirin.”
Zarel perlahan mengangkat kepalanya. Ditatapnya Indra yang kini duduk menghadap ke pantai. Rambut ikalnya semakin berantakan akibat tiupan angin yang cukup kencang. Seulas senyum terukir di wajahnya yang bundar.
“Kamu ngeliatin aku ya.” Tiba-tiba Indra mengagetkan Zarel sambil mengacungkan telunjuknya tepat ke wajah gadis itu.
“Iya,” jawabnya. “Rambut kamu berantakan.”
Indra langsung memegang rambutnya dan beralih menatap kepala Zarel dengan rambut yang di cepol.
“Gantengan gini,” ucapnya sambil mengacak-acak rambut ikalnya.
Zarel mendengus pelan. Ia tiba-tiba merubah raut wajahnya menjadi sedikit lebih serius dengan sinar mata yang sedikit genit. Diletakkannya kedua telapak tangannya di atas pipi, sambil berkata, “Kak Indra, Kak Indra ganteng banget.”
“Anak pinter.” Indra mengelus pelan kepala Zarel. “Aku anggap itu sebagai pujian.”
Pipinya lagi-lagi panas. Zarel masih membekap kedua pipinya itu. Matanya berkedip berkali-kali. Berharap ini bukan mimpi. Jikalau ini memang sebuah mimpi, ia tidak akan pernah mau bangun.
“Za, kasih tahu aku ya kalau mataharinya udah mau terbenam.”
Zarel masih mengumpulkan kesadarannya. “Ah, iya-iya,” ucapnya terbata.
“Aku nggak pernah nyangka kalau akhirnya kita bisa jadi temen deket kayak gini.” Indra mulai serius.
“Sama. Aku kira dulu kamu nggak akan pernah mau membagi kisah hidup kamu sama aku.” Zarel melambungkan kembali ingatannya saat pertama kali bertemu Indra. “Tapi sekarang, kita bisa saling bantu.”
“Aku nggak pernah minta kamu untuk jadi temen aku, Za. Aku nggak mau kamu merasa terbebani karena penyakit ini.”
“Aku juga nggak pernah maksain diri aku untuk berteman sama kamu, Dra. Semuanya berjalan seiring waktu. Aku ngerasa nyaman didekat kamu,” ujar Zarel.
Indra menoleh menatap Zarel. “Kasih tahu aku kalau kamu udah nggak nyaman lagi sama aku.”
“Terus?”
“Aku akan tetap paksa kamu untuk terus nyaman sama aku. Sampai kapanpun.”
Zarel membiarkan senyumnya mengembang. Ia suka dengan cara Indra menyampaikan kalimat itu. Sederhana namun bermakna. Semakna I Love You.
***
            

Between


Bagian 13

            Plak!
            Zarel langsung memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan Darka.
            “Sampai kapan kamu mau main kasar terus sama aku?” Zarel berteriak kencang. Tali pengikat emosinya sudah renggang. Tidak lagi ingin selalu mengalah.
            “Sampai kamu jujur sama aku.”
            “Apa aku selama ini bohong?”
            “Yang tahu kamu bohong atau nggak, ya cuma diri kamu sendiri,” ucap Darka. Ia seperti habis makan bawang. Emosinya sungguh tidak terkontrol.
            “Aku bilang aku nggak bohong,” ujar Zarel dengan penuh penekanan. Lututnya sudah tidak mampu lagi untuk menopang badannya. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di kursi taman dengan kepala tertunduk.
            “Sering-sering aja bohong kayak gini!” Sergah Darka dengan mata menyalak geram.
            Jantungnya turun naik tidak teratur. Zarel merasakan badannya mulai gemetaran. Di tenggorokannya seperti berkumpul batu-batu kecil yang siap runtuh kapanpun itu. Ia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi Darka.
            “Aku nggak bohong, Ka. Aku nggak pergi berdua sama Indra. Ada Leandra, Fiona dan Ardi di sana.” Zarel mendongak cepat. Ia merasa kecewa melihat Darka tidak mempercayainya.
            “Tapi kenapa kamu nggak angkat telepon aku?” Darka menundukkan kepalanya menatap Zarel.
            “Aku nggak tahu kalau kamu telepon,” jawabnya pelan. Ia terpaksa berbohong.
            “Kamu nggak sadar aku nelpon atau kamu emang nggak mau di ganggu?”
            “Dua-duanya.” Zarel menjawab apa adanya.
            “Oh jadi sekarang kamu merasa kehadiran aku mengganggu kegiatan kamu? Iya, Za?” Indra tersenyum kering.
            “Bukan gitu, Ka. Tapi ada saatnya dimana aku pengen sama mereka. Tanpa kamu harus ikut campur.”
            “Aku udah bilang berapa kali sama kamu, hah? Aku itu pacar kamu. Jadi kamu harus ngeduluin aku daripada temen-temen kamu itu,” teriaknya lantang.
            Zarel sudah tidak tahan lagi dengan kondisi seperti ini. Semakin ia diam, semakin Darka menekannya.
            “Ka, aku nggak mungkin selamanya sama kamu. Disaat nggak ada kamu, cuma mereka yang nemenin aku,” Zarel balas meneriaki Darka.
            “Tapi kamu selalu memprioritaskan mereka lebih dulu. Bukan aku.”
            “Aku selalu duluin kamu, Ka. Apa aku harus selalu batalin janji aku sama mereka saat tiba-tiba kamu butuh aku?” Zarel memberanikan menatap mata Darka. “Kapan kamu mau ngerti aku?”
            “Aku kurang ngerti apa lagi sama kamu?” Darka menunjuk Zarel dengan muka garang.
            Di taman yang cukup luas itu dan di hari yang belum terlalu malam, bukan hanya mereka berdua yang berada di situ. Ada cukup banyak pasang mata di taman itu. Tapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya.
            “Kamu cuma ngerti ngerti sama diri kamu sendiri.” Zarel meneriaki Darka yang berdiri kokoh di hadapannya.
            “Kamu yang nggak pernah sadar bahwa aku punya cara sendiri buat mahamin kamu.”
            “Dengan cara yang selalu marah-marah? Selalu main tangan kalau aku kamu anggap aku salah? Apa itu cara kamu, Ka?” Tanpa ia sadari air matanya mulai mengucur pelan. “Apa itu?” Tanyanya tersedu-sedu.
            “Za, aku bukannya mau buat kamu terbebani sama sikap aku. Aku cuma pengen kamu selalu sama aku.” Darka mulai menurunkan nada bicaranya.
            Zarel masih sibuk menghapus air matanya yang tidak kunjung berhenti. “Aku udah bilang, kita nggak mungkin bisa sama-sama terus.” Zarel berusaha mengatur pernapasannya.
            “Apa maksud kamu dengan nggak mungkin selamanya sama aku?” Darka menurunkan nada suaranya.
            “Aku nggak bisa jamin kita bisa terus lanjut,” ucap Zarel pelan.
            “Aku yang bakal ngejamin kalau kita bisa terus lanjut.” Darka menatap Zarel lekat-lekat.
            “Kita terlalu banyak beda, Ka,” Zarel berkata. Ia kembali menduduki kursi taman yang panjang itu.
            Darka mengikutinya dengan duduk di samping Zarel. “Kita dipertemukan untuk menyatukan perbedaan. Aku butuh kamu, Za, untuk menyatukan itu,” ucapnya pelan.
            “Maaf, Ka. Nyatanya aku nggak bisa menyatukan itu. Kamu salah orang.”
            “Za.” Darka menggenggam tangan Zarel yang dingin. Namun Zarel berusaha melepaskannya.
            “Aku jenuh, Ka.”
            “Apa maksud kamu dengan jenuh?”
            “Aku pikir dengan mengalah, aku bisa melunakkan hati kamu. Tapi ternyata nggak,” ujar Zarel.
            Darka mendekatkan tangan Zarel ke dadanya. “Hati ini sudah di tangan kamu, Za.”
            Zarel memandang pemuda dihadapannya itu dengan penuh arti. Apa yang ia jalani selama delapan bulan bersama Darka, ternyata tidak juga membuat pemuda itu merubah sikapnya. Itu membuat Zarel kecewa.
            “Aku akan melepaskan hati itu dan mengembalikannya ketempat semula.”
            “Hati ini akan tetap berada di tempat yang semestinya. Nggak akan pernah berpindah.” Darka tetap bersikukuh.
            “Maafin aku, Ka.” Zarel memalingkan wajahnya dari Darka. Ia sudah memutuskan untuk mengakhiri semuanya malam ini.
“Za, kamu nggak bermaksud untuk mengakhiri semua ini, kan?” Darka memegang kedua pundak Zarel. Memaksanya untuk menatap matanya.
“Sesuatu yang sudah kusut akan sulit untuk diluruskan. Termasuk hati.”
“Kita pasti bisa meluruskannya bersama-sama, Za. Aku dan kamu.”
            “Aku pengen sendirian dulu, Ka.”
            “Aku nggak akan biarin kamu sendirian, Za.”
“Sebaiknya kamu luruskan dulu egois kamu, Ka. Setelah itu kamu bisa melanjutkannya bersama yang lain.” Zarel berusaha melepaskan genggaman Darka dari pundaknya. Lalu menggapai tas kecil bertali panjang yang ia letakkan di sampingnya. Kemudian melangkah meninggalkan Darka.
Darka mencoba mengejar Zarel. “Za, kamu mau ninggalin aku?” Tanya Darka setelah ia berhasil menggenggam tangan Zarel.
“Maaf, Ka. Aku mau sendiri. Makasih untuk delapan bulannya,” ucap Zarel, tersenyum tawar ke arah Darka. Ia meletakkan telapak tangannya di atas tangan Darka dan berusaha melepaskannya.
            Zarel berjalan menyusuri jalanan yang ditumbuhi rumput-rumput hijau tipis itu. Tubuhnya sungguh lelah. Begitu pun dengan hati dan pikirannya. Tapi mulai sekarang semuanya sudah kembali normal dan ia bisa tersenyum dan tertawa tanpa beban.
***
            “Zarel.”
            Gadis itu segera menengadahkan kepalanya.
            “Darka. Mau ikut makan?”
            “Za, gue sama Fiona ke kelas duluan ya. Kita belum selesai buat tugas yang tadi,” ucap Leandra sambil melirik ke arah Fiona.
            “Iya, Za kita duluan ya.” Fiona tersenyum kepada Zarel. “Darka, kita duluan ya.” Fiona memaksakan mengangkat kedua ujung bibirnya.
            “Mau makan siang?” Zarel bertanya dengan santainya. Ia mengaduk-aduk ice lemon tea yang sudah hampir habis.
            “Aku yakin kamu semalam cuma lelah. Jadi omongan kamu ngawur. Aku maklum kok, Za.”
            “Nggak mau pesen minum dulu?”
            “Za, aku janji nggak bakal marah-marah lagi sama kamu. Aku akan lebih baik sama kamu.” Darka berusaha meraih tangan Zarel.
            “Ah, Buk,” panggil Zarel kepada seorang wanita tua pemilik kantin jurusan sambil melambaikan tangan.
            “Biar aku yang pesenin ya,” ucapnya kepada Darka. “Vanilla latte dingin satu, Buk.”
            Darka bertanya-tanya heran melihat sikap Zarel pagi ini.
            “Kamu kenapa?” Tanya Zarel.
            “Aku minta maaf, Za,” Darka bicara pelan.
            “Nggak apa-apa, Ka. Awalnya memang sulit. Tapi aku yakin kamu akan cepat terbiasa.”
            “Ucapan kamu semalam itu cuma ngawur, iya kan?”
            “Segala hal di atas bumi ini punya masanya sendiri-sendiri. Ada masanya meninggalkan dan ditinggalkan. Kapanpun itu kita harus siap.”
            “Tapi ini belum waktunya kamu buat ninggalin aku, Za?”
            “Kamu harus belajar ikhlas, Ka.”
            “Kamu mau mengkhianati aku juga?”
            Zarel bisa merasakan emosi Darka mulai tersulut.
“Apa kamu lupa, waktu itu kamu bilang aku mirip Mama kamu.” Zarel melayangkan pandangannnya ke arah lain. Mencoba mengingat-ingat ucapan Darka beberapa waktu silam. “Dan sekarang aku ngerti alasan kenapa Mama kamu bersikap seperti itu. May be dia tertekan.”
Pembicaraan mereka terhenti sejenak, karena Ibu kantin datang membawa pesanan Zarel.
“Silakan dinikmati,” ucap wanita itu ramah. Ia menaruh gelas kaca tinggi itu di hadapan Darka.
Zarel membalasnya dengan senyuman. “Terima kasih.”
“Kenapa kamu jadi kayak gini, Za?” Tanya Darka gusar.
“Aku belajar dari kamu, Ka. Aku belajar gimana caranya menjadi wanita yang selalu tegar di mata kamu,” tutur Zarel dengan santainya.
“Selain dia, belum ada satu orang pun yang sanggup menyakiti aku sedalam itu,” Indra berkata tegas kepada Zarel. Rahangnya menegang menatap gadis bermata hitam di hadapannya. Tangannya mengepal keras sampai buku-buku jarinya memutih. “Tapi sekarang─”
Zarel tahu siapa yang dimaksud Darka dengan ‘dia’.
Gadis itu tersenyum simpul menatap Darka. Sepertinya sebentar lagi Darka akan menamparnya untuk kesekian kalinya.
“Jangan bicara seolah-olah yang lain tidak tersakiti. Itu membuat dirimu terlihat lucu,” ungkap Zarel.
“Dikhianati oleh dua orang yang sangat dicintai. Apa itu tidak menyakitkan?”
“Kalau kamu nggak merubah sikap kamu, kamu bakal terus diperlakukan sama seperti ini.”
“Apa alasannya?” Darka menyolot.
“Karena keegoisan cuma bikin orang di sekitar kamu nggak betah. Makanya mereka akan lebih memilih menjauh dari kamu.”
“Jadi sekarang kamu sadar?’
            “Sifat dan sikap kamu yang menyadarkan aku kalau kamu bukan yang terbaik.”
            “Jadi kamu anggap cowok itu lebih baik daripada aku? Iya?” Darka meninggikan suaranya.
            “Maksud kamu Indra?”
            Darka tidak menjawab pertanyaannya. Sudah jelas yang dimaksud Darka pasti adalah Indra.
            “Iya. Seenggaknya dia lebih bisa menghargai wanita.” Zarel melanjutkan ucapannya.
            “Apa yang kamu lihat dari cowok itu, Za?” Tanya Darka geram.
            Orang-orang di kantin ini mulai melirik ke arah mereka. Zarel sadar amarah Darka yang sudah membangunkan perhatian orang-orang di sini. Tapi ia sama sekali tidak menghiraukan tatapan penuh tanya yang ditujukan mereka kepadanya.
            Zarel masih membungkam mulutnya. Tidak kunjung menjawab pertanyaan Darka.
            “Dia itu buta. Apa bagusnya dia.” Raut wajah tidak senang jelas sekali tergambar di wajah Darka.
            Zarel mulai pegal hati menghadapi Darka.
            “Dia buta mata tapi nggak buta hati.” Zarel tersenyum simpul melihat Darka.
            “Kamu nggak akan bahagia, Za.’
            Zarel masih mengulas senyumnya. Ia betul-betul harus menata hatinya di depan Darka.
            “Aku akan kasih kabar ke kamu kalau aku nggak bahagia. Dan di saat itu kamu bisa datang.”
            Darka menaikkan sebelah alisnya. “Oke. I’ll waiting for you.
***

Between


Bagian 12

            Tidak ada alasan bagi Zarel untuk menolak ajakan Indra dan Ardi. Ia merasa nyaman saat didekat mereka berdua, apalagi didekat Indra.
            “Udah sampai,” teriak Ardi yang duduk di belakang setir. Ia mematikan mesin mobilnya dan segera turun.
            Zarel, Indra, Leandra dan Fiona pun ikut turun dari kijang milik Ardi.
            “Wah, lo bener, Za. Keren ya,” ucap Ardi terkagum-kagum.
            Zarel mengembangkan bibirnya menanggapi ucapan Ardi. Ia masih ingat pertama kali ke tempat ini, Darka orang pertama yang mengajaknya ke sini. Melihat sungai di malam hari di bawah sinar bulan dan bintang. Ia sungguh merindukan suasana itu.
            “Nah, Dra. Ini namanya BKB,” Ardi memberitahu Indra.
            “Nggak terlalu jelas.” Indra mencoba menggerak-gerakkan kepalanya. Mencoba menatap jauh memperhatikan para penjual makanan.
            Zarel mencoba menangkap apa yang dikatakan Indra. Ia merasa kasihan melihat Indra yang tidak mampu menatap seluruh tempat ini.
            “Kita ke sana yok,” ajak Leandra kepada mereka semua.
            Batu-batu pelataran BKB masih sama dinginnya seperti delapan bulan silam. Saat ia dan Darka pertama kali ke sini. Pagat-pagar beton pendek yang cukup lebar untuk di duduki dan sederet lampu-lampu penerang dengan jarak masing-masing satu  meter yang berdiri di atas pagar beton itu, juga masih sama. Zarel menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menghalau angin malam yang semakin dingin. Ia berjalan pelan sambil menatap ke sekeliling tempat itu. Aroma makanan yang saling bercampur satu sama lain, semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Namun, Zarel merasakan ada yang berbeda saat ini. Ia menatap pemuda yang berdiri membelakanginya. Indra yang membuat tempat ini menjadi berbeda.
            “Ada banyak jualan makanan di sini─”
            Zarel mendengar Leandra dan Fiona memberitahu Indra dan Ardi dengan bergaya seperti guide. Ia melangkah mendekati mereka berempat. Mensejajarkan diri dengan Indra. Tiba-tiba Zarel memegangi perutnya. Ada yang mengganggu, pikirnya.
            “Mie tek-tek yok,” ucap Zarel sambil menatap keempat temannya penuh harap.
            “Hmm...Ayok,” sahut Ardi semangat.
            Dari sekian banyak penjual yang berjejer mengelilingi tempat yang cukup luas itu, mereka memilih mie tek-tek sebagai menu pembuka. Zarel tahu dimana letak penjual mie tek-tek yang enak menurutnya. Mereka berjalan melewati para penjual yang sibuk dengan dagangan mereka di bawah lampu dengan pencahayaan yang minim.
            “Ada jual kerak telor juga ya?” Tanya Indra kepada Zarel yang berjalan di sampingnya.
            “Ada. Ntar kita coba ya,” ajak Zarel. “Nah ini tempatnya.” Zarel menghentikan langkahnya. Melirik gerobak bertuliskan ‘Mie Tek-Tek’.
            Mereka melihat seorang laki-laki yang sudah berumur duduk di belakang penggorengan dengan spatula di tangan kananya.
“Pak, 5 piring ya,” ucap Zarel setelah mendekati laki-laki paruh baya itu.
Mereka duduk di atas kursi-kursi plastik kecil tanpa sandaran yang sengaja disiapkan untuk pembeli.
“Kayaknya enak, Za,” komentar Ardi.
“Cobain aja ntar.”
“Untung gue dari rumah belum makan,” ujar Leandra sambil mesem-mesem.
“Gue juga. Gue tahu banget sifat Zarel. Kalau ngasih tahu tempat yang enak, pasti ada makanannya,” timpal Fiona.
Zarel menyadari Indra melihatnya. Dibalasnya tatapan Indra. Mereka berdua saling tersenyum satu sama lain.
“Ini mienya.” Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memberitahukan sesuatu.
Zarel segera memalingkan wajahnya. Menyambut piring berisi mie yang diulurkan ke arahnya. “Makasih, Buk,” ucapnya, tersenyum ramah kepada wanita itu.
Perlahan, mereka menyantap hidangan yang masih hangat itu.
“Gimana, Ar. Enak nggak?” Fiona bertanya.
Ardi masih dalam tahap mengunyah mienya. Ia hanya mengacungkan jempolnya mewakili isi hatinya. Zarel sempat melirik tingkah Ardi dan tersenyum. Suasana makan mereka menjadi ramai saat tiba-tiba lima orang pengamen cilik datang dan menyanyikan lagu yang tidak terlalu jelas. Tidak ada yang berkomentar, hanya sepiring mie dan lantunan lagu berantakan yang menemani mereka.
***
            Mereka berjalan melewati para penjual mainan di sekitar tempat itu. Sesekali mereka berhenti sejenak dan mengabadikan momen malam ini, berfoto bersama Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera sebagai latarnya. Bahkan Ardi hampir memotret semua sudut di tempat ini.
            “Oh iya, kita nyobain kerak telor yok,” ajak Zarel.
            “Wah, itu kan makanan yang di cari-cari Indra selama ini.” Ardi sumringah.
            “Di sini emang susah, Dra, nyari makanan kayak gitu,” timpal Leandra.
            Indra manggut-manggut tanda mengerti. “Pas banget emang waktunya. Gue sekarang lagi ngidam tuh makanan,” tuturnya.
            Mereka berjalan mencari penjual dengan gerobak bertuliskan kerak telor. Sepanjang perjalanan, mereka melihat ada banyak pengamen yang bernyanyi untuk menghibur para pembeli di tempat itu. Terkadang Ardi pun ikut bernyanyi kecil mendengar nyanyian pengamen tersebut. Berbeda dengan Indra yang hanya mengatupkan bibirnya tanpa banyak komentar. Dan akhirnya tidak butuh waktu lama untuk menemukan gerobak kerak telur itu.
“Wah, ramai banget,” kata Ardi, menatap pembeli yang duduk memenuhi kursi pembeli. Kursi yang sama dengan yang mereka duduki di tempat mie tek-tek.
Wajar saja pembeli makanan ini begitu ramai. Hanya satu gerobak yang menjual makanan asli Betawi tersebut di tempat ini. Setelah memesan, Zarel mengajak mereka untuk duduk di atas pagar yang telah disemen. Dari tempat itu, mereka bisa dengan bebas menyaksikan Sungai Musi yang terbentang luas. Mereka duduk berjejer, menyaksikan keindahan malam kota Palembang
            “Kamu bisa lihat sungai itu nggak?” Zarel bertanya kepada Indra yang duduk di sampingnya.
            “Nggak jelas,” jawabnya singkat.
            “Sungainya cantik. Apalagi kena pantulan sinar bulan, jadi bercahaya,” tutur Zarel, tersenyum menatap Indra. “Itu Jembatan Ampera.” Tunjuk gadis itu tinggi ke arah Barat Laut. Lampu-lampu kecil berwarna-warni tampak begitu cantik mengelilingi jembatan itu.
            “Pasti cantik ya,” Indra berkomentar.
            Apa sudah sebegitu parahnya penyakit itu, Zarel membatin. Indra mungkin tidak menyadari kalau Zarel sedang menatapnya.
            “Dra,” panggil Zarel.
            Indra menoleh menatap Zarel. Ada segurat pertanyaan yang mungkin akan disampaikan gadis itu kepadanya.
            “Kamu...” Zarel menghentikan ucapannya. Hatinya ragu untuk menanyakan hal itu kepada Indra. “Kamu...” ia mengulanginya lagi.
            “Nak, ini kerak telornya.” Tiba-tiba seorang bapak tua menyodorkan dua piringan yang dilapisi kertas cokelat berisikan kerak telor ke arahnya dan Indra
            “Ah, iya, Pak. Makasih ya,” ucap Zarel terbata. Ia merasa beruntung dengan kedatangan Bapak itu. Setidaknya ia tidak harus menanyakan hal itu sekarang kepada Indra.
            “Kamu tadi mau ngomong apa?” Indra bertanya kepada Zarel.
            Zarel segera memutar otak untuk menjawab pertanyaan Indra. “Nggak kok. Cuma mau nanya. Kamu udah lama ya nggak nyicip ini?” Tanya Zarel sambil mencomot sedikit kerak telor miliknya. “Hmm.. enak,” ucapnya senang.
            “Lumayan sih. Kebetulan kalau di Jakarta kan agak lebih mudah nyarinya.” Indra ikut menikmati kerak telurnya.
            “Apa rasanya seenak di Jakarta?”
            Indra tersenyum. “Ya, sama. Makan ini dan duduk kayak gini, berasa kayak lagi di Jakarta,” ujarnya.
            Zarel membalas senyum pemuda itu dengan manis. Ia senang jika Indra menghargai rekomendasinya mengenai tempat ini.
            “Kamu kangen mereka?” Tanya Zarel lagi.
            “Siapa?”
            “Keluarga di sana.”
            “Kangen itu pasti. Tapi Palembang-Jakarta itu nggak deket.”
            “Kalau kamu kangen Jakarta, kamu bisa ajak aku untuk makan ini dan duduk di sini. Aku seneng kok nemenin kamu,” tutur Zarel.
            Indra hanya menjawabnya dengan senyum yang dikulum.
            “Di sana..” Zarel lagi-lagi menghentikan ucapannya.
            Indra menatap heran. Ia menunggu kelanjutan ucapan gadis itu. “Kenapa?” Tanyanya kemudian, karena Zarel tak kunjung melanjutkan kalimatnya.
            “Di sana orang tua kamu kerja apa?”
            Bukan itu yang sebenarnya ingin ia tanyakan. Tapi mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya masalah lain lagi. Entah mengapa Zarel begitu ingin tahu masalah pribadi Indra.
            “Ayah seorang pekerja swasta. Ibu sendiri mengajar di salah satu SMA di sana,” jawab Indra.
            Zarel menyimak ucapan Indra dengan cermat. “Oh jadi kamu anak Ibu Guru,” ucapnya sambil mengulas senyum.
            “Kamu sendiri?” Indra balik bertanya.
            “Papa aku kerjaannya sama kayak Ayah kamu, swasta juga. Kalau Mama, ibu rumah tangga. Aku punya adik perempuan. Tapi aku nggak punya kakak. Jadi kita adalah empat orang dalam satu keluarga yang bahagia.” Zarel mengakhiri ucapannya dengan bibir terkembang.
            Zarel melihat Indra tertawa kecil mendengar ucapannya.
            “Kok kamu ketawa?”
            Indra langsung menghentikan tawanya. “Kamu pikir aku mau sensus keluarga,” ledeknya.
            Zarel memonyongkan bibirnya. “Aku kan cuma mau ngasih informasi ke kamu,” ucapnya pelan.
            Tiba-tiba ponsel milik Zarel berdering. Ia lupa mengganti mode silent  untuk nada deringnya. Alhasil Indra meliriknya.
            Darka.
            Zarel menimang-nimang ponsel hitam itu. Ia biarkan saja bunyi berisik itu berakhir dengan sendirinya. Namun Zarel belum bisa bernapas lega. Karena lagi-lagi ponsel itu berbunyi lagi. Dan Zarel tetap bereaksi sama. Tidak menjawabnya.
            “Nggak diangkat?” Indra bertanya heran kepada Zarel.
            Zarel melirik Indra. Ia diam saja tanpa menjawab pertanyaan itu. Ardi, Leandra dan Fiona pun berhenti mengobrol akibat bunyi ponselnya. Seperti mendengarkan seseorang bernyanyi.
            “Kenapa?” Indra bertanya lagi.
            “Males.”
            Akhirnya deringan itu berhenti juga.
            “Darka, Za?” Leandra berbisik kepada Zarel. Kebetulan mereka duduk berjejer.
            Zarel mengangguk pelan. Ia kembali sibuk melepaskan kerak telor itu dari bagiannya. Dan Leandra kembali bergabung dengan Ardi dan Fiona yang duduk berjejer di sampingnya.
            “Ceritanya lagi ada yang menghindar nih,” ledek Indra.
            Zarel masih mengunci mulutnya. Seperti tidak ingin membahas masalah itu.
            “Menghindar itu cuma memberi kenyamanan untuk sementara. Semakin dihindari kamu akan merasa terdesak terus.”
            “Aku nggak menghindar. Cuma lagi males aja.” Zarel akhirnya membuka mulutnya.
            “Karena males jadinya ngindar. Iya kan?”
            “Iya. Aku sengaja menghindar,” jawab Zarel menyerah.
            “Aku bukannya bermaksud ikut campur urusan kamu, Za. Tapi lebih baik kamu terbuka sama pasangan kamu,” saran Indra.
            “Aku udah terbuka sama dia, Dra. Tapi dia nggak bisa terima.” Zarel tersenyum hampa.
            “Terus kamu diem aja?”
            “Aku mau gimana lagi?”
            “Kamu tinggalin aja dia.”
            Zarel tercengang mendengar kalimat terakhir Indra. Mengingat Indra adalah pribadi yang tidak terlalu peduli dengan orang lain, berkata demikian adalah sebuah perubahan menurut Zarel.
Ia mencoba melirik kerak telor milik Indra yang tinggal setengah. “Makanan lo nggak terasa aneh kan?” Zarel kemudian memindahkan tatapannya ke Indra.
“Apa punya lo rasanya aneh?” Tanya Indra cuek.
Zarel spontan mencuil kerak telor milik Indra. Dikunyahnya makanan itu dengan seksama. Kemudian berkata, “Rasanya sama persis dengan punya gue.”
“Bilang aja kalau lo mau nambah.” Indra lantas menarik piringnya sedikit menjauhi Zarel.
Zarel menatap Indra dengan kesal. “Lo kan nyuruh gue nyicip tadi,” ucapnya setengah berteriak. Membuat ketiga temannya tiba-tiba menoleh.
“Gue suruh lo nyicip punya lo sendiri. Bukan punya gue,” ucap Indra santai
sambil mendaratkan telunjuknya di atas hidung Zarel. Kemudian ia kembali menikmati
makanan yang sudah tinggal setengah itu.
Zarel membeku sesaat menyadari tingkah Indra barusan. Ia lantas memegangi hidungnya dengan tangan kanannya. Perlahan ia menundukkan kepala. Dirabanya kedua pipinya yang mulai terasa panas.  Mengapa ia jadi sepertinya, pikirnya.
            “Za, punya lo belum abis juga?”
            Leandra tiba-tiba mengagetkannya.
            “Buat kita aja ya,” Fiona menimpali.
            “Ah, iya-iya. Ambil aja,” jawab Zarel terbata. Ia masih terbenam dalam kejadian sekilas itu.
            “Di sini ada jual sate juga nggak?” Indra bertanya mengagetkannya.
            Zarel berusaha bersikap normal kembali. “Ada. Kenapa? Mau lanjut sate?” Tanyanya.
            “Mmm.. Iya.” Indra menyeringai menatap Zarel.
            “Oke. Kita lanjut sate.”
            “Hah? Sate?” Leandra dan Fiona tersentak kaget.
            Zarel mengangguk mantap.
            “Perut gue udah nggak muat lagi,” Fiona mengeluh.
            “Kalau perut gue masih muat kok,” Ardi yang duduk di ujung langsung berteriak sambil memegangi perutnya.
***
            “Dra,” panggil Zarel.
            “Nggak apa-apa,” jawabnya tersendat. Ia masih memegangi kepalanya.
            “Perlu gue telpon Ardi?”
            Indra menggeleng. Zarel yakin Indra tidak ingin melihat Ardi cemas.
            Zarel mengambil kembali gelas plastik warna hijau polos yang ia letakkan di sampingya. Kembali mengaduk-aduk jagung yang bercampur susu dan keju parut itu. Selera makannya mendadak hilang akibat melihat kondisi Indra.
            “Dra, maafin gue ya,” ucap Zarel lirih.
            Ia merasa bersalah karena mengajak Indra menemaninya untuk mencari makanan yang sedang ia pegang sekarang. Mereka berpisah dari Leandra, Fiona dan Ardi yang masih duduk di dekat gerobak sate. Karena hanya Indra yang mau menemaninya pergi mencari, maka tidak ada pilihan lain.
            “Sakit banget ya?” Zarel kembali meletakkan gelas itu di sampingnya lagi dan segera memegangi pundak Indra.
            Pencahayaan di tempat itu tidak terlalu cukup, akibatnya Zarel tidak bisa melihat dengan jelas raut wajah Indra sekarang. Namun, ia yakin betapa sakitnya yang dirasakan Indra.
            Mereka kini duduk di atas tempat bertingkat yang di beri keramik warna cokelat susu. Tidak terlalu banyak orang yang duduk di situ. Namun dari tempat itu Zarel bisa melihat sekeliling, karena tempat itu terletak di tengah-tengah area BKB. Ia kembali teringat Indra yang mengeluh pusing setelah ia membeli Jasuke.
            “Semangat, Dra. Kamu pasti bisa ngelawan penyakit kamu,” ucap Zarel sambil menepuk-nepuk pundak Indra.
            Zarel menjadi terbiasa dengan kondisi Indra yang seperti ini. Ia bahkan akan merasa canggung bila tiba-tiba penyakit Indra kambuh sedangkan ia tidak sedang berada di sisinya. Meski ada Ardi yang siap membantu Indra kapanpun, tapi entah mengapa ia menjadi senang ikut terlibat dengan kehidupan pemuda itu.
            “Zarel.”
            “Iya, Dra. Kenapa?” Tanyanya cemas.
            “Maaf udah buat kamu repot.”
            Zarel memperhatikan wajah Indra yang sudah tidak tertunduk lagi. Namun rona mukanya masih terlihat lesu. Mungkin Indra butuh istirahat.
            “Aku nggak merasa direpotin kok. Santai aja,” sahut Zarel, tersenyum melihat Indra.
            “Sekarang kita dimana?” Indra bertanya.
            “Kita lagi ada di tengah-tengah.”
            “Terus di sekeliling kita siapa?”
            Zarel mencoba memperhatikan sekitarnya. “Di sebelah kiri kita ada penjual mainan yang lagi berdebat sama seorang ibu yang anaknya merengek minta dibeliin mainan itu,” tutur Zarel. “Terus di depan kita. Agak jauh sih, ada penjual bakso bakar sama gerobaknya. Dia punya banyak pembeli.” Zarel kemudian mencoba memperhatikan sisi lainnya. “Di sebelah kanan kita ada tempat tanding catur.” Zarel menatap Indra dengan cemas. “Kamu bisa lihat mereka kan. Di sini ramai banget, Dra.”
            “Aku cuma bisa denger suara mereka.”
            Zarel menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan. Ia merasa ketakutan melihat Indra seperti ini. Tubuhnya sedikit gemetaran dengan kedua bola mata yang mulai memerah. Perlahan ia menurunkan telapak tangannya. “Kamu bisa lihat aku?”
            “Semuanya terlihat kabur, Za. Termasuk kamu,” Indra berkata lirih.
            Zarel merasakan lututnya lemas. Jantungnya benar-benar berdetak cepat. Mengapa hatinya menjadi pedih saat Indra berkata demikian.
            “Za, bisa kita pulang sekarang?”
            Zarel tidak berkata apa-apa. Ia segera menaikkan lengan Indra ke atas pundaknya. Sepanjang jalan menemui ketiga temannya, Zarel tak henti-hentinya membagi tangannya untuk Indra dan untuk air matanya yang mengucur.
***