Bagian 4
Koridor
kelas jurusan Akuntansi masih ramai oleh mahasiswa yang sibuk dengan urusan
masing-masing. Ada yang duduk di bangku-bangku keramik di depan kelas, ada juga
yang duduk di atas lantai berkeramik putih.
“Ar, bentar lagi gue ada rapat BEM.
Lo mau pulang duluan atau bareng gue?” Tanya Indra kepada Ardi, mereka sedang
duduk di salah satu bangku keramik paling ujung.
“Lama nggak? Kalau lama, gue pulang duluan
aja,” Ardi balik bertanya.
“Kayaknya sih, soalnya mau ngomongin
masalah program kerja tahunan.”
“Bakalan lama tuh kayaknya. Yaudah
deh gue pulang duluan aja kalau gitu,” ucap Ardi. “Eh, Dra, gue laper nih,
makan dulu yok.” Ajak Ardi seraya turun dari tempatnya sekarang.
“Males ah. Lo aja yang makan
duluan,” ucapnya singkat. Indra terlihat sibuk dengan kertas-kertas tebal yang
ada di tangannya.
“Gue ke sana dulu ya,” Ardi berkata,
pergi meninggalkan Indra, menuju penjual bubur ayam yang mangkal di depan
fakultas. Indra hanya mengangguk tanpa menatap Ardi.
Indra melirik jam kecil warna cokelat
yang melingkar di pergelangan tangannya. Kemudian melempar pandangannya ke arah
Ardi yang terlihat masih sibuk dengan penjual bubur ayam di seberang sana.
Indra menatap langit siang yang kelam. Awan hitam mulai menampakkan diri mereka
satu persatu. Didampingi dengan angin yang mulai bertiup kencang, merontokkan
daun-daun kering dari dahannya. Dengan santai, Indra membereskan kertas-kertas
yang sempat ia letakkan di atas bangku keramik itu. Menggenggamnya erat dengan
kedua tangannya. Takut kertas itu akan terbang oleh hembusan angin. Ia pun
mulai beranjak dari tempat duduknya, mengambil tas dukung besar warna hitam,
dan segera melangkah meninggalkan tempatnya sekarang.
***
“Bang daging ayamnya banyakin ya.
Nggak usah pake daun bawang, sama bawang gorengnya banyakin juga ya,” ucap Ardi
kepada penjual bubur ayam. Abang penjual bubur ayam itu terlihat kewalahan
menghadapi pesanannya. “Jangan lupa pake kedelai juga ya bang, kuahnya nggak
usah terlalu banyak,” lanjutnya lagi.
“Kasihan abangnya, Ar,” Indra berkata,
tertawa melihat tingkah Ardi. “Ar, gue ke sekret sekarang ya,” ucapnya
kemudian, menepuk pundak sahabatnya itu.
Ardi menoleh menatap Indra. “Dra,
tunggu,” panggilnya, setengah berlari mengejar temannya itu. “Nih rekaman
pelajaran tadi. Siapa tahu lo mau denger-denger pas di sekret ntar.” Ardi
menyodorkan sebuah tape recorder kepada
Indra.
“Thanks
ya, Ar,” ucap Indra, melambai-lambaikan tape
recorder yang telah berpindah ke tangannya.
“Hati-hati sama mata lo, Dra. Kalau
terasa pusing, mending lo langsung pulang aja. Terus kita ke dokter,” kata
Ardi. Raut wajahnya terlihat khawatir.
Indra mengangkat kedua ujung
bibirnya. Sebuah senyuman manis bertengger di wajahnya. “Iya, Mama. Anakmu ini
baik-baik saja,” ucapnya kemudian.
“Ah, lo. Gue serius.” Ardi memukul
lengan Indra.
“Sakit, Ndut,” omelnya kepada Ardi
sambil memegangi lengannya yang sakit. “Udah sana, ntar bubur lo dingin.”
“Oke. Hati-hati ya.” Ardi memutar
badannya. Kembali mendekat ke arah penjual bubur ayam yang sempat ia
tinggalkan.
Indra berjalan dengan santai menuju
sekret─sebuah tempat untuk berkumpulnya para anggota BEM untuk berdikusi. Ia
memang seorang yang aktif di kampusnya. Penyakit yang dideritanya sekarang,
menjadi motivasi tersendiri baginya.
***
Indra membereskan kertas-kertas yang
ada di atas meja di hadapannya. Memasukkan mereka ke dalam map warna kuning
yang telah di bagikan di acara rapat tadi. Indra menatap ke sekeliling ruangan
yang cukup besar itu. Sudut-sudut ruangan itu kosong. Hanya ada bangku-bangku
plastik dan meja-meja kayu tersusun berantakan. Sebuah papan tulis putih yang
mulai kotor, tergantung di atas dinding bercat kuning gading itu. Lampu ruangan
sudah menyala. Sekret mulai sepi. Satu-persatu anggota telah meninggalkan
tempat itu. Pemuda itu kemudian melirik jam tangan miliknya. Jam itu tepat
menunjukkan pukul tiga.
“Dim, gue duluan ya,” ucapnya pada
seorang pemuda yang masih sibuk membaca makalah. Pemuda itu hanya melambaikan
tangan tanpa menjawab. Ia terlihat begitu asyik.
Indra berjalan santai menuju terminal
kampus. Jarak antara sekret dengan terminal tidak terlalu jauh. Hanya memakan
waktu sekitar tujuh menit. Terminal masih ramai meski hari sudah sore. Indra
duduk di bangku terminal paling ujung. Menunggu bis selanjutnya yang akan
berangkat ke Palembang.
“Hai.” Indra mendengar suara seorang
gadis menyapanya. Ia berusaha mencari asal suara itu.
“Indra, kan?” Gadis itu bersuara
lagi. Indra masih setia dengan wajah datarnya. Tidak ada senyum atau sapaan
balasan.
Indra dapat merasakan gadis itu
duduk di sampingnya. Ia menolehkan kepalanya, berusaha menatap gadis itu dari
kedua bola matanya. Samar-samar ia mulai bisa melihat wajah gadis dengan warna
bola mata hitam, hidung mancung, dan alis tebal. Gadis itu punya wajah oval dengan kulit wajah
kuning langsat. Yang menarik bagi Indra, gadis itu punya bulu mata yang lentik
dan rambut ikal warna hitam, sama sepertinya.
“Zarel,” ucap gadis itu, berusaha
mengingatkan Indra tentang namanya.
“Temannya Ardi?” Tanya Indra, masih
dengan mata menatap Zarel.
Zarel tersenyum. Senyuman yang manis
bagi Indra. “Iya. Sendirian aja?” Tanya Zarel.
“Iya. Ardi udah pulang duluan,”
jawab Indra, memutar kembali tatapannya dari wajah Zarel.
“Oh, ada yang beda mata kuliah ya?”
“Nggak. Aku tadi ada rapat BEM.”
Zarel manggut-manggut mendengar
jawaban Indra. Ia teringat Darka yang juga merupakan anggota BEM. Mungkinkah mereka saling kenal?
Bis
mahasiswa yang berdiri di depan mereka belum juga pergi. Sang kernet bis masih
siaga meneriakkan jumlah kursi kosong yang
tersedia. Riuh rendah suara mahasiswa yang sedang mengobrol terdengar
jelas di telinga mereka. Mengisi kekosongan di antara Indra dan Zarel. Indra
mendongak pelan, berusaha menatap langit, walau samar-samar. Cuaca masih sama
seperti dua jam lalu. Mendung. Sepertinya hujan akan turun. Ia dapat mencium
wangi air yang sebentar lagi akan turun ke bumi. Sepertinya akan membasahi
setiap sudut kota Indralaya, mungkin sampai Palembang.
“Nungguin hujan?” Tanya Zarel kepada
Indra.
“Iya,” sahutnya tanpa menoleh.
“Aku juga suka nungguin hujan.”
“Kenapa?” Tanya Indra.
“Mau lihat pelangi.”
“Pelangi memang cantik,” ucap Indra
singkat.
“Dan damai. Kalau liat pelangi, bisa
buat hati kita tenang.” Zarel perlahan memejamkan matanya. Merasakan
seolah-olah sedang menatap pelangi.
“Apa asiknya liat pelangi? Dia nggak
bergerak,” sahut Indra.
“Apa asiknya nunggu hujan?” Zarel
balas bertanya.
“Bisa ngitungin air yang jatuh ke
bumi,” jawab Indra asal.
“Aneh,” ucap Zarel pelan. Indra
ternyata mendengar ucapannya. Zarel melihat pemuda itu tersenyum simpul.
Atap terminal yang terbuat dari seng
aluminium mulai terdengar gaduh. Ternyata hujan mulai turun dengan gerimis
kecilnya. Perlahan membesar bak air yang ditumpahkan dari langit. Zarel
merapatkan kardigan warna biru pucat yang ia kenakan. Menyelipkan rambutnya
yang tertiup angin ke belakang telinga. Orang-orang yang berdiri di luar
jangkauan atap terminal, segera berlarian masuk, merapatkan diri di bawah atap
terminal yang cukup besar. Seorang laki-laki paruh baya tidak lagi berkeliling
meneriaki bis tujuannya. Kernet bis itu sekarang duduk diam di pinggir pintu
bis. Menghindari hujan lebat yang turun tiba-tiba.
Zarel menatap Indra yang masih setia
melihat ke atas langit.
“Mulai ngitungin air hujan?” Tanya
Zarel datar.
Indra tiba-tiba nyengir. Menatap
Zarel, lalu berkata, “Mau bantuin aku ngitung?”
“Boleh. Aku juga pengen tahu, pada
hitungan keberapa pelanginya akan muncul.”
“Aku suka hujan, tapi nggak suka
pelangi,” kata Indra dengan wajah datar.
“Aku suka hujan, tapi nggak suka geledek.”
“Kalau nggak ada geledek, hujan
nggak akan pernah berhenti.’
“Dan pelangi nggak akan pernah
muncul?” Tanya Zarel polos. Indra manggut-manggut sambil tersenyum.
“Kamu pernah denger mitos tentang
geledek?” Tanya Indra kepada Zarel. Zarel menggeleng pelan.
Indra memasang tampang wajah
seserius mungkin. “Aku juga nggak tahu,” jawabnya pelan. Zarel menarik napas
panjang dengan bibir dimonyongkan.
“Nggak lucu,” sahut gadis itu cuek.
Indra tersenyum bahagia atas kemenangannya.
Intensitas air yang turun ke bumi
sudah mulai berkurang. Sebagian mahasiswa yang berteduh di bawah atap, mulai
berpencar, mencari jarak satu sama lain. Ada pula yang memutuskan untuk
langsung masuk ke bis yang ada di hadapan mereka. Bis di hadapan Indra dan
Zarel─jurusan PS─sudah penuh, siap meninggalkan terminal. Tempat bis itu kini
digantikan oleh bis mahasiswa yang lain dengan nomor 86. Segerombolan mahasiswa
mulai berebut naik, sibuk memilih kursi yang hendak diduduki.
“Nggak naik?” Tanya Indra pada
Zarel.
Zarel menggeleng. “Nggak,” jawabnya
singkat.
“Kenapa?”
“Nungguin pelangi.”
Indra tidak berkomentar apa-apa
tentang jawaban Zarel. Ia ikutan tidak naik bis yang sudah hampir penuh itu.
Indra memperhatikan gadis yang duduk disampingnya itu, masih sibuk menatap ke
atas, menunggu pelangi.
“Nah, itu pelanginya muncul,” ucap
Zarel, menunjuk ke arah timur laut. Sederetan warna berjejer dengan indahnya di
atas langit biru yang masih lembap.
“Mana?” Indra menengadahkan
kepalanya, mencari-cari pelangi.
“Itu.” Zarel mengacungkan
telunjuknya ke arah pelangi. Perlahan ia menoleh ke arah Indra. Zarel bingung
melihat Indra yang menatap ke arah lain, bukan ke arah yang ia tunjuk.
“Dra,” panggil Zarel. “Pelanginya di
sebelah sini. Bukan di situ,” Zarel berucap pelan, jarinya masih menggantung di
awang-awang. Zarel menyadari perubahan ekspresi di wajah Indra.
“Pelanginya cantik loh, Dra,” Zarel
berkata. Matanya menatap lekat-lekat kedua bola mata pemuda itu.
“Apa sih keistimewaan pelangi,
sampai kamu tergila-gila?” Indra bertanya. Tanpa sengaja, sekarang mereka
saling menatap. Tatapan mereka bertemu di satu garis lurus.
Namun, Zarel segera memalingkan
pandangannya dari wajah Indra. “Ketujuh warna pelangi itu punya keistimewaan
masing-masing,” jawabnya, memandang kembali pelangi yang mulai terlihat jelas.
Indra tidak menjawab ataupun memberi
komentar. Ia membiarkan gadis itu melanjutkan kalimatnya.
“Pertama─” Zarel memulai
penjelasannya. “Warna merah, adalah warna dengan panjang gelombang terjauh, dan
paling mendekati sinar inframerah.” Zarel diam sebentar. “Warna merah itulah
yang akan memperbaiki kondisi fisik kita dan membawa energi, antusiasme,
ketertarikan, dan rasa aman. Intinya warna merah punya keistimewaan dalam
vitalitas,” jelasnya. Sesekali ia menoleh ke arah Indra. Ternyata pemuda itu
memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
“Warna kedua, itu jingga, gabungan
dari warna merah dan kuning.” Zarel tersenyum. “Jingga akan membawa
kreatifitas, keceriaan, kelepasan dari bosan, dan juga keseimbangan. Jingga
biasa disebut energi kreatif.” Zarel menarik napas panjang sebelum melanjutkan
penjelasannya. “Terus kuning. Kuning akan membawa kita kepada kejelasan
pikiran, keteraturan, perbaikan emosi, kemampuan dalam mengambil keputusan, dan
terakhir mengurangi kebingungan,” jelas Zarel. “Warna ini cocok buat orang yang
sering galau, karena dia merupakan warna yang melambangkan kebijaksanaan.” Ia
tertawa sambil menatap Indra.
“Kok ngeliatnya ke aku?” Tanya Indra
heran. Zarel menggeleng. “Lanjutin lagi,” perintah Indra.
“Kalau hijau, sesuai namanya. Dia
akan membawa harmoni, simpati, kesehatan, kekayaan, keseimbangan, dan
pertumbuhan. Singkatnya, warna hijau selalu berhubungan dengan
kehidupan,keseimbangan dan alam.”
“Pantes aja bumi kita di dominasi
sama warna hijau,” celetuk Indra tiba-tiba.
“Yap, bener banget,” sahut Zarel,
berlagak seperti seorang presenter kuis.
“Gimana dengan biru?”
Zarel kembali menatap pelangi yang
hampir memudar. “Biru itu katanya sih warna nasib. Dia akan membawa kita
kedalam kedamaian dan pengertian. Selain itu, biru juga dapat memperbaiki
komunikasi. Terakhir, biru itu menenagkan. Kesimpulannya, biru masuk dalam
kategori spiritualitas,” jelas Zarel. “Oh iya, biru juga warna kesukaan aku,”
lanjut gadis itu, menatap Indra sambil tersenyum jahil.
“Nggak penting,” jawab pemuda itu
datar.
“Kan cuma info doang,” keluh Zarel.
Ia kemudian diam. Tidak berbicara lagi.
Bis yang tadi berdiri di hadapan
mereka telah berganti dengan bis yang baru. Tanpa mereka sadari, waktu telah
merangkak ke pukul empat sore.
Indra melihat gadis di sampingnya itu menatap
ke sekeliling terminal. “Hey, lanjutin lagi,” pintanya tegas. Zarel menoleh ke arahnya.
“Iya,
iya.”
“Hmm.
Nila, warna keenam ini sering juga disebut indigo,” ucap Zarel.
“Berarti
punya sisi misterius dong,” celetuk Indra.
“Nggak
juga sih. Gini─” Zarel mulai menggerakkan kedua tangannya. “Pada level fisik,
biru akan menenangkan,” ucapnya sambil menggerakkan tangan kirinya. “Dan si
indigo ini, akan membuat kita tertidur,” lanjutnya, gantian menggerakkan tangan
kanannya. “Indigo akan membawa kita ke keterbukaan terhadap kesadaran, kemajuan
spiritual, pengendalian diri, kebijaksanaan, intuisi, dan─” Zarel diam sejenak.
Ini bagian terbaiknya. “Kemampuan supranatural.” Ia menatap Indra. “Kalau
menurut kamu, indigo itu seperti apa?”
Indra
mengerutkan dahinya. Kedua alisnya yang tipis saling tertaut. “Istimewa,”
jawabnya singkat.
“Kalau
menurut aku, indigo itu tanpa batas.”
Indra
benar-benar memperhatikan senyum Zarel. Entah mengapa, ia merasa seperti
tersihir dengan setiap lekukan indah senyum gadis itu. Sebelumnya, ia tidak
pernah seperti ini.
“Oh
iya, masih sisa satu.” Zarel tiba-tiba memalingkan wajahnya. Membuat Indra
menjadi salah tingkah.
“Aku
suka sama nama lainnya, Violet. Tapi warna ini punya karakter yang
berbeda-beda.” Zarel tampak berpikir. Mencoba mengingat-ingat perbedaanya.
“Sekarang kamu liat,” perintahnya pada Indra. “Violetnya warnanya pucat. Itu
berarti, violet akan membawa rasa cinta akan kemanusiaan.”
Indra
tidak mampu melihat warna violet yang dimaksud Zarel. Ia telah berusaha
menjangkau sejauh itu, namun itu hanya membuat kepalanya menjadi pusing.
“Kalau
violetnya gelap, itu berarti akan membawa kesengsaraan. Disertai pencapaian
spiritual yang tinggi.” Zarel menghentikan ucapannya. Telapak tangan kanannya
dengan cekatan menutup mulutya yang tiba-tiba menguap. “Tapi, kalau warna
violetnya mendekat ke warna biru, itu akan membawa imajinasi dan idealisme.”
“Sudah?”
Tanya Indra kepada Zarel. Gadis itu hanya manggut-manggut. Air wajahnya sudah
mulai berubah letih. Mungkin rasa kantuk mulai menjalari kedua matanya.
“Berapa
bulan kamu ngapalin penjelasan tadi?” Tanya Indra datar.
“Kamu
pikir aku guru yang bakal ngasih mata pelajaran tentang pembiasan cahaya,” omel
Zarel.
Indra
tertawa kecil melihat ekspresi Zarel. “Habisnya, kamu ngerti banget tentang
pelangi.”
“Itu
dedikasi aku terhadap apa yang aku suka,” ujar Zarel.
Hening
lagi. Tidak ada balasan dari Indra. Orang- orang di sekitar mereka juga mulai
sepi. Bis di hadapan mereka entah sudah berapa kali berganti. Para pedagang di
sekitar terminal ini juga sudah mulai mengemasi dagangannya. Indra juga
merasakan kepalanya mulai pusing.
“Bisnya
masih banyak?” Tanya Indra kepada Zarel.
“Tinggal
sedikit,” jawab gadis itu, memperhatikan bis-bis mahasiswa berwarna lapis,
putih hijau, yang terparkir luas di halaman terminal kampus. “Kita naik bis
yang sesudah ini aja ya,” ajaknya kepada Indra.
“Iya.”
Indra tidak ingin berkomentar panjang. Ia memilih untuk diam. Larut dalam kesakitan
yang mulai terasa menyentuh bagian matanya. Ia menggigit bibir bawahnya yang
mulai memucat demi menahan rasa nyeri di sekitar syaraf mata. Indra menutupi
wajahnya dengan sebelah tangan, berusaha menyembunyikan hal itu dari Zarel.
“Itu
bisnya, Dra,” kata Zarel.
Indra
bisa mendengar apa yang dikatakan gadis itu. Namun, kondisinya sekarang tidak
memberi ia izin untuk berdiri.
“Dra, kamu kenapa?”
“Sakit,
Za. Sakit banget.” Rasanya ia ingin meneriakkan kata-kata itu kepada gadis yang
terasa menyentuh pundaknya.
Melihat
kondisi Indra yang memucat dengan keringat dingin yang mulai membasahi
tubuhnya, membuat Zarel panik. Ia bingung harus melakukan apa. Ia ingin Indra
bicara apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Kamu
masih sanggup berdiri?” Tanya Zarel pelan. “Kita naik bis sekarang ya. Biar
bisa cepet sampai,” kata Zarel cemas.
Indra
mencoba menegakkan badannya. Tangannya menggenggam erat lengan kiri Zarel. Ia
terhuyung. Namun Zarel segera memapahnya. “Hati-hati,” bisik gadis itu lembut.
Mereka
menata jalan serapi mungkin untuk bisa sampai ke pintu bis. Indra merasakan
kakinya begitu berat saat mencoba naik ke dalam bis. Untungnya Zarel masih
punya tenaga ekstra untuk membantu mendorong naik badannya. Gadis itu
memilihkan tempat duduk untuk Indra di samping jendela, berharap angin bisa
memberi sedikit keringanan untuk rasa sakit yang dirasakan pemuda itu.
“Gimana,
udah mendingan?” Tanya Zarel hati-hati.
Bis
yang mereka tumpangi sudah melaju meninggalkan terminal. Meninggalkan tempat
yang berkesan bagi Zarel. Ia berharap hal yang sama untuk Indra.
Indra
mengangguk pelan. “Makasih, Za. Udah bantuin aku,” ucapnya kepada Zarel. “Dan
maaf udah buat repot kamu.” Indra mencoba menatap Zarel. Samar-samar ia dapat
melihat gadis itu tersenyum.
“Iya,
Dra. Sama-sama,” jawab Zarel. “Aku nggak ngerasa direpotin kok,” ucapnya
menyambung kata.
“Bagus
deh kalau gitu,” sahut Indra.
“Pasti
tadi sakit banget ya?” Tanya Zarel pelan. Ia mencoba mengingat kembali
peristiwa tadi.
“Udah
biasa kok,” Indra berkata, tidak melepaskan tatapannya dari jendela.
Memperhatikan setiap rimbunan pohon dan rawa-rawa yang tumbuh berjejer di sisi
kanan jalan.
Udah biasa? Zarel
menatap heran Indra. Pikirannya kini dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Ada
apa dengan pemuda ini, pikirnya. Di otaknya kini bertebaran opini yang
tidak-tidak mengenai kesehatan Indra. Jika
memang waktu mempertemukan kita dengan alasan agar aku membantumu, maka aku
akan melakukannya.
***
No comments:
Post a Comment