Labels

Friday, March 15, 2013

Between


Bagian 4

            Koridor kelas jurusan Akuntansi masih ramai oleh mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang duduk di bangku-bangku keramik di depan kelas, ada juga yang duduk di atas lantai berkeramik putih.
            “Ar, bentar lagi gue ada rapat BEM. Lo mau pulang duluan atau bareng gue?” Tanya Indra kepada Ardi, mereka sedang duduk di salah satu bangku keramik paling ujung.
            “Lama nggak? Kalau lama, gue pulang duluan aja,” Ardi balik bertanya.
            “Kayaknya sih, soalnya mau ngomongin masalah program kerja tahunan.”
            “Bakalan lama tuh kayaknya. Yaudah deh gue pulang duluan aja kalau gitu,” ucap Ardi. “Eh, Dra, gue laper nih, makan dulu yok.” Ajak Ardi seraya turun dari tempatnya sekarang.
            “Males ah. Lo aja yang makan duluan,” ucapnya singkat. Indra terlihat sibuk dengan kertas-kertas tebal yang ada di tangannya.
            “Gue ke sana dulu ya,” Ardi berkata, pergi meninggalkan Indra, menuju penjual bubur ayam yang mangkal di depan fakultas. Indra hanya mengangguk tanpa menatap Ardi.
            Indra melirik jam kecil warna cokelat yang melingkar di pergelangan tangannya. Kemudian melempar pandangannya ke arah Ardi yang terlihat masih sibuk dengan penjual bubur ayam di seberang sana. Indra menatap langit siang yang kelam. Awan hitam mulai menampakkan diri mereka satu persatu. Didampingi dengan angin yang mulai bertiup kencang, merontokkan daun-daun kering dari dahannya. Dengan santai, Indra membereskan kertas-kertas yang sempat ia letakkan di atas bangku keramik itu. Menggenggamnya erat dengan kedua tangannya. Takut kertas itu akan terbang oleh hembusan angin. Ia pun mulai beranjak dari tempat duduknya, mengambil tas dukung besar warna hitam, dan segera melangkah meninggalkan tempatnya sekarang.
***
            “Bang daging ayamnya banyakin ya. Nggak usah pake daun bawang, sama bawang gorengnya banyakin juga ya,” ucap Ardi kepada penjual bubur ayam. Abang penjual bubur ayam itu terlihat kewalahan menghadapi pesanannya. “Jangan lupa pake kedelai juga ya bang, kuahnya nggak usah terlalu banyak,” lanjutnya lagi.
            “Kasihan abangnya, Ar,” Indra berkata, tertawa melihat tingkah Ardi. “Ar, gue ke sekret sekarang ya,” ucapnya kemudian, menepuk pundak sahabatnya itu.
            Ardi menoleh menatap Indra. “Dra, tunggu,” panggilnya, setengah berlari mengejar temannya itu. “Nih rekaman pelajaran tadi. Siapa tahu lo mau denger-denger pas di sekret ntar.” Ardi menyodorkan sebuah tape recorder kepada Indra.
            Thanks ya, Ar,” ucap Indra, melambai-lambaikan tape recorder yang telah berpindah ke tangannya.
            “Hati-hati sama mata lo, Dra. Kalau terasa pusing, mending lo langsung pulang aja. Terus kita ke dokter,” kata Ardi. Raut wajahnya terlihat khawatir.
            Indra mengangkat kedua ujung bibirnya. Sebuah senyuman manis bertengger di wajahnya. “Iya, Mama. Anakmu ini baik-baik saja,” ucapnya kemudian.
            “Ah, lo. Gue serius.” Ardi memukul lengan Indra.
            “Sakit, Ndut,” omelnya kepada Ardi sambil memegangi lengannya yang sakit. “Udah sana, ntar bubur lo dingin.”
            “Oke. Hati-hati ya.” Ardi memutar badannya. Kembali mendekat ke arah penjual bubur ayam yang sempat ia tinggalkan.
            Indra berjalan dengan santai menuju sekret─sebuah tempat untuk berkumpulnya para anggota BEM untuk berdikusi. Ia memang seorang yang aktif di kampusnya. Penyakit yang dideritanya sekarang, menjadi motivasi tersendiri baginya.
***
            Indra membereskan kertas-kertas yang ada di atas meja di hadapannya. Memasukkan mereka ke dalam map warna kuning yang telah di bagikan di acara rapat tadi. Indra menatap ke sekeliling ruangan yang cukup besar itu. Sudut-sudut ruangan itu kosong. Hanya ada bangku-bangku plastik dan meja-meja kayu tersusun berantakan. Sebuah papan tulis putih yang mulai kotor, tergantung di atas dinding bercat kuning gading itu. Lampu ruangan sudah menyala. Sekret mulai sepi. Satu-persatu anggota telah meninggalkan tempat itu. Pemuda itu kemudian melirik jam tangan miliknya. Jam itu tepat menunjukkan pukul tiga.
            “Dim, gue duluan ya,” ucapnya pada seorang pemuda yang masih sibuk membaca makalah. Pemuda itu hanya melambaikan tangan tanpa menjawab. Ia terlihat begitu asyik.
            Indra berjalan santai menuju terminal kampus. Jarak antara sekret dengan terminal tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu sekitar tujuh menit. Terminal masih ramai meski hari sudah sore. Indra duduk di bangku terminal paling ujung. Menunggu bis selanjutnya yang akan berangkat ke Palembang.
            “Hai.” Indra mendengar suara seorang gadis menyapanya. Ia berusaha mencari asal suara itu.
            “Indra, kan?” Gadis itu bersuara lagi. Indra masih setia dengan wajah datarnya. Tidak ada senyum atau sapaan balasan.
            Indra dapat merasakan gadis itu duduk di sampingnya. Ia menolehkan kepalanya, berusaha menatap gadis itu dari kedua bola matanya. Samar-samar ia mulai bisa melihat wajah gadis dengan warna bola mata hitam, hidung mancung, dan alis tebal.  Gadis itu punya wajah oval dengan kulit wajah kuning langsat. Yang menarik bagi Indra, gadis itu punya bulu mata yang lentik dan rambut ikal warna hitam, sama sepertinya.
            “Zarel,” ucap gadis itu, berusaha mengingatkan Indra tentang namanya.
            “Temannya Ardi?” Tanya Indra, masih dengan mata menatap Zarel.
            Zarel tersenyum. Senyuman yang manis bagi Indra. “Iya. Sendirian aja?” Tanya Zarel.
            “Iya. Ardi udah pulang duluan,” jawab Indra, memutar kembali tatapannya dari wajah Zarel.
            “Oh, ada yang beda mata kuliah ya?”
            “Nggak. Aku tadi ada rapat BEM.”
            Zarel manggut-manggut mendengar jawaban Indra. Ia teringat Darka yang juga merupakan anggota BEM. Mungkinkah mereka saling kenal?
            Bis mahasiswa yang berdiri di depan mereka belum juga pergi. Sang kernet bis masih siaga meneriakkan jumlah kursi kosong yang  tersedia. Riuh rendah suara mahasiswa yang sedang mengobrol terdengar jelas di telinga mereka. Mengisi kekosongan di antara Indra dan Zarel. Indra mendongak pelan, berusaha menatap langit, walau samar-samar. Cuaca masih sama seperti dua jam lalu. Mendung. Sepertinya hujan akan turun. Ia dapat mencium wangi air yang sebentar lagi akan turun ke bumi. Sepertinya akan membasahi setiap sudut kota Indralaya, mungkin sampai Palembang.
            “Nungguin hujan?” Tanya Zarel kepada Indra.
            “Iya,” sahutnya tanpa menoleh.
            “Aku juga suka nungguin hujan.”
            “Kenapa?” Tanya Indra.
            “Mau lihat pelangi.”
            “Pelangi memang cantik,” ucap Indra singkat.
            “Dan damai. Kalau liat pelangi, bisa buat hati kita tenang.” Zarel perlahan memejamkan matanya. Merasakan seolah-olah sedang menatap pelangi.
            “Apa asiknya liat pelangi? Dia nggak bergerak,” sahut Indra.
            “Apa asiknya nunggu hujan?” Zarel balas bertanya.
            “Bisa ngitungin air yang jatuh ke bumi,” jawab Indra asal.
            “Aneh,” ucap Zarel pelan. Indra ternyata mendengar ucapannya. Zarel melihat pemuda itu tersenyum simpul.
            Atap terminal yang terbuat dari seng aluminium mulai terdengar gaduh. Ternyata hujan mulai turun dengan gerimis kecilnya. Perlahan membesar bak air yang ditumpahkan dari langit. Zarel merapatkan kardigan warna biru pucat yang ia kenakan. Menyelipkan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga. Orang-orang yang berdiri di luar jangkauan atap terminal, segera berlarian masuk, merapatkan diri di bawah atap terminal yang cukup besar. Seorang laki-laki paruh baya tidak lagi berkeliling meneriaki bis tujuannya. Kernet bis itu sekarang duduk diam di pinggir pintu bis. Menghindari hujan lebat yang turun tiba-tiba.
            Zarel menatap Indra yang masih setia melihat ke atas langit.
            “Mulai ngitungin air hujan?” Tanya Zarel datar.
            Indra tiba-tiba nyengir. Menatap Zarel, lalu berkata, “Mau bantuin aku ngitung?”
            “Boleh. Aku juga pengen tahu, pada hitungan keberapa pelanginya akan muncul.”
            “Aku suka hujan, tapi nggak suka pelangi,” kata Indra dengan wajah datar.
            “Aku suka hujan, tapi nggak suka geledek.”
            “Kalau nggak ada geledek, hujan nggak akan pernah berhenti.’
            “Dan pelangi nggak akan pernah muncul?” Tanya Zarel polos. Indra manggut-manggut sambil tersenyum.
            “Kamu pernah denger mitos tentang geledek?” Tanya Indra kepada Zarel. Zarel menggeleng pelan.
            Indra memasang tampang wajah seserius mungkin. “Aku juga nggak tahu,” jawabnya pelan. Zarel menarik napas panjang dengan bibir dimonyongkan.
            “Nggak lucu,” sahut gadis itu cuek. Indra tersenyum bahagia atas kemenangannya.
            Intensitas air yang turun ke bumi sudah mulai berkurang. Sebagian mahasiswa yang berteduh di bawah atap, mulai berpencar, mencari jarak satu sama lain. Ada pula yang memutuskan untuk langsung masuk ke bis yang ada di hadapan mereka. Bis di hadapan Indra dan Zarel─jurusan PS─sudah penuh, siap meninggalkan terminal. Tempat bis itu kini digantikan oleh bis mahasiswa yang lain dengan nomor 86. Segerombolan mahasiswa mulai berebut naik, sibuk memilih kursi yang hendak diduduki.
            “Nggak naik?” Tanya Indra pada Zarel.
            Zarel menggeleng. “Nggak,” jawabnya singkat.
            “Kenapa?”
            “Nungguin pelangi.”
            Indra tidak berkomentar apa-apa tentang jawaban Zarel. Ia ikutan tidak naik bis yang sudah hampir penuh itu. Indra memperhatikan gadis yang duduk disampingnya itu, masih sibuk menatap ke atas, menunggu pelangi.
            “Nah, itu pelanginya muncul,” ucap Zarel, menunjuk ke arah timur laut. Sederetan warna berjejer dengan indahnya di atas langit biru yang masih lembap.
            “Mana?” Indra menengadahkan kepalanya, mencari-cari pelangi.
            “Itu.” Zarel mengacungkan telunjuknya ke arah pelangi. Perlahan ia menoleh ke arah Indra. Zarel bingung melihat Indra yang menatap ke arah lain, bukan ke arah yang ia tunjuk.
            “Dra,” panggil Zarel. “Pelanginya di sebelah sini. Bukan di situ,” Zarel berucap pelan, jarinya masih menggantung di awang-awang. Zarel menyadari perubahan ekspresi di wajah Indra.
            “Pelanginya cantik loh, Dra,” Zarel berkata. Matanya menatap lekat-lekat kedua bola mata pemuda itu.
            “Apa sih keistimewaan pelangi, sampai kamu tergila-gila?” Indra bertanya. Tanpa sengaja, sekarang mereka saling menatap. Tatapan mereka bertemu di satu garis lurus.
            Namun, Zarel segera memalingkan pandangannya dari wajah Indra. “Ketujuh warna pelangi itu punya keistimewaan masing-masing,” jawabnya, memandang kembali pelangi yang mulai terlihat jelas.
            Indra tidak menjawab ataupun memberi komentar. Ia membiarkan gadis itu melanjutkan kalimatnya.
            “Pertama─” Zarel memulai penjelasannya. “Warna merah, adalah warna dengan panjang gelombang terjauh, dan paling mendekati sinar inframerah.” Zarel diam sebentar. “Warna merah itulah yang akan memperbaiki kondisi fisik kita dan membawa energi, antusiasme, ketertarikan, dan rasa aman. Intinya warna merah punya keistimewaan dalam vitalitas,” jelasnya. Sesekali ia menoleh ke arah Indra. Ternyata pemuda itu memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
            “Warna kedua, itu jingga, gabungan dari warna merah dan kuning.” Zarel tersenyum. “Jingga akan membawa kreatifitas, keceriaan, kelepasan dari bosan, dan juga keseimbangan. Jingga biasa disebut energi kreatif.” Zarel menarik napas panjang sebelum melanjutkan penjelasannya. “Terus kuning. Kuning akan membawa kita kepada kejelasan pikiran, keteraturan, perbaikan emosi, kemampuan dalam mengambil keputusan, dan terakhir mengurangi kebingungan,” jelas Zarel. “Warna ini cocok buat orang yang sering galau, karena dia merupakan warna yang melambangkan kebijaksanaan.” Ia tertawa sambil menatap Indra.
            “Kok ngeliatnya ke aku?” Tanya Indra heran. Zarel menggeleng. “Lanjutin lagi,” perintah Indra.
            “Kalau hijau, sesuai namanya. Dia akan membawa harmoni, simpati, kesehatan, kekayaan, keseimbangan, dan pertumbuhan. Singkatnya, warna hijau selalu berhubungan dengan kehidupan,keseimbangan dan alam.”
            “Pantes aja bumi kita di dominasi sama warna hijau,” celetuk Indra tiba-tiba.
            “Yap, bener banget,” sahut Zarel, berlagak seperti seorang presenter kuis.
            “Gimana dengan biru?”
            Zarel kembali menatap pelangi yang hampir memudar. “Biru itu katanya sih warna nasib. Dia akan membawa kita kedalam kedamaian dan pengertian. Selain itu, biru juga dapat memperbaiki komunikasi. Terakhir, biru itu menenagkan. Kesimpulannya, biru masuk dalam kategori spiritualitas,” jelas Zarel. “Oh iya, biru juga warna kesukaan aku,” lanjut gadis itu, menatap Indra sambil tersenyum jahil.
            “Nggak penting,” jawab pemuda itu datar.
            “Kan cuma info doang,” keluh Zarel. Ia kemudian diam. Tidak berbicara lagi.
            Bis yang tadi berdiri di hadapan mereka telah berganti dengan bis yang baru. Tanpa mereka sadari, waktu telah merangkak ke pukul empat sore.
 Indra melihat gadis di sampingnya itu menatap ke sekeliling terminal. “Hey, lanjutin lagi,” pintanya tegas.  Zarel menoleh ke arahnya.
“Iya, iya.”
“Hmm. Nila, warna keenam ini sering juga disebut indigo,” ucap Zarel.
“Berarti punya sisi misterius dong,” celetuk Indra.
“Nggak juga sih. Gini─” Zarel mulai menggerakkan kedua tangannya. “Pada level fisik, biru akan menenangkan,” ucapnya sambil menggerakkan tangan kirinya. “Dan si indigo ini, akan membuat kita tertidur,” lanjutnya, gantian menggerakkan tangan kanannya. “Indigo akan membawa kita ke keterbukaan terhadap kesadaran, kemajuan spiritual, pengendalian diri, kebijaksanaan, intuisi, dan─” Zarel diam sejenak. Ini bagian terbaiknya. “Kemampuan supranatural.” Ia menatap Indra. “Kalau menurut kamu, indigo itu seperti apa?”
Indra mengerutkan dahinya. Kedua alisnya yang tipis saling tertaut. “Istimewa,” jawabnya singkat.
“Kalau menurut aku, indigo itu tanpa batas.”
Indra benar-benar memperhatikan senyum Zarel. Entah mengapa, ia merasa seperti tersihir dengan setiap lekukan indah senyum gadis itu. Sebelumnya, ia tidak pernah seperti ini.
“Oh iya, masih sisa satu.” Zarel tiba-tiba memalingkan wajahnya. Membuat Indra menjadi salah tingkah.
“Aku suka sama nama lainnya, Violet. Tapi warna ini punya karakter yang berbeda-beda.” Zarel tampak berpikir. Mencoba mengingat-ingat perbedaanya. “Sekarang kamu liat,” perintahnya pada Indra. “Violetnya warnanya pucat. Itu berarti, violet akan membawa rasa cinta akan kemanusiaan.”
Indra tidak mampu melihat warna violet yang dimaksud Zarel. Ia telah berusaha menjangkau sejauh itu, namun itu hanya membuat kepalanya menjadi pusing.
“Kalau violetnya gelap, itu berarti akan membawa kesengsaraan. Disertai pencapaian spiritual yang tinggi.” Zarel menghentikan ucapannya. Telapak tangan kanannya dengan cekatan menutup mulutya yang tiba-tiba menguap. “Tapi, kalau warna violetnya mendekat ke warna biru, itu akan membawa imajinasi dan idealisme.”
“Sudah?” Tanya Indra kepada Zarel. Gadis itu hanya manggut-manggut. Air wajahnya sudah mulai berubah letih. Mungkin rasa kantuk mulai menjalari kedua matanya.
“Berapa bulan kamu ngapalin penjelasan tadi?” Tanya Indra datar.
“Kamu pikir aku guru yang bakal ngasih mata pelajaran tentang pembiasan cahaya,” omel Zarel.
Indra tertawa kecil melihat ekspresi Zarel. “Habisnya, kamu ngerti banget tentang pelangi.”
“Itu dedikasi aku terhadap apa yang aku suka,” ujar Zarel.
Hening lagi. Tidak ada balasan dari Indra. Orang- orang di sekitar mereka juga mulai sepi. Bis di hadapan mereka entah sudah berapa kali berganti. Para pedagang di sekitar terminal ini juga sudah mulai mengemasi dagangannya. Indra juga merasakan kepalanya mulai pusing.
“Bisnya masih banyak?” Tanya Indra kepada Zarel.
“Tinggal sedikit,” jawab gadis itu, memperhatikan bis-bis mahasiswa berwarna lapis, putih hijau, yang terparkir luas di halaman terminal kampus. “Kita naik bis yang sesudah ini aja ya,” ajaknya kepada Indra.
“Iya.” Indra tidak ingin berkomentar panjang. Ia memilih untuk diam. Larut dalam kesakitan yang mulai terasa menyentuh bagian matanya. Ia menggigit bibir bawahnya yang mulai memucat demi menahan rasa nyeri di sekitar syaraf mata. Indra menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, berusaha menyembunyikan hal itu dari Zarel.
“Itu bisnya, Dra,” kata Zarel.
Indra bisa mendengar apa yang dikatakan gadis itu. Namun, kondisinya sekarang tidak memberi ia izin untuk berdiri.
 “Dra, kamu kenapa?”
“Sakit, Za. Sakit banget.” Rasanya ia ingin meneriakkan kata-kata itu kepada gadis yang terasa menyentuh pundaknya.
Melihat kondisi Indra yang memucat dengan keringat dingin yang mulai membasahi tubuhnya, membuat Zarel panik. Ia bingung harus melakukan apa. Ia ingin Indra bicara apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Kamu masih sanggup berdiri?” Tanya Zarel pelan. “Kita naik bis sekarang ya. Biar bisa cepet sampai,” kata Zarel cemas.
Indra mencoba menegakkan badannya. Tangannya menggenggam erat lengan kiri Zarel. Ia terhuyung. Namun Zarel segera memapahnya. “Hati-hati,” bisik gadis itu lembut.
Mereka menata jalan serapi mungkin untuk bisa sampai ke pintu bis. Indra merasakan kakinya begitu berat saat mencoba naik ke dalam bis. Untungnya Zarel masih punya tenaga ekstra untuk membantu mendorong naik badannya. Gadis itu memilihkan tempat duduk untuk Indra di samping jendela, berharap angin bisa memberi sedikit keringanan untuk rasa sakit yang dirasakan pemuda itu.
“Gimana, udah mendingan?” Tanya Zarel hati-hati.
Bis yang mereka tumpangi sudah melaju meninggalkan terminal. Meninggalkan tempat yang berkesan bagi Zarel. Ia berharap hal yang sama untuk Indra.
Indra mengangguk pelan. “Makasih, Za. Udah bantuin aku,” ucapnya kepada Zarel. “Dan maaf udah buat repot kamu.” Indra mencoba menatap Zarel. Samar-samar ia dapat melihat gadis itu tersenyum.
“Iya, Dra. Sama-sama,” jawab Zarel. “Aku nggak ngerasa direpotin kok,” ucapnya menyambung kata.
“Bagus deh kalau gitu,” sahut Indra.
“Pasti tadi sakit banget ya?” Tanya Zarel pelan. Ia mencoba mengingat kembali peristiwa tadi.
“Udah biasa kok,” Indra berkata, tidak melepaskan tatapannya dari jendela. Memperhatikan setiap rimbunan pohon dan rawa-rawa yang tumbuh berjejer di sisi kanan jalan.
Udah biasa? Zarel menatap heran Indra. Pikirannya kini dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Ada apa dengan pemuda ini, pikirnya. Di otaknya kini bertebaran opini yang tidak-tidak mengenai kesehatan Indra. Jika memang waktu mempertemukan kita dengan alasan agar aku membantumu, maka aku akan melakukannya.
***
           
            

No comments:

Post a Comment