Bagian 9
Keegoisan
hanya akan membuat suatu hubungan tidak berlangsung lama. Keserakahan akan
keinginan memiliki hanya membuat cinta kandas ditengah jalan. Saling percaya
dan saling memahamilah yang semestinya ditumbuhkan di dalam hati jika saling
mencintai. Tidak ada gunanya jika hanya sebelah pihak yang berbuat demikian.
Berulang kali Zarel memikirkan
kalimat itu, yang pernah ia baca di suatu media. Ia lupa jenis medianya.
“Permisi,
Mbak,” sapa seseorang, mengagetkan Zarel yang sedang duduk termenung bersandar
di atas bangku bis mahasiswa.
“Indra,” sahut Zarel setelah
meyakinkan bahwa itu benar-benar Indra yang ia kenal.
“Ketemu lagi,” ucap Indra tanpa
ekspresi. “Ada orang?” Tanyanya sambil menunjuk bangku kosong di sebelah Zarel.
Gadis itu menggeleng cepat.
“Sendirian?” Zarel bertanya setelah
Indra duduk tenang di sebelahnya.
“Iya. Ardi telat bangun. Jadi gue
duluan.”
“Oh,” ucap Zarel sambil
manggut-manggut.
“Lo sendiri, nggak bareng dua
sahabat lo itu?” Tanya Indra.
“Nggak. Mereka udah pergi duluan,”
jawab Zarel dengan nada kecewa.
“Kenapa?”
Zarel tertawa pelan. “Gue telat
bangun,” ungkapnya.
Perlahan terdengar bunyi mesin
dinyalakan. Bis mahasisiwa itu perlahan bergerak sebelum akhirnya melaju
kencang mendahului kendaraan lain yang berada di sampingnya. Zarel dan Indra
saling diam untuk beberapa menit. Zarel sudah hanyut dengan earphone besar warna biru yang menempel
di telinganya. Pandangannya tertuju ke luar jendela. Memperhatikan hamparan
ilalang yang menguning di bawah awan pagi yang mendung. Tiba-tiba ia teringat
Indra─pemuda yang ia lupakan karena terlalu asyik dengan dunianya sendiri.
“Dra,” panggil Zarel.
Zarel menangkap basah Indra sedang
menatapnya. Membuat tatapan mereka saling bertemu. Tapi dengan cepat Indra
memalingkan wajahnya dari gadis itu dan berdeham setelahnya. Zarel pun
tersenyum kecil melihat tingkah Indra. Zarel kemudian melorotkan earphone miliknya sampai ke leher.
“Kamu suka musik?” Tanyanya kepada Indra.
“Suka.”
“Musik jenis apa yang kamu suka?”
“Yang penting enak didengar,” jawab
Indra datar.
“Kamu juga bisa main alat musik?”
“Bisa,” kata Indra sambil mengangguk
mantap.
“Apa itu?” Zarel bertanya dengan
antusias.
“Gitar.”
Senyum Zarel mengembang saat
mendengar jawaban dari pemuda itu.
“Kenapa?” Indra bertanya, heran
melihat Zarel yang sepertinya bahagia atas jawabannya barusan.
“Ah, bukan apa-apa.”
“Dulu, waktu SMP. aku pernah berpikir
untuk menjadi seorang pemusik. Dan semenjak itu aku selalu berlatih dengan giat
agar bisa memainkan alat musik terutama gitar,” tutur Indra. Sepertinya ia
teringat kisah beberapa tahun silam.
Suara berisik dari mesin bis itu
tidak menghalangi para mahasiswa yang ada di dalamnya untuk tidur dengan
nyenyak. Perjalanan panjang yang ditempuh selama satu setengah jam, membuat
mereka bisa tidur dengan lelap. Namun tidak sedikitpun rasa kantuk menyerang
mereka berdua. Zarel dan Indra yang duduk di bangku paling depan, tepat di
depan pintu masuk bagian depan. Zarel begitu setia mendengar cerita Indra. Ia
memang menyukai orang lain yang mau bercerita kepadanya.
“Menurutku gitar adalah sebuah alat
musik yang menghasilkan bunyi yang indah. Nada-nada klasik yang keluar darinya
sangatlah tenang. Bermain gitar bukan hanya mengapresiasikan setiap rasa yang
ada, namun juga melatih kesabaran,” jelas Indra kepada Zarel.
“Setiap orang bisa bermain gitar.
Tapi tidak semua orang bisa bermain dengan baik.” Zarel menyuarakan pikirannya.
“Aku nggak tahu aku ada di posisi
yang mana,” ucap Darka.
“Aku yakin, kamu ada di posisi
dimana kau bisa bermain dengan baik.” Zarel tersenyum. Senyumnya begitu tenang
bagi Indra.
Indra menatap keluar pintu bis.
Menyaksikan ilalang dan pepohonan liar di luar sana.
“Mungkin itu dulu, tapi sekarang tidak lagi,”
tuturnya pelan.
“Jadi sekarang kamu udah ngelupain
impian kamu?”
“Nggak ada gunanya mempertahankan
sesuatu yang jelas-jelas nggak bisa kita raih.”
“Pasti kamu sangat kecewa,” ucap
Zarel, seperti merasakan apa yang dirasakan Indra.
“Menguburnya dalam-dalam, itu akan
lebih baik.”
“Dan meninggalkannya sebagai kenangan.
Karena kelak, ada saatnya kita membutuhkan kenangan itu,” sambung Zarel.
Indra memandang Zarel yang masih
tersenyum. “Pasti banyak banget ya kenangan kamu,” tebak Indra, tersenyum
menatap Zarel.
“Kamu pikir aku kolektor kenangan?”
Tanya Zarel meledek. “Banyak kenangan menyedihkan tersimpan di sini.” Zarel
menunjuk kepalanya. “Udahlah. Nggak usah dibahas.” Zarel mengelak.
“Kamu ngerasa terbebani?” Indra
bertanya.
Zarel menarik napas dalam-dalam.
Kemudian berkata, “Kamu tahu, kenangan itu punya dua fungsi. Pertama, kenangan
bisa membuat kita menjadi bangkit. Dan kenangan jugalah yang membuat kita
menjadi terpuruk.” Zarel tersenyum mengakhiri ucapannya. “Kamu sendiri ada di
bagian mana?” Tanyanya lanjut kepada Indra.
Indra mengangkat kedua bahunya tanda
tidak tahu.
“Ah. Apa kamu tidak punya kenangan?”
Zarel menatap heran ke arah Indra.
“Apa gunanya hidup dalam kenangan,”
komentar Indra, lebih kepada dirinya sendiri.
“Bukan hidup dalam kenangan. Tapi menyimpan
kenangan di dalam hidup,” kata Zarel, tersenyum bangga kepada Indra.
“Kenangan yang kamu punya pasti
hanya sebatas kenangan pahit selama menjalin cinta, iya kan?” Tanya Darka,
mencoba mengusili Zarel.
Zarel segera menolehkan kepalanya
menatap Indra. Tidak terima dengan tuduhan yang diberikan pemuda itu kepadanya.
“Apa kamu bilang? Kenangan pahit
soal cinta?” Zarel diam sesaat. “Ya, kamu benar,” ucapnya jujur.
Indra tertawa meledek jawaban Zarel.
“Aku benar kan,” ucapnya kemudian.
“Iya, kamu benar. Punya kenangan
pahit soal cinta. Cuma itu yang aku punya.”
Zarel tidak memungkiri bahwa
hidupnya penuh akan kenangan pahit. Apalagi kenangan itu menyangkut masalah
hati.
“Patah hati, dihianati, diduakan,
lalu apalagi? Apa lagi yang pernah kamu alami?” Tanya Indra melirik gadis di
sebelahnya.
Zarel menatap tajam ke arah Indra.
Tatapannya seperti menghakimi pemuda itu. Ia tidak habis pikir darimana Indra
bisa mendapat pemikiran seperti itu.
“Apa aku terlihat seperti itu? Apa
aku terlihat seperti seorang yang menyedihkan?” Zarel bertanya pelan. Ia tidak
memperdulikan Indra yang menatapnya.
“Kisah cintaku memang tidak pernah
berjalan mulus. Selalu saja ada yang salah.” Zarel tidak menatap Indra saat
menceritakan kisahnya. Ia memilih menundukkan kepalanya, menatap dalam-dalam ke
arah tas hitam yang dipangkunya. Merenungi setiap kenangan masa lalunya. Tidak
ingin pemuda itu menjadi iba melihatnya.
Indra tidak mengomentari ucapan
Zarel. Ia yakin gadis itu belum menyelesaikan kalimatnya.
“Entah itu karena orang ketiga, atau
karena memang tidak berjodoh, atau mungkin karena aku yang terlalu lemah.
Entahlah, sampai sekarang aku belum percaya dengan namanya cinta sejati,” tutur
Zarel pelan, hampir tidak bisa didengar oleh Indra.
“Eh, Za. Kamu anak MIPA kan?” Tanya
Indra tiba-tiba.
“Iya.” Zarel masih memikirkan
ucapannya yang tadi. Membuatnya tidak terlalu menanggapi pertanyaan Indra.
“Fakultas kamu udah lewat,” celetuk
Indra cepat.
“Apa? Kita udah sampai?” Tanya Zarel
kaget, sambil melirik ke luar pintu.
“Kamu
yang udah sampai. Aku belum,” sahut Indra tenang.
“Ah,
gimana nih?” Ia kebingungan, tidak memperdulikan ucapan Indra barusan. “Pak
stop!” Teriaknya panik. “Minggir,” perintahnya kepada Indra. Ia pun buru-buru
keluar dari bangku bagian dalam, menuruni bis yang telah menepi dengan
tergesa-gesa.
***
“Hei, Ka,” panggil seseorang dari
arah belakang sambil menepuk punggungnya. “Kenapa muka lo ditekuk gitu?” Tanya
pemuda rambut pirang itu setelah mensejajarkan duduknya dengan Darka.
“Menurut lo?” Darka balik bertanya
kepada temannya itu.
“Palingan abis berantem sama Zarel.
Gue bener kan?”
Darka tidak menjawab pertanyaan yang
menurutnya sudah bisa di jawab sendiri oleh Dino─teman Darka.
“Nggak ada capek-capeknya ya, lo
sama Zarel berantem muluk. Ada aja topiknya,” ledek Dino.
Darka hanya mengetuk-ngetukkan
tangannya ke atas meja kantin jurusan. Tidak ingin membahas masalah ini dengan
Dino. Tidak ada satupun piring atau gelas yang tersisa di atas meja itu.
Tampaknya Darka hanya ingin duduk berdiam diri di tempat itu.
“Ngomong-ngomong, si Zarel punya
temen cowok baru ya?” Dino bertanya kepada Darka.
“Temen cowok?” Darka langsung
merespon pertanyaan itu dengan cepat.
Dino mengangguk. “Iya. Gue pikir lo
tahu. Gue lihat Zarel sama cowok itu pulang bareng. Kalau nggak salah sih
beberapa hari yang lalu. Tapi Zarel nggak lihat gue,” jelasnya kemudian. Ia
mencoba mengingat-ingat kejadian itu.
“Lo kenal orangnya?”
“Gue nggak kenal sama dia. Tapi gue
tahu namanya.”
“Siapa namanya?”
“Indra.”
Darka berusaha mencerna nama itu.
Sepertinya ia sudah tidak asing lagi mendengar nama itu.
“Katanya tuh anak aktif di
organisasi. Dia juga ikut BEM, sama kayak lo,” tutur Dino, membeberkan semua
yang ia tahu tentang Indra.
Darka tampak berpikir. Mencoba
mencari-cari nama itu. Indra. Pernahkah
mereka bertemu?
“Kalau lo ketemu, pasti lo langsung
tahu orangnya.” Dino meyakinkan Darka.
“Gue rasa gue pernah denger namanya.
Mungkin bener kata lo, bisa jadi itu orang yang gue kenal.”
“Lo nggak usah langsung panas gitu,
Bro,” cegah Dino. “Jangan langsung curiga sama Zarel.”
“Waktu itu, lo satu bis sama
mereka?” Tanya Darka menyelidik.
“Nggak. Gue udah naik duluan.”
“Terus mereka berdua lo biari aja?”
“Ya iyalah. Masak mau gue larang.
Gue juga nggak tahu apa-apa.”
“Tuh anak udah gue bilangin kalau
punya temen baru kasih nomornya ke gue. Jangan malah diem-diem aja,” ucap Darka
pelan. Namun Dino tetap bisa mendengarnya.
“Ka, cewek itu ada kalanya ngerasa
risih saat diperhatiin. Nggak selamanya mereka betah digituin. Jangan sampai lo
buat Zarel merasa tertekan dengan sikap lo yang kayak gini. Orang kalau udah
ngerasa tertekan, dia bisa lari. Nyari kebebasan.” Dino menasihati Darka.
“Bawel lo, Din.”
“Yah, gue dibilang bawel.”
“Kalau sikap lo nggak berubah, kayak
gini terus, gue jamin kisah cinta lo juga nggak akan berubah,” omel Dino.
“Nggak semudah itu buat gue percaya
sama orang lain.”
“Iya, Ka. Gue tahu itu. Tapi lo
harus bisa lihat kondisinya dan lihat juga orang-orang yang udah tulus sama
lo.”
Dino dan Darka memang sudah
bersahabat lama sejak SMP. Mereka saling berbagi satu sama lain. Entah itu
makanan, mainan, kisah asmara masing-masing, bahkan cerita keluarga. Dino jelas
tahu dengan jelas bagaimana perjalanan hidup sahabatnya itu. Ia benar-benar
menjadi saksi pahit manisnya perjalanan hidup Darka.
“Gue harap lo bisa ngebuang
jauh-jauh sifat possesive lo itu, Ka,
juga keegoisan lo sama Zarel.” Dino berusaha menasihatinya.
“Ah, udahlah, Din. Mending lo urus
aja urusan lo sendiri. Gue bisa urus urusan gue sendiri,” sahut Darka cuek.
“Makan dulu yok,” ajak Dino,
berusaha mencairkan suasana.
“Gue nggak laper.’
“Lo masih aja males makan. Udahlah,
makan aja dulu. Ntar baru lanjut lagi galaunya,” ledek Dino, tersenyum jahil
kepada Darka.
“Gue bukan anggota perkumpulan lo,
Din,” sahut Darka tegas.
Dino berpikir sesaat. “Perkumpulan
apaan?”
“Perkumpulan Galau Badai.”
“Sialan lo.”
Darka tertawa melihat Dino kesal.
Perasaannya sedikit santai setelah mengobrol dengan Dino.
“Jadi, beneran nih lo nggak mau
makan?” Tanya Dino sekali lagi.
“Nggak, Sayang,” jawab Darka dengan
gaya yang dibuat-buat.
“Najis!”
“Hahaha..” Darka tertawa lagi.
“Pasti lo udah kenyang ya makan
berantem terus.” Lagi-lagi Dino meledek Darka. “Ahh, kapan gue bisa secepetnya
ngelepas masa jomblo gue,” keluhnya.
“Single,
bukan jomblo,” kata Darka penuh penekanan.
“Ya ya ya, single. Gue hampir lupa kalau merek mereka berdua nggak ada
bedanya. Sama-sama sendirian.”
“Hahaha...”
“Yaudah kalau gitu. Inget saran gue
tadi. Jangan sampai lo nyesel pas di akhirnya.” Dino memilih meninggalkan Darka
sendirian. Ia paham dengan sifat Darka yang tidak ingin diganggu jika sedang
banyak pikiran.
***
No comments:
Post a Comment