Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 9

            Keegoisan hanya akan membuat suatu hubungan tidak berlangsung lama. Keserakahan akan keinginan memiliki hanya membuat cinta kandas ditengah jalan. Saling percaya dan saling memahamilah yang semestinya ditumbuhkan di dalam hati jika saling mencintai. Tidak ada gunanya jika hanya sebelah pihak yang berbuat demikian.
            Berulang kali Zarel memikirkan kalimat itu, yang pernah ia baca di suatu media. Ia lupa jenis medianya.
“Permisi, Mbak,” sapa seseorang, mengagetkan Zarel yang sedang duduk termenung bersandar di atas bangku bis mahasiswa.
            “Indra,” sahut Zarel setelah meyakinkan bahwa itu benar-benar Indra yang ia kenal.
            “Ketemu lagi,” ucap Indra tanpa ekspresi. “Ada orang?” Tanyanya sambil menunjuk bangku kosong di sebelah Zarel. Gadis itu menggeleng cepat.
            “Sendirian?” Zarel bertanya setelah Indra duduk tenang di sebelahnya.
            “Iya. Ardi telat bangun. Jadi gue duluan.”
            “Oh,” ucap Zarel sambil manggut-manggut.
            “Lo sendiri, nggak bareng dua sahabat lo itu?” Tanya Indra.
            “Nggak. Mereka udah pergi duluan,” jawab Zarel dengan nada kecewa.
            “Kenapa?”
            Zarel tertawa pelan. “Gue telat bangun,” ungkapnya.
            Perlahan terdengar bunyi mesin dinyalakan. Bis mahasisiwa itu perlahan bergerak sebelum akhirnya melaju kencang mendahului kendaraan lain yang berada di sampingnya. Zarel dan Indra saling diam untuk beberapa menit. Zarel sudah hanyut dengan earphone besar warna biru yang menempel di telinganya. Pandangannya tertuju ke luar jendela. Memperhatikan hamparan ilalang yang menguning di bawah awan pagi yang mendung. Tiba-tiba ia teringat Indra─pemuda yang ia lupakan karena terlalu asyik dengan dunianya sendiri.
            “Dra,” panggil Zarel.
            Zarel menangkap basah Indra sedang menatapnya. Membuat tatapan mereka saling bertemu. Tapi dengan cepat Indra memalingkan wajahnya dari gadis itu dan berdeham setelahnya. Zarel pun tersenyum kecil melihat tingkah Indra. Zarel kemudian melorotkan earphone miliknya sampai ke leher.
 “Kamu suka musik?” Tanyanya kepada Indra.
“Suka.”
            “Musik jenis apa yang kamu suka?”
            “Yang penting enak didengar,” jawab Indra datar.
            “Kamu juga bisa main alat musik?”
            “Bisa,” kata Indra sambil mengangguk mantap.
            “Apa itu?” Zarel bertanya dengan antusias.
            “Gitar.”
            Senyum Zarel mengembang saat mendengar jawaban dari pemuda itu.
            “Kenapa?” Indra bertanya, heran melihat Zarel yang sepertinya bahagia atas jawabannya barusan.
            “Ah, bukan apa-apa.”
            “Dulu, waktu SMP. aku pernah berpikir untuk menjadi seorang pemusik. Dan semenjak itu aku selalu berlatih dengan giat agar bisa memainkan alat musik terutama gitar,” tutur Indra. Sepertinya ia teringat kisah beberapa tahun silam.
            Suara berisik dari mesin bis itu tidak menghalangi para mahasiswa yang ada di dalamnya untuk tidur dengan nyenyak. Perjalanan panjang yang ditempuh selama satu setengah jam, membuat mereka bisa tidur dengan lelap. Namun tidak sedikitpun rasa kantuk menyerang mereka berdua. Zarel dan Indra yang duduk di bangku paling depan, tepat di depan pintu masuk bagian depan. Zarel begitu setia mendengar cerita Indra. Ia memang menyukai orang lain yang mau bercerita kepadanya.
            “Menurutku gitar adalah sebuah alat musik yang menghasilkan bunyi yang indah. Nada-nada klasik yang keluar darinya sangatlah tenang. Bermain gitar bukan hanya mengapresiasikan setiap rasa yang ada, namun juga melatih kesabaran,” jelas Indra kepada Zarel.
            “Setiap orang bisa bermain gitar. Tapi tidak semua orang bisa bermain dengan baik.” Zarel menyuarakan pikirannya.
            “Aku nggak tahu aku ada di posisi yang mana,” ucap Darka.
            “Aku yakin, kamu ada di posisi dimana kau bisa bermain dengan baik.” Zarel tersenyum. Senyumnya begitu tenang bagi Indra.
            Indra menatap keluar pintu bis. Menyaksikan ilalang dan pepohonan liar di luar sana.
 “Mungkin itu dulu, tapi sekarang tidak lagi,” tuturnya pelan.
            “Jadi sekarang kamu udah ngelupain impian kamu?”
            “Nggak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang jelas-jelas nggak bisa kita  raih.”
            “Pasti kamu sangat kecewa,” ucap Zarel, seperti merasakan apa yang dirasakan Indra.
            “Menguburnya dalam-dalam, itu akan lebih baik.”
            “Dan meninggalkannya sebagai kenangan. Karena kelak, ada saatnya kita membutuhkan kenangan itu,” sambung Zarel.
            Indra memandang Zarel yang masih tersenyum. “Pasti banyak banget ya kenangan kamu,” tebak Indra, tersenyum menatap Zarel.
            “Kamu pikir aku kolektor kenangan?” Tanya Zarel meledek. “Banyak kenangan menyedihkan tersimpan di sini.” Zarel menunjuk kepalanya. “Udahlah. Nggak usah dibahas.” Zarel mengelak.
            “Kamu ngerasa terbebani?” Indra bertanya.
            Zarel menarik napas dalam-dalam. Kemudian berkata, “Kamu tahu, kenangan itu punya dua fungsi. Pertama, kenangan bisa membuat kita menjadi bangkit. Dan kenangan jugalah yang membuat kita menjadi terpuruk.” Zarel tersenyum mengakhiri ucapannya. “Kamu sendiri ada di bagian mana?” Tanyanya lanjut kepada Indra.
            Indra mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.
            “Ah. Apa kamu tidak punya kenangan?” Zarel menatap heran ke arah Indra.
            “Apa gunanya hidup dalam kenangan,” komentar Indra, lebih kepada dirinya sendiri.
            “Bukan hidup dalam kenangan. Tapi menyimpan kenangan di dalam hidup,” kata Zarel, tersenyum bangga kepada Indra.
            “Kenangan yang kamu punya pasti hanya sebatas kenangan pahit selama menjalin cinta, iya kan?” Tanya Darka, mencoba mengusili Zarel.
            Zarel segera menolehkan kepalanya menatap Indra. Tidak terima dengan tuduhan yang diberikan pemuda itu kepadanya.
            “Apa kamu bilang? Kenangan pahit soal cinta?” Zarel diam sesaat. “Ya, kamu benar,” ucapnya jujur.
            Indra tertawa meledek jawaban Zarel. “Aku benar kan,” ucapnya kemudian.
            “Iya, kamu benar. Punya kenangan pahit soal cinta. Cuma itu yang aku punya.”
            Zarel tidak memungkiri bahwa hidupnya penuh akan kenangan pahit. Apalagi kenangan itu menyangkut masalah hati.
            “Patah hati, dihianati, diduakan, lalu apalagi? Apa lagi yang pernah kamu alami?” Tanya Indra melirik gadis di sebelahnya.
            Zarel menatap tajam ke arah Indra. Tatapannya seperti menghakimi pemuda itu. Ia tidak habis pikir darimana Indra bisa mendapat pemikiran seperti itu.
            “Apa aku terlihat seperti itu? Apa aku terlihat seperti seorang yang menyedihkan?” Zarel bertanya pelan. Ia tidak memperdulikan Indra yang menatapnya.
            “Kisah cintaku memang tidak pernah berjalan mulus. Selalu saja ada yang salah.” Zarel tidak menatap Indra saat menceritakan kisahnya. Ia memilih menundukkan kepalanya, menatap dalam-dalam ke arah tas hitam yang dipangkunya. Merenungi setiap kenangan masa lalunya. Tidak ingin pemuda itu menjadi iba melihatnya.
            Indra tidak mengomentari ucapan Zarel. Ia yakin gadis itu belum menyelesaikan kalimatnya.
            “Entah itu karena orang ketiga, atau karena memang tidak berjodoh, atau mungkin karena aku yang terlalu lemah. Entahlah, sampai sekarang aku belum percaya dengan namanya cinta sejati,” tutur Zarel pelan, hampir tidak bisa didengar oleh Indra.
            “Eh, Za. Kamu anak MIPA kan?” Tanya Indra tiba-tiba.
            “Iya.” Zarel masih memikirkan ucapannya yang tadi. Membuatnya tidak terlalu menanggapi pertanyaan Indra.
            “Fakultas kamu udah lewat,” celetuk Indra cepat.
            “Apa? Kita udah sampai?” Tanya Zarel kaget, sambil melirik ke luar pintu.
“Kamu yang udah sampai. Aku belum,” sahut Indra tenang.
“Ah, gimana nih?” Ia kebingungan, tidak memperdulikan ucapan Indra barusan. “Pak stop!” Teriaknya panik. “Minggir,” perintahnya kepada Indra. Ia pun buru-buru keluar dari bangku bagian dalam, menuruni bis yang telah menepi dengan tergesa-gesa.
***
            “Hei, Ka,” panggil seseorang dari arah belakang sambil menepuk punggungnya. “Kenapa muka lo ditekuk gitu?” Tanya pemuda rambut pirang itu setelah mensejajarkan duduknya dengan Darka.
            “Menurut lo?” Darka balik bertanya kepada temannya itu.
            “Palingan abis berantem sama Zarel. Gue bener kan?”
            Darka tidak menjawab pertanyaan yang menurutnya sudah bisa di jawab sendiri oleh Dino─teman Darka.
            “Nggak ada capek-capeknya ya, lo sama Zarel berantem muluk. Ada aja topiknya,” ledek Dino.
            Darka hanya mengetuk-ngetukkan tangannya ke atas meja kantin jurusan. Tidak ingin membahas masalah ini dengan Dino. Tidak ada satupun piring atau gelas yang tersisa di atas meja itu. Tampaknya Darka hanya ingin duduk berdiam diri di tempat itu.
            “Ngomong-ngomong, si Zarel punya temen cowok baru ya?” Dino bertanya kepada Darka.
            “Temen cowok?” Darka langsung merespon pertanyaan itu dengan cepat.
            Dino mengangguk. “Iya. Gue pikir lo tahu. Gue lihat Zarel sama cowok itu pulang bareng. Kalau nggak salah sih beberapa hari yang lalu. Tapi Zarel nggak lihat gue,” jelasnya kemudian. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian itu.
            “Lo kenal orangnya?”
            “Gue nggak kenal sama dia. Tapi gue tahu namanya.”
            “Siapa namanya?”
            “Indra.”
            Darka berusaha mencerna nama itu. Sepertinya ia sudah tidak asing lagi mendengar nama itu.
            “Katanya tuh anak aktif di organisasi. Dia juga ikut BEM, sama kayak lo,” tutur Dino, membeberkan semua yang ia tahu tentang Indra.
            Darka tampak berpikir. Mencoba mencari-cari nama itu. Indra. Pernahkah mereka bertemu?
            “Kalau lo ketemu, pasti lo langsung tahu orangnya.” Dino meyakinkan Darka.
            “Gue rasa gue pernah denger namanya. Mungkin bener kata lo, bisa jadi itu orang yang gue kenal.”
            “Lo nggak usah langsung panas gitu, Bro,” cegah Dino. “Jangan langsung curiga sama Zarel.”
            “Waktu itu, lo satu bis sama mereka?” Tanya Darka menyelidik.
            “Nggak. Gue udah naik duluan.”
            “Terus mereka berdua lo biari aja?”
            “Ya iyalah. Masak mau gue larang. Gue juga nggak tahu apa-apa.”
            “Tuh anak udah gue bilangin kalau punya temen baru kasih nomornya ke gue. Jangan malah diem-diem aja,” ucap Darka pelan. Namun Dino tetap bisa mendengarnya.
            “Ka, cewek itu ada kalanya ngerasa risih saat diperhatiin. Nggak selamanya mereka betah digituin. Jangan sampai lo buat Zarel merasa tertekan dengan sikap lo yang kayak gini. Orang kalau udah ngerasa tertekan, dia bisa lari. Nyari kebebasan.” Dino menasihati Darka.
            “Bawel lo, Din.”
            “Yah, gue dibilang bawel.”
            “Kalau sikap lo nggak berubah, kayak gini terus, gue jamin kisah cinta lo juga nggak akan berubah,” omel Dino.
            “Nggak semudah itu buat gue percaya sama orang lain.”
            “Iya, Ka. Gue tahu itu. Tapi lo harus bisa lihat kondisinya dan lihat juga orang-orang yang udah tulus sama lo.”
            Dino dan Darka memang sudah bersahabat lama sejak SMP. Mereka saling berbagi satu sama lain. Entah itu makanan, mainan, kisah asmara masing-masing, bahkan cerita keluarga. Dino jelas tahu dengan jelas bagaimana perjalanan hidup sahabatnya itu. Ia benar-benar menjadi saksi pahit manisnya perjalanan hidup Darka.
            “Gue harap lo bisa ngebuang jauh-jauh sifat possesive lo itu, Ka, juga keegoisan lo sama Zarel.” Dino berusaha menasihatinya.
            “Ah, udahlah, Din. Mending lo urus aja urusan lo sendiri. Gue bisa urus urusan gue sendiri,” sahut Darka cuek.
            “Makan dulu yok,” ajak Dino, berusaha mencairkan suasana.
            “Gue nggak laper.’
            “Lo masih aja males makan. Udahlah, makan aja dulu. Ntar baru lanjut lagi galaunya,” ledek Dino, tersenyum jahil kepada Darka.
            “Gue bukan anggota perkumpulan lo, Din,” sahut Darka tegas.
            Dino berpikir sesaat. “Perkumpulan apaan?”
            “Perkumpulan Galau Badai.”
            “Sialan lo.”
            Darka tertawa melihat Dino kesal. Perasaannya sedikit santai setelah mengobrol dengan Dino.
            “Jadi, beneran nih lo nggak mau makan?” Tanya Dino sekali lagi.
            “Nggak, Sayang,” jawab Darka dengan gaya yang dibuat-buat.
            “Najis!”
            “Hahaha..” Darka tertawa lagi.
            “Pasti lo udah kenyang ya makan berantem terus.” Lagi-lagi Dino meledek Darka. “Ahh, kapan gue bisa secepetnya ngelepas masa jomblo gue,” keluhnya.
            “Single, bukan jomblo,” kata Darka penuh penekanan.
            “Ya ya ya, single. Gue hampir lupa kalau merek mereka berdua nggak ada bedanya. Sama-sama sendirian.”
            “Hahaha...”
            “Yaudah kalau gitu. Inget saran gue tadi. Jangan sampai lo nyesel pas di akhirnya.” Dino memilih meninggalkan Darka sendirian. Ia paham dengan sifat Darka yang tidak ingin diganggu jika sedang banyak pikiran.
***

No comments:

Post a Comment