Bagian 8
Zarel
mengemudikan sepeda motornya dengan santai. Membiarkan angin malam masuk
menembus cardigan miliknya.
Pikirannya melayang mengingat tentang Indra. Tentang penyakit yang diderita
pemuda itu. Sederetan pertanyaan membanjiri pikirannya. Zarel tidak mengerti
apa itu glaukoma. Mengapa Indra bisa mengidap penyakit itu? Penyakit semacam
apa itu? Kebutaan. Jelas itu berbahaya. Adakah obatnya? Dimana obat itu? Zarel
membatin. Saraf otaknya melemah. Ia yakin Allah pasti punya rencana lain
mempertemukannya dengan Indra. Ia terus berpikir hingga tidak menyadari
ternyata ia telah sampai di depan rumah. Zarel memarkirkan scoopy miliknya di garasi. Sesaat gadis itu melihat sebuah motor
besar terparkir di depan garasi. Ia sudah tahu itu milik siapa.
“Darka,” panggilnya setelah berdiri
di ambang pintu utama rumah.
Darka berdiri dari sofa panjang
warna cokelat muda itu. Ia diam. Tidak menjawab panggilan Zarel.
Zarel tersenyum manis menatap Darka.
“Ngapain kesini, Ka?” Tanyanya kemudian.
“Kamu darimana?” Pemuda itu bertanya
dengan nada datar. Terlihat guratan kesal di wajahnya.
“Dari danau,” jawabnya. Zarel sudah
tahu akan kemana arah pembicaraan ini.
Zarel melangkah mendekati tempat Darka
sekarang berdiri.
“Sama siapa?”
“Sama temen.”
“Temen kamu yang mana?”
Zarel tersenyum santai. Kemudian
berkata, “Temen baru. Aku nggak mesti kasih tau semua temen-temen aku ke kamu
kan.”
“Kenapa nggak bilang sama aku kamu
pergi kemana.” Nada suara Darka mulai meninggi. “Aku udah berapa kali bilang
sama kamu, kalau mau pergi kemana-mana itu jangan lupa kabari aku. Nggak butuh
sampai berjam-jam kan buat ngetik kalimat sependek itu.” Darka betul-betul
mengeluarkan semua omelan yang sejak tadi ditahannya.
“Iya, maaf. Aku lupa ngasih tau
kamu,” ucap Zarel pelan. Matanya menatap ke arah lain.
“Dari jam berapa kamu pergi?”
“Kamu duduk dulu. Aku ambilin minum
dulu, ya,” Zarel berkata sambil berlalu meninggalkan Darka.
Ruangan yang tidak terlalu besar itu
terlihat sangat terang. Kusen pintu dan jendela yang terbuat dari bahan kaca
berpadu logam alumunium dan besi tempa, dipresisi dengan warna gelap. Dua
jendela tinggi transparan di samping pintu, dengan pohon bonsai mini yang
berdiri di dalam pot hitam disamping sofa panjang, tempat Darka duduk sekarang.
Ia sibuk mengutak-atik ponselnya. Tidak menyadari bahwa Zarel sudah datang,
dengan dua buah gelas berisi sirup melon dingin di atas nampan.
“Diminum dulu, Ka,” ucap gadis itu
sambil meletakkan gelas ke atas meja kayu persegi panjang. Kemudian Zarel
mengambil tempat di sofa yang lain.
“Kamu pergi sama temen cowok kamu?”
Zarel tiba-tiba kaget mendengar
pertanyaan Darka. Namun buru-buru ia menepis rasa kagetnya itu.
“Iya.” Akhirnya ia bisa menjawab dengan
santai. “Memangnya kenapa?”
Darka tersenyum sinis mendengar
ucapan Zarel. “Pantes aja kamu lupa buat ngabarin aku,” ungkap Darka.
“Nggak ada hubungannya aku lupa
ngabarin kamu sama aku pergi sama cowok,” tutur Zarel.
“Jelas ada, Za.”
“Apa hubungannya?” Zarel mendesak.
“Saking kamu senengnya diajak pergi
sama cowok itu, kamu jadi lupa buat ngabarin aku,” jelas Darka.
Zarel mendengus pelan. “Kamu konyol,
Ka,” ungkapnya.
“Konyol kenapa?”
“Dia itu temen aku, Ka. Kamu nggak
usah mikir yang macem-macem.”
“Siapa cowok itu?” Darka mengeraskan
suaranya. Rahangnya bergetar. “Apa aku kenal?”
“Nggak. Kamu nggak kenal,” jawab
Zarel cepat.
“Kamu takut aku tahu siapa cowok
itu?”
“Udahlah, Ka. Kamu kenapa jadi
besar-besarin masalah sih.” Zarel mulai emosi. “Bukan cuma kali ini aku lupa
ngabarin kamu. Sebelum-sebelumnya juga gini kan?”
“Itu kebiasaan buruk kamu, Za. Nggak
pernah mau ngerubah kebiasaan.”
“Ka, kamu tahu aku kan?” Zarel
bertanya dengan penuh tekanan. “Kamu tahu jelas aku orangnya pelupa. Tapi aku
selalu berusaha buat selalu inget dengan kata-kata dan larangan-larangan kamu.”
Darka langsung menyerobot kalimat
Zarel. “Cuma diinget tanpa dilakuin. Percuma.”
“Kamu mau aku ngelakuin apa lagi?
Kasih kabar tiap aku pergi. Laporan sama kamu aku pergi sama siapa, kemana,
pulang jam berapa. Itu?”
“Aku juga butuh kebebasan, Ka.”
Lanjut Zarel.
“Oh, jadi kamu mau kebebasan? Bebas
pergi sama siapa aja, pulang tanpa sepengetahuan aku, nggak jelas pergi kemana.
Itu yang kamu mau?” Darka menatap tajam ke arah Zarel.
Zarel menghela napas panjang. Ia
tidak habis pikir dengan jalan pikiran Darka.
“Bukan
kebebasan yang kayak itu yang aku maksud. Lebih tepatnya kepercayaan kamu ke
aku.” Zarel tidak melepaskan pandangannya dari wajah Darka. Ia dapat melihat
jelas rona kemarahan di wajah pemuda itu.
“Kepercayaan?” Tanya Darka sinis.
“Iya. Kepercayaan yang selama ini
belum aku dapatkan,” jawab Zarel pasti.
“Aku nggak percaya lagi sama yang
namanya kepercayaan. Kamu tahu? Kepercayaan itu adalah awal penghianatan,”
ucapnya tajam.
Zarel mencoba mengatur emosinya. “Ka,
kamu bisa kan misahin antara masalah keluarga dengan masalah pribadi?” Tanya
Zarel pelan. “Nggak usah selalu nyeret-nyeret masalah keluarga kamu ke dalam
hubungan kita.”
Darka mulai meluapkan emosinya. “Tapi
kamu sama mereka sama aja. Nggak ada bedanya.”
“Mereka
itu orang tua kamu, Ka. Jangan kamu samain mereka dengan aku.” Zarel mulai
ketakutan.
“Apa
bedanya? Apa?” Nada suaranya masih tinggi. Membuat gadis dihadapannya mulai
gemetar ketakutan.
“Mereka
pasti punya alasan tersendiri kenapa mereka ngelakuin itu.” Zarel berusaha
mengontrol dirinya. Ia selalu begini setiap kali bertengkar dengan Darka.
Jantungnya berdegup tidak teratur. Tenggorokannya mulai sakit. Ia hanya
berharap Darka tidak sampai buta mata malam ini.
“Alasan
apa? Uang? Iya? Itu alasannya?”
“Apapun
itu alasannya, sekarang semuanya udah terjadi. Kamu cuma bisa pasrah,” ucap
Zarel. “Ka, aku selalu disisi kamu setiap kamu ada masalah. Sampai sekarang,
aku masih tetap diposisi itu.”
“Apa
kamu mau jadi seperti Mama aku juga?” Darka bertanya kepada Zarel. “Apa kamu
mau ninggalin aku demi laki-laki lain?”
Zarel
diam mematung. Bibirnya terasa kelu mendengar Darka bertanya hal itu.
“Aku
udah bilang sama kamu, Ka. Jangan samain aku dengan orangtua kamu.” Zarel
mengulangi kalimatnya.
Hening
sejenak. Tidak ada kalimat balasan dari Darka. Keduanya saling hanyut dalam
pikiran masing-masing. Berusaha meredamkan amarah.
“Ka,”
panggil Zarel. “Boleh aku minta satu hal sama kamu?”
“Minta
apa?” Darka sudah memelankan suaranya. Tidak semarah tadi.
“Minta
kepercayaan kamu.”
“Aku
nggak yakin aku bisa kasih itu ke kamu.”
“Kenapa?”
“Aku
nggak mau kehilangan kamu.”
Bukan
cuma kali ini Darka berkata hal itu padanya. Zarel tahu betul latar belakang
keluarga yang membuat pemuda itu menjadi seperti itu.
“Kalau
kamu udah dapet kepercayaan dari aku, kamu pasti bisa bebas makainya.”
“Maksudnya?”
Tanya Zarel tidak mengerti.
“Kamu
bisa ngelakuin apa yang kamu ingin dengan berdiri di atas kalimat ‘Darka
percaya kok sama aku’.”
“Sampai
kapan sih kamu mau jadi cowok possesive?”
Tanya Zarel pelan.
“Ada
yang salah dengan itu?”
“Banyak,”
jawab Zarel singkat.
“Kamu
nggak nyaman dengan sikap itu?”
“Cewek
mana yang nyaman dengan sikap cowoknya yang terlalu possesive,” ungkap Zarel jujur.
“Jadi
kamu nggak nyaman sama aku?”
Lagi-lagi
Zarel menghela napas pelan. Ia berusahai menjawab setiap pertanyaan Darka
dengan tenang.
“Bukan
gitu, Ka. Kamu nggak ngerti.”
“Apa
yang aku nggak ngerti?”
“Udahla
lupain aja,” ucap Zarel membuang muka. Ia mulai kesal dengan sikap Darka.
“Jelasin
ke aku, apa yang aku nggak ngerti,” perintah Darka memaksa gadis itu.
“Apa
dengan aku ungkapin semuanya, kamu bisa ngerti dan bisa berubah?” Zarel
bertanya, kembali menatap Darka. “Nggak akan.”
“Aku
sayang sama kamu, Za.”
***
“Za?” Panggil Leandra berulang kali
sambil menyikut lengan temannya itu.
Zarel akhirnya tersadar dari lamunan
panjangnya.
“Ah, iya, Le. Kenapa?”
“Lo pasti abis berantem sama Darka.”
Tebak Leandra.
“Sok tahu,” sahut Zarel sambil
memalingkan wajahnya.
“Bener kan? Kebiasaan lo banget, Za
kalau abis berantem sama Darka pasti diem,” tutur Zarel.
Zarel mengemhembuskan napas pelan.
“Iya gitu deh,” ucapnya singkat.
Tatapannya terus menghadap ke depan. Memperhatikan wanita paruh baya
yang mengenakan kerudung warna ungu tua sepanjang dada, menuliskan berbagai
simbol Matematika di atas whiteboard.
“Kali ini berantem gara-gara apa?”
Tanya Leandra, sedikit memelankan suaranya.
“Biasa, hal sepele. Gue lupa kasih
tau dia kalau gue pergi.”
“Salah lo juga sih, pake acara lupa.
Udah tau tu anak sifatnya gitu. Mestinya lo lebih hati-hati dong.”
“Jadi lo sekarang ada dipihak siapa
sih? Gue apa Darka?” Tanya Zarel sinis.
“Ah, serius banget sih
pertanyaannya,” ledek Leandra sambil memukul lengan Zarel.
“Hushh, diem!” Perintah Fiona kepada
Leandra yang duduk di sampingnya.
“Iya, iya bawel,” sahut Leandra,
menolehkan kepala menatap Fiona.
Suasana kelas yang hening memang
bukan waktu yang tepat untuk bercerita. Dosen wanita itu masih sibuk
menjelaskan apa yang ditulisnya di atas papan putih barusan. Tapi semua
penjelasan yang disampaikannya tidak ada satupun yang masuk ke dalam otak
Zarel. Pikirannya menjadi terganggu.
“Za, lo kenapa masih betah aja sama
Darka?” Tanya Leandra tiba-tiba.
Zarel langsung memalingkan wajahnya
ke arah Leandra. “Gue sayang sama dia, Le,” ucapnya pelan.
“Sayang beneran?”
“Iyalah. Maksud lo apa dengan sayang
main-main?”
“Gue tahu banget sifat lo, Za. Lo
nggak akan betah sama cowok yang suka ngatur.”
Zarel diam sesaat. Ia baru menyadari
apa yang diucapkan sahabatnya itu adalah benar.
“Pacar lo yang kemarin-kemarin juga
suka ngatur. Ngerasa nggak nyaman, lo putusin,” ungkap Leandra. “Tapi sekarang
sikap lo berubah, Za semenjak sama Darka.”
Darka
itu beda.
“Lo beneran udah ngerasa cocok sama
Darka?” Leandra terus mendesak Zarel.
“Lo nggak tahu, Le. Lo nggak tahu
Darka.”
“Iyalah gue nggak tahu. Yang
pacarnya kan lo.”
Zarel mendengus pelan. Mereka diam
sejenak. Mencoba ikut terbenam dengan keheningan yang diciptakan oleh dosen
wanita itu. Untungnya Zarel dan Leandra duduk di baris paling ujung. Membuat
mereka sedikit aman untuk mengobrol.
“Jangan paksain diri kalau
sebenarnya lo nggak punya hati sama dia, Za,” Leandra bicara kembali.
“Gue udah coba buat belajar sayang
sama dia. Tapi itu baru jalan setengahnya, Le.”
“Iya, gue tahu, Za. Lo belum sepenuh
hati sama Darka.”
“Gue bakal terus berusaha biar bisa
sayang sama dia sepenuhnya.”
“Apa sih yang buat lo ngerasa kalau
Darka pantes lo perjuangin?” Tanya Leandra menyelidik.
Zarel memutar bola matanya
memandangi langit-langit kelas yang suram. “Gue juga nggak tahu, Le. Tapi...”
Zarel menghentikan ucapannya. “Gue cuma nggak mau dia dikecewain lagi.”
“Emang dulunya dia pernah dikecewain
juga? Gue kira dia cuma bisa ngecewain doang,” tutur Leandra, mengingat Darka
dulunya adalah seorang playboy yang
terkenal di sekolahnya dulu dan di fakultasnya sekarang. Namun sejak bertemu
Zarel, julukan itu sudah mulai memudar.
“Setiap orang pasti pernah
dikecewain. Termasuk orang yang kita lihat kuat, sebenarnya dia berdiri di atas
kekecewain itu,” ungkap Zarel pelan.
“Cewek mana yang udah ngecewain
Darka?”
“Wanita yang dulunya ia anggap
paling berarti,” jawab Zarel.
“Siapa?” Tanya Leandra, heran
mendengar jawaban sahabatnya itu.
“Mamanya sendiri.”
Leandra semakin bingung dengan arah
pembicaraan ini. “Gue nggak ngerti, Za. Maksudnya apaan?”
Zarel ragu dengan keputusannya untuk
menguak sesuatu tentang rahasia Darka kepada Leandra. “Dua tahun lalu, Mamanya
Darka nikah lagi sama rekan bisnisnya sendiri. Mereka nikah lari,” ungkap Zarel
lirih.
Leandra menatap nanar ke arah Zarel.
Tubuhnya menegang mendengar penuturan Zarel.
“Serius lo, Za?” Tanya Zarel
setengah tidak percaya.
“Itu kenapa Darka selalu gonta-ganti
pasangan. Dia berusaha melampiaskan kekecewaannya sama Mamanya. Dia
beranggapan, semua orang nggak bisa dipercaya.”
“Waduh, gue nggak nyangka. Darka
dihianatin sendiri sama orangtuanya,” ucap Leandra iba. “Terus sekarang, dia
tinggal sama siapa?”
“Dia masih tinggal di rumahnya
sekarang. Lebih tepatnya sering sendirian,” ungkap Zarel.
“Iya ya, Papanya kan sering ke luar
kota. Ya wajarlah kalau dia kesepian.”
“Dulu gue nggak ngerti kenapa dia
sampai segitu ngekang gue. Nggak pernah percaya sama gue. Sampai akhirnya dia
cerita sendiri ke gue. Awalnya gue nggak terlalu banyak berharap hubungan kita
bakal lama. Lo tau sendirilah latar belakang percintaan dia kayak apa,” Zarel
berkata pelan.
Leandra manggut-manggut tanda
mengerti.
“Jadi, lo sekarang berusaha biar dia
nggak merasa dikecewain lagi?” Tanya Leandra hati-hati.
“Gue bakal coba semampu gue, Le.
Sampai dimana batasnya gue bisa tetep bertahan sama keegoisannya dia.”
Leandra mengangguk tanda mengerti.
Namun dalam sekejap ekspresinya berubah bingung.
“Terus gimana dengan cowok yang
namanya Indra itu? Kalian sering ketemu?” Tanya Leandra mengalihkan
pembicaraan.
Zarel mengangguk pelan.
“Lo udah tau dia sakit apaan?”
Zarel menggeleng. “Belum.” Ia rasa
ini bukan saat yang tepat untuk menceritakan tentang penyakit yang diderita
Indra.
***
No comments:
Post a Comment