Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 8

            Zarel mengemudikan sepeda motornya dengan santai. Membiarkan angin malam masuk menembus cardigan miliknya. Pikirannya melayang mengingat tentang Indra. Tentang penyakit yang diderita pemuda itu. Sederetan pertanyaan membanjiri pikirannya. Zarel tidak mengerti apa itu glaukoma. Mengapa Indra bisa mengidap penyakit itu? Penyakit semacam apa itu? Kebutaan. Jelas itu berbahaya. Adakah obatnya? Dimana obat itu? Zarel membatin. Saraf otaknya melemah. Ia yakin Allah pasti punya rencana lain mempertemukannya dengan Indra. Ia terus berpikir hingga tidak menyadari ternyata ia telah sampai di depan rumah. Zarel memarkirkan scoopy miliknya di garasi. Sesaat gadis itu melihat sebuah motor besar terparkir di depan garasi. Ia sudah tahu itu milik siapa.
            “Darka,” panggilnya setelah berdiri di ambang pintu utama rumah.
            Darka berdiri dari sofa panjang warna cokelat muda itu. Ia diam. Tidak menjawab panggilan Zarel.
            Zarel tersenyum manis menatap Darka. “Ngapain kesini, Ka?” Tanyanya kemudian.
            “Kamu darimana?” Pemuda itu bertanya dengan nada datar. Terlihat guratan kesal di wajahnya.
            “Dari danau,” jawabnya. Zarel sudah tahu akan kemana arah pembicaraan ini.
            Zarel melangkah mendekati tempat Darka sekarang berdiri.
            “Sama siapa?”
            “Sama temen.”
            “Temen kamu yang mana?”
            Zarel tersenyum santai. Kemudian berkata, “Temen baru. Aku nggak mesti kasih tau semua temen-temen aku ke kamu kan.”
            “Kenapa nggak bilang sama aku kamu pergi kemana.” Nada suara Darka mulai meninggi. “Aku udah berapa kali bilang sama kamu, kalau mau pergi kemana-mana itu jangan lupa kabari aku. Nggak butuh sampai berjam-jam kan buat ngetik kalimat sependek itu.” Darka betul-betul mengeluarkan semua omelan yang sejak tadi ditahannya.
            “Iya, maaf. Aku lupa ngasih tau kamu,” ucap Zarel pelan. Matanya menatap ke arah lain.
            “Dari jam berapa kamu pergi?”
            “Kamu duduk dulu. Aku ambilin minum dulu, ya,” Zarel berkata sambil berlalu meninggalkan Darka.
            Ruangan yang tidak terlalu besar itu terlihat sangat terang. Kusen pintu dan jendela yang terbuat dari bahan kaca berpadu logam alumunium dan besi tempa, dipresisi dengan warna gelap. Dua jendela tinggi transparan di samping pintu, dengan pohon bonsai mini yang berdiri di dalam pot hitam disamping sofa panjang, tempat Darka duduk sekarang. Ia sibuk mengutak-atik ponselnya. Tidak menyadari bahwa Zarel sudah datang, dengan dua buah gelas berisi sirup melon dingin di atas nampan.
            “Diminum dulu, Ka,” ucap gadis itu sambil meletakkan gelas ke atas meja kayu persegi panjang. Kemudian Zarel mengambil tempat di sofa yang lain.
            “Kamu pergi sama temen cowok kamu?”
            Zarel tiba-tiba kaget mendengar pertanyaan Darka. Namun buru-buru ia menepis rasa kagetnya itu.
            “Iya.” Akhirnya ia bisa menjawab dengan santai. “Memangnya kenapa?”
            Darka tersenyum sinis mendengar ucapan Zarel. “Pantes aja kamu lupa buat ngabarin aku,” ungkap Darka.
            “Nggak ada hubungannya aku lupa ngabarin kamu sama aku pergi sama cowok,” tutur Zarel.
            “Jelas ada, Za.”
            “Apa hubungannya?” Zarel mendesak.
            “Saking kamu senengnya diajak pergi sama cowok itu, kamu jadi lupa buat ngabarin aku,” jelas Darka.
            Zarel mendengus pelan. “Kamu konyol, Ka,” ungkapnya.
            “Konyol kenapa?”
            “Dia itu temen aku, Ka. Kamu nggak usah mikir yang macem-macem.”
            “Siapa cowok itu?” Darka mengeraskan suaranya. Rahangnya bergetar. “Apa aku kenal?”
            “Nggak. Kamu nggak kenal,” jawab Zarel cepat.
            “Kamu takut aku tahu siapa cowok itu?”
            “Udahlah, Ka. Kamu kenapa jadi besar-besarin masalah sih.” Zarel mulai emosi. “Bukan cuma kali ini aku lupa ngabarin kamu. Sebelum-sebelumnya juga gini kan?”
            “Itu kebiasaan buruk kamu, Za. Nggak pernah mau ngerubah kebiasaan.”
            “Ka, kamu tahu aku kan?” Zarel bertanya dengan penuh tekanan. “Kamu tahu jelas aku orangnya pelupa. Tapi aku selalu berusaha buat selalu inget dengan kata-kata dan larangan-larangan kamu.”
            Darka langsung menyerobot kalimat Zarel. “Cuma diinget tanpa dilakuin. Percuma.”
            “Kamu mau aku ngelakuin apa lagi? Kasih kabar tiap aku pergi. Laporan sama kamu aku pergi sama siapa, kemana, pulang jam berapa. Itu?”
            “Aku juga butuh kebebasan, Ka.” Lanjut Zarel.
            “Oh, jadi kamu mau kebebasan? Bebas pergi sama siapa aja, pulang tanpa sepengetahuan aku, nggak jelas pergi kemana. Itu yang kamu mau?” Darka menatap tajam ke arah Zarel.
            Zarel menghela napas panjang. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Darka.
“Bukan kebebasan yang kayak itu yang aku maksud. Lebih tepatnya kepercayaan kamu ke aku.” Zarel tidak melepaskan pandangannya dari wajah Darka. Ia dapat melihat jelas rona kemarahan di wajah pemuda itu.
            “Kepercayaan?” Tanya Darka sinis.
            “Iya. Kepercayaan yang selama ini belum aku dapatkan,” jawab Zarel pasti.
            “Aku nggak percaya lagi sama yang namanya kepercayaan. Kamu tahu? Kepercayaan itu adalah awal penghianatan,” ucapnya tajam.
            Zarel mencoba mengatur emosinya. “Ka, kamu bisa kan misahin antara masalah keluarga dengan masalah pribadi?” Tanya Zarel pelan. “Nggak usah selalu nyeret-nyeret masalah keluarga kamu ke dalam hubungan kita.”
            Darka mulai meluapkan emosinya. “Tapi kamu sama mereka sama aja. Nggak ada bedanya.”
“Mereka itu orang tua kamu, Ka. Jangan kamu samain mereka dengan aku.” Zarel mulai ketakutan.
“Apa bedanya? Apa?” Nada suaranya masih tinggi. Membuat gadis dihadapannya mulai gemetar ketakutan.           
“Mereka pasti punya alasan tersendiri kenapa mereka ngelakuin itu.” Zarel berusaha mengontrol dirinya. Ia selalu begini setiap kali bertengkar dengan Darka. Jantungnya berdegup tidak teratur. Tenggorokannya mulai sakit. Ia hanya berharap Darka tidak sampai buta mata malam ini.
“Alasan apa? Uang? Iya? Itu alasannya?”
“Apapun itu alasannya, sekarang semuanya udah terjadi. Kamu cuma bisa pasrah,” ucap Zarel. “Ka, aku selalu disisi kamu setiap kamu ada masalah. Sampai sekarang, aku masih tetap diposisi itu.”
“Apa kamu mau jadi seperti Mama aku juga?” Darka bertanya kepada Zarel. “Apa kamu mau ninggalin aku demi laki-laki lain?”
Zarel diam mematung. Bibirnya terasa kelu mendengar Darka bertanya hal itu.
“Aku udah bilang sama kamu, Ka. Jangan samain aku dengan orangtua kamu.” Zarel mengulangi kalimatnya.
Hening sejenak. Tidak ada kalimat balasan dari Darka. Keduanya saling hanyut dalam pikiran masing-masing. Berusaha meredamkan amarah.
“Ka,” panggil Zarel. “Boleh aku minta satu hal sama kamu?”
“Minta apa?” Darka sudah memelankan suaranya. Tidak semarah tadi.
“Minta kepercayaan kamu.”
“Aku nggak yakin aku bisa kasih itu ke kamu.”
“Kenapa?”
“Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Bukan cuma kali ini Darka berkata hal itu padanya. Zarel tahu betul latar belakang keluarga yang membuat pemuda itu menjadi seperti itu.
“Kalau kamu udah dapet kepercayaan dari aku, kamu pasti bisa bebas makainya.”
“Maksudnya?” Tanya Zarel tidak mengerti.
“Kamu bisa ngelakuin apa yang kamu ingin dengan berdiri di atas kalimat ‘Darka percaya kok sama aku’.”
“Sampai kapan sih kamu mau jadi cowok possesive?” Tanya Zarel pelan.
“Ada yang salah dengan itu?”
“Banyak,” jawab Zarel singkat.
“Kamu nggak nyaman dengan sikap itu?”
“Cewek mana yang nyaman dengan sikap cowoknya yang terlalu possesive,” ungkap Zarel jujur.
“Jadi kamu nggak nyaman sama aku?”
Lagi-lagi Zarel menghela napas pelan. Ia berusahai menjawab setiap pertanyaan Darka dengan tenang.
“Bukan gitu, Ka. Kamu nggak ngerti.”
“Apa yang aku nggak ngerti?”
“Udahla lupain aja,” ucap Zarel membuang muka. Ia mulai kesal dengan sikap Darka.
“Jelasin ke aku, apa yang aku nggak ngerti,” perintah Darka memaksa gadis itu.
“Apa dengan aku ungkapin semuanya, kamu bisa ngerti dan bisa berubah?” Zarel bertanya, kembali menatap Darka. “Nggak akan.”
“Aku sayang sama kamu, Za.”
***
           
            “Za?” Panggil Leandra berulang kali sambil menyikut lengan temannya itu.
            Zarel akhirnya tersadar dari lamunan panjangnya.
            “Ah, iya, Le. Kenapa?”
            “Lo pasti abis berantem sama Darka.” Tebak Leandra.
            “Sok tahu,” sahut Zarel sambil memalingkan wajahnya.
            “Bener kan? Kebiasaan lo banget, Za kalau abis berantem sama Darka pasti diem,” tutur Zarel.
            Zarel mengemhembuskan napas pelan. “Iya gitu deh,” ucapnya singkat.  Tatapannya terus menghadap ke depan. Memperhatikan wanita paruh baya yang mengenakan kerudung warna ungu tua sepanjang dada, menuliskan berbagai simbol Matematika di atas whiteboard.
            “Kali ini berantem gara-gara apa?” Tanya Leandra, sedikit memelankan suaranya.
            “Biasa, hal sepele. Gue lupa kasih tau dia kalau gue pergi.”
            “Salah lo juga sih, pake acara lupa. Udah tau tu anak sifatnya gitu. Mestinya lo lebih hati-hati dong.”
            “Jadi lo sekarang ada dipihak siapa sih? Gue apa Darka?” Tanya Zarel sinis.
            “Ah, serius banget sih pertanyaannya,” ledek Leandra sambil memukul lengan Zarel.
            “Hushh, diem!” Perintah Fiona kepada Leandra yang duduk di sampingnya.
            “Iya, iya bawel,” sahut Leandra, menolehkan kepala menatap Fiona.
            Suasana kelas yang hening memang bukan waktu yang tepat untuk bercerita. Dosen wanita itu masih sibuk menjelaskan apa yang ditulisnya di atas papan putih barusan. Tapi semua penjelasan yang disampaikannya tidak ada satupun yang masuk ke dalam otak Zarel. Pikirannya menjadi terganggu.
            “Za, lo kenapa masih betah aja sama Darka?” Tanya Leandra tiba-tiba.
            Zarel langsung memalingkan wajahnya ke arah Leandra. “Gue sayang sama dia, Le,” ucapnya pelan.
            “Sayang beneran?”
            “Iyalah. Maksud lo apa dengan sayang main-main?”
            “Gue tahu banget sifat lo, Za. Lo nggak akan betah sama cowok yang suka ngatur.”
            Zarel diam sesaat. Ia baru menyadari apa yang diucapkan sahabatnya itu adalah benar.
            “Pacar lo yang kemarin-kemarin juga suka ngatur. Ngerasa nggak nyaman, lo putusin,” ungkap Leandra. “Tapi sekarang sikap lo berubah, Za semenjak sama Darka.”
            Darka itu beda.
            “Lo beneran udah ngerasa cocok sama Darka?” Leandra terus mendesak Zarel.
            “Lo nggak tahu, Le. Lo nggak tahu Darka.”
            “Iyalah gue nggak tahu. Yang pacarnya kan lo.”
            Zarel mendengus pelan. Mereka diam sejenak. Mencoba ikut terbenam dengan keheningan yang diciptakan oleh dosen wanita itu. Untungnya Zarel dan Leandra duduk di baris paling ujung. Membuat mereka sedikit aman untuk mengobrol.
            “Jangan paksain diri kalau sebenarnya lo nggak punya hati sama dia, Za,” Leandra bicara kembali.
            “Gue udah coba buat belajar sayang sama dia. Tapi itu baru jalan setengahnya, Le.”
            “Iya, gue tahu, Za. Lo belum sepenuh hati sama Darka.”
            “Gue bakal terus berusaha biar bisa sayang sama dia sepenuhnya.”
            “Apa sih yang buat lo ngerasa kalau Darka pantes lo perjuangin?” Tanya Leandra menyelidik.
            Zarel memutar bola matanya memandangi langit-langit kelas yang suram. “Gue juga nggak tahu, Le. Tapi...” Zarel menghentikan ucapannya. “Gue cuma nggak mau dia dikecewain lagi.”
            “Emang dulunya dia pernah dikecewain juga? Gue kira dia cuma bisa ngecewain doang,” tutur Leandra, mengingat Darka dulunya adalah seorang playboy yang terkenal di sekolahnya dulu dan di fakultasnya sekarang. Namun sejak bertemu Zarel, julukan itu sudah mulai memudar.
            “Setiap orang pasti pernah dikecewain. Termasuk orang yang kita lihat kuat, sebenarnya dia berdiri di atas kekecewain itu,” ungkap Zarel pelan.
            “Cewek mana yang udah ngecewain Darka?”
            “Wanita yang dulunya ia anggap paling berarti,” jawab Zarel.
            “Siapa?” Tanya Leandra, heran mendengar jawaban sahabatnya itu.
            “Mamanya sendiri.”
            Leandra semakin bingung dengan arah pembicaraan ini. “Gue nggak ngerti, Za. Maksudnya apaan?”
            Zarel ragu dengan keputusannya untuk menguak sesuatu tentang rahasia Darka kepada Leandra. “Dua tahun lalu, Mamanya Darka nikah lagi sama rekan bisnisnya sendiri. Mereka nikah lari,” ungkap Zarel lirih.
            Leandra menatap nanar ke arah Zarel. Tubuhnya menegang mendengar penuturan Zarel.
            “Serius lo, Za?” Tanya Zarel setengah tidak percaya.
            “Itu kenapa Darka selalu gonta-ganti pasangan. Dia berusaha melampiaskan kekecewaannya sama Mamanya. Dia beranggapan, semua orang nggak bisa dipercaya.”
            “Waduh, gue nggak nyangka. Darka dihianatin sendiri sama orangtuanya,” ucap Leandra iba. “Terus sekarang, dia tinggal sama siapa?”
            “Dia masih tinggal di rumahnya sekarang. Lebih tepatnya sering sendirian,” ungkap Zarel.
            “Iya ya, Papanya kan sering ke luar kota. Ya wajarlah kalau dia kesepian.”
            “Dulu gue nggak ngerti kenapa dia sampai segitu ngekang gue. Nggak pernah percaya sama gue. Sampai akhirnya dia cerita sendiri ke gue. Awalnya gue nggak terlalu banyak berharap hubungan kita bakal lama. Lo tau sendirilah latar belakang percintaan dia kayak apa,” Zarel berkata pelan.
            Leandra manggut-manggut tanda mengerti.
            “Jadi, lo sekarang berusaha biar dia nggak merasa dikecewain lagi?” Tanya Leandra hati-hati.
            “Gue bakal coba semampu gue, Le. Sampai dimana batasnya gue bisa tetep bertahan sama keegoisannya dia.”
            Leandra mengangguk tanda mengerti. Namun dalam sekejap ekspresinya berubah bingung.
            “Terus gimana dengan cowok yang namanya Indra itu? Kalian sering ketemu?” Tanya Leandra mengalihkan pembicaraan.
            Zarel mengangguk pelan.
            “Lo udah tau dia sakit apaan?”
            Zarel menggeleng. “Belum.” Ia rasa ini bukan saat yang tepat untuk menceritakan tentang penyakit yang diderita Indra.
***

No comments:

Post a Comment