Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 7

            “Indra,” teriak Zarel kepada seorang pemuda yang duduk di seberang danau, sambil melambaikan tangan ke arahnya.
            Zarel segera berlari-lari kecil menuju tempat Indra duduk sekarang.
            “Sorry telat,” ucapnya pelan setelah tiba di hadapan Indra. “Udah lama nunggu ya?”
Indra tersenyum memandang Zarel. “Duduk sini,” ajaknya sambil menepuk-nepuk tanah padat yang ditumbuhi rumput hijau itu.
 “Nggak terlalu lama kok. Kenapa? Macet ya?” Tanyanya kemudian. Indra menyadari bahwa ia agak sedikit kikuk dengan situasi seperti ini.
            “Nggak macet kok. Maklum, aku baru pertama kali kesini, jadi tadi muter-muter dulu nyari nih danau,” jelasnya sambil nyengir.
            “Sendirian?”
            Zarel menjawab dengan anggukan. “Kamu kesini sama siapa?” Ia balas bertanya.
            “Tadi perginya dianter sama Ardi. Tapi sekarang Ardinya udah pulang.”
            “Oh gitu,” sahut gadis itu sambil menatap ke arah danau.
            Mereka diam sesaat. Zarel sibuk memandangi danau buatan yang cukup luas itu. Sedangkan Indra sibuk memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
            “Ternyata danaunya cantik ya,” tutur Zarel dengan pandangan jauh ke depan.
            “Kamu suka tempat ini?” Indra melemparkan pertanyaan untuk Zarel setelah mengerti maksud ucapan gadis itu.
            “Ya sukalah. Setiap orang pasti suka sama tempat ginian,” jawab Zarel dengan ceria.
            Danau buatan yang memang sengaja di buat. Dulunya sebagai salah satu sarana untuk acara perlombaan besar antar negara. Namun dengan berakhirnya perlombaan itu, danau ini kini berubah fungsi menjadi arena rekreasi. Zarel menyapukan pandangannya ke sekeliling danau yang ditumbuhi beberapa pohon kelapa. Orang-orang lebih suka duduk santai dipinggir danau, ketimbang melihat danau dari pondok-pondok kecil beratapkan rumbia.
            “Kok tiba-tiba kamu mau ketemu sama aku?” Tanya Zarel.
            “Pengen ketemu lagi aja,” jawab Indra dengan tenang.
            “Kamu dapet nomor aku darimana?”
            “Dari Ardi.”
            Zarel berpikir senjenak. “Oh iya, aku lupa. Waktu itu kan Ardi nanya nomor aku. Jadi wajarlah kamu juga tahu,” ucapnya kemudian, tersenyum lebar ke arah Indra.
            “Kamu sama Ardi udah temenan lama ya?” Zarel masih memposisikan tatapannya ke wajah Indra.
            “Belum kok. Kita ketemu pas pendaftaran ulang waktu di Unsri,” jawab Indra, gantian tersenyum menatap Zarel.
            Tiba-tiba Zarel merasa tenggorokannya sulit menelan ludah. Matanya bertemu dengan mata Ardi. Sesaat pandaangan mereka bertemu di satu garis lurus. Tapi buru-buru Zarel membuang muka.
            “Aku kira kalian udah sahabatan lama. Abis keliatannya deket banget,” ujar Zarel.
            “Ardi orangnya baik. Terlebih, dia juga perhatian sama aku. Dia yang bantuin aku selama di sini. Dia itu kayak seorang ibu buat aku.”
            Zarel menoleh ke arah Indra. Kemudian bertanya tidak percaya. “Ibu?”
            “Berarti dia perhatian banget ya sama kamu,”lanjutnya.
            Indra tertawa sebelum menanggapi ucapan Zarel. “Dia pinter masak, tapi nggak pinter beresin rumah. Dia pinter ngerayu cewek, tapi dia nggak pinter dandan. Ya itulah Ardi,” jelasnya.
            Zarel tidak melepaskan pandangannya dari wajah Indra. Ia sadar kedua bola mata Indra mampu memberikan ketenangan di hatinya. Mata itu tampak teduh dengan kedua alis tipis yang menaunginya. Wajah Indra yang bundar dengan hidung mancung dan rahang yang tegas, memberi kesan cool pada pemuda itu. Terlebih pembawaan Indra yang cuek dan juga tenang, memberi kesan tersendiri bagi Zarel. Zarel suka rambut ikal Indra yang agak berantakan. Zarel tersenyum melihat penampilan pemuda itu hari ini. Gayanya yang simple, dengan baju kaus warna cokelat tanpa motif, dan jeans warna biru tua yang tidak terlalu ketat. Indra tidak memakai sepatu seperti beberapa waktu lalu saat ia bertemu Zarel di teminal. Sendal warna hitam yang ia kenakan hari ini, terlihat santai dan cocok dengan kondisi sekarang. Secara keseluruhan, ia tampan.
            “Za?” Panggil Indra.
            “Ah, iya. Kenapa?” Tanya Zarel setelah sadar dari lamunannya.
            “Kamu ngelamun?”
            “Ah, nggak,” tutur Zarel, berusaha mengelak.
            “Dari sini, kita bisa liat matahari tenggelam.” Indra mengarahkan telunjuknya ke arah Barat. Zarel ikut memperhatikan.
            “Lebih cantik lagi kalau ada pelangi,” celetuk gadis itu.
            “Kamu mau kehujanan di sini?” Tanya Indra, menatap aneh ke arah Zarel.
            “Kan bisa teduhan di situ.” Zarel menunjuk ke sebuah pondok yang agak jauh dari mereka.
            “Belum sampai ke sana, kita udah basah kuyup duluan.”
            Zarel tersenyum lebar. “Iya juga sih,” ujarnya.
            “Indra.” Zarel gantian memanggil Indra.
            “Kamu percaya sama cinta sejati?” Zarel tiba-tiba bertanya kepada Indra.   “Percaya,” jawabnya singkat.
            “Aku dulu juga sama kayak kamu. Percaya sama yang namanya cinta sejati. Tapi, sampai sekarang, aku belum nemuin cinta sejati itu.” Zarel menarik napas dalam-dalam.
            “Cinta sejati nggak akan pernah datang dengan sendirinya. Ada usaha dibalik itu semua,” tutur Indra.
            Zarel menatap kosong ke arah air danau yang tenang. Ia menduga bahwa Indra mungkin sudah bertemu dengan cinta sejatinya.
            “Kamu udah pernah pacaran?” Tanya Zarel ingin tahu.
            Indra menggeleng pelan. “Belum,” jawabnya santai.
            Ternyata dugaannya salah. Indra hanya berteori saja.
“Kenapa? Belum bertemu sama cinta sejati?” Zarel berusaha menebak.
            “Bukan.”
            “Jadi?”
            “Belum waktunya.”
            Zarel tertawa mendengar jawaban Indra. “Kamu lucu ya, Dra,” komentarnya. “Emang cinta kenal waktu?”
            “Cinta emang nggak kenal waktu. Tapi cinta bukan tujuan utama dalam hidup,” ucap Indra singkat.
            “Memang tujuan utama kamu apa?”
            “Bisa keliling dunia.”
            Zarel mengernyitkan dahinya. Menatap nanar ke arah Indra. Ia tidak bisa menebak jalan pikiran pemuda ini.
            “Cita-cita yang bagus,” ucap gadis itu.
            “Kalau kamu cita-citanya apa?”
            Zarel belum memikirkan sampai kesitu. Ia hanya menjalankan hidupnya sesuai alurnya saja. Sekolah, terus kuliah. Belum terpikir untuk jadi apa.
            “Jadi orang sukses,” jawabnya asal.
            “Sukses dunia akhirat?” Sindir Indra.
            Zarel sendiri merasa lucu dengan jawabannya barusan. Akhirnya ia pun ikut tertawa bersama Indra.
            “Kita berdua punya jalan yang bertolak belakang ya,” Zarel berkata, matanya menatap lurus ke depan.
            “Aku nggak pernah mikirin aku mau jadi apa. Aku selalu jalan sesuai alur. Semuanya aku ikutin tanpa aku harus tanya, Ini mau kemana?─” tuturnya dengan santai. “Semenjak kenal dengan yang namanya cinta, aku seperti terhipnotis dengan kata-kata itu. Rasanya hidupku sekarang hanya untuk mengejar cinta.” Zarel mengakhiri ucapannya.
            “Mengejar cinta nggak akan ada habisnya. Sama kayak nyari uang. Kita selalu ngerasa kekurangan. Nggak pernah puas,” ucap Indra diplomatis.
            Zarel mencoba merenungkan kata-kata Indra barusan. “Kamu benar. Cinta diciptakan untuk membuat kita menjadi rakus. Rakus akan akan kasih sayang.”
            “Kalau kita nggak bisa mengerem sendiri kerakusan itu, itu yang akan buat kita hancur.”
            “Tapi kebanyakan orang, semakin dia disakitin, semakin dia pengen nyari lagi,” ucap Zarel.
            “Dengan alasan belum bisa dapet orang yang tepat? Iya kan?” Tanya Indra, meminta pendapat Zarel.
            “Ya, kamu benar. Itu salah satu alasannya.”
            Mereka diam sesaat. Merenungi setiap ucapan yang mereka terima. Menatap kosong ke atas awan.
            “Dra, lihat mataharinya. Udah malu tenggelam.”
            Indra merasa hari ini berbeda. Meski ia tidak mampu menatap jelas matahari yang hilang di ufuk senja, tapi ia mampu menatap dengan jelas gadis yang punya senyum kebahagian, duduk manis di sampingnya.
            “Ini pertama kalinya aku lihat matahari tenggelam. Dan hebatnya, itu sama kamu,” komentar Zarel, tersenyum lebar menatap Indra. Ia teringat Darka yang selalu menolak jika diajak ke danau atau hanya sekadar melihat melihat sunset. Semestinya sekarang ini ia bersama Darka. Semestinya.
            Tiba-tiba ponsel Zarel berbunyi. Darka. Nama itu terpampang jelas di layar ponsel miliknya. Ia yakin, Darka hanya akan merusak suasana hatinya yang sedang bagus. Ia abaikan panggilan itu dan memasukkan kembali benda itu ke dalam tas.
***
            “Zarel, lo dimana sih,” keluh Darka kepada dirinya sendiri. Sudah hampir lima belas kali ia menelepon gadis itu. Tapi tidak kunjung ada sahutan dari ujung sana.
            Darka mulai geram. “Udah dibilangin kalau mau kemana-kemana harus ngabarin dulu. Ini malah ponsel ditinggal,” ucapnya dengan nada tinggi.
            Ia sudah mencoba menghubungi Leandra dan Fiona, berpikir mungkin Zarel bersama mereka. Namun hasilnya nihil. Mereka juga tidak tahu Zarel dimana. Darka tiba-tiba ingat untuk menghubungi kediaman Zarel. Berharap ada petunjuk di sana.
            “Ya, waalaikumsalam.” Terdengar balasan dari suara wanita diujung sana.
            “Ini Darka. Zarelnya ada?” Darka langsung to the point.
            “Oh Kak Darka. Kak Zarelnya lagi pergi.” Terdengar nada ketus dari ujung telepon. Darka langsung mengenali suara itu.
            “Pergi kemana, Zi?”
            “Nggak tau, Kak. Kak Zarel nggak bilang.’
            “Dia juga nggak bilang pergi sama siapa?”
            “Nggak,” ucap gadis itu singkat.
            Darka mematikan koneksi teleponnya. Tidak ada yang tahu Zarel pergi kemana. Sudah beberapa hari ini ia dan Zarel memang jarang komunikasi. Tapi ia selalu menekankan kepada Zarel untuk memberitahukannya kemanapun gadis itu pergi.
            Darka sibuk memainkan jemarinya di atas keypad Blacberry miliknya. Ia mengoceh sepanjang mengetik pesan itu. Mondar mandir di dalam ruang keluarga yang cukup luas. Ada banyak tiang-tiang kayu di sana, dipadukan dengan perlengkapan furniture model kuno atau tradisional dengan menggunakan bahan-bahan dan finishing modern. Lantainya terbuat dari granit buatan. Secara keseluruhan rumah ini bergaya klasik kontemporer. Suasana sejuk dan damai bisa dengan mudah di dapatkan di setiap sudut rumah ini. Namun, hal itu tidak berarti apa-apa bagi Darka sekarang. Emosinya yang membuncah dan sikapnya yang tidak tenang, membuat ruangan itu menjadi terasa sumpek.
***
            “Dra, langitnya udah gelap. Kita pulang sekarang yuk,” ajak Zarel kepada Indra.
            “Ayok,” jawab Indra singkat.
            “Biar aku yang anter kamu pulang,” tutur Zarel, tersenyum ke arah pemuda itu.
            Indra menatap Zarel dengan tatapan menyelidik. Seperti tidak percaya dengan apa yang diucapkan gadis itu.
            “Kamu naik apa kesini?” Tanya Indra kemudian.
            “Motor.”
            Indra menatap Zarel dengan kening berkerut. Tatapan yang sudah dapat dimengerti oleh gadis itu.
            “Tenang, tenang. Kamu nggak usah khawatir dengan kemampuan aku dalam bermotor,” ucapnya, berusaha menyakinkan Indra.
            Pemuda itu hanya nyengir-nyengir mendengar ucapan Zarel. “Yakin kamu bisa bonceng aku?” Tanyanya dengan nada datar.
            “Yakinlah. Tenang aja, kamu akan pulang dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun.” Zarel tersenyum senang.
            Akhirnya mereka segera beranjak dari tempat itu, menuju parkiran yang terletak tidak jauh dari sana. Ada sekitar puluhan motor terparkir di sana. Semakin malam memang semakin banyak minat pengunjung terhadap dananu buatan ini. Bagaimana tidak, lampu-lampu taman dengan tiang yang tinggi bersinar terang sepanjang jalan menuju danau. Kilauan air danau yang terpancar cerah ke langit, sungguh cantik. Zarel masih memandang danau itu dari jarak jauh. Memperhatikannya takut-takut ada yang terlewat.
            “Cantik ya,” ucapnya takjub.
            “Iya,” sahut Indra. Ikut menatap ke arah depan.
            “Ahhh.” Zarel mengeluh. “Rasanya aku masih ingin lama-lama di sini.” Zarel mengerucutkan bibirnya, seperti tidak rela meninggalkan tempat ini.
            “Kita pulang sekarang,” ajak Indra.
            “Sebentar lagi,” ujar Zarel penuh penekanan.
            “Lain kali kita kesini lagi,” ucap Indra kepada Zarel.
            Zarel langsung menatap Indra dengan senyum yang mengembang. “Yang bener? Janji?” Tanyanya penuh harap.
            Indra tersenyum sambil mengangguk. Meyakinkan Zarel akan ucapannya.
            “Oke. Ayo kita pulang sekarang,” ucap gadis itu, langsung memutar balik badannya. Ia segera menjangkau dua helm yang menggantung di atas kaca spion. “Nih,” ucapnya sambil memberikan satu kepada Indra. Mereka memakainya dengan cepat.
            Zarel segera menaiki sepeda motor scoopy sugar blue miliknya, dengan aksen warna putih pada bodi tengah motor itu.
            Perlahan ia mulai menstarter sepeda motor itu. “Ayo naik,” perintahnya kepada Indra. Pemuda itu langsung menurut apa yang diperintahkan Zarel.
            “Pegangan yang kuat. Kalau jatuh aku nggak nanggung loh,” ucap Zarel, setengah berteriak.
            Indra dengan ragu-ragu memegang sedikit cardigan warna merah yang dikenakan gadis itu. Ia begitu menjaga jarak duduknya dengan Zarel. Mesin motor mulai menyala, dan bergerak meninggalkan tempat itu.
            “Mestinya kamu yang bawa ini motor, bukan aku,” kata Zarel, sedikit menolehkan kepala. Ia tersenyum setelah mengucapkan kalimat itu.
            “Aku minta maaf, Za. Aku nggak diizinin lagi untuk bawak motor,” jelas Indra.
            “Loh, memangnya kenapa? Pernah kecelakaan?”
            “Nggak.”
            “Lantas?”
            Indra membisu. Membiarkan pertanyaan itu tidak terjawab. Belum saatnya untuk menceritakan apa yang terjadi, pikirnya.
            Zarel menaikkan gas motornya. Membawa kendaraan roda dua itu menerjang angin malam yang dingin. Melaju kencang membelah jalanan kota yang mulai lengang.
Kendaraan belum terlalu banyak. Hanya lampu merah yang menjadi hambatan perjalanan mereka.
            “Kamu kedinginan?” Tanya Indra tiba-tiba.
            “Apa? Aku nggak bisa denger kamu bilang apaan,” teriak gadis itu, sedikit memiringkan kepalanya.
            “Kamu nggak kedinginan?” Kali ini Indra bertanya dengan nada suara yang dinaikkan.
            “Nggak. Udah biasa,” jawab Zarel.
            Zarel membelokkan sepeda motornya ke arah Jalan Kapten A. Rivai. Sejauh ini, mereka berhasil melewati jebakan beberapa lampu merah. Tapi tiba-tiba terdengar sebuah bunyi.
            Ciiitttttt!
Bunyi gesekan antara roda dengan aspal jalanan. Zarel mengerem mendadak. Membuat Indra bergerak maju ke depan.
            “Hah, kena kan,” keluh gadis itu.
            “Kamu kenapa sih? Kena siapa?” Indra bertanya dengan panik.
            “Kena lampu merah,” jawab Zarel.
            Indra menghisap udara ke dalam hidungnya. Setidaknya ia masih bisa bernapas lega karena tidak ada sesuatu buruk yang terjadi.
            “Lampu merah nggak usah dikejer,” ucap Indra santai. “Dia nggak bakal lari kok,” lanjutnya kemudian.
            “Jadinya kan bisa cepet kalau nggak kena lampu merah,” tutur Zarel. Ia masih memandang traffic light yang tergantung di tengah-tengah jalan simpang delapan itu.
            “Tapi nyawa kamu taruhannya.”
            Zarel hanya diam. Tidak menggubris kata-kata Indra. Ia tersenyum saat melihat lampu merah mati dan mulai berganti warna. Zarel menarik gas motornya layaknya di arena balap, ia memacu sepeda motornya mendahului yang lain. Bergerak lurus ke arah utara, kemudian belok ke kiri, sesuai dengan petunjuk yang Indra berikan kepadanya.
            “Stop di depan gedung itu, Za.” Tunjuk Indra.
            “Siap, Bos.”
            Zarel perlahan menurunkan gas sepeda motornya dan mematikan mesinnya.
            “Ini kosan kamu?” Tanyanya. Memperhatikan bangunan bertingkat dua dengan pencahayaan yang terang.
            Indra turun dari scoopy milik Zarel. “Iya. Mau mampir dulu?” Tawarnya pada gadis itu.
            “Mmm..” Zarel berpikir sejenak. “Boleh kalau diizinin.” Ia akhirnya memutuskan untuk ikut masuk ke dalam bangunan itu.
            “Apa nggak kena marah sama Ibu kosnya, Dra?” Tanya Zarel, menatap kesekeliling. Takut-takut akan ada wanita tua yang berteriak sambil mengacungkan telunjuk besar ke arah wajahnya.
            “Nggak kok. Asal nggak masuk sampai ke dalam kamar.”
            Mereka berjalan menaiki anak tangga yang akan membawa mereka menuju lantai dua. Suasana begitu sepi. Sepertinya semuanya sudah tidur, Zarel berpikir.
            “Ini kosan khusus laki-laki, kan?” Zarel bertanya kepada Indra.
            “Iya. Kenapa?”
            “Ah, tidak. Bukan apa-apa.”
            Zarel menatap takjub menyaksikan taman-taman kecil yang tertata rapi di depan kamar masing-masing pengekos. Pot-pot kecil dengan satu bunga yang tumbuh dan rumput-rumput yang dipangkas rapi. Satu lampu taman di setiap teras. Semuanya terlihat begitu seimbang dan cantik. Siapa pun yang merawat taman-taman ini, ia pasti sangat telaten. Namun tiba-tiba tatapan Zarel berhenti sesaat. Memandang Indra yang perlahan berjalan duluan di depannya. Tangan kanan Indra menggantung di udara. Meraba-raba setiap udara di hadapannya. Seolah mencari benda yang hilang. Zarel yakin ia sedang tidak salah lihat
            “Hey, Bro. Akhirnya lo pulang juga.”
            Zarel segera menoleh ke sumber suara saat seorang pemuda tambun yang berdiri di depan pintu kamar berteriak kepada Indra.
            “Lo pulang sendiri?”
            Zarel mencoba meneliti pemuda dibalik baju piama putih yang sedang berdiri di depan pintu kamar. Ia ingat pemuda itu.
            “Ardi,” sapa Zarel, melangkah mendekati mereka berdua dengan senyum lebar.
            Ardi memicingkan matanya. Kemudian sebuah senyum lebar segera menghiasi kedua pipinya yang tembam.
            “Zarel,” Ardi balas berteriak.
            Darka menatap heran tingkah kedua orang itu. Bagai dua orang yang sudah lama tidak bertemu. Dan akhirnya dipertemukan lewat satu orang, yaitu dirinya.
            “Gue nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” ucap Ardi ketika mereka telah berdiri berhadapan.
            Zarel masih tersenyum lebar. “Apa kabar kamu, Ar?” Tanyanya kemudian.
            “Kayak yang lo lihat sekarang,” tutur Ardi, melebarkan kedua tangannya.
            “Tambah subur lo,” ledek Zarel.
            Indra tersenyum kecil melihat mereka berdua. Ardi dan Zarel adalah dua orang dengan kepribadian yang sama. Sama-sama bisa buat orang nyaman, meski itu baru pertama kali kenal.
            “Ar, lo anter dia ke depan ya,” ucap Indra setengah berteriak. “Zarel, makasih ya tumpangannya.” Ia ganti bicara menatap Zarel.
            “Iya, Dra. Sama-sama,” balas Zarel sambil melambaikan tangan ke arah Indra.
            “Yok turun sekarang,” ajak Ardi.
            Zarel menurut apa kata Ardi. Mereka melangkah menuruni satu persatu anak tangga yang curam itu.
            “Selama kalian pergi tadi, nggak terjadi apa-apa kan sama Indra?” Ardi bertanya kepada Zarel.
            “Nggak. Indra baik-baik aja.”
            “Apa dia sempet ngerasa pusing?”
            Zarel mengehentikan langkahnya. Kemudian menatap Ardi. “Apa Indra sakit?” Zarel bertanya dengan hati-hati.
            Ardi tidak langsung menjawab. Matanya hilir mudik menatap bergantian ke arah sekeliling dan Zarel.
            “Iya, Za. Indra punya penyakit,” tuturnya pelan.
            Zarel terenyak mendengar kabar itu. “Sakitnya parah?” Ia benar-benar ingin tahu.
            “Indra menderita glaukoma.”
            “Glaukoma?”
            “Itu semacam penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan.”
            Zarel spontan langung menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Setengah tidak percaya atas apa yang di dengarnya barusan. Ia yakin, pasti ia salah dengar.
***



No comments:

Post a Comment