Bagian 7
“Indra,” teriak Zarel kepada
seorang pemuda yang duduk di seberang danau, sambil melambaikan tangan ke
arahnya.
Zarel
segera berlari-lari kecil menuju tempat Indra duduk sekarang.
“Sorry telat,” ucapnya pelan setelah tiba
di hadapan Indra. “Udah lama nunggu ya?”
Indra tersenyum memandang Zarel. “Duduk
sini,” ajaknya sambil menepuk-nepuk tanah padat yang ditumbuhi rumput hijau
itu.
“Nggak terlalu lama kok. Kenapa? Macet ya?”
Tanyanya kemudian. Indra menyadari bahwa ia agak sedikit kikuk dengan situasi
seperti ini.
“Nggak
macet kok. Maklum, aku baru pertama kali kesini, jadi tadi muter-muter dulu
nyari nih danau,” jelasnya sambil nyengir.
“Sendirian?”
Zarel
menjawab dengan anggukan. “Kamu kesini sama siapa?” Ia balas bertanya.
“Tadi
perginya dianter sama Ardi. Tapi sekarang Ardinya udah pulang.”
“Oh
gitu,” sahut gadis itu sambil menatap ke arah danau.
Mereka
diam sesaat. Zarel sibuk memandangi danau buatan yang cukup luas itu. Sedangkan
Indra sibuk memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
“Ternyata
danaunya cantik ya,” tutur Zarel dengan pandangan jauh ke depan.
“Kamu
suka tempat ini?” Indra melemparkan pertanyaan untuk Zarel setelah mengerti
maksud ucapan gadis itu.
“Ya
sukalah. Setiap orang pasti suka sama tempat ginian,” jawab Zarel dengan ceria.
Danau
buatan yang memang sengaja di buat. Dulunya sebagai salah satu sarana untuk
acara perlombaan besar antar negara. Namun dengan berakhirnya perlombaan itu,
danau ini kini berubah fungsi menjadi arena rekreasi. Zarel menyapukan
pandangannya ke sekeliling danau yang ditumbuhi beberapa pohon kelapa.
Orang-orang lebih suka duduk santai dipinggir danau, ketimbang melihat danau
dari pondok-pondok kecil beratapkan rumbia.
“Kok tiba-tiba kamu mau ketemu sama
aku?” Tanya Zarel.
“Pengen ketemu lagi aja,” jawab
Indra dengan tenang.
“Kamu dapet nomor aku darimana?”
“Dari Ardi.”
Zarel berpikir senjenak. “Oh iya,
aku lupa. Waktu itu kan Ardi nanya nomor aku. Jadi wajarlah kamu juga tahu,”
ucapnya kemudian, tersenyum lebar ke arah Indra.
“Kamu sama Ardi udah temenan lama
ya?” Zarel masih memposisikan tatapannya ke wajah Indra.
“Belum kok. Kita ketemu pas pendaftaran
ulang waktu di Unsri,” jawab Indra, gantian tersenyum menatap Zarel.
Tiba-tiba Zarel merasa
tenggorokannya sulit menelan ludah. Matanya bertemu dengan mata Ardi. Sesaat
pandaangan mereka bertemu di satu garis lurus. Tapi buru-buru Zarel membuang
muka.
“Aku kira kalian udah sahabatan
lama. Abis keliatannya deket banget,” ujar Zarel.
“Ardi orangnya baik. Terlebih, dia
juga perhatian sama aku. Dia yang bantuin aku selama di sini. Dia itu kayak
seorang ibu buat aku.”
Zarel menoleh ke arah Indra.
Kemudian bertanya tidak percaya. “Ibu?”
“Berarti dia perhatian banget ya
sama kamu,”lanjutnya.
Indra tertawa sebelum menanggapi
ucapan Zarel. “Dia pinter masak, tapi nggak pinter beresin rumah. Dia pinter
ngerayu cewek, tapi dia nggak pinter dandan. Ya itulah Ardi,” jelasnya.
Zarel tidak melepaskan pandangannya
dari wajah Indra. Ia sadar kedua bola mata Indra mampu memberikan ketenangan di
hatinya. Mata itu tampak teduh dengan kedua alis tipis yang menaunginya. Wajah
Indra yang bundar dengan hidung mancung dan rahang yang tegas, memberi kesan cool pada pemuda itu. Terlebih pembawaan
Indra yang cuek dan juga tenang, memberi kesan tersendiri bagi Zarel. Zarel
suka rambut ikal Indra yang agak berantakan. Zarel tersenyum melihat penampilan
pemuda itu hari ini. Gayanya yang simple,
dengan baju kaus warna cokelat tanpa motif, dan jeans warna biru tua yang tidak terlalu ketat. Indra tidak memakai
sepatu seperti beberapa waktu lalu saat ia bertemu Zarel di teminal. Sendal
warna hitam yang ia kenakan hari ini, terlihat santai dan cocok dengan kondisi
sekarang. Secara keseluruhan, ia tampan.
“Za?” Panggil Indra.
“Ah, iya. Kenapa?” Tanya Zarel
setelah sadar dari lamunannya.
“Kamu ngelamun?”
“Ah, nggak,” tutur Zarel, berusaha
mengelak.
“Dari sini, kita bisa liat matahari
tenggelam.” Indra mengarahkan telunjuknya ke arah Barat. Zarel ikut
memperhatikan.
“Lebih cantik lagi kalau ada
pelangi,” celetuk gadis itu.
“Kamu mau kehujanan di sini?” Tanya
Indra, menatap aneh ke arah Zarel.
“Kan bisa teduhan di situ.” Zarel
menunjuk ke sebuah pondok yang agak jauh dari mereka.
“Belum sampai ke sana, kita udah
basah kuyup duluan.”
Zarel tersenyum lebar. “Iya juga
sih,” ujarnya.
“Indra.” Zarel gantian memanggil
Indra.
“Kamu percaya sama cinta sejati?”
Zarel tiba-tiba bertanya kepada Indra. “Percaya,”
jawabnya singkat.
“Aku dulu juga sama kayak kamu.
Percaya sama yang namanya cinta sejati. Tapi, sampai sekarang, aku belum nemuin
cinta sejati itu.” Zarel menarik napas dalam-dalam.
“Cinta sejati nggak akan pernah datang
dengan sendirinya. Ada usaha dibalik itu semua,” tutur Indra.
Zarel menatap kosong ke arah air
danau yang tenang. Ia menduga bahwa Indra mungkin sudah bertemu dengan cinta
sejatinya.
“Kamu udah pernah pacaran?” Tanya
Zarel ingin tahu.
Indra menggeleng pelan. “Belum,”
jawabnya santai.
Ternyata dugaannya salah. Indra
hanya berteori saja.
“Kenapa?
Belum bertemu sama cinta sejati?” Zarel berusaha menebak.
“Bukan.”
“Jadi?”
“Belum waktunya.”
Zarel tertawa mendengar jawaban
Indra. “Kamu lucu ya, Dra,” komentarnya. “Emang cinta kenal waktu?”
“Cinta emang nggak kenal waktu. Tapi
cinta bukan tujuan utama dalam hidup,” ucap Indra singkat.
“Memang tujuan utama kamu apa?”
“Bisa keliling dunia.”
Zarel mengernyitkan dahinya. Menatap
nanar ke arah Indra. Ia tidak bisa menebak jalan pikiran pemuda ini.
“Cita-cita yang bagus,” ucap gadis
itu.
“Kalau kamu cita-citanya apa?”
Zarel belum memikirkan sampai
kesitu. Ia hanya menjalankan hidupnya sesuai alurnya saja. Sekolah, terus
kuliah. Belum terpikir untuk jadi apa.
“Jadi orang sukses,” jawabnya asal.
“Sukses dunia akhirat?” Sindir
Indra.
Zarel sendiri merasa lucu dengan
jawabannya barusan. Akhirnya ia pun ikut tertawa bersama Indra.
“Kita berdua punya jalan yang
bertolak belakang ya,” Zarel berkata, matanya menatap lurus ke depan.
“Aku nggak pernah mikirin aku mau
jadi apa. Aku selalu jalan sesuai alur. Semuanya aku ikutin tanpa aku harus
tanya, Ini mau kemana?─” tuturnya dengan santai. “Semenjak kenal dengan yang
namanya cinta, aku seperti terhipnotis dengan kata-kata itu. Rasanya hidupku
sekarang hanya untuk mengejar cinta.” Zarel mengakhiri ucapannya.
“Mengejar cinta nggak akan ada
habisnya. Sama kayak nyari uang. Kita selalu ngerasa kekurangan. Nggak pernah
puas,” ucap Indra diplomatis.
Zarel mencoba merenungkan kata-kata
Indra barusan. “Kamu benar. Cinta diciptakan untuk membuat kita menjadi rakus.
Rakus akan akan kasih sayang.”
“Kalau kita nggak bisa mengerem
sendiri kerakusan itu, itu yang akan buat kita hancur.”
“Tapi kebanyakan orang, semakin dia
disakitin, semakin dia pengen nyari lagi,” ucap Zarel.
“Dengan alasan belum bisa dapet
orang yang tepat? Iya kan?” Tanya Indra, meminta pendapat Zarel.
“Ya, kamu benar. Itu salah satu
alasannya.”
Mereka diam sesaat. Merenungi setiap
ucapan yang mereka terima. Menatap kosong ke atas awan.
“Dra, lihat mataharinya. Udah malu
tenggelam.”
Indra merasa hari ini berbeda. Meski
ia tidak mampu menatap jelas matahari yang hilang di ufuk senja, tapi ia mampu
menatap dengan jelas gadis yang punya senyum kebahagian, duduk manis di sampingnya.
“Ini pertama kalinya aku lihat
matahari tenggelam. Dan hebatnya, itu sama kamu,” komentar Zarel, tersenyum
lebar menatap Indra. Ia teringat Darka yang selalu menolak jika diajak ke danau
atau hanya sekadar melihat melihat sunset.
Semestinya sekarang ini ia bersama Darka. Semestinya.
Tiba-tiba ponsel Zarel berbunyi.
Darka. Nama itu terpampang jelas di layar ponsel miliknya. Ia yakin, Darka
hanya akan merusak suasana hatinya yang sedang bagus. Ia abaikan panggilan itu
dan memasukkan kembali benda itu ke dalam tas.
***
“Zarel, lo dimana sih,” keluh Darka
kepada dirinya sendiri. Sudah hampir lima belas kali ia menelepon gadis itu.
Tapi tidak kunjung ada sahutan dari ujung sana.
Darka mulai geram. “Udah dibilangin
kalau mau kemana-kemana harus ngabarin dulu. Ini malah ponsel ditinggal,”
ucapnya dengan nada tinggi.
Ia sudah mencoba menghubungi Leandra
dan Fiona, berpikir mungkin Zarel bersama mereka. Namun hasilnya nihil. Mereka
juga tidak tahu Zarel dimana. Darka tiba-tiba ingat untuk menghubungi kediaman
Zarel. Berharap ada petunjuk di sana.
“Ya, waalaikumsalam.” Terdengar
balasan dari suara wanita diujung sana.
“Ini Darka. Zarelnya ada?” Darka
langsung to the point.
“Oh
Kak Darka. Kak Zarelnya lagi pergi.” Terdengar nada ketus dari ujung telepon. Darka
langsung mengenali suara itu.
“Pergi kemana, Zi?”
“Nggak tau, Kak. Kak Zarel nggak
bilang.’
“Dia juga nggak bilang pergi sama
siapa?”
“Nggak,” ucap gadis itu singkat.
Darka mematikan koneksi teleponnya.
Tidak ada yang tahu Zarel pergi kemana. Sudah beberapa hari ini ia dan Zarel
memang jarang komunikasi. Tapi ia selalu menekankan kepada Zarel untuk
memberitahukannya kemanapun gadis itu pergi.
Darka sibuk memainkan jemarinya di
atas keypad Blacberry miliknya. Ia
mengoceh sepanjang mengetik pesan itu. Mondar mandir di dalam ruang keluarga
yang cukup luas. Ada banyak tiang-tiang kayu di sana, dipadukan dengan perlengkapan
furniture model kuno atau tradisional
dengan menggunakan bahan-bahan dan finishing
modern. Lantainya terbuat dari granit buatan. Secara keseluruhan rumah ini
bergaya klasik kontemporer. Suasana sejuk dan damai bisa dengan mudah di
dapatkan di setiap sudut rumah ini. Namun, hal itu tidak berarti apa-apa bagi
Darka sekarang. Emosinya yang membuncah dan sikapnya yang tidak tenang, membuat
ruangan itu menjadi terasa sumpek.
***
“Dra, langitnya udah gelap. Kita
pulang sekarang yuk,” ajak Zarel kepada Indra.
“Ayok,” jawab Indra singkat.
“Biar aku yang anter kamu pulang,”
tutur Zarel, tersenyum ke arah pemuda itu.
Indra menatap Zarel dengan tatapan
menyelidik. Seperti tidak percaya dengan apa yang diucapkan gadis itu.
“Kamu naik apa kesini?” Tanya Indra
kemudian.
“Motor.”
Indra menatap Zarel dengan kening
berkerut. Tatapan yang sudah dapat dimengerti oleh gadis itu.
“Tenang, tenang. Kamu nggak usah
khawatir dengan kemampuan aku dalam bermotor,” ucapnya, berusaha menyakinkan
Indra.
Pemuda itu hanya nyengir-nyengir
mendengar ucapan Zarel. “Yakin kamu bisa bonceng aku?” Tanyanya dengan nada
datar.
“Yakinlah. Tenang aja, kamu akan
pulang dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun.” Zarel tersenyum senang.
Akhirnya mereka segera beranjak dari
tempat itu, menuju parkiran yang terletak tidak jauh dari sana. Ada sekitar
puluhan motor terparkir di sana. Semakin malam memang semakin banyak minat
pengunjung terhadap dananu buatan ini. Bagaimana tidak, lampu-lampu taman
dengan tiang yang tinggi bersinar terang sepanjang jalan menuju danau. Kilauan
air danau yang terpancar cerah ke langit, sungguh cantik. Zarel masih memandang
danau itu dari jarak jauh. Memperhatikannya takut-takut ada yang terlewat.
“Cantik ya,” ucapnya takjub.
“Iya,” sahut Indra. Ikut menatap ke
arah depan.
“Ahhh.” Zarel mengeluh. “Rasanya aku
masih ingin lama-lama di sini.” Zarel mengerucutkan bibirnya, seperti tidak
rela meninggalkan tempat ini.
“Kita pulang sekarang,” ajak Indra.
“Sebentar lagi,” ujar Zarel penuh
penekanan.
“Lain kali kita kesini lagi,” ucap
Indra kepada Zarel.
Zarel langsung menatap Indra dengan
senyum yang mengembang. “Yang bener? Janji?” Tanyanya penuh harap.
Indra tersenyum sambil mengangguk.
Meyakinkan Zarel akan ucapannya.
“Oke. Ayo kita pulang sekarang,”
ucap gadis itu, langsung memutar balik badannya. Ia segera menjangkau dua helm
yang menggantung di atas kaca spion. “Nih,” ucapnya sambil memberikan satu
kepada Indra. Mereka memakainya dengan cepat.
Zarel segera menaiki sepeda motor scoopy sugar blue miliknya, dengan aksen
warna putih pada bodi tengah motor itu.
Perlahan ia mulai menstarter sepeda
motor itu. “Ayo naik,” perintahnya kepada Indra. Pemuda itu langsung menurut
apa yang diperintahkan Zarel.
“Pegangan yang kuat. Kalau jatuh aku
nggak nanggung loh,” ucap Zarel, setengah berteriak.
Indra dengan ragu-ragu memegang
sedikit cardigan warna merah yang
dikenakan gadis itu. Ia begitu menjaga jarak duduknya dengan Zarel. Mesin motor
mulai menyala, dan bergerak meninggalkan tempat itu.
“Mestinya kamu yang bawa ini motor,
bukan aku,” kata Zarel, sedikit menolehkan kepala. Ia tersenyum setelah
mengucapkan kalimat itu.
“Aku minta maaf, Za. Aku nggak
diizinin lagi untuk bawak motor,” jelas Indra.
“Loh, memangnya kenapa? Pernah
kecelakaan?”
“Nggak.”
“Lantas?”
Indra membisu. Membiarkan pertanyaan
itu tidak terjawab. Belum saatnya untuk menceritakan apa yang terjadi,
pikirnya.
Zarel menaikkan gas motornya.
Membawa kendaraan roda dua itu menerjang angin malam yang dingin. Melaju
kencang membelah jalanan kota yang mulai lengang.
Kendaraan belum
terlalu banyak. Hanya lampu merah yang menjadi hambatan perjalanan mereka.
“Kamu kedinginan?” Tanya Indra
tiba-tiba.
“Apa? Aku nggak bisa denger kamu
bilang apaan,” teriak gadis itu, sedikit memiringkan kepalanya.
“Kamu nggak kedinginan?” Kali ini
Indra bertanya dengan nada suara yang dinaikkan.
“Nggak. Udah biasa,” jawab Zarel.
Zarel membelokkan sepeda motornya ke
arah Jalan Kapten A. Rivai. Sejauh ini, mereka berhasil melewati jebakan
beberapa lampu merah. Tapi tiba-tiba terdengar sebuah bunyi.
Ciiitttttt!
Bunyi
gesekan antara roda dengan aspal jalanan. Zarel mengerem mendadak. Membuat
Indra bergerak maju ke depan.
“Hah, kena kan,” keluh gadis itu.
“Kamu kenapa sih? Kena siapa?” Indra
bertanya dengan panik.
“Kena lampu merah,” jawab Zarel.
Indra menghisap udara ke dalam
hidungnya. Setidaknya ia masih bisa bernapas lega karena tidak ada sesuatu
buruk yang terjadi.
“Lampu merah nggak usah dikejer,”
ucap Indra santai. “Dia nggak bakal lari kok,” lanjutnya kemudian.
“Jadinya kan bisa cepet kalau nggak
kena lampu merah,” tutur Zarel. Ia masih memandang traffic light yang tergantung di tengah-tengah jalan simpang
delapan itu.
“Tapi nyawa kamu taruhannya.”
Zarel hanya diam. Tidak menggubris
kata-kata Indra. Ia tersenyum saat melihat lampu merah mati dan mulai berganti
warna. Zarel menarik gas motornya layaknya di arena balap, ia memacu sepeda
motornya mendahului yang lain. Bergerak lurus ke arah utara, kemudian belok ke
kiri, sesuai dengan petunjuk yang Indra berikan kepadanya.
“Stop di depan gedung itu, Za.”
Tunjuk Indra.
“Siap, Bos.”
Zarel perlahan menurunkan gas sepeda
motornya dan mematikan mesinnya.
“Ini kosan kamu?” Tanyanya.
Memperhatikan bangunan bertingkat dua dengan pencahayaan yang terang.
Indra turun dari scoopy milik Zarel. “Iya. Mau mampir
dulu?” Tawarnya pada gadis itu.
“Mmm..” Zarel berpikir sejenak.
“Boleh kalau diizinin.” Ia akhirnya memutuskan untuk ikut masuk ke dalam
bangunan itu.
“Apa nggak kena marah sama Ibu
kosnya, Dra?” Tanya Zarel, menatap kesekeliling. Takut-takut akan ada wanita
tua yang berteriak sambil mengacungkan telunjuk besar ke arah wajahnya.
“Nggak kok. Asal nggak masuk sampai
ke dalam kamar.”
Mereka berjalan menaiki anak tangga
yang akan membawa mereka menuju lantai dua. Suasana begitu sepi. Sepertinya
semuanya sudah tidur, Zarel berpikir.
“Ini kosan khusus laki-laki, kan?”
Zarel bertanya kepada Indra.
“Iya. Kenapa?”
“Ah, tidak. Bukan apa-apa.”
Zarel menatap takjub menyaksikan
taman-taman kecil yang tertata rapi di depan kamar masing-masing pengekos.
Pot-pot kecil dengan satu bunga yang tumbuh dan rumput-rumput yang dipangkas
rapi. Satu lampu taman di setiap teras. Semuanya terlihat begitu seimbang dan
cantik. Siapa pun yang merawat taman-taman ini, ia pasti sangat telaten. Namun
tiba-tiba tatapan Zarel berhenti sesaat. Memandang Indra yang perlahan berjalan
duluan di depannya. Tangan kanan Indra menggantung di udara. Meraba-raba setiap
udara di hadapannya. Seolah mencari benda yang hilang. Zarel yakin ia sedang
tidak salah lihat
“Hey, Bro. Akhirnya lo pulang juga.”
Zarel segera menoleh ke sumber suara
saat seorang pemuda tambun yang berdiri di depan pintu kamar berteriak kepada
Indra.
“Lo pulang sendiri?”
Zarel mencoba meneliti pemuda
dibalik baju piama putih yang sedang berdiri di depan pintu kamar. Ia ingat
pemuda itu.
“Ardi,” sapa Zarel, melangkah
mendekati mereka berdua dengan senyum lebar.
Ardi memicingkan matanya. Kemudian
sebuah senyum lebar segera menghiasi kedua pipinya yang tembam.
“Zarel,” Ardi balas berteriak.
Darka menatap heran tingkah kedua
orang itu. Bagai dua orang yang sudah lama tidak bertemu. Dan akhirnya
dipertemukan lewat satu orang, yaitu dirinya.
“Gue nggak nyangka kita bisa ketemu
lagi,” ucap Ardi ketika mereka telah berdiri berhadapan.
Zarel masih tersenyum lebar. “Apa
kabar kamu, Ar?” Tanyanya kemudian.
“Kayak yang lo lihat sekarang,”
tutur Ardi, melebarkan kedua tangannya.
“Tambah subur lo,” ledek Zarel.
Indra tersenyum kecil melihat mereka
berdua. Ardi dan Zarel adalah dua orang dengan kepribadian yang sama. Sama-sama
bisa buat orang nyaman, meski itu baru pertama kali kenal.
“Ar, lo anter dia ke depan ya,” ucap
Indra setengah berteriak. “Zarel, makasih ya tumpangannya.” Ia ganti bicara
menatap Zarel.
“Iya, Dra. Sama-sama,” balas Zarel
sambil melambaikan tangan ke arah Indra.
“Yok turun sekarang,” ajak Ardi.
Zarel menurut apa kata Ardi. Mereka
melangkah menuruni satu persatu anak tangga yang curam itu.
“Selama kalian pergi tadi, nggak
terjadi apa-apa kan sama Indra?” Ardi bertanya kepada Zarel.
“Nggak. Indra baik-baik aja.”
“Apa dia sempet ngerasa pusing?”
Zarel mengehentikan langkahnya.
Kemudian menatap Ardi. “Apa Indra sakit?” Zarel bertanya dengan hati-hati.
Ardi tidak langsung menjawab.
Matanya hilir mudik menatap bergantian ke arah sekeliling dan Zarel.
“Iya, Za. Indra punya penyakit,”
tuturnya pelan.
Zarel terenyak mendengar kabar itu.
“Sakitnya parah?” Ia benar-benar ingin tahu.
“Indra menderita glaukoma.”
“Glaukoma?”
“Itu semacam penyakit mata yang
dapat menyebabkan kebutaan.”
Zarel spontan langung menutup
mulutnya dengan telapak tangannya. Setengah tidak percaya atas apa yang di
dengarnya barusan. Ia yakin, pasti ia salah dengar.
***
No comments:
Post a Comment