Labels

Friday, March 15, 2013

Between


Bagian 3

            Bumi Sriwijaya masih basah akibat guyuran hujan lebat tadi malam. Halaman rumah becek, daun berguguran, jatuh dan tertidur pulas di atas aspal hitam yang basah. Namun, tak menghalangi Sang Surya untuk memamerkan sinarnya ke seluruh penjuru kota. Di sebuah bangunan tingkat dua, tampak berdiri seorang remaja laki-laki dengan rambut dan wajah yang masih berantakan, terlihat menatap ke angkasa, memperhatikan awan putih yang berarak pelan menyelimuti matahari dari balkon kamar kosnya. Rumah kos bertingkat dua dengan tujuh buah kamar di lantai bawah dan delapan buah kamar di lantai atas. Kosan yang hanya diperuntukan untuk kaum adam.
            “Selamat pagi, Indra,” sapa seseorang dari balik pintu kamar kos sebelah.
            Pemuda yang berdiri di atas balkon itu menoleh. “Tumben lo bangun pagi, Ar,” ucapnya sambil berjalan masuk menuju kamarnya.
            Ardi mengikutinya dari belakang. Kini mereka berdua sudah berada di dalam kamar Indra. “Mumpung hari ini kulih siang, jadi gue mau masak,” kata Ardi sambil berjalan menuju dapur milik Indra.
            Indra yang sudah mengambil tempat di salah satu sofa kulit tua panjang itu memperhatikan sahabatnya yang masuk ke dalam dapur miliknya yang hanya di sekat dengan triplek tebal dengan pelitur mengkilap. “Bahan masakan lo udah habis?” Tanyanya sambil menyalakan televisi layar datar dan memencet remote control, mencari-cari siaran yang menarik baginya.
            “Lo tau aja, Dra,” sahut Ardi dari arah dapur. “Lo mau gue masakin apaan buat sarapan?” Terdengar suara berisik plastik makanan yang di acak-acak dari dalam lemari dingin.           
            “Kerak telor,” sahutnya cepat.
            Ardi yang tengah berjongkok melihat isi lemari dingin milik temannya itu, langsung menoleh dan menyahuti perkataan Indra, “Lo udah kangen sama Jakarta?”
            Indra tak menyahut. Kedua matanya masih menatap layar televisi yang hanya berjarak sekitar hanya 20 centimeter dari matanya. Sejak kemampuan penglihatannya menurun, ia tidak bisa lagi melihat dengan jarak jauh. Penggunaan kacamata pun tidak membantunya apa-apa.
            “Nggak kok, cuma kangen aja sama orang rumah.” Bagi Indra, ingat Jakarta sama saja dengan ingat orang-orang tercinta di sana.
            “Tapi bahan-bahan lo ini nggak memadai buat bikin kerak,” ucap Ardi sambil memperhatikan setiap bahan yang ada di dalam kulkas.
            Indra nyengir lalu berkata, “Nasi goreng aja deh, atau apalah. Terserah lo deh, Ar.”
            “Beres bos.”
            Terdengar suara minyak panas dan wangi bawang yang di goreng di atasnya. Ardi memang pintar memasak bila di bandingkan dengan Indra. Keterampilannya dalam mengolah bahan-bahan dapur yang ada sudah tidak diragukan lagi. Hobinya dalam memasak berbanding lurus dengan nafsu makannya. Serta kehidupan rantau yang menjadikannya mandiri seperti sekarang. Tapi, kebiasaan pemalas yang disandangnya dari dulu, tetap lekat hingga sekarang. Ardi sesekali menghirup aroma bawang yang sudah menguning di dalam minyak panas. Ia kemudian memecahkan dua butir telur ayam dan memasukkannya ke dalam wajan yang berisi bawang goreng. Jemarinya dengan lincah melakukan itu semua. Tak lupa lantunan lagu-lagu lawas mengiri perjalanan memasaknya.
            Plak!
            Sebuah suara keras, seperti benda terbanting ke atas lantai. Ardi langsung berhenti mengaduk nasi yang belum seluruhnya tercampur dengan kecap dan sambal. Tangannya masih menggantung dengan spatula yang digenggamnya. Seperti tersadar, Ardi langsung melepaskan spatula bergagang plastik itu dan meninggalkan kompor yang masih menyala. Ia berlari ke arah ruang tidur Indra dengan wajah cemas.
            “Dra, lo kenapa?” Teriaknya pada Indra saat sampai di ambang pintu. Indra memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat. Kedua mata dan bibirnya sama-sama sayu. Ia bersimpuh di dekat meja kecil di sudut tempat tidur. “Obat lo mana?” Tanya Ardi panik. Mata dan tangannya mengacak-acak lemari milik Indra.
            “Abis,” jawab Indra pendek.
            “Kita ke dokter sekarang,” ucap Ardi sambil membantu temannya itu berdiri
            Namun, Indra dengan cepat menarik tangan Ardi. Kepalanya menggeleng pelan. “Nggak usah. Nggak perlu ke dokter,” sahutnya terbata-bata.
            Ardi ikut berjongkok di sebelah Indra. Menatap wajah temannya itu. Hanya ada segaris kesakitan yang terlihat di sana. Ia dapat merasakan betapa dinginnya tangan Indra lewat genggamannya. “Lo yakin nggak mau ke dokter?” Tanyanya khawatir. Indra hanya mengangguk, mencoba meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja.
            Ardi segera memapah Indra menuju tempat tidur. Mengangkat kedua kaki sahabatnya itu. Ardi merasakan telapak kaki Indra begitu dingin. Tangannya menjadi gemetaran menyelimuti Indra. Tanpa sadar, sebulir air mata jatuh bebas ke atas pipinya yang bulat. Ia sungguh tidak tega melihat kondisi sahabatnya itu.
***
            “Maaf ya, Dra. Nasinya agak gosong,” ucap Ardi pelan dengan kepala tertunduk.
            Indra tersenyum menatap temannya itu. “Kok lo tiba-tiba jadi melow gini.” Ia masih terus menyuap nasi goreng itu dengan lahap. Sesekali mencomot kentang goreng yang disajikan Ardi di atas meja persegi itu, lengkap dengan saus sambalnya.
            “Sejak kapan obat lo habis?” Tanyanya kepada Indra.
            “Nggak tau, Ar.”
            “Jadi lo nggak pernah lagi meriksain mata lo ke dokter?”
            Indra menghentiakan suapannya. Menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan Ardi. “Itu nggak nolong apa-apa buat kesembuhan mata gue,” jawabnya pasrah.
            Ardi menatap nanar ke arah sepasang mata berbentuk almond dengan sudut mata yang menaik ke atas. Bola mata hitam yang menyimpan kekurangan dibalik bentuknya yang indah.
            “Tapi kan seenggaknya itu bisa menghambat, Dra.”
            Indra menyeruput kopi yang telah disiapkan Ardi untuk dirinya. “Cuma menghambat. Bukan menghentikan,” ucapnya sambil berdiri dan berjalan menuju dapur. Ardi mengikutinya dari belakang.
            “Sini gue bantu,” Perlahan Ardi menuangkan air putih ke dalam gelas plastik yang dipegang Indra.
            Ardi dan Indra bukan sepasang sahabat yang sudah merangkai kisah yang cukup lama. Mereka baru berteman selama satu tahun. Sesuai dengan usia kuliah mereka. Ardi yang seorang anak rantau Jakarta dengan segala kehumorisan yang ia miliki dan rasa rendah hatinya, dipertemukan dengan Indra, seorang pemuda yang memiliki kekurangan namun dengan rasa optimis yang tinggi. Sama-sama berasal dari ibu kota, mereka akhirnya memtuskan untuk menjalin hubungan persahabatan. Indra pun begitu percaya kepada Ardi, membuatnya tidak takut untuk membagi rahasianya sekecil apapun kepada pemuda tambun itu.
            “Pulang kuliah ntar gue temenin lo periksa ya,” kata Ardi kepada Indra.
            “Nggak usah. Gue males.”
            Ardi mengikuti Indra kembali ke meja makan. “Tapi, Dra. Apa lo nggak kasihan sama orangtua lo kalau mereka tahu penyakit lo tambah parah.”
            “Udah, abisin tuh nasi lo,” perintah Indra kepada Ardi sambil menunjukk ke arah piring yang masih berisi setengah nasi goreng.
            “Gue nggak mau makan sebelum lo mau diajak periksa ke dokter,” ucap Ardi dengan memasang tampang ngambek.
            Indra terkekeh melihat tingkah sahabatnya itu. “Eh, lo yakin bakal tahan nggak makan selama-lamanya?”
            Ardi mendongak cepat. “Apa? Lo mau menghentikan aksi mogok makan gue? Nggak akan bisa,” jawabnya tegas.
            “Terserah,” sahut Indra sambil mengangkat kedua bahunya. “Gue nggak peduli,” lanjutnya. Pemuda itu segera meninggalkan meja makan, meninggalkan Ardi yang menatapnya kesal.
            Ardi melahap kembali nasi goreng dihadapannya itu dengan kesal. Mengunyahnya cepat. Tidak ingin membiarkan cacing-cacing di perutnya kelaparan. Waktu sudah memburunya untuk segera berangkat ke kampus.
            “Tolong sekalian cuci piringnya ya, Ar,” teriak Indra dari dalam kamar mandi.
            “Iya, gue cuci piringnya. Tapi ntar lo bantuin gue beresin rumah ya,” balas Ardi sambil berteriak. Tidak terdengar sahutan dari dalam sana. Hanya guyuran air yang terdengar.
            Dibanding dengan kamar kosan milik Ardi, kamar kosan Indra jauh lebih tertata dan bersih. Lantai kamar berkeramik putih itu selalu tampak kinclong setiap harinya. Kursi serta meja yang ada di ruangan itu selalu bebas dari debu dan kotoran. Tak lupa juga, tiga kaca tinggi yang transparan lengkap dengan ventilasi di atasnya, yang terletak dua di samping pintu utama dan satu di dalam ruang tidur Indra, selalu terlihat bening tanpa bercak sedikitpun. Ketelatenannya dalam merawat rumah memang sudah ia kuasai sejak dulu, jauh sebelum penyakit itu menggerogoti indra penglihatannya.
            “Selesai lo cuci piring, kita ke kamar lo, biar cepet ke kampus,” kata Indra kepada Ardi. Ia sudah rapi, dengan menggunakan kemeja polos warna ungu tua dan jeans hitam tidak terlalu ketat. Air rambut bekas ia keramas, masih menitik jatuh ke lantai. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi, jauh lebih fresh dan karismatik.
            “Eh, Dra. Gue hampir lupa mau cerita ini ke lo,” ucap Ardi tiba-tiba. Wajahnya langsung berubah ceria dengan senyum mengembang. Indra masih menunggu kelanjutan ceritanya. “Lo inget nggak, cewek cantik yang waktu itu berdiri di samping lo di depan toko sepatu?”
Indra menggeleng. Ardi mencoba mengingat-ingat kembali wajah gadis yang secara tidak sengaja ia temui dua kali berturut-turut. “Kemarin gue ketemu dia lagi loh,” ucap Ardi masih dengan senyum lebar di balik kedua pipinya yang bulat.
            “Lo naksir dia?” Tebak Indra cepat.
            “Hahaha...” Ardi tertawa. Kemudian berkata, “Gue sih punya rencana mau nyomblangi dia sama lo, Dra.” Indra mengernyitkan dahinya. “Gue lihat sih, kalian cocok.” Ardi tersenyum.
            ‘Udah, selesaiin aja cucian lo,” ucap Indra sembari membetulkan letak kancing bajunya.
            Ardi melanjutkan mencuci piring dan cangkir bekas mereka makan. Tapi masih tetap berusah mengajak Indra membahas masalah gadis yang ditemui Ardi kemarin. “Lo liat orangnya kan?”
            “Siapa?”
            “Cewek itu.”
            “Nggak.”
            “Dia di samping lo kemarin, Dra. Masak lo nggak liat sih,” Ardi berucap heran.
            Indra menghela napas panjang. “Gue berdiri jauh. Jadi gue nggak tahu ada orang atau nggak di sekitar gue,” jelasnya kemudian. Satu lagi efek samping dari penyakit yang dideritanya. Jarak pandang yang terbatas.
            Ardi sepertinya lupa dengan kekurangan yang dimiliki temanya ini. Namun, ia cepat sadar dan segera berusaha menetralkan suasana.
            “Kalau gue sih, dimana ada cewek cakep, disitu radar gue langsung bunyi,” ucap Ardi mengangkat kedua tangannya yang penuh sabun, menggerak-gerakkan telunjuk dan jari tengah miliknya bersamaan. Membuat Indra tersenyum geli.
***
            “Eh, Za,” panggil Leandra sambil menoleh ke arah Zarel. “Kita ke butik kemarin yok, lagi ada barang bagus, baru masuk kemarin,” ucap Leandra antusias.
            “Kalian mau kemana?” Tiba-tiba Fiona bertanya, merasa tidak diajak bicara oleh Leandra.
            “Kita mau pergi, tapi bukan ke toko buku,” sahut Leandra, tersenyum manis kepada Fiona.
            “Le,” Zarel berkata sambil menyikut lengan Leandra. Leandra cengengesan.
            “Kita mau ke butik, Fi. Lo mau ikut?” Tanya Zarel mendekati Fiona.
            Fiona tampak berpikir keras. Terlihat raut kebimbangan di wajahnya. “Kapan?” Tanyanya kemudian.
            Zarel menoleh ke arah Leandra, seperti meminta jawaban atas pertanyaan Fiona barusan.
            “Besok aja, kita kan nggak kuliah,” jawab Leandra, menatap lurus ke ujung jalan.
            Teriknya matahari siang ini terhalang oleh daun-daun pepohonan yang tumbuh rimbun di sepanjang jalan kampus menuju terminal. Pohon-pohon besar dengan batangnya yang kokoh serta daunnya yang sudah mulai menguning. Zarel sesekali menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, yang diterbangkan oleh angin pepohonan. Sedangkan Leandra dan Fiona─ yang berdiri di sisi Zarel─menatap ke sekeliling, memperhatikan mahasiswa yang sedang duduk-duduk di bangku taman gedung Fakultas Pertanian yang berdiri berjejer di sisi kanan dan kiri jalan menuju terminal.
            “Tapi gue ada matakuliah besok,” kata Zarel, menatap kedua temannya itu bergantian.
            Leandra dan Fiona menoleh berbarengan ke arah Zarel.
            “Fungsi Kompleks,” lanjut Zarel. Seperti sudah bisa membaca apa yang akan dikatakan kedua sahabatnya itu.
            “Yaudah, sepulang lo kuliah aja. Ntar SMS aja kita kalau lo udah nyampe rumah,” kata Leandra. Zarel menggut-manggut sambil tersenyum meyakinkan.
            Tidak terasa mereka sudah sampai di terminal kampus. Terminal kampus, tempat parkir bis-bis mahasiswa yang ingin pulang ke Palembang. Terletak di tengah-tengah lingkungan kampus. Ada sekitar lebih dari seratus bis terparkir di sana. Setia menunggu mahasiswa yang ingin pulang ke Palembang.
            Zarel selalu suka keadaan terminal dengan bis-bis warna hijau dan kuning yang terparkir rapi disana. Lebih asyik daripada di kelas, pikirnya. Bangku tunggu terminal yang selalu nyaman daripada bangku kelas. Tempat duduk panjang yang terbuat dari enam besi bulat yang diletakkan berjejer, dengan pembatas senderan yang juga terbuat dari besi, membagi tempat duduk itu menjadi dua bagian. Tempat duduk panjang itu diberi pelitur mengkilap, dengan warna merah sebagai catnya. Tempat duduk itu dipayungi oleh sebuah atap yang cukup besar yang tersusun atas aluminium. Disekitar tempat tunggu itu, para pedagang makanan yang saling mengoceh bersahut-sahutan, lebih seru daripada harus mendengarkan dosen yang berdiri berlama-lama. Aroma terminal yang selalu membuat dirinya begitu ingin segera meninggalkan kelas. Meninggalkan buku-buku dan tugas yang bertebaran dengan angka-angka yang membuat matanya menjadi lelah.
            Hampir sampai di bangku terminal, Zarel menangkap seorang pemuda melihat ke arahnya. Pemuda yang juga telah ia kenal sebelumnya, namun ia belum tahu siapa namanya. Zarel balas tersenyum kepada pemuda itu. Pemuda tambun berkulit putih dan temannya, Si Muka Datar.
***
            “Lo senyum sama siapa?” Tanya Indra, melihat Ardi nyengir sendirian.
            Indra dan Ardi sudah lebih dahulu sampai di terminal. Mereka duduk di bangku tunggu terminal. Menunggu bis pulang ke Palembang selanjutnya.
            “Sama cewek yang waktu itu,” bisik Ardi pelan. Indra tak mengubris ucapannya.
            “Eh kita ketemu lagi, Mbak,” sapa Ardi, tersenyum manis ke arah gadis yang sudah berdiri di hadapan mereka.
            “Mas yang waktu itu, kan?” Tanya gadis itu sambil tersenyum.
            Ardi balas tersenyum. Lalu berkata, “Iya, Mbak. Oh ya, kita ketemu terus tapi belum sempat kenalan,” ucapnya seraya menyodorkan telapak tangan kanannya. “Ardi.”
            “Zarel.” Gadis itu membalas jabat tangan Ardi.
            “Lengkapnya, Mbak?” Tanya Ardi tanpa malu-malu.
            “Zarella Kalista,” jawab gadis itu ramah.
            “Kalau saya, Ardi Prakoso,” Ardi berkata.
            “Prakoso, kayak nama artis,” sahut Leandra yang tiba-tiba menimbrungi ucapan Ardi.
            “Iya, Mbak. Bener banget, udah banyak kok orang yang bilang nama saya mirip artis. Tapi ini versi yang gendutnya,” jelas Ardi polos. Membuat semuanya terkekeh.
            Zarel diam-diam memperhatikan pemuda yang duduk di sebelah Ardi. Pemuda itu ikut tersenyum. Tapi sama sekali tidak menatap ke arahnya maupun Ardi. Hanya tatapan lurus ke depan.
            “Oh, iya, kenalin─” ucap Zarel tersadar dari lamunannya. “Ini Leandra dan ini Fiona,” kata Zarel, memperkenalkan dua sahabatnya itu bergantian kepada Ardi.
            Leandra dan Fiona bergantian menyalami Ardi.
            “Cantik-cantik temennya, Mbak,” komentar Ardi. Zarel dan kedua sahabatnya tertawa mendengar ucapan Ardi.
            Ardi baru menyadari kalau ia tidak sendirian. “Hampir lupa, ini kenalin mbak-mbak semuanya, temen saya. Namanya Indra.” Ardi menyikut lengan Indra. “Tangan lo, Dra. Mereka mau kenalan,” bisik Ardi kepada Indra.
            Pemuda berambut ikal itu mengulurkan tangannya dengan malas. Merasa telapak tangannya disentuh, ia berkata, “Indra,” ucapnya singkat.
            “Lengkapnya, Indra Pratisia Yudhanta.” Ardi menambahi. Indra tetap dengan ekspresi datarnya.
            “Nama yang bagus,” celetuk Zarel pelan. Ia berharap tidak ada yang mendengar ucapannya itu, termasuk yang punya nama.
            Zarel hanya tersenyum menanggapi tindakan pemuda itu. Indra tidak seramah Ardi. Tapi Zarel merasa itu bukan masalah besar baginya. Respon wajar untuk orang yang pertama kali baru dikenalnya, Zarel berpikir.
            Zarel segera mengambil tempat duduk di sebelah Ardi, diikuti oleh Leandra dan Fiona.
            “Mbak jurusan apa?” Tanya Ardi membuka pembicaraan.
            “Matematika,” jawab Zarel sambil tersenyum.
            “FKIP?” Tanyanya lagi.
            “Bukan. MIPA.”
            “Oh, anak MIPA,” ucap Ardi nyengir. “Yang dua itu, juga sama?” Ardi menunjuk Leandra dan Fiona yang duduk di samping Zarel.
            “Iya, kita bertiga sekelas,” jawabnya ramah.
            Ardi manggut-manggut. Percakapan mereka terhenti sejenak melihat kernet bis yang hilir mudik.
            “PS, PS. Tiga lagi, tiga lagi,” teriak kernet bis itu sambil melambaikan tangannya. Mengajak naik setiap mahasiswa yang lewat.
            Di terminal kampus ini, memang tersedia tiga jurusan bis pulang ke Palembang. PS─Palembang Square─merupakan salah satu jalur pulang dan turun bis mahasiswa Unsri, selain bungaran dan kampus bukit.
            “Nggak naik ini, Mbak?” Tanya Ardi sambil menunjuk ke arah bis yang parkir di depan mereka.
            “Nggak usah panggil Mbak, panggil aja, Zarel,” ucap gadis itu, tersenyum menatap Ardi.
            Ardi salah tingkah. “Ah, iya iya, Zarel,” ucapnya mengulangi nama itu.
            “Kalian jurusan apa?” Tanya Zarel kemudian.
            “Jurusan yang suka ngitung-ngitungi uang.” Ardi nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih.
            Zarel tertawa. “Akuntansi.” Tebaknya cepat.
            “Yap, seratus buat Zarel.”
            Indra yang sedari tadi hanya mendengar ocehan sahabatnya itu, tersenyum lebar mendengar candaan Ardi barusan.
            “Zarel semester berapa?”
            “Semester tiga, Ar. Kalian?”
            Senyum Ardi kembali mengembang. “Wah, sama dong, saya juga semester tiga. Si Indra juga,” jawabnya. “Orang asli Palembang ya, Za?” Tampaknya Ardi sudah mulai akrab dengan Zarel.
            “Nggak juga sih. Mama orang Padang. Papa orang Palembang,” ucapnya ringan.
            “Wah, jago makan pedes berarti,” komentar Ardi. “Kalau saya sama Indra, anak rantau, Za. Ya nggak, Dra,” kata Ardi, menyenggol lengan Indra.
            Zarel melihat Indra yang hanya manggut menanggapi ucapan Ardi.
            “Oh, rantau dari Pulau Jawa?” Zarel menebak.
            “Tepatnya Jakarta.” Ardi menambahi.
            “Kok nyasar ke Palembang?” Tanya Zarel sambil tersenyum.
            “Takdir.”
            Sontak Zarel tertawa mendengar jawaban singkat Ardi. Leandra dan Fiona yang ternyata mendengar percakapan mereka, juga ikut tertawa. Zarel mencoba mencuri pandang menatap Indra, berharap pemuda itu juga menyelipkan tawanya di wajahnya yang oval. Tanpa sadar  Zarel suka dengan senyuman dan tatapan mata Indra. Sesuatu yang tanpa kita sadari itulah biasanya akan membuat kita selalu teringat.
***

No comments:

Post a Comment