Bagian 3
Bumi Sriwijaya masih basah akibat
guyuran hujan lebat tadi malam. Halaman rumah becek, daun berguguran, jatuh dan
tertidur pulas di atas aspal hitam yang basah. Namun, tak menghalangi Sang
Surya untuk memamerkan sinarnya ke seluruh penjuru kota. Di sebuah bangunan
tingkat dua, tampak berdiri seorang remaja laki-laki dengan rambut dan wajah
yang masih berantakan, terlihat menatap ke angkasa, memperhatikan awan putih
yang berarak pelan menyelimuti matahari dari balkon kamar kosnya. Rumah kos
bertingkat dua dengan tujuh buah kamar di lantai bawah dan delapan buah kamar
di lantai atas. Kosan yang hanya diperuntukan untuk kaum adam.
“Selamat
pagi, Indra,” sapa seseorang dari balik pintu kamar kos sebelah.
Pemuda
yang berdiri di atas balkon itu menoleh. “Tumben lo bangun pagi, Ar,” ucapnya
sambil berjalan masuk menuju kamarnya.
Ardi
mengikutinya dari belakang. Kini mereka berdua sudah berada di dalam kamar
Indra. “Mumpung hari ini kulih siang, jadi gue mau masak,” kata Ardi sambil
berjalan menuju dapur milik Indra.
Indra
yang sudah mengambil tempat di salah satu sofa kulit tua panjang itu
memperhatikan sahabatnya yang masuk ke dalam dapur miliknya yang hanya di sekat
dengan triplek tebal dengan pelitur mengkilap. “Bahan masakan lo udah habis?”
Tanyanya sambil menyalakan televisi layar datar dan memencet remote control, mencari-cari siaran yang
menarik baginya.
“Lo
tau aja, Dra,” sahut Ardi dari arah dapur. “Lo mau gue masakin apaan buat
sarapan?” Terdengar suara berisik plastik makanan yang di acak-acak dari dalam
lemari dingin.
“Kerak
telor,” sahutnya cepat.
Ardi
yang tengah berjongkok melihat isi lemari dingin milik temannya itu, langsung
menoleh dan menyahuti perkataan Indra, “Lo udah kangen sama Jakarta?”
Indra
tak menyahut. Kedua matanya masih menatap layar televisi yang hanya berjarak
sekitar hanya 20 centimeter dari matanya. Sejak kemampuan penglihatannya
menurun, ia tidak bisa lagi melihat dengan jarak jauh. Penggunaan kacamata pun
tidak membantunya apa-apa.
“Nggak
kok, cuma kangen aja sama orang rumah.” Bagi Indra, ingat Jakarta sama saja
dengan ingat orang-orang tercinta di sana.
“Tapi
bahan-bahan lo ini nggak memadai buat bikin kerak,” ucap Ardi sambil
memperhatikan setiap bahan yang ada di dalam kulkas.
Indra
nyengir lalu berkata, “Nasi goreng aja deh, atau apalah. Terserah lo deh, Ar.”
“Beres
bos.”
Terdengar
suara minyak panas dan wangi bawang yang di goreng di atasnya. Ardi memang
pintar memasak bila di bandingkan dengan Indra. Keterampilannya dalam mengolah
bahan-bahan dapur yang ada sudah tidak diragukan lagi. Hobinya dalam memasak
berbanding lurus dengan nafsu makannya. Serta kehidupan rantau yang
menjadikannya mandiri seperti sekarang. Tapi, kebiasaan pemalas yang
disandangnya dari dulu, tetap lekat hingga sekarang. Ardi sesekali menghirup
aroma bawang yang sudah menguning di dalam minyak panas. Ia kemudian memecahkan
dua butir telur ayam dan memasukkannya ke dalam wajan yang berisi bawang
goreng. Jemarinya dengan lincah melakukan itu semua. Tak lupa lantunan
lagu-lagu lawas mengiri perjalanan memasaknya.
Plak!
Sebuah
suara keras, seperti benda terbanting ke atas lantai. Ardi langsung berhenti
mengaduk nasi yang belum seluruhnya tercampur dengan kecap dan sambal.
Tangannya masih menggantung dengan spatula yang digenggamnya. Seperti tersadar,
Ardi langsung melepaskan spatula bergagang plastik itu dan meninggalkan kompor
yang masih menyala. Ia berlari ke arah ruang tidur Indra dengan wajah cemas.
“Dra,
lo kenapa?” Teriaknya pada Indra saat sampai di ambang pintu. Indra memegangi
kepalanya dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat. Kedua mata dan bibirnya
sama-sama sayu. Ia bersimpuh di dekat meja kecil di sudut tempat tidur. “Obat
lo mana?” Tanya Ardi panik. Mata dan tangannya mengacak-acak lemari milik
Indra.
“Abis,”
jawab Indra pendek.
“Kita
ke dokter sekarang,” ucap Ardi sambil membantu temannya itu berdiri
Namun,
Indra dengan cepat menarik tangan Ardi. Kepalanya menggeleng pelan. “Nggak
usah. Nggak perlu ke dokter,” sahutnya terbata-bata.
Ardi
ikut berjongkok di sebelah Indra. Menatap wajah temannya itu. Hanya ada segaris
kesakitan yang terlihat di sana. Ia dapat merasakan betapa dinginnya tangan
Indra lewat genggamannya. “Lo yakin nggak mau ke dokter?” Tanyanya khawatir.
Indra hanya mengangguk, mencoba meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja.
Ardi
segera memapah Indra menuju tempat tidur. Mengangkat kedua kaki sahabatnya itu.
Ardi merasakan telapak kaki Indra begitu dingin. Tangannya menjadi gemetaran
menyelimuti Indra. Tanpa sadar, sebulir air mata jatuh bebas ke atas pipinya
yang bulat. Ia sungguh tidak tega melihat kondisi sahabatnya itu.
***
“Maaf
ya, Dra. Nasinya agak gosong,” ucap Ardi pelan dengan kepala tertunduk.
Indra
tersenyum menatap temannya itu. “Kok lo tiba-tiba jadi melow gini.” Ia masih
terus menyuap nasi goreng itu dengan lahap. Sesekali mencomot kentang goreng
yang disajikan Ardi di atas meja persegi itu, lengkap dengan saus sambalnya.
“Sejak
kapan obat lo habis?” Tanyanya kepada Indra.
“Nggak
tau, Ar.”
“Jadi
lo nggak pernah lagi meriksain mata lo ke dokter?”
Indra
menghentiakan suapannya. Menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan Ardi. “Itu
nggak nolong apa-apa buat kesembuhan mata gue,” jawabnya pasrah.
Ardi
menatap nanar ke arah sepasang mata berbentuk almond dengan sudut mata yang
menaik ke atas. Bola mata hitam yang menyimpan kekurangan dibalik bentuknya
yang indah.
“Tapi
kan seenggaknya itu bisa menghambat, Dra.”
Indra
menyeruput kopi yang telah disiapkan Ardi untuk dirinya. “Cuma menghambat.
Bukan menghentikan,” ucapnya sambil berdiri dan berjalan menuju dapur. Ardi
mengikutinya dari belakang.
“Sini
gue bantu,” Perlahan Ardi menuangkan air putih ke dalam gelas plastik yang dipegang
Indra.
Ardi
dan Indra bukan sepasang sahabat yang sudah merangkai kisah yang cukup lama.
Mereka baru berteman selama satu tahun. Sesuai dengan usia kuliah mereka. Ardi
yang seorang anak rantau Jakarta dengan segala kehumorisan yang ia miliki dan
rasa rendah hatinya, dipertemukan dengan Indra, seorang pemuda yang memiliki
kekurangan namun dengan rasa optimis yang tinggi. Sama-sama berasal dari ibu
kota, mereka akhirnya memtuskan untuk menjalin hubungan persahabatan. Indra pun
begitu percaya kepada Ardi, membuatnya tidak takut untuk membagi rahasianya
sekecil apapun kepada pemuda tambun itu.
“Pulang
kuliah ntar gue temenin lo periksa ya,” kata Ardi kepada Indra.
“Nggak
usah. Gue males.”
Ardi
mengikuti Indra kembali ke meja makan. “Tapi, Dra. Apa lo nggak kasihan sama
orangtua lo kalau mereka tahu penyakit lo tambah parah.”
“Udah,
abisin tuh nasi lo,” perintah Indra kepada Ardi sambil menunjukk ke arah piring
yang masih berisi setengah nasi goreng.
“Gue
nggak mau makan sebelum lo mau diajak periksa ke dokter,” ucap Ardi dengan
memasang tampang ngambek.
Indra
terkekeh melihat tingkah sahabatnya itu. “Eh, lo yakin bakal tahan nggak makan
selama-lamanya?”
Ardi
mendongak cepat. “Apa? Lo mau menghentikan aksi mogok makan gue? Nggak akan
bisa,” jawabnya tegas.
“Terserah,”
sahut Indra sambil mengangkat kedua bahunya. “Gue nggak peduli,” lanjutnya.
Pemuda itu segera meninggalkan meja makan, meninggalkan Ardi yang menatapnya
kesal.
Ardi
melahap kembali nasi goreng dihadapannya itu dengan kesal. Mengunyahnya cepat.
Tidak ingin membiarkan cacing-cacing di perutnya kelaparan. Waktu sudah
memburunya untuk segera berangkat ke kampus.
“Tolong
sekalian cuci piringnya ya, Ar,” teriak Indra dari dalam kamar mandi.
“Iya,
gue cuci piringnya. Tapi ntar lo bantuin gue beresin rumah ya,” balas Ardi
sambil berteriak. Tidak terdengar sahutan dari dalam sana. Hanya guyuran air
yang terdengar.
Dibanding
dengan kamar kosan milik Ardi, kamar kosan Indra jauh lebih tertata dan bersih.
Lantai kamar berkeramik putih itu selalu tampak kinclong setiap harinya. Kursi
serta meja yang ada di ruangan itu selalu bebas dari debu dan kotoran. Tak lupa
juga, tiga kaca tinggi yang transparan lengkap dengan ventilasi di atasnya,
yang terletak dua di samping pintu utama dan satu di dalam ruang tidur Indra,
selalu terlihat bening tanpa bercak sedikitpun. Ketelatenannya dalam merawat
rumah memang sudah ia kuasai sejak dulu, jauh sebelum penyakit itu menggerogoti
indra penglihatannya.
“Selesai
lo cuci piring, kita ke kamar lo, biar cepet ke kampus,” kata Indra kepada
Ardi. Ia sudah rapi, dengan menggunakan kemeja polos warna ungu tua dan jeans hitam tidak terlalu ketat. Air
rambut bekas ia keramas, masih menitik jatuh ke lantai. Wajahnya sudah tidak
sepucat tadi, jauh lebih fresh dan
karismatik.
“Eh,
Dra. Gue hampir lupa mau cerita ini ke lo,” ucap Ardi tiba-tiba. Wajahnya
langsung berubah ceria dengan senyum mengembang. Indra masih menunggu
kelanjutan ceritanya. “Lo inget nggak, cewek cantik yang waktu itu berdiri di
samping lo di depan toko sepatu?”
Indra menggeleng. Ardi mencoba
mengingat-ingat kembali wajah gadis yang secara tidak sengaja ia temui dua kali
berturut-turut. “Kemarin gue ketemu dia lagi loh,” ucap Ardi masih dengan
senyum lebar di balik kedua pipinya yang bulat.
“Lo
naksir dia?” Tebak Indra cepat.
“Hahaha...”
Ardi tertawa. Kemudian berkata, “Gue sih punya rencana mau nyomblangi dia sama
lo, Dra.” Indra mengernyitkan dahinya. “Gue lihat sih, kalian cocok.” Ardi
tersenyum.
‘Udah,
selesaiin aja cucian lo,” ucap Indra sembari membetulkan letak kancing bajunya.
Ardi
melanjutkan mencuci piring dan cangkir bekas mereka makan. Tapi masih tetap
berusah mengajak Indra membahas masalah gadis yang ditemui Ardi kemarin. “Lo
liat orangnya kan?”
“Siapa?”
“Cewek
itu.”
“Nggak.”
“Dia
di samping lo kemarin, Dra. Masak lo nggak liat sih,” Ardi berucap heran.
Indra
menghela napas panjang. “Gue berdiri jauh. Jadi gue nggak tahu ada orang atau
nggak di sekitar gue,” jelasnya kemudian. Satu lagi efek samping dari penyakit
yang dideritanya. Jarak pandang yang terbatas.
Ardi
sepertinya lupa dengan kekurangan yang dimiliki temanya ini. Namun, ia cepat
sadar dan segera berusaha menetralkan suasana.
“Kalau
gue sih, dimana ada cewek cakep, disitu radar gue langsung bunyi,” ucap Ardi
mengangkat kedua tangannya yang penuh sabun, menggerak-gerakkan telunjuk dan
jari tengah miliknya bersamaan. Membuat Indra tersenyum geli.
***
“Eh,
Za,” panggil Leandra sambil menoleh ke arah Zarel. “Kita ke butik kemarin yok,
lagi ada barang bagus, baru masuk kemarin,” ucap Leandra antusias.
“Kalian
mau kemana?” Tiba-tiba Fiona bertanya, merasa tidak diajak bicara oleh Leandra.
“Kita
mau pergi, tapi bukan ke toko buku,” sahut Leandra, tersenyum manis kepada
Fiona.
“Le,”
Zarel berkata sambil menyikut lengan Leandra. Leandra cengengesan.
“Kita
mau ke butik, Fi. Lo mau ikut?” Tanya Zarel mendekati Fiona.
Fiona
tampak berpikir keras. Terlihat raut kebimbangan di wajahnya. “Kapan?” Tanyanya
kemudian.
Zarel
menoleh ke arah Leandra, seperti meminta jawaban atas pertanyaan Fiona barusan.
“Besok
aja, kita kan nggak kuliah,” jawab Leandra, menatap lurus ke ujung jalan.
Teriknya
matahari siang ini terhalang oleh daun-daun pepohonan yang tumbuh rimbun di
sepanjang jalan kampus menuju terminal. Pohon-pohon besar dengan batangnya yang
kokoh serta daunnya yang sudah mulai menguning. Zarel sesekali menyelipkan anak
rambutnya ke belakang telinga, yang diterbangkan oleh angin pepohonan.
Sedangkan Leandra dan Fiona─ yang berdiri di sisi Zarel─menatap ke sekeliling,
memperhatikan mahasiswa yang sedang duduk-duduk di bangku taman gedung Fakultas
Pertanian yang berdiri berjejer di sisi kanan dan kiri jalan menuju terminal.
“Tapi
gue ada matakuliah besok,” kata Zarel, menatap kedua temannya itu bergantian.
Leandra
dan Fiona menoleh berbarengan ke arah Zarel.
“Fungsi
Kompleks,” lanjut Zarel. Seperti sudah bisa membaca apa yang akan dikatakan
kedua sahabatnya itu.
“Yaudah,
sepulang lo kuliah aja. Ntar SMS aja kita kalau lo udah nyampe rumah,” kata
Leandra. Zarel menggut-manggut sambil tersenyum meyakinkan.
Tidak
terasa mereka sudah sampai di terminal kampus. Terminal
kampus, tempat parkir bis-bis mahasiswa yang ingin pulang ke Palembang.
Terletak di tengah-tengah lingkungan kampus. Ada sekitar lebih dari seratus bis
terparkir di sana. Setia menunggu mahasiswa yang ingin pulang ke Palembang.
Zarel selalu suka keadaan terminal
dengan bis-bis warna hijau dan kuning yang terparkir rapi disana. Lebih asyik
daripada di kelas, pikirnya. Bangku tunggu terminal yang selalu nyaman daripada
bangku kelas. Tempat duduk panjang yang terbuat dari enam besi bulat yang
diletakkan berjejer, dengan pembatas senderan yang juga terbuat dari besi,
membagi tempat duduk itu menjadi dua bagian. Tempat duduk panjang itu diberi
pelitur mengkilap, dengan warna merah sebagai catnya. Tempat duduk itu
dipayungi oleh sebuah atap yang cukup besar yang tersusun atas aluminium.
Disekitar tempat tunggu itu, para pedagang makanan yang saling mengoceh
bersahut-sahutan, lebih seru daripada harus mendengarkan dosen yang berdiri
berlama-lama. Aroma terminal yang selalu membuat dirinya begitu ingin segera
meninggalkan kelas. Meninggalkan buku-buku dan tugas yang bertebaran dengan
angka-angka yang membuat matanya menjadi lelah.
Hampir sampai di bangku terminal,
Zarel menangkap seorang pemuda melihat ke arahnya. Pemuda yang juga telah ia
kenal sebelumnya, namun ia belum tahu siapa namanya. Zarel balas tersenyum
kepada pemuda itu. Pemuda tambun berkulit putih dan temannya, Si Muka Datar.
***
“Lo senyum sama siapa?” Tanya Indra,
melihat Ardi nyengir sendirian.
Indra dan Ardi sudah lebih dahulu
sampai di terminal. Mereka duduk di bangku tunggu terminal. Menunggu bis pulang
ke Palembang selanjutnya.
“Sama cewek yang waktu itu,” bisik
Ardi pelan. Indra tak mengubris ucapannya.
“Eh kita ketemu lagi, Mbak,” sapa
Ardi, tersenyum manis ke arah gadis yang sudah berdiri di hadapan mereka.
“Mas yang waktu itu, kan?” Tanya
gadis itu sambil tersenyum.
Ardi balas tersenyum. Lalu berkata,
“Iya, Mbak. Oh ya, kita ketemu terus tapi belum sempat kenalan,” ucapnya seraya
menyodorkan telapak tangan kanannya. “Ardi.”
“Zarel.” Gadis itu membalas jabat
tangan Ardi.
“Lengkapnya, Mbak?” Tanya Ardi tanpa
malu-malu.
“Zarella Kalista,” jawab gadis itu
ramah.
“Kalau saya, Ardi Prakoso,” Ardi
berkata.
“Prakoso, kayak nama artis,” sahut
Leandra yang tiba-tiba menimbrungi ucapan Ardi.
“Iya, Mbak. Bener banget, udah
banyak kok orang yang bilang nama saya mirip artis. Tapi ini versi yang
gendutnya,” jelas Ardi polos. Membuat semuanya terkekeh.
Zarel diam-diam memperhatikan pemuda
yang duduk di sebelah Ardi. Pemuda itu ikut tersenyum. Tapi sama sekali tidak
menatap ke arahnya maupun Ardi. Hanya tatapan lurus ke depan.
“Oh, iya, kenalin─” ucap Zarel
tersadar dari lamunannya. “Ini Leandra dan ini Fiona,” kata Zarel,
memperkenalkan dua sahabatnya itu bergantian kepada Ardi.
Leandra dan Fiona bergantian
menyalami Ardi.
“Cantik-cantik temennya, Mbak,”
komentar Ardi. Zarel dan kedua sahabatnya tertawa mendengar ucapan Ardi.
Ardi baru menyadari kalau ia tidak
sendirian. “Hampir lupa, ini kenalin mbak-mbak semuanya, temen saya. Namanya
Indra.” Ardi menyikut lengan Indra. “Tangan lo, Dra. Mereka mau kenalan,” bisik
Ardi kepada Indra.
Pemuda berambut ikal itu mengulurkan
tangannya dengan malas. Merasa telapak tangannya disentuh, ia berkata, “Indra,”
ucapnya singkat.
“Lengkapnya, Indra Pratisia
Yudhanta.” Ardi menambahi. Indra tetap dengan ekspresi datarnya.
“Nama yang bagus,” celetuk Zarel
pelan. Ia berharap tidak ada yang mendengar ucapannya itu, termasuk yang punya
nama.
Zarel hanya tersenyum menanggapi
tindakan pemuda itu. Indra tidak seramah Ardi. Tapi Zarel merasa itu bukan
masalah besar baginya. Respon wajar untuk orang yang pertama kali baru
dikenalnya, Zarel berpikir.
Zarel segera mengambil tempat duduk
di sebelah Ardi, diikuti oleh Leandra dan Fiona.
“Mbak jurusan apa?” Tanya Ardi
membuka pembicaraan.
“Matematika,” jawab Zarel sambil
tersenyum.
“FKIP?” Tanyanya lagi.
“Bukan. MIPA.”
“Oh, anak MIPA,” ucap Ardi nyengir.
“Yang dua itu, juga sama?” Ardi menunjuk Leandra dan Fiona yang duduk di
samping Zarel.
“Iya, kita bertiga sekelas,”
jawabnya ramah.
Ardi manggut-manggut. Percakapan
mereka terhenti sejenak melihat kernet bis yang hilir mudik.
“PS, PS. Tiga lagi, tiga lagi,”
teriak kernet bis itu sambil melambaikan tangannya. Mengajak naik setiap
mahasiswa yang lewat.
Di terminal kampus ini, memang
tersedia tiga jurusan bis pulang ke Palembang. PS─Palembang Square─merupakan
salah satu jalur pulang dan turun bis mahasiswa Unsri, selain bungaran dan
kampus bukit.
“Nggak naik ini, Mbak?” Tanya Ardi
sambil menunjuk ke arah bis yang parkir di depan mereka.
“Nggak usah panggil Mbak, panggil
aja, Zarel,” ucap gadis itu, tersenyum menatap Ardi.
Ardi salah tingkah. “Ah, iya iya,
Zarel,” ucapnya mengulangi nama itu.
“Kalian jurusan apa?” Tanya Zarel
kemudian.
“Jurusan yang suka ngitung-ngitungi
uang.” Ardi nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih.
Zarel tertawa. “Akuntansi.” Tebaknya
cepat.
“Yap, seratus buat Zarel.”
Indra yang sedari tadi hanya
mendengar ocehan sahabatnya itu, tersenyum lebar mendengar candaan Ardi
barusan.
“Zarel semester berapa?”
“Semester tiga, Ar. Kalian?”
Senyum Ardi kembali mengembang.
“Wah, sama dong, saya juga semester tiga. Si Indra juga,” jawabnya. “Orang asli
Palembang ya, Za?” Tampaknya Ardi sudah mulai akrab dengan Zarel.
“Nggak juga sih. Mama orang Padang.
Papa orang Palembang,” ucapnya ringan.
“Wah, jago makan pedes berarti,”
komentar Ardi. “Kalau saya sama Indra, anak rantau, Za. Ya nggak, Dra,” kata
Ardi, menyenggol lengan Indra.
Zarel melihat Indra yang hanya
manggut menanggapi ucapan Ardi.
“Oh, rantau dari Pulau Jawa?” Zarel
menebak.
“Tepatnya Jakarta.” Ardi menambahi.
“Kok nyasar ke Palembang?” Tanya
Zarel sambil tersenyum.
“Takdir.”
Sontak Zarel tertawa mendengar
jawaban singkat Ardi. Leandra dan Fiona yang ternyata mendengar percakapan mereka,
juga ikut tertawa. Zarel mencoba mencuri pandang menatap Indra, berharap pemuda
itu juga menyelipkan tawanya di wajahnya yang oval. Tanpa sadar Zarel suka dengan senyuman dan tatapan mata Indra.
Sesuatu yang tanpa kita sadari itulah biasanya akan membuat kita selalu
teringat.
***
No comments:
Post a Comment