Bagian 1
Zarel kebingungan saat bis
mahasiswa yang ditumpanginya mendadak berhenti.
“Ada
apa ya, Mas? Kok tiba-tiba berhenti?” Tanyanya kepada pemuda yang duduk di
sebelahnya.
“Kayaknya
mogok, Mbak,” jawab pemuda itu sambil menoleh ke arah Zarel.
Mogok, Zarel berpikir. Ia paling benci
kondisi seperti ini. Jelas jam pulangnya ke Palembang akan bertambah lama.
“Bisnya
mogok, jadi semuanya tolong turun ya,” Kernet bis berteriak kepada semua
penumpang sambil melongokkan kepalanya ke dalam melalui kaca bis.
Semua
penumpang mengeluh. Mereka turun satu persatu, masih dengan berbagai ocehan
yang terdengar tidak terlalu jelas.
“Kalian
tunggu di sini dulu. Bis penggantinya sudah Bapak telponkan,” ucap supir bis
itu kepada semua penumpang yang seluruhnya mahasiswa.
Kuliah
di tempat yang jauh memang membutuhkan pengorbanan yang lebih. Mulai dari
tenaga sampai kesabaran yang lebih. Zarel yang berdiri tidak jauh dari bis
mogok itu memilih untuk diam. Ia sibuk mengibas-ngibaskan tangannya ke arah
wajah dan leher yang mulai berpeluh. Blouse
katun warna peach yang ia kenakan mulai terlihat basah di bagian punggung.
Rambutnya yang ikal panjang terpaksa ia ikat tinggi, supaya angin bebas masuk
ke lehernya. Cuaca sangat panas siang ini. Tidak ada angin yang bertiup demi
memberikan sedikit kesegaran bagi mereka yang sedang berdiri menunggu.
Mahasiswa yang lain juga sama, mereka sibuk mencari perlindungan dari terik
matahari, mengibas-ngibaskan buku besar untuk mendapatkan angin buatan. Zarel
memandang ke sekelilingnya. Jauh memandang hanya hamparan pepohonan dan rumput
ilalang yang terlihat. Terjebak di jalan bebas hambatan seperti ini dengan
hutan belantara di kanan kiri jalan, membuat ia hanya bisa berdiri sambil
berdoa─semoga bis pengganti cepat datang.
“Itu
bisnya,” teriak seorang mahasiswa yang mengenakan topi kupluk bergaris abu-abu
merah, sambil menunjuk ke arah bis mahasiswa yang menuju ke arah mereka. Zarel
menolehkan kepalanya dan segera berjalan mendekati bis yang akan menepi itu.
Mahasiswa yang lain sudah lebih dulu berlarian sebelum bis itu sempat menepi.
Pemandangan yang sudah tidak asing lagi di mata Zarel. Naluri mahasiswa Unsri.
Zarel
celingukan mencari kursi kosong. Semua kursi di dalam bis itu sudah di tempati
oleh mahasiswa. Ia menghela napas panjang. Ini artinya ia harus rela berdiri
selama satu jam lebih sampai ke Palembang. Tiba-tiba Zarel merasakan lengannya
disenggol. Tatapannya langsung berpindah ke arah orang yang menyenggolnya.
“Duduk
sini, Mbak,” ucap seorang pemuda seraya berdiri, memberikan tempat duduknya
pada Zarel.
Gadis
itu tersenyum. “Nggak apa-apa, Mas?”
Pemuda
itu balas tersenyum. “Iya nggak apa-apa.”
Zarel
segera duduk di kursi itu. Pemuda yang menawarinya tempat duduk ini ternyata
adalah pemuda yang duduk di sebelahnya saat di bis sebelumnya.
***
“Permisi,
Mbak.”
Zarel
segera tersadar dari lamunannya. Ia segera menoleh ke arah wanita yang
menyapanya barusan. “Ah, iya-iya,” ucapnya sambil menggeser langkah sedikit ke
kiri. Ia kembali memutar tatapan ke arah seorang pemuda yang mengenakan baju
kaus polos berkerah, warna merah maroon. Pemuda
itu berdiri sekitar satu meter dari tempatnya berdiri sekarang. “Itu pasti dia,” Zarel bergumam.
Gadis
itu masih ingat dengan jelas bagian demi bagian dari kejadian itu. Waktu itu ia
belum sempat berterima kasih kepada pemuda baik hati yang mau memberikan tempat
duduk padanya. Kini, ia bertemu lagi dengan pemuda itu. Ditempat yang berbeda
dengan kondisi yang berbeda pula. Zarel ingin sekali melangkah mendekatinya dan
mengucapkan terima kasihnya yang sempat tertunda. Namun, satu persatu
orang-orang mulai masuk ke dalam pelataran toko sepatu ini. Pelataran toko yang
tidak terlalu besar, membuat ia dan orang-orang itu saling berdesakan. Toko
sepatu dua pintu yang sudah lama berdiri di tempat itu─catnya yang mulai
mengelupas dan ornamen di dinding luar yang mulai memudar─memang sering
dijadikan tempat berteduh di kala hujan. Kini, orang-orang itu menutupi
jalannya untuk melangkah ke arah pemuda yang sudah tidak terlihat lagi batang
hidungnya, tertutupi oleh orang-orang yang ikut berteduh dari hujan.
Zarel
mendongakkan kepalanya menatap langit gelap yang masih menggantung di
tempatnya. Disertai angin dingin yang menusuk tulang. Zarel menyilangkan kedua
tangannya di depan dada, mengusap-usap lengannya berkali-kali. Berharap cara
ini dapat menghalau dinginnya udara sore itu. Blouse polos lengan pendek warna hijau muda berbahan twiscone yang ia kenakan, tidak cukup
tebal untuk menahan angin yang berhembus. Sudah hampir setengah jam orang-orang
ini bersamanya. Di bawah atap pelataran sebuah toko sepatu. Hujan yang semakin
deras membuat Zarel benar-benar terjebak di tempat itu. Percikan air hujan yang
jatuh ke lantai, sesekali mengenai sepatu flat
warna hitam berbahan buludru yang ia kenakan.
Zarel
menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. Ia selalu suka hujan. Menatap
rinainya yang jatuh ke bumi membuat hatinya merasa damai. Ia suka wangi tanah
saat hujan, ada aroma khas berasal dari sana. Zarel suka hujan. Tetapi tidak
dengan geledek dan petir yang mendampinginya. Di balik semua itu, Zarel selalu
menunggu pelangi yang bersembunyi di balik hujan saat ia menghilang.
Gemuruh
besar itu terdengar lagi. Kilatan cahaya putih pun seperti tidak ingin
ketinggalan perannya. Zarel langsung menutup telinganya dengan kedua telapak
tangannya yang dingin, mengatasi rasa cemas setiap kali gemuruh datang di kala
hujan.
Selang
beberapa saat dari gemuruh besar itu, langit tampak mulai cerah. Awan hitam
sudah mulai menarik diri, memberikan tempatnya kepada awan putih. Hujan deras
memang sudah berlalu, hanya menyisakan gerimis kecil. Satu-persatu orang-orang
itu mulai melangkahkan kaki meninggalkan pelataran toko sepatu. Menyisakan
Zarel dan seorang pemuda tinggi berkulit cokelat dengan rambut ikal yang
sedikit berantakan. Pemuda yang sama dengan yang dilihatnya setengah jam lalu.
Zarel hanya bisa menatapnya dari arah samping. Hidung pemuda itu mancung.
Rahangnya tegas. Zarel menelusuri ke arah bawah. Melirik jeans panjang warna hitam
yang basah di bagian ujung bawah. Sepatu kulit yang dipakainya tampak kotor di
bagian depan, terkena percikan tanah dan mungkin terkena cipratan air yang
menggenang. Zarel beralih menatap tas hitam besar yang ia dukung dengan
kesusahan. Mungkin isinya terlalu berat, hingga pemuda itu tampak kewalahan.
Pemuda
itu mendadak menoleh. Merasakan ada yang memperhatikannya. Zarel bergeming.
Terkejut dengan tatapan mendadak itu. Ia berusaha tersenyum, mengurangi
kekakuan yang tiba-tiba menjalari tubuhnya. Namun, pemuda itu bereaksi lain. Ia
hanya diam menatap Zarel. Tidak ada senyum balasan atau kata-kata yang keluar
dari mulut pemuda itu. Respon datar yang diterima Zarel membuatnya segera
memalingkan wajah. Kembali menatap ke atas. Ke arah langit yang sudah mulai
terang dengan kapasitas rinai yang semakin sedikit. Gadis itu masih menunggu
pelangi yang bersembunyi. Apakah
laki-laki itu juga menunggu pelangi?
Di
langit, terlihat busur cahaya dengan ujungnya mengarah pada horison, berbentuk
setengah lingkaran yang terjadi karena pembiasan cahaya matahari oleh
butir-butir air. Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu yang
berada dalam spektrum warna yang berasal dari satu warna, yaitu putih, tersusun
cantik dan indah yang dapat menghipnotis siapa saja yang melihatnya. Entah
sejak kapan Zarel telah terkena hiponotis itu. Ia begitu mengagumi keindahan
pelangi. Menatap bianglala itu berjam-jam tidak akan membuatnya bosan. Hanya
saja mungkin pelanginya yang akan bosan jika dilihat berlama-lama dan akan
segera menghilang.
Ponsel
gadis itu tiba-tiba berdering.
“Halo,”
ucap Zarel setelah ponsel itu menempel di telinganya.
Terdengar
suara seorang pemuda dari ujung telepon. “Lima menit lagi aku ke sana ya.
Jangan kemana-mana.”
“Iya,
Ka. Aku tungguin kamu,” jawab Zarel tersenyum. Tiba-tiba matanya menangkap
seorang pemuda berbadan tambun berkulit putih sedang berlari-lari ke arah mereka─lebih
tepatnya ke arah pemuda di samping Zarel.
“Za,
kamu masih di situ kan,” seru pemuda di ujung telepon.
“Ah,
iya. Aku masih di sini. Kan nungguin kamu.”
Zarel masih menatap pemuda tambun yang menjemput
pemuda berwajah datar itu. Sepertinya mereka berteman. Pemuda tambun itu tersenyum
ke arahnya, kemudian menunduk. Seperti berkata, “Duluan.” Zarel balas tersenyum
sambil menundukkan kepala. Dua orang itu berlalu dari pandangannya, masuk ke
dalam sebuah kijang silver yang terparkir tidak jauh dari toko sepatu.
“Oke
deh. Aku ke sana sekarang ya. Bye,” ucap
lawan bicaranya di telepon.
***
Zarel
masih menunggu di pelataran toko sepatu. Sudah hampir setengah jam selepas
kepergiaan dua orang pemuda yang bersamanya tadi. Sesekali ia melirik jam
tangan hitam kecil yang melingkari pergelangan tangannya. Memandang setiap
mobil ataupun motor yang melintas di depan toko sepatu itu. Berharap yang ia
tunggu ada di antara mereka. Orang-orang mulai ramai keluar masuk toko sepatu.
Ada yang membeli
dan ada yang sekedar melihat-lihat. Pelayan toko
sepatu itu sudah dari tadi
memperhatikannya. Membuat Zarel merasa risih, ingin
secepatnya pergi dari tempat itu.
Selalu seperti ini, Zarel mengeluh. Ia
kembali melirik jam tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu dari ia terakhir
melihat jam itu. Ia benar-benar harus ekstra sabar menghadapi kebiasaan Darka
yang sering kali terlambat menjemputnya. Hampir saja Zarel memutuskan untuk pergi
dari tempat itu, jika mobil sedan warna hitam mengkilat itu tidak berhenti
dihadapannya. Kaca mobil terbuka dari dalam.
“Ayo
masuk,” Darka berkata sambil membukakan pintu mobil.
Zarel
melangkah menuju mobil sambil memberengutkan wajahnya. Dihempaskannya pintu
mobil itu dengan kuat saat menutupnya.
“Maaf,
Za. Tadi ada urusan bentar, jadi telat jemputnya,” Darka berkata sambil
menghidupkan kembali mesin mobil.
“Iya, nggak apa-apa kok. Udah ngerti kebiasaan
kamu,” ucap Zarel cuek.
Darka
tersenyum sambil menatap Zarel. “Tadi ada pelangi. Kamu pasti lihat pelangi
dulu, kan?”
“Iya
dong, nggak mungkin aku nggak lihat,” jawab gadis itu tersenyum. Ia memang
tidak bisa marah berlama-lama. Jika sudah diajak berbicara, apalagi mengenai
hal yang disukainya, ia akan langsung melupakan emosinya.
Darka
tersenyum sambil menatap jalanan dari balik kaca mobil.
“Memangnya
tadi kamu kemana dulu?” Zarel bertanya kepada Darka.
“Tadi
Papa kebetulan ada di rumah. Jadi dia ngajak ngobrol. Bicarain soal
perusahaan.”
“Oh,
Papa kamu udah pulang?” Zarel masih menatap Darka.
Darka
tersenyum tanpa menoleh ke arah Zarel. “Udah, semalem.”
“Mama
kamu juga udah pulang?”
Darka
tersenyum getir. Tidak langsung menjawab pertanyaan Zarel. Tatapannya masih
terpaut ke arah jalan di depannya.
“Kamu
tahu kan kalau dia nggak bakal pulang lagi,” ucap Darka mengingatkan Zarel.
“Iya,
aku tahu. Aku pikir dia datang untuk lihat keadaan kamu,” sahut Zarel pelan.
“Kamu
nggak pulang bareng Le sama Fiona?” Tanya Darka mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Nggak.
Tadi mereka ada matakuliah tambahan. Jadi aku pulang duluan.”
“Ka,”
panggil Zarel sambil tersenyum.
“Hmm..”
“Kamu
inget kan besok hari apa?”
“Besok
hari Rabu, kan?”
“Iya,
besok Rabu. Kamu inget kan tapi besok ada apaan.”
Darka
menggeleng. Matanya masih setia menatap jalanan kota yang mulai ramai oleh
pengendara roda dua maupun roda empat. Ia kemudian mencoba melirik Zarel yang
duduk di sampingnya yang sedang memonyongkan bibirnya. Darka pun tersenyum
jahil ke arahnya.
“Mau
makan dulu nggak?”
“Terserah,”
jawab Zarel singkat.
Darka
langsung menaikkan gas mobilnya. Melaju kencang membelah jalanan. Menyusuri
setiap gedung-gedung yang berjejer di sisi kanan dan kiri jalan. Ia kemudian
menghentikan mobilnya di sebuah cafe
yang cukup besar. Cafe bergaya
minimalis tanpa ukiran di setiap posisi manapun. Zarel dan Darka memilih kursi
kosong yang terletak di ujung ruangan. Kursi yang terbuat dari rotan itu tampak
cantik dengan hiasan pita besar yang dililitkan pada sandarannya. Tidak jauh
dari tempat mereka duduk, di sudut belakang, sebuah sofa L panjang pun
tersedia─untuk yang ingin lebih santai. Darka mengacungkan tangannya mencoba
memanggil pramusaji cafe itu.
“Kamu
mau pesen apa?” Tanya Darka pada Zarel setelah pramusaji memberikan daftar menu
kepada mereka.
Zarel
menggerucutkan bibirnya. Matanya hilir mudik melihat daftar menu makanan dan
minuman yang tertulis. “Pancake pisang cokelat aja deh,” ucapnya kepada Darka.
“Sama ice lemon tea,” lanjut Zarel.
Darka
menyebutkan pesanan mereka berdua kepada pramusaji yang berdiri disamping
Zarel. Pramusaji itu mencatat setiap ucapan Darka dengan cepat.
“Silakan
tunggu sebentar ya, Mas, Mbak,” ucap pramusaji kepada mereka berdua sambil
tersenyum. Kemudian ia berlalu meninggalkan Darka dan Zarel.
Darka
menatap Zarel yang sibuk mengutak-atik
ponselnya.
“Lagi
ngapain?”
“Ini,
lagi balesin SMS-nya Le,” jawab Zarel tanpa balas menatap Darka.
Darka
mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja kayu yang terbuat dari jati.
Memandang ke sekeliling ruangan yang dicat merah terang selebar tiga puluh
sentimeter di setiap sudut dinding. Dominasi warna kuning gading menjadi fokus
utama di cafe itu. Seorang pramusaji
laki-laki tampak berjalan ke arah meja Darka dan Zarel. Dengan senyum ramah
kepada pelanggan, pramusaji itu segera menurunkan hidangan yang terletak di
atas nampan hitam besar yang ia pegang dengan sebelah tangan.
“Silakan,”
kata pramusaji itu kepada Darka.
Darka
balas tersenyum sambil berkata, “Terima kasih.”
Pramusaji
itu segera berbalik badan meninggalkan Darka yang sibuk mengatur letak hidangan
di hadapannya.
“Makan
dulu, Za. Ntar disambung lagi SMSannya,” perintah Darka.
Zarel
menuruti perintah Darka. Ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas yang ia
letakkan di kursi sebelahnya. Kemudian mengambil gelas tinggi yang berisi ice lemon tea pesanannya. Mengaduk-aduk
minuman tersebut sebelum meminumnya.
“Mau
coba?” Darka menyodorkan makanannya pada Zarel.
“Enak?”
“Cobain
aja dulu,” jawab Darka.
Darka
memesan toastbread with lost of flavours rasa
manis dengan topping pisang, keju, dan cokelat. Zarel mengiris kecil toastbread tersebut dan memasukkannya ke
dalam mulutnya.
“Enak,” ucapnya setelah tostbread itu luruh dalam mulutnya. Darka tersenyum sambil
mengaduk-aduk vanilla latte dingin yang ia pesan.
“Pancakenya
juga enak. Mau coba?” Zarel menunjuk pancake
dengan toping lelehan cokelat dan potongan pisang di atasnya. Darka
menggeleng sambil tersenyum.
“Yaudah,” Zarel berkata sambil mengiris kembali
makanannya.
“Nggak terasa ya, Za. Besok udah delapan bulan aja kita
pacaran.”
Zarel menghentikan tangannya memotong pancake itu.
“Kirain aku, kamu udah lupa besok hari apa.”
Darka
tertawa rendah. “Nggak mungkin lah aku lupa hari anniversary kita.”
Zarel
tersenyum menatap pemuda di hadapannya itu. Melihat jauh ke dalam mata Darka.
Mata yang berbentuk wide set eyes ini
memiliki jarak yang lebar antara kedua belah mata, kira-kira jaraknya lebih
dari lebar satu mata. Mata Darka selalu memancarkan sinar kepercayaan diri dan rasa hangat bila Zarel menatapnya. Kedua
bola mata berwarna cokelat itu dinaungi oleh sepasang alis yang tipis, hitam
dan melengkung rapi. Kulit wajahnya yang putih dengan hidung mancung dan dagu
belah yang dimilikinya, terlihat proporsional dengan bentuk wajahnya yang oval dan
rahang yang tegas.
Zarel
mengaduk-aduk minuman yang sudah tinggal setengah itu. Mengiris kembali pancake yang hampir habis. Mereka berdua
diam sejenak. Saling menikmati hidangan masing-masing. Membiarkan suara riuh
rendah dari pengunjung lain meramaikan kebisuan di tengah mereka.
***
“Besok
kuliah?”
Zarel
menggeleng. “Kenapa? Mau ngajak jalan?”
“Iya.
Kita ngerayainnya di luar aja, gimana?” Tanya Darka sambil menatap mata Zarel.
Zarel punya mata yang indah. Warna matanya hitam. Bentuk matanya menonjol,
dengan kelopak mata lebar, memberi kesan seperti mata boneka.
Zarel
mengangkat kedua bahunya, dan berkata, “Terserah, aku ikutin kamu aja.”
“Yaudah,
aku yang atur semuanya. Aku jemput kamu sekitar jam satu, terus kita nonton,
makan. Baru malemnya kita jalan-jalan ke luar.”
Zarel
tertawa renyah mendengar rentetan rencana yang telah dirancang Darka untuk
perayaan anniversarry mereka besok.
“Iya, aku setuju. Asalkan sama kamu.” Terkadang Zarel merasakan ia nyaman
berada di dekat Darka. Tapi terkadang ia juga merasakan ketidaknyaman di dekat
pemuda itu.
“Aku
harap kita bisa terus sama-sama sampai nanti,” ucap Darka menatap lekat-lekat
gadis yang dicintainya itu.
“Aku
harap juga gitu, Ka.”
“Kamu
jangan sampai ngelirik cowok lain atau pergi kemana-mana, Za.”
“Emangnya
aku mau kemana?”
“Pokoknya
jangan pernah ninggalin aku,” ucap Darka datar. “Cukup mereka yang sering
ninggalin aku. Jangan sampai kamu juga.”
Zarel
berusaha memberikan senyum terbaiknya pada Darka. Ia tahu benar pemuda di
hadapannya itu merasa kehilangan kasih sayang dari dua orang yang seharusnya
memberikan perhatian lebih untuknya. Bukan hanya bergulat dengan pekerjaan
siang dan malam. Rasa kehilangan yang di rasakan Darka, menjadi penyebab
mengapa sampai sekarang ia masih ingin bertahan dengan pemuda itu.
“Aku
usahain, Ka. Aku nggak bisa kasih janji apa-apa sama kamu,” ucapnya pelan.
“Nggak
perlu janji kamu, Za. Yang penting kamu bisa kasih bukti ke aku kalau kamu
nggak akan ninggalin aku.”
“Iya,
Ka. Aku coba usahain.” Zarel tersenyum. “Ka, aku pengen tanya hal ini ke kamu.
Ntar kamu marah kalau aku nggak tanya dulu,” lanjut Zarel ragu.
“Tanya
apaan?”
“Leandra
mau ajak aku ke Lombok. Boleh nggak aku ikut?” Tanya Zarel sambil mengaduk-aduk
minuman yang hampir habis itu. Tidak sabar menunggu jawaban Darka.
“Nggak
boleh.”
“Loh,
kenapa? Mama aja ngebolehin kok aku ikut.”
“Nggak
usah ikut deh. Kalau kamu mau liburan ke sana, ntar kita pergi berdua. Liburan
sepuasnya di sana.”
“Tapi,
Ka. Aku pengennya pergi sama Le. Lagian kan cuma bentar, palingan cuma satu
minggu,” ucap Zarel terus mendesak Darka.
“Kamu
kalau udah sama Le, kamu itu sering lupa waktu. Nggak inget jam,” komentar
Darka sambil menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi rotan itu.
“Aku
sama Le itu udah sahabat lama. Kamu tahu itu, kan?” Tanya Zarel sambil menatap
Darka yang tidak bergeming menatapnya. “Dan dari dulu nggak ada masalah kalau
aku sama dia.”
Darka
menghela napas panjang. Membuat rahangnya mengeras. Kedua bola matanya menatap
tajam ke arah Zarel. “Aku bilang nggak boleh, ya nggak boleh. Kamu inget kan,
waktu itu kamu bilang kamu akan selalu nurutin apa kata aku.”
Zarel
menggigit bibir bawahnya. Menahan setumpuk emosi yang kini bersarang di
tenggorokannya. Matanya menatap ke arah lain. Tidak menjawab yang ditanyakan
oleh Darka. Tiba-tiba indera penciumannya menangkap aroma roti dan madu yang
sengaja mampir di hidungnya. Aroma asinnya roti yang sedang di bakar dan
manisnya madu yang di siram di atas roti bakar itu, mampu melenyapkan setumpuk
emosi yang melingkar di tenggorokannya. Zarel menarik napas panjang sebelum
menngomentari ucapan Darka.
“Iya,
aku turutin mau kamu.”
***
No comments:
Post a Comment