Labels

Friday, March 15, 2013

Between


Bagian 1
           
            Zarel kebingungan saat bis mahasiswa yang ditumpanginya mendadak berhenti.
            “Ada apa ya, Mas? Kok tiba-tiba berhenti?” Tanyanya kepada pemuda yang duduk di sebelahnya.
            “Kayaknya mogok, Mbak,” jawab pemuda itu sambil menoleh ke arah Zarel.
            Mogok, Zarel berpikir. Ia paling benci kondisi seperti ini. Jelas jam pulangnya ke Palembang akan bertambah lama.
            “Bisnya mogok, jadi semuanya tolong turun ya,” Kernet bis berteriak kepada semua penumpang sambil melongokkan kepalanya ke dalam melalui kaca bis.
            Semua penumpang mengeluh. Mereka turun satu persatu, masih dengan berbagai ocehan yang terdengar tidak terlalu jelas.
            “Kalian tunggu di sini dulu. Bis penggantinya sudah Bapak telponkan,” ucap supir bis itu kepada semua penumpang yang seluruhnya mahasiswa.
            Kuliah di tempat yang jauh memang membutuhkan pengorbanan yang lebih. Mulai dari tenaga sampai kesabaran yang lebih. Zarel yang berdiri tidak jauh dari bis mogok itu memilih untuk diam. Ia sibuk mengibas-ngibaskan tangannya ke arah wajah dan leher yang mulai berpeluh. Blouse katun warna peach yang ia kenakan mulai terlihat basah di bagian punggung. Rambutnya yang ikal panjang terpaksa ia ikat tinggi, supaya angin bebas masuk ke lehernya. Cuaca sangat panas siang ini. Tidak ada angin yang bertiup demi memberikan sedikit kesegaran bagi mereka yang sedang berdiri menunggu. Mahasiswa yang lain juga sama, mereka sibuk mencari perlindungan dari terik matahari, mengibas-ngibaskan buku besar untuk mendapatkan angin buatan. Zarel memandang ke sekelilingnya. Jauh memandang hanya hamparan pepohonan dan rumput ilalang yang terlihat. Terjebak di jalan bebas hambatan seperti ini dengan hutan belantara di kanan kiri jalan, membuat ia hanya bisa berdiri sambil berdoa─semoga bis pengganti cepat datang.
            “Itu bisnya,” teriak seorang mahasiswa yang mengenakan topi kupluk bergaris abu-abu merah, sambil menunjuk ke arah bis mahasiswa yang menuju ke arah mereka. Zarel menolehkan kepalanya dan segera berjalan mendekati bis yang akan menepi itu. Mahasiswa yang lain sudah lebih dulu berlarian sebelum bis itu sempat menepi. Pemandangan yang sudah tidak asing lagi di mata Zarel. Naluri mahasiswa Unsri.
            Zarel celingukan mencari kursi kosong. Semua kursi di dalam bis itu sudah di tempati oleh mahasiswa. Ia menghela napas panjang. Ini artinya ia harus rela berdiri selama satu jam lebih sampai ke Palembang. Tiba-tiba Zarel merasakan lengannya disenggol. Tatapannya langsung berpindah ke arah orang yang menyenggolnya.
            “Duduk sini, Mbak,” ucap seorang pemuda seraya berdiri, memberikan tempat duduknya pada Zarel.
            Gadis itu tersenyum. “Nggak apa-apa, Mas?”
            Pemuda itu balas tersenyum. “Iya nggak apa-apa.”
            Zarel segera duduk di kursi itu. Pemuda yang menawarinya tempat duduk ini ternyata adalah pemuda yang duduk di sebelahnya saat di bis sebelumnya.
***
            “Permisi, Mbak.”
            Zarel segera tersadar dari lamunannya. Ia segera menoleh ke arah wanita yang menyapanya barusan. “Ah, iya-iya,” ucapnya sambil menggeser langkah sedikit ke kiri. Ia kembali memutar tatapan ke arah seorang pemuda yang mengenakan baju kaus polos berkerah, warna merah maroon. Pemuda itu berdiri sekitar satu meter dari tempatnya berdiri sekarang. “Itu pasti dia,” Zarel bergumam.
            Gadis itu masih ingat dengan jelas bagian demi bagian dari kejadian itu. Waktu itu ia belum sempat berterima kasih kepada pemuda baik hati yang mau memberikan tempat duduk padanya. Kini, ia bertemu lagi dengan pemuda itu. Ditempat yang berbeda dengan kondisi yang berbeda pula. Zarel ingin sekali melangkah mendekatinya dan mengucapkan terima kasihnya yang sempat tertunda. Namun, satu persatu orang-orang mulai masuk ke dalam pelataran toko sepatu ini. Pelataran toko yang tidak terlalu besar, membuat ia dan orang-orang itu saling berdesakan. Toko sepatu dua pintu yang sudah lama berdiri di tempat itu─catnya yang mulai mengelupas dan ornamen di dinding luar yang mulai memudar─memang sering dijadikan tempat berteduh di kala hujan. Kini, orang-orang itu menutupi jalannya untuk melangkah ke arah pemuda yang sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya, tertutupi oleh orang-orang yang ikut berteduh dari hujan.
            Zarel mendongakkan kepalanya menatap langit gelap yang masih menggantung di tempatnya. Disertai angin dingin yang menusuk tulang. Zarel menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mengusap-usap lengannya berkali-kali. Berharap cara ini dapat menghalau dinginnya udara sore itu. Blouse polos lengan pendek warna hijau muda berbahan twiscone yang ia kenakan, tidak cukup tebal untuk menahan angin yang berhembus. Sudah hampir setengah jam orang-orang ini bersamanya. Di bawah atap pelataran sebuah toko sepatu. Hujan yang semakin deras membuat Zarel benar-benar terjebak di tempat itu. Percikan air hujan yang jatuh ke lantai, sesekali mengenai sepatu flat warna hitam berbahan buludru yang ia kenakan.
            Zarel menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. Ia selalu suka hujan. Menatap rinainya yang jatuh ke bumi membuat hatinya merasa damai. Ia suka wangi tanah saat hujan, ada aroma khas berasal dari sana. Zarel suka hujan. Tetapi tidak dengan geledek dan petir yang mendampinginya. Di balik semua itu, Zarel selalu menunggu pelangi yang bersembunyi di balik hujan saat ia menghilang.
            Gemuruh besar itu terdengar lagi. Kilatan cahaya putih pun seperti tidak ingin ketinggalan perannya. Zarel langsung menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya yang dingin, mengatasi rasa cemas setiap kali gemuruh datang di kala hujan.
            Selang beberapa saat dari gemuruh besar itu, langit tampak mulai cerah. Awan hitam sudah mulai menarik diri, memberikan tempatnya kepada awan putih. Hujan deras memang sudah berlalu, hanya menyisakan gerimis kecil. Satu-persatu orang-orang itu mulai melangkahkan kaki meninggalkan pelataran toko sepatu. Menyisakan Zarel dan seorang pemuda tinggi berkulit cokelat dengan rambut ikal yang sedikit berantakan. Pemuda yang sama dengan yang dilihatnya setengah jam lalu. Zarel hanya bisa menatapnya dari arah samping. Hidung pemuda itu mancung. Rahangnya tegas. Zarel menelusuri ke arah bawah. Melirik jeans  panjang warna hitam yang basah di bagian ujung bawah. Sepatu kulit yang dipakainya tampak kotor di bagian depan, terkena percikan tanah dan mungkin terkena cipratan air yang menggenang. Zarel beralih menatap tas hitam besar yang ia dukung dengan kesusahan. Mungkin isinya terlalu berat, hingga pemuda itu tampak kewalahan.
            Pemuda itu mendadak menoleh. Merasakan ada yang memperhatikannya. Zarel bergeming. Terkejut dengan tatapan mendadak itu. Ia berusaha tersenyum, mengurangi kekakuan yang tiba-tiba menjalari tubuhnya. Namun, pemuda itu bereaksi lain. Ia hanya diam menatap Zarel. Tidak ada senyum balasan atau kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu. Respon datar yang diterima Zarel membuatnya segera memalingkan wajah. Kembali menatap ke atas. Ke arah langit yang sudah mulai terang dengan kapasitas rinai yang semakin sedikit. Gadis itu masih menunggu pelangi yang bersembunyi. Apakah laki-laki itu juga menunggu pelangi?
            Di langit, terlihat busur cahaya dengan ujungnya mengarah pada horison, berbentuk setengah lingkaran yang terjadi karena pembiasan cahaya matahari oleh butir-butir air. Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu yang berada dalam spektrum warna yang berasal dari satu warna, yaitu putih, tersusun cantik dan indah yang dapat menghipnotis siapa saja yang melihatnya. Entah sejak kapan Zarel telah terkena hiponotis itu. Ia begitu mengagumi keindahan pelangi. Menatap bianglala itu berjam-jam tidak akan membuatnya bosan. Hanya saja mungkin pelanginya yang akan bosan jika dilihat berlama-lama dan akan segera menghilang.
            Ponsel gadis itu tiba-tiba berdering.
            “Halo,” ucap Zarel setelah ponsel itu menempel di telinganya.
            Terdengar suara seorang pemuda dari ujung telepon. “Lima menit lagi aku ke sana ya. Jangan kemana-mana.”
            “Iya, Ka. Aku tungguin kamu,” jawab Zarel tersenyum. Tiba-tiba matanya menangkap seorang pemuda berbadan tambun berkulit putih sedang berlari-lari ke arah mereka─lebih tepatnya ke arah pemuda di samping Zarel.
            “Za, kamu masih di situ kan,” seru pemuda di ujung telepon.
            “Ah, iya. Aku masih di sini. Kan nungguin kamu.”
 Zarel masih menatap pemuda tambun yang menjemput pemuda berwajah datar itu. Sepertinya mereka berteman. Pemuda tambun itu tersenyum ke arahnya, kemudian menunduk. Seperti berkata, “Duluan.” Zarel balas tersenyum sambil menundukkan kepala. Dua orang itu berlalu dari pandangannya, masuk ke dalam sebuah kijang silver yang terparkir tidak jauh dari toko sepatu.
            “Oke deh. Aku ke sana sekarang ya. Bye,” ucap lawan bicaranya di telepon.
***
            Zarel masih menunggu di pelataran toko sepatu. Sudah hampir setengah jam selepas kepergiaan dua orang pemuda yang bersamanya tadi. Sesekali ia melirik jam tangan hitam kecil yang melingkari pergelangan tangannya. Memandang setiap mobil ataupun motor yang melintas di depan toko sepatu itu. Berharap yang ia tunggu ada di antara mereka. Orang-orang mulai ramai keluar masuk toko sepatu. Ada yang membeli
dan ada yang sekedar melihat-lihat. Pelayan toko sepatu itu sudah dari tadi
memperhatikannya. Membuat Zarel merasa risih, ingin secepatnya pergi dari tempat itu.
            Selalu seperti ini, Zarel mengeluh. Ia kembali melirik jam tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu dari ia terakhir melihat jam itu. Ia benar-benar harus ekstra sabar menghadapi kebiasaan Darka yang sering kali terlambat menjemputnya. Hampir saja Zarel memutuskan untuk pergi dari tempat itu, jika mobil sedan warna hitam mengkilat itu tidak berhenti dihadapannya. Kaca mobil terbuka dari dalam.
            “Ayo masuk,” Darka berkata sambil membukakan pintu mobil.
            Zarel melangkah menuju mobil sambil memberengutkan wajahnya. Dihempaskannya pintu mobil itu dengan kuat saat menutupnya.
            “Maaf, Za. Tadi ada urusan bentar, jadi telat jemputnya,” Darka berkata sambil menghidupkan kembali mesin mobil.
            “Iya,  nggak apa-apa kok. Udah ngerti kebiasaan kamu,” ucap Zarel cuek.
            Darka tersenyum sambil menatap Zarel. “Tadi ada pelangi. Kamu pasti lihat pelangi dulu, kan?”
            “Iya dong, nggak mungkin aku nggak lihat,” jawab gadis itu tersenyum. Ia memang tidak bisa marah berlama-lama. Jika sudah diajak berbicara, apalagi mengenai hal yang disukainya, ia akan langsung melupakan emosinya.
            Darka tersenyum sambil menatap jalanan dari balik kaca mobil.
            “Memangnya tadi kamu kemana dulu?” Zarel bertanya kepada Darka.
            “Tadi Papa kebetulan ada di rumah. Jadi dia ngajak ngobrol. Bicarain soal perusahaan.”
            “Oh, Papa kamu udah pulang?” Zarel masih menatap Darka.
            Darka tersenyum tanpa menoleh ke arah Zarel. “Udah, semalem.”
            “Mama kamu juga udah pulang?”
            Darka tersenyum getir. Tidak langsung menjawab pertanyaan Zarel. Tatapannya masih terpaut ke arah jalan di depannya.
            “Kamu tahu kan kalau dia nggak bakal pulang lagi,” ucap Darka mengingatkan Zarel.
            “Iya, aku tahu. Aku pikir dia datang untuk lihat keadaan kamu,” sahut Zarel pelan.
            “Kamu nggak pulang bareng Le sama Fiona?” Tanya Darka mencoba mengalihkan pembicaraan.
            “Nggak. Tadi mereka ada matakuliah tambahan. Jadi aku pulang duluan.”
            “Ka,” panggil Zarel sambil tersenyum.
            “Hmm..”
            “Kamu inget kan besok hari apa?”
            “Besok hari Rabu, kan?”
            “Iya, besok Rabu. Kamu inget kan tapi besok ada apaan.”
            Darka menggeleng. Matanya masih setia menatap jalanan kota yang mulai ramai oleh pengendara roda dua maupun roda empat. Ia kemudian mencoba melirik Zarel yang duduk di sampingnya yang sedang memonyongkan bibirnya. Darka pun tersenyum jahil ke arahnya.
            “Mau makan dulu nggak?”
            “Terserah,” jawab Zarel singkat.
            Darka langsung menaikkan gas mobilnya. Melaju kencang membelah jalanan. Menyusuri setiap gedung-gedung yang berjejer di sisi kanan dan kiri jalan. Ia kemudian menghentikan mobilnya di sebuah cafe yang cukup besar. Cafe bergaya minimalis tanpa ukiran di setiap posisi manapun. Zarel dan Darka memilih kursi kosong yang terletak di ujung ruangan. Kursi yang terbuat dari rotan itu tampak cantik dengan hiasan pita besar yang dililitkan pada sandarannya. Tidak jauh dari tempat mereka duduk, di sudut belakang, sebuah sofa L panjang pun tersedia─untuk yang ingin lebih santai. Darka mengacungkan tangannya mencoba memanggil pramusaji cafe itu.
            “Kamu mau pesen apa?” Tanya Darka pada Zarel setelah pramusaji memberikan daftar menu kepada mereka.
            Zarel menggerucutkan bibirnya. Matanya hilir mudik melihat daftar menu makanan dan minuman yang tertulis. “Pancake pisang cokelat aja deh,” ucapnya kepada Darka. “Sama ice lemon tea,” lanjut Zarel.
            Darka menyebutkan pesanan mereka berdua kepada pramusaji yang berdiri disamping Zarel. Pramusaji itu mencatat setiap ucapan Darka dengan cepat.
            “Silakan tunggu sebentar ya, Mas, Mbak,” ucap pramusaji kepada mereka berdua sambil tersenyum. Kemudian ia berlalu meninggalkan Darka dan Zarel.
            Darka menatap Zarel yang sibuk mengutak-atik  ponselnya.
            “Lagi ngapain?”
            “Ini, lagi balesin SMS-nya Le,” jawab Zarel tanpa balas menatap Darka.
            Darka mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja kayu yang terbuat dari jati. Memandang ke sekeliling ruangan yang dicat merah terang selebar tiga puluh sentimeter di setiap sudut dinding. Dominasi warna kuning gading menjadi fokus utama di cafe itu. Seorang pramusaji laki-laki tampak berjalan ke arah meja Darka dan Zarel. Dengan senyum ramah kepada pelanggan, pramusaji itu segera menurunkan hidangan yang terletak di atas nampan hitam besar yang ia pegang dengan sebelah tangan.
            “Silakan,” kata pramusaji itu kepada Darka.
            Darka balas tersenyum sambil berkata, “Terima kasih.”
            Pramusaji itu segera berbalik badan meninggalkan Darka yang sibuk mengatur letak hidangan di hadapannya.
            “Makan dulu, Za. Ntar disambung lagi SMSannya,” perintah Darka.
            Zarel menuruti perintah Darka. Ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Kemudian mengambil gelas tinggi yang berisi ice lemon tea pesanannya. Mengaduk-aduk minuman tersebut sebelum meminumnya.
            “Mau coba?” Darka menyodorkan makanannya pada Zarel.
            “Enak?”
            “Cobain aja dulu,” jawab Darka.
            Darka memesan toastbread with lost of flavours rasa manis dengan topping pisang, keju, dan cokelat. Zarel mengiris kecil toastbread tersebut dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
            “Enak,” ucapnya setelah tostbread itu luruh dalam mulutnya. Darka tersenyum sambil mengaduk-aduk vanilla latte dingin yang ia pesan.
            “Pancakenya juga enak. Mau coba?” Zarel menunjuk pancake dengan toping lelehan cokelat dan potongan pisang di atasnya. Darka menggeleng sambil tersenyum.
            “Yaudah,” Zarel berkata sambil mengiris kembali makanannya.
            “Nggak terasa ya, Za. Besok udah delapan bulan aja kita pacaran.”
            Zarel menghentikan tangannya memotong pancake itu.
            “Kirain aku, kamu udah lupa besok hari apa.”
            Darka tertawa rendah. “Nggak mungkin lah aku lupa hari anniversary kita.”
            Zarel tersenyum menatap pemuda di hadapannya itu. Melihat jauh ke dalam mata Darka. Mata yang berbentuk wide set eyes ini memiliki jarak yang lebar antara kedua belah mata, kira-kira jaraknya lebih dari lebar satu mata. Mata Darka selalu memancarkan sinar kepercayaan diri  dan rasa hangat bila Zarel menatapnya. Kedua bola mata berwarna cokelat itu dinaungi oleh sepasang alis yang tipis, hitam dan melengkung rapi. Kulit wajahnya yang putih dengan hidung mancung dan dagu belah yang dimilikinya, terlihat proporsional dengan bentuk wajahnya yang oval dan rahang yang tegas.
            Zarel mengaduk-aduk minuman yang sudah tinggal setengah itu. Mengiris kembali pancake yang hampir habis. Mereka berdua diam sejenak. Saling menikmati hidangan masing-masing. Membiarkan suara riuh rendah dari pengunjung lain meramaikan kebisuan di tengah mereka.
***
            “Besok kuliah?”
            Zarel menggeleng. “Kenapa? Mau ngajak jalan?”
            “Iya. Kita ngerayainnya di luar aja, gimana?” Tanya Darka sambil menatap mata Zarel. Zarel punya mata yang indah. Warna matanya hitam. Bentuk matanya menonjol, dengan kelopak mata lebar, memberi kesan seperti mata boneka.
            Zarel mengangkat kedua bahunya, dan berkata, “Terserah, aku ikutin kamu aja.”
            “Yaudah, aku yang atur semuanya. Aku jemput kamu sekitar jam satu, terus kita nonton, makan. Baru malemnya kita jalan-jalan ke luar.”
            Zarel tertawa renyah mendengar rentetan rencana yang telah dirancang Darka untuk perayaan anniversarry mereka besok. “Iya, aku setuju. Asalkan sama kamu.” Terkadang Zarel merasakan ia nyaman berada di dekat Darka. Tapi terkadang ia juga merasakan ketidaknyaman di dekat pemuda itu.
            “Aku harap kita bisa terus sama-sama sampai nanti,” ucap Darka menatap lekat-lekat gadis yang dicintainya itu.
            “Aku harap juga gitu, Ka.”
            “Kamu jangan sampai ngelirik cowok lain atau pergi kemana-mana, Za.”
            “Emangnya aku mau kemana?”
            “Pokoknya jangan pernah ninggalin aku,” ucap Darka datar. “Cukup mereka yang sering ninggalin aku. Jangan sampai kamu juga.”
            Zarel berusaha memberikan senyum terbaiknya pada Darka. Ia tahu benar pemuda di hadapannya itu merasa kehilangan kasih sayang dari dua orang yang seharusnya memberikan perhatian lebih untuknya. Bukan hanya bergulat dengan pekerjaan siang dan malam. Rasa kehilangan yang di rasakan Darka, menjadi penyebab mengapa sampai sekarang ia masih ingin bertahan dengan pemuda itu.
            “Aku usahain, Ka. Aku nggak bisa kasih janji apa-apa sama kamu,” ucapnya pelan.
            “Nggak perlu janji kamu, Za. Yang penting kamu bisa kasih bukti ke aku kalau kamu nggak akan ninggalin aku.”
            “Iya, Ka. Aku coba usahain.” Zarel tersenyum. “Ka, aku pengen tanya hal ini ke kamu. Ntar kamu marah kalau aku nggak tanya dulu,” lanjut Zarel ragu.
            “Tanya apaan?”
            “Leandra mau ajak aku ke Lombok. Boleh nggak aku ikut?” Tanya Zarel sambil mengaduk-aduk minuman yang hampir habis itu. Tidak sabar menunggu jawaban Darka.
            “Nggak boleh.”
            “Loh, kenapa? Mama aja ngebolehin kok aku ikut.”
            “Nggak usah ikut deh. Kalau kamu mau liburan ke sana, ntar kita pergi berdua. Liburan sepuasnya di sana.”
            “Tapi, Ka. Aku pengennya pergi sama Le. Lagian kan cuma bentar, palingan cuma satu minggu,” ucap Zarel terus mendesak Darka.
            “Kamu kalau udah sama Le, kamu itu sering lupa waktu. Nggak inget jam,” komentar Darka sambil menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi rotan itu.
            “Aku sama Le itu udah sahabat lama. Kamu tahu itu, kan?” Tanya Zarel sambil menatap Darka yang tidak bergeming menatapnya. “Dan dari dulu nggak ada masalah kalau aku sama dia.”
            Darka menghela napas panjang. Membuat rahangnya mengeras. Kedua bola matanya menatap tajam ke arah Zarel. “Aku bilang nggak boleh, ya nggak boleh. Kamu inget kan, waktu itu kamu bilang kamu akan selalu nurutin apa kata aku.”
            Zarel menggigit bibir bawahnya. Menahan setumpuk emosi yang kini bersarang di tenggorokannya. Matanya menatap ke arah lain. Tidak menjawab yang ditanyakan oleh Darka. Tiba-tiba indera penciumannya menangkap aroma roti dan madu yang sengaja mampir di hidungnya. Aroma asinnya roti yang sedang di bakar dan manisnya madu yang di siram di atas roti bakar itu, mampu melenyapkan setumpuk emosi yang melingkar di tenggorokannya. Zarel menarik napas panjang sebelum menngomentari ucapan Darka.
            “Iya, aku turutin mau kamu.”
***

No comments:

Post a Comment