Bagian 14
Orang
yang kita cintai menjadi tidak berarti di saat kita hilang ingatan. Mungkin itu
adalah cara terbaik untuk melupakan kenangan pahit yang tidak ingin di kenang.
Zarel merasa jika bisa, ia ingin kehilangan setengah kenangannya saat bertemu
Darka. Atau mungkin ia dapat mengubur kenangan itu di dalam pasir dan tidak
akan pernah menggalinya lagi.
“Nyari harta karun?”
Tiba-tiba indra pendengaran Zarel
menangkap suara yang begitu dekat dengannya. Suara yang belakangan ini menjadi
begitu dekatnya.
Ia menengadahkan kepalanya. “Ngubur
kenangan,” Zarel menjawab pertanyaan Indra.
Indra ikut berjongkok di depannya.
Ikut menggali-gali pasir berwarna putih itu.
“Maaf ya, Dra,” ucap Zarel pelan.
Kepalanya masih tertunduk menatap butiran pasir yang menggunung.
“Minta maaf kenapa?”
“Udah ngerepotin kamu dengan masalah
aku.”
“Aku kan emang pernah janji sama
kamu akan ngajak kamu ke tempat ini lagi.”
Zarel menatap Indra dengan tatapan
kosong. Sinar matanya meneliti setiap lekuk wajah pemuda itu.
“Mata kamu indah, Dra.” Zarel
tersenyum.
“Indah dengan keterbatasan.
Sekarang, aku cuma bisa lihat sampai batas kamu duduk.”
Indra duduk sekitar 50 centimeter di
hadapannya. Hanya sebatas itu pemuda itu bisa melihat sekarang.
“Kamu bisa lihat aku dengan jelas?”
Tanya Zarel.
“Samar-samar.”
Zarel memalingkan wajahnya menatap
ke sekeliling tempat itu. Berjuta-juta butiran pasit terhampar luas di tempat
itu. Semuanya tampak berkilau karena terpaan sinar matahari sore. Sedikit panas
namun teduh di bagian lain. Zarel mencium aroma pasir yang khas. Gelak tawa
dari pengunjung pantai yang sibuk mengabadikan momen bersama. Ada juga yang
sengaja mengukir nama mereka di atas pasir lalu memotretnya. Ia dapat melihat
jelas dari balik kedua bola mata yang tidak berkekurangan ini. Sedangkan Indra,
hanya kesamaran yang ada di sekitarnya.
“Penglihatan kamu bisa kembali
normal kan?” Zarel bertanya takut-takut kepada Indra.
“Udah nggak ada harapan lagi, Za.
Tinggal tunggu waktunya aja.” Darka tertawa kecil.
“Apa ini penyakit keturunan?”
“Sepertinya bukan.”
Zarel tidak bersuara. Ia yakin Indra
masih ingin melanjutkan ceritanya.
“Aku lahir sama seperti kalian,
normal dan sehat, tanpa kurang satu apapun. Tapi saat di usia 6 tahun,
penglihatanku mulai berangsur-angsur turun dan hanya mencapai 1 meter.”
Zarel betul-betul menyimak cerita
Indra. Ia tidak melepaskan sedikit pun pandangannya dari wajah oval itu.
“Akhirnya saat diperiksakan ke
dokter, aku divonis menderita glaukoma.”
Zarel sempat mencari informasi di
internet mengenai glaukoma. Salah satu penyakit mata yang diakibatkan saluran
cairan yang keluar dari bola mata. Cairan itu perlahan-lahan akan menjepit
saraf mata hingga mengakibatkan kebutaan.
“Apa kamu sempat kecelakaan?” Zarel
bertanya. Ia baru ingat, glaukoma bisa diakibatkan oleh usia atau kecelakaan.
Indra mengangguk. “Dulu saat umur 4
tahun, aku pernah jatuh dari sepeda dan kepalaku terbentur keras,” ucapnya. Ia
mulai mengingat-ingat masa 15 tahun silam. “Anehnya, waktu itu sama sekali
nggak ada luka. Dan setelah diperiksa ternyata baru tahu bahayanya.”
“Terus?” Zarel mulai penasaran.
“Benturan keras itu membuat cairan
di bola mata pecah dan menimbun saraf mata.”
Zarel refleks menutup mulutnya dengan
telapak tangan. Ia benar-benar tidak menyangka separah itu akibatnya.
Indra merasa sakit bila mengingat
kondisinya yang divonis berujung pada kebutaan. “Pemeriksaan rutin ke dokter
dan dokter nyaranin untuk pakai kacamata.” Ia kemudian menggeleng pelan. “Tapi
itu sama sekali nggak membantu. Yang ada malah semakin kabur.” Dan ini adalah
bagian terpentingnya. “Sampai usia 15 tahun, operasi enam kali yang udah aku
jalanin juga nggak memberikan kesembuhan. Kata dokter, operasi hanya menahan
dan memperlambat kebutaan.”
Zarel termenung mendengar cerita ini
langsung dari Indra. Awalnya ia mengira tidak sampai separah itu. Tapi ternyata
dugaannya salah.
“Tapi semangat kamu nggak pernah
surut, Dra. Jujur aku kagum sama itu.”
“Sempet Ibu waktu itu nyuruh aku
untuk berhenti sekolah, karena temen-temen yang selalu mojokin. Bilang kalau
aku nggak bisa lihat.” Ia tertawa kecil. “Dan karena kesendirian itulah aku
sadar, yang bisa aku andalkan hanya diri aku sendiri. Aku yang harus merubah
duniaku sendiri dengan tangan ini walau tanpa mata,” ujarnya.
“Dan terbukti sampai sekarang kamu
bisa ngelakuin itu.”
Darka mengubah posisi duduknya.
Berusaha mencari kenyamanan.
“Aku
nggak tahu kapan kebutaan itu akan datang. Entah saat aku bangun tidur. Atau
saat aku sendirian. Aku nggak pernah tahu.”
Zarel
memandang ke sekelilingnya. Mengamati tempat itu dari sudut matanya.
“Saat
waktu itu tiba, kamu akan punya dunia yang baru,”ujar Zarel.
“Aku
sendiri merasa belum siap untuk nerima dunia itu. Makanya mulai dari sekarang
aku udah banyak latihan.”
“Latihan?”
Zarel mengernyitkan heran.
Indra
mengangguk pasti.
“Latihan
apaan?”
“Latihan
jalan dengan tongkat, biar ntar udah terbiasa,” jawab Indra, tersenyum menatap
Zarel.
Zarel
terkekeh mendengar lelucon Indra.
Makin
sore orang-orang yang berkunjung ke tempat ini juga makin ramai. Zarel merasa
orang-orang ini juga punya tujuan sama dengannya. Tujuannya dengan Darka, dulu,
yang sampai sekarang tidak akan pernah terwujud.
“Ngomong-ngomong,
kamu tadi gali-gali pasir buat apaan?” Indra menatap Zarel yang sekarang duduk
bersila, sama sepertinya.
“Buat
ngubur kenangan.”
Indra
tertawa bergumam mendengar jawabannya.
“Kenapa
ketawa?” Zarel balik bertanya. “Nggak percaya? Nih.” Tunjuknya ke dalam lubang
yang telah ia gali tidak terlalu dalam.
“Kamu
putus dari Darka?” Tebak Indra. Membuat Zarel langsung menatapnya.
“Kamu
tahu dari siapa?” Zarel menyipitkan matanya. “Pasti dari Leandra atau nggak
Fiona, iya kan?” Tanyanya curiga.
Indra
menggeleng mantap. “Kalau cewek udah bertingkah konyol, apalagi kalau bukan
diputusin sama cowoknya,” tutur Indra cuek.
“Hah?”
Zarel tertegun menatap Indra. Tidak habis pikir kenapa Indra bisa menyimpulkan
hal aneh seperti itu.
“Bukan
dia atau aku yang mutusin. Ini kesepakatan kita masing-masing,” ujar Zarel.
“Aku
nggak tahu alasan kalian putus karena apa. Tapi─”
“Itu
bukan karena kamu kok.” Zarel cepat-cepat memotong ucapan Indra.
Indra
menarik kedua ujung bibirnya begitu lebar hingga kedua pipinya sakit. Zarel
menatap Indra seperti orang bodoh.
“Kok
kamu ketawa?”
“Lucu
aja lihat ekspresi kamu tadi,” ungkap Indra.
Zarel
buru-buru menundukkan kepala. Alih-alih mencegah Indra menjadi merasa tidak
enak, malah dirinya sendiri yang menjadi malu.
“Aku
nggak masalah kalian mau putus karena siapa. Kalau udah nggak cocok ya lebih
baik jangan diterusin,” ujar Indra.
“Iya.”
Zarel hanya menjawab pelan. Ia masih merasa malu akibat tingkahnya sendiri.
“Udah
nggak usah dipikirin.”
Zarel
perlahan mengangkat kepalanya. Ditatapnya Indra yang kini duduk menghadap ke
pantai. Rambut ikalnya semakin berantakan akibat tiupan angin yang cukup
kencang. Seulas senyum terukir di wajahnya yang bundar.
“Kamu
ngeliatin aku ya.” Tiba-tiba Indra mengagetkan Zarel sambil mengacungkan
telunjuknya tepat ke wajah gadis itu.
“Iya,”
jawabnya. “Rambut kamu berantakan.”
Indra
langsung memegang rambutnya dan beralih menatap kepala Zarel dengan rambut yang
di cepol.
“Gantengan
gini,” ucapnya sambil mengacak-acak rambut ikalnya.
Zarel
mendengus pelan. Ia tiba-tiba merubah raut wajahnya menjadi sedikit lebih
serius dengan sinar mata yang sedikit genit. Diletakkannya kedua telapak
tangannya di atas pipi, sambil berkata, “Kak Indra, Kak Indra ganteng banget.”
“Anak
pinter.” Indra mengelus pelan kepala Zarel. “Aku anggap itu sebagai pujian.”
Pipinya
lagi-lagi panas. Zarel masih membekap kedua pipinya itu. Matanya berkedip
berkali-kali. Berharap ini bukan mimpi. Jikalau ini memang sebuah mimpi, ia
tidak akan pernah mau bangun.
“Za,
kasih tahu aku ya kalau mataharinya udah mau terbenam.”
Zarel
masih mengumpulkan kesadarannya. “Ah, iya-iya,” ucapnya terbata.
“Aku
nggak pernah nyangka kalau akhirnya kita bisa jadi temen deket kayak gini.”
Indra mulai serius.
“Sama.
Aku kira dulu kamu nggak akan pernah mau membagi kisah hidup kamu sama aku.”
Zarel melambungkan kembali ingatannya saat pertama kali bertemu Indra. “Tapi
sekarang, kita bisa saling bantu.”
“Aku
nggak pernah minta kamu untuk jadi temen aku, Za. Aku nggak mau kamu merasa
terbebani karena penyakit ini.”
“Aku
juga nggak pernah maksain diri aku untuk berteman sama kamu, Dra. Semuanya
berjalan seiring waktu. Aku ngerasa nyaman didekat kamu,” ujar Zarel.
Indra
menoleh menatap Zarel. “Kasih tahu aku kalau kamu udah nggak nyaman lagi sama
aku.”
“Terus?”
“Aku
akan tetap paksa kamu untuk terus nyaman sama aku. Sampai kapanpun.”
Zarel
membiarkan senyumnya mengembang. Ia suka dengan cara Indra menyampaikan kalimat
itu. Sederhana namun bermakna. Semakna I
Love You.
***
No comments:
Post a Comment