Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 14

            Orang yang kita cintai menjadi tidak berarti di saat kita hilang ingatan. Mungkin itu adalah cara terbaik untuk melupakan kenangan pahit yang tidak ingin di kenang. Zarel merasa jika bisa, ia ingin kehilangan setengah kenangannya saat bertemu Darka. Atau mungkin ia dapat mengubur kenangan itu di dalam pasir dan tidak akan pernah menggalinya lagi.
            “Nyari harta karun?”
            Tiba-tiba indra pendengaran Zarel menangkap suara yang begitu dekat dengannya. Suara yang belakangan ini menjadi begitu dekatnya.
            Ia menengadahkan kepalanya. “Ngubur kenangan,” Zarel menjawab pertanyaan Indra.
            Indra ikut berjongkok di depannya. Ikut menggali-gali pasir berwarna putih itu.
            “Maaf ya, Dra,” ucap Zarel pelan. Kepalanya masih tertunduk menatap butiran pasir yang menggunung.
            “Minta maaf kenapa?”
            “Udah ngerepotin kamu dengan masalah aku.”
            “Aku kan emang pernah janji sama kamu akan ngajak kamu ke tempat ini lagi.”
            Zarel menatap Indra dengan tatapan kosong. Sinar matanya meneliti setiap lekuk wajah pemuda itu.
            “Mata kamu indah, Dra.” Zarel tersenyum.
            “Indah dengan keterbatasan. Sekarang, aku cuma bisa lihat sampai batas kamu duduk.”
            Indra duduk sekitar 50 centimeter di hadapannya. Hanya sebatas itu pemuda itu bisa melihat sekarang.
            “Kamu bisa lihat aku dengan jelas?” Tanya Zarel.
            “Samar-samar.”
            Zarel memalingkan wajahnya menatap ke sekeliling tempat itu. Berjuta-juta butiran pasit terhampar luas di tempat itu. Semuanya tampak berkilau karena terpaan sinar matahari sore. Sedikit panas namun teduh di bagian lain. Zarel mencium aroma pasir yang khas. Gelak tawa dari pengunjung pantai yang sibuk mengabadikan momen bersama. Ada juga yang sengaja mengukir nama mereka di atas pasir lalu memotretnya. Ia dapat melihat jelas dari balik kedua bola mata yang tidak berkekurangan ini. Sedangkan Indra, hanya kesamaran yang ada di sekitarnya.
            “Penglihatan kamu bisa kembali normal kan?” Zarel bertanya takut-takut kepada Indra.
            “Udah nggak ada harapan lagi, Za. Tinggal tunggu waktunya aja.” Darka tertawa kecil.
            “Apa ini penyakit keturunan?”
            “Sepertinya bukan.”
            Zarel tidak bersuara. Ia yakin Indra masih ingin melanjutkan ceritanya.
            “Aku lahir sama seperti kalian, normal dan sehat, tanpa kurang satu apapun. Tapi saat di usia 6 tahun, penglihatanku mulai berangsur-angsur turun dan hanya mencapai 1 meter.”
            Zarel betul-betul menyimak cerita Indra. Ia tidak melepaskan sedikit pun pandangannya dari wajah oval itu.
            “Akhirnya saat diperiksakan ke dokter, aku divonis menderita glaukoma.”
            Zarel sempat mencari informasi di internet mengenai glaukoma. Salah satu penyakit mata yang diakibatkan saluran cairan yang keluar dari bola mata. Cairan itu perlahan-lahan akan menjepit saraf mata hingga mengakibatkan kebutaan.
            “Apa kamu sempat kecelakaan?” Zarel bertanya. Ia baru ingat, glaukoma bisa diakibatkan oleh usia atau kecelakaan.
            Indra mengangguk. “Dulu saat umur 4 tahun, aku pernah jatuh dari sepeda dan kepalaku terbentur keras,” ucapnya. Ia mulai mengingat-ingat masa 15 tahun silam. “Anehnya, waktu itu sama sekali nggak ada luka. Dan setelah diperiksa ternyata baru tahu bahayanya.”
            “Terus?” Zarel mulai penasaran.
            “Benturan keras itu membuat cairan di bola mata pecah dan menimbun saraf mata.”
            Zarel refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia benar-benar tidak menyangka separah itu akibatnya.
            Indra merasa sakit bila mengingat kondisinya yang divonis berujung pada kebutaan. “Pemeriksaan rutin ke dokter dan dokter nyaranin untuk pakai kacamata.” Ia kemudian menggeleng pelan. “Tapi itu sama sekali nggak membantu. Yang ada malah semakin kabur.” Dan ini adalah bagian terpentingnya. “Sampai usia 15 tahun, operasi enam kali yang udah aku jalanin juga nggak memberikan kesembuhan. Kata dokter, operasi hanya menahan dan memperlambat kebutaan.”
            Zarel termenung mendengar cerita ini langsung dari Indra. Awalnya ia mengira tidak sampai separah itu. Tapi ternyata dugaannya salah.      
            “Tapi semangat kamu nggak pernah surut, Dra. Jujur aku kagum sama itu.”
            “Sempet Ibu waktu itu nyuruh aku untuk berhenti sekolah, karena temen-temen yang selalu mojokin. Bilang kalau aku nggak bisa lihat.” Ia tertawa kecil. “Dan karena kesendirian itulah aku sadar, yang bisa aku andalkan hanya diri aku sendiri. Aku yang harus merubah duniaku sendiri dengan tangan ini walau tanpa mata,” ujarnya.
            “Dan terbukti sampai sekarang kamu bisa ngelakuin itu.”
            Darka mengubah posisi duduknya. Berusaha mencari kenyamanan.
“Aku nggak tahu kapan kebutaan itu akan datang. Entah saat aku bangun tidur. Atau saat aku sendirian. Aku nggak pernah tahu.”
Zarel memandang ke sekelilingnya. Mengamati tempat itu dari sudut matanya.
“Saat waktu itu tiba, kamu akan punya dunia yang baru,”ujar Zarel.
“Aku sendiri merasa belum siap untuk nerima dunia itu. Makanya mulai dari sekarang aku udah banyak latihan.”
“Latihan?” Zarel mengernyitkan heran.
Indra mengangguk pasti.
“Latihan apaan?”
“Latihan jalan dengan tongkat, biar ntar udah terbiasa,” jawab Indra, tersenyum menatap Zarel.
Zarel terkekeh mendengar lelucon Indra.
Makin sore orang-orang yang berkunjung ke tempat ini juga makin ramai. Zarel merasa orang-orang ini juga punya tujuan sama dengannya. Tujuannya dengan Darka, dulu, yang sampai sekarang tidak akan pernah terwujud.
“Ngomong-ngomong, kamu tadi gali-gali pasir buat apaan?” Indra menatap Zarel yang sekarang duduk bersila, sama sepertinya.
“Buat ngubur kenangan.”
Indra tertawa bergumam mendengar jawabannya.
“Kenapa ketawa?” Zarel balik bertanya. “Nggak percaya? Nih.” Tunjuknya ke dalam lubang yang telah ia gali tidak terlalu dalam.
“Kamu putus dari Darka?” Tebak Indra. Membuat Zarel langsung menatapnya.
“Kamu tahu dari siapa?” Zarel menyipitkan matanya. “Pasti dari Leandra atau nggak Fiona, iya kan?” Tanyanya curiga.
Indra menggeleng mantap. “Kalau cewek udah bertingkah konyol, apalagi kalau bukan diputusin sama cowoknya,” tutur Indra cuek.
“Hah?” Zarel tertegun menatap Indra. Tidak habis pikir kenapa Indra bisa menyimpulkan hal aneh seperti itu.
“Bukan dia atau aku yang mutusin. Ini kesepakatan kita masing-masing,” ujar Zarel.
“Aku nggak tahu alasan kalian putus karena apa. Tapi─”
“Itu bukan karena kamu kok.” Zarel cepat-cepat memotong ucapan Indra.
Indra menarik kedua ujung bibirnya begitu lebar hingga kedua pipinya sakit. Zarel menatap Indra seperti orang bodoh.
“Kok kamu ketawa?”
“Lucu aja lihat ekspresi kamu tadi,” ungkap Indra.
Zarel buru-buru menundukkan kepala. Alih-alih mencegah Indra menjadi merasa tidak enak, malah dirinya sendiri yang menjadi malu.
“Aku nggak masalah kalian mau putus karena siapa. Kalau udah nggak cocok ya lebih baik jangan diterusin,” ujar Indra.
“Iya.” Zarel hanya menjawab pelan. Ia masih merasa malu akibat tingkahnya sendiri.
“Udah nggak usah dipikirin.”
Zarel perlahan mengangkat kepalanya. Ditatapnya Indra yang kini duduk menghadap ke pantai. Rambut ikalnya semakin berantakan akibat tiupan angin yang cukup kencang. Seulas senyum terukir di wajahnya yang bundar.
“Kamu ngeliatin aku ya.” Tiba-tiba Indra mengagetkan Zarel sambil mengacungkan telunjuknya tepat ke wajah gadis itu.
“Iya,” jawabnya. “Rambut kamu berantakan.”
Indra langsung memegang rambutnya dan beralih menatap kepala Zarel dengan rambut yang di cepol.
“Gantengan gini,” ucapnya sambil mengacak-acak rambut ikalnya.
Zarel mendengus pelan. Ia tiba-tiba merubah raut wajahnya menjadi sedikit lebih serius dengan sinar mata yang sedikit genit. Diletakkannya kedua telapak tangannya di atas pipi, sambil berkata, “Kak Indra, Kak Indra ganteng banget.”
“Anak pinter.” Indra mengelus pelan kepala Zarel. “Aku anggap itu sebagai pujian.”
Pipinya lagi-lagi panas. Zarel masih membekap kedua pipinya itu. Matanya berkedip berkali-kali. Berharap ini bukan mimpi. Jikalau ini memang sebuah mimpi, ia tidak akan pernah mau bangun.
“Za, kasih tahu aku ya kalau mataharinya udah mau terbenam.”
Zarel masih mengumpulkan kesadarannya. “Ah, iya-iya,” ucapnya terbata.
“Aku nggak pernah nyangka kalau akhirnya kita bisa jadi temen deket kayak gini.” Indra mulai serius.
“Sama. Aku kira dulu kamu nggak akan pernah mau membagi kisah hidup kamu sama aku.” Zarel melambungkan kembali ingatannya saat pertama kali bertemu Indra. “Tapi sekarang, kita bisa saling bantu.”
“Aku nggak pernah minta kamu untuk jadi temen aku, Za. Aku nggak mau kamu merasa terbebani karena penyakit ini.”
“Aku juga nggak pernah maksain diri aku untuk berteman sama kamu, Dra. Semuanya berjalan seiring waktu. Aku ngerasa nyaman didekat kamu,” ujar Zarel.
Indra menoleh menatap Zarel. “Kasih tahu aku kalau kamu udah nggak nyaman lagi sama aku.”
“Terus?”
“Aku akan tetap paksa kamu untuk terus nyaman sama aku. Sampai kapanpun.”
Zarel membiarkan senyumnya mengembang. Ia suka dengan cara Indra menyampaikan kalimat itu. Sederhana namun bermakna. Semakna I Love You.
***
            

No comments:

Post a Comment