Labels

Friday, March 15, 2013

Between


Bagian 6

            Indra sibuk memencet remote contol televisi miliknya dari setengah jam lalu. Tidak ada acara menarik yang membuatnya betah di satu stasiun TV. Hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tapi ia masih setia bermalas-malasan di atas tempat tidur dengan hanya mengenakan kaus putih polos dan celana dasar sebatas lutut.
            “Dra, lo hari ini nggak ada kuliah?” Tanya Ardi mengagetkannya. Ardi langsung duduk di pinggir tempat tidurnya.
            Indra bergeser sedikit ke pinggir, mendekati Ardi untuk melihat kostumnya hari ini. “Rapi banget. Mau kuliah atau mau ngeceng?” Tanyanya meledek.
            Baju kemeja lengan pendek warna ungu tua polos. Jeans warna hitam yang agak kebesaran. Tas dukung hitam besar. Semuanya kelihatan rapi, ditunjang dengan wajah Ardi yang tampak cerah pagi ini.
            “Lo pakek  jeli lagi,” ucap Indra, meraba rambut temannya itu.
            Ardi memang suka memakai jeli. Tapi biasanya, ia melakukan itu jika ada sesuatu yang penting. Misalnya, lagi mau nyari gebetan.
            “Iya. Pakek dikit,” jawabnya mesem-mesem.
            “Mau gebet siapa lo?”
            “Belum tahu sih mau gebet siapa.” Ardi berdiri dan melangkah ke arah cermin besar di samping meja televisi milik Indra. “Buat jaga-jaga aja.”
            “Yaudah, lo pakek jeli aja terus. Siapa tahu nggak hari ini, atau besok, atau mungkin besoknya lagi, ada yang mau sama lo,” kata Indra asal. Ia tidak begitu bisa melihat Ardi dari tempat ia duduk sekarang.
            “Eh, Dra. Lo masih inget kan cewek cantik yang watu kita ketemu di terminal?” Ardi mulai menerawang wajah gadis itu.
            “Zarel?” Tanya Indra datar.
            Mendengar nama itu disebut, Ardi langsung memutar badan dan mendekat ke arah Indra. “Lo masih inget namanya?” Tanya Ardi, setengah tidak percaya. “Takjub gue, lo masih bisa inget nama cewek. Biasa juga lo kenalan sama cewek, kenalan hari ini, besok udah lupa namanya,” ucapnya meledek.
            Indra tidak mengubris ucapan temannya itu. Apa yang dikatakan Ardi memang benar. Biasanya, ia tidak akan pernah menghapal setiap nama cewek yang berkenalan dengannya. Tapi, entah kali ini. Indra yakin ia tidak menghapalkan nama Zarel. Mungkin saja karena nama Zarel mudah diucapkan, jadi wajar jika ia bisa ingat dengan nama itu cukup lama, pikirnya.
            “Menurut lo, dia gimana?” Tanya Ardi tiba-tiba. Raut wajahnya berubah serius.
            “Apanya yang gimana?” Indra balik bertanya. Masih dengan tangan mengutak-atik remote televisi.
            “Dia cantik kan?” Tanya Ardi lagi. “Entar kalau gue ketemu dia lagi, gue bakal kasih dia bunga,” kata Ardi sambil memperagakan adegan memberi bunga kepada seorang gadis.
            Indra menatap geli ke arah Ardi. “Dia suka sama pelangi,” celetuk Indra datar.
            “Pelangi?”
            Indra manggut-manggut. Matanya kembali menatap layar televisi.
            “Lo tau dari mana?” Tanya Ardi heran.
            “Kemarin gue ketemu dia.”
            “Hah?” Ardi mangap. “Lo ketemu dia. Tapi kok lo nggak cerita ke gue sih,” ucap Ardi dengan nada merajuk.
            “Apa pentingnya?”
            “Ya pentinglah.”
            “Emang dia nganggep lo penting?”
            Ardi diam. Wajahnya tertekuk masam mendengar pernyataan Indra.
            “Tapi pasti dia udah punya pacar. Nggak mungkin cewek semanis dia masih jomblo, kayak kita gini,” ucapnya lesu. “Kok lo bisa ketemu sama dia sih?” Ardi masih penasaran dengan cerita Indra.
            “Nggak sengaja ketemu di terminal.”
            “Dia sendirian?”
            “Iya.”
            “Dia sendirian, lo sendirian,” ucap Ardi dengan nada serius. “Kalian ngobrolin apa aja? Siapa yang ngajak ngobrol duluan? Lo tatap mata dia kan?” Tanya Ardi bersemangat.
            “Ah, lo apaan sih. Kayak mau nyidang gue aja,” sahut Indra, risih dengan sederetan pertanyaan Ardi. “Udah sana, mending lo pergi sekarang. Mau ujan tuh,” perintah Indra, menatap ke luar jendela.
            “Masih terang gini lo bilang mau hujan. Emang salah tu mata lo,” omel Ardi. “Buruan, Dra. Lo ngomongin apa aja sih. Penasaran nih gue.” Ardi terus memaksa Indra.
            “Lo kayak aneh banget liat gue ngobrol sama orang.”
            “Ini momen bersejarah banget, Indra sayang.”
            “Jijik gue denger lo manggil gue pake sebutan itu,” serobot Indra cepat.
            “Hahaha..” Ardi terkekeh. “Gue nggak akan heran kalau lo ngobrol sama cowok. Tapi kali ini, lo ngobrolnya sama cewek. Sama cewek,” ucap Ardi mempertegas.
            “Ribut lo.” Indra menyumpal mulut Ardi dengan remote TV. Kemudian ia beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Ardi mengikutinya.
            “Mau buat kopi?” Tanya Ardi kepada Indra. Ia segera merampas gelas kosong dari tangan Indra. “Sini, biar gue yang bikinin.”
            Selama bersama Ardi, Indra menjadi sangat tertolong. Bagi Indra, Ardi adalah mata penolongnya. Sebagai teman, Ardi sangat peka terhadap apa yang diinginkannya.
            “Lo persis kayak Mak gue,” ucap Indra polos.
            “Yaudah, sekarang lo duduk manis di meja makan. Ntar gue siapin skalian sama sarapannya. Gue tahu lo pasti belum makan.”
            “Lo emang the best, Ar,” balas Indra, memeluk Ardi.
            “Sebagai imbalannya hari ini, lo harus cerita ke gue tentang pertemuan lo sama Zarel, gimana?” Ardi melakukan perundingan dengan Indra. Indra langsung melepaskan pelukannya.
            “Dasar lo. Musang.” Indra melangkah ke luar dapur. Mendekati meja makan.
            Ardi mulai sibuk melakukan ritualnya di dalam dapur. Wangi bawang goreng sudah mulai menyebar ke sekeliling ruangan. Sedangkan Indra, asyik mendengarkan rekaman pembelajaran melalui tape recorder, pemberian Ardi.
***
            “Nih,” ucap Ardi sambil menghidangkan sepiring telur orak-arik pedas, tumis kangkung dan dua piring nasi putih ke atas meja makan.
            Indra mencium wangi telur yang diletakkan Ardi persisi di hadapannya. Pedas dan asin, aroma yang sangat disukai Indra.
            “Gue makan sekarang, ya.” Indra langsung menarik piring berisi nasi putih. Ditariknya sayur kangkung yang terlihat masih hijau dengan taburan bawang goreng di atasnya dan beberapa irisan cabe merah yang menyempil diantaranya. Dan terakhir, telur orak-orak ala Ardi.
            “Nih kopinya.” Ardi meletakkan vanilla latte di atas meja. Ia kemudian ikut mengambil piring yang sudah berisi nasi. Kemudian menyendok lauk yang terhidang di hadapannya.
            Mereka berdua makan dengan lahap. Masakan sendiri apalagi masih hangat memang terasa lebih nikmat.
            “Jadi, lo pulang bareng sama Zarel?” Tanya Ardi membuka obrolan.
            Ardi tampaknya benar-benar ingin tahu cerita Indra saat bertemu gadis itu.
            “Iya,” jawabnya singkat. “Dia mau lihat pelangi, jadi nungguin hujan sampai berhenti.”
             “Terus, nggak terjadi apa-apa kan antara kalian?” Tanya Ardi setelah selesai mengunyah makanannya.
            Indra menghentikan suapannya. “Sakit gue kambuh. Dan dia lihat semuanya,” ucap Indra tenang.
            “Tapi lo nggak sampai kenapa-napa kan?” Air wajah Ardi berubah cemas.
            Indra tersenyum menatap sahabatnya itu. Ia sangat mengerti kekhawatiran Ardi kepadanya. “Nggak. Zarel langsung bantuin gue.”
            “Syukur deh lo nggak kenapa-napa. Gue khawatir banget kalau sakit lo tiba-tiba kambuh saat gue nggak ada di samping lo.
            “Udah ah. Kenapa jadi melow gini sih,” kata Indra. Kembali mengaduk-aduk makananya.
            “Terus lo nganter dia pulang?”
            “Nggak lah. Udah ada mobil yang nungguin dia, pas kita turun di PS.”
            “Pasti mobil cowoknya.”
            “Mungkin.”
            Tiba-tiba Ardi teringat sesuatu. “Gue punya nomor HP-nya, Dra. Lo mau?”
            “Nomor HP siapa?”
            “Zarel.”
            Indra menatap bingung ke arah Ardi. “Kapan lo minta nomor HP dia?” Tanyanya.
“Ada deh,” ucap Ardi bangga.
            “Cekatan banget lo.”
            Ardi mengangkat kerah kemejanya, sambil berkata, “Gue gitu loh.”
            Indra manggut-manggut. Masih dengan wajah datar. Tidak terlalu tertarik dengan topik cerita pagi ini.
            “Nih, nomornya.” Tiba-tiba Ardi langsung menyodorkan ponselnya kepada Indra.
            Indra bergantian menatap ponsel itu dan Ardi. “Buat apaan?”
            “Lo deketin dia,” saran Ardi sambil memasang tampang serius.
            “Nggak,” ucapnya tanpa ekspresi.
            “Gue punya firasat kalau lo sama Zarel bisa bersatu.”
            “Ngaco lo.” Indra kembali menyantap makanannya. Tidak menghiraukan ucapan Ardi.
            “Masalahnya karena dia udah punya cowok?” Tanya Ardi kepada Indra. “Selama undangan pernikahan belum tersebar, berarti dia masih bebas milik siapapun,” ucapnya puitis.
            “Lo lagi mabok?”  Indra geleng-geleng kepala melihat tingkah Ardi.
            “Dra, lo udah selama ini jomblo. Nggak ada satu pun cewek-cewek di luar sana yang bisa tahan ngobrol sama lo. Tapi, Zarel, dia cewek pertama yang bisa buat lo betah ngobrol sama cewek,” jelas Ardi. “Itu poin penting, Dra.”
            “Gue ngobrol sama dia, karena gue ngerasa nyaman. Bukan karena yang lain.”
            “Tapi itu bisa disebut sebagai pertanda.”
            “Pertanda kalau lo mulai gila,” ucap Indra, melayangkan telunjuknya ke wajah Ardi.         
“Sampai kapan sih, Dra , lo mau sendirian terus?” Tanya Ardi.
            “Sampai gue bisa nunjukin ke semua orang kalau gue bisa sukses walau dengan penyakit yang bersarang di sini.” Ucapannya berakhir dengan telunjuk yang mendarat di matanya sendiri.
            “Setiap orang sukses, selalu punya sosok wanita di sampingnya yang selalu kasih dia motivasi,” jelas Ardi.
            Indra termenung mendengar ucapan Ardi. Ia tidak berpikir sampai ke situ. Tidak ada sedikitpun pikiran tentang perempuan mana pun di dalam otaknya. Ia mulai merenungi kata-kata Ardi.
            “Nggak ada salahnya mencoba. Kita nggak akan tahu akhir ceritanya kalau kita belum memulai,” lanjut Ardi lagi.
            “Tapi, Ar,” ucap Indra pelan.
            “Kenapa? Lo minder?” Ardi memperhatikan raut wajah sahabatnya itu. “Itu bisa jadi senjata lo, Dra. Kalau dia sungguh-sungguh bisa nerima kekurangan lo, gue yakin itu cinta sejati lo.”
            “Kelamaan mikir lo. Udah sini, mana handphone lo?” Ardi menengadahkan tangannya seperti meminta sesuatu.
            Indra seperti dihipnotis oleh ucapan Ardi. Dengan santai, ia berikan ponselnya kepada Ardi. Membiarkan Ardi menyimpan nomor gadis yang menjadi topik pembicaraan pagi ini.      “Nih, udah gue simpen,” ucap Ardi seraya mengembalikan ponsel milik Indra.
            “Terus, mau diapain?” Indra bertanya dengan polosnya.
            Ardi langsung menepok jidatnya. Merasa geram melihat sikap sahabatnya itu. “Lo pajang nomornya di dinding kamar lo.” Ardi diam sejenak menunggu reaksi Indra. “Ya lo telponlah atau SMS kek.”
 “Lo harus pakek taktik,” Ardi berkata.
“Sumpah, gue nggak ngerti,” ucap Indra sambil menggelengkan kepalanya.
“Nih anak bener-bener deh. Masak mesti gue jelasin sih caranya gebet cewek. Udah semester berapa lo,” keluh Ardi.
Yang ditanya hanya nyengir kuda. “Iya iya ntar gue pikirin lagi.”
“Ajak dia ke danau. Biasanya sih cewek suka liat yang seger-seger,” saran Ardi. Indra manggut-manggut tanda mengerti.
***
Zarel masih berkutat di depan laptopnya. Jarinya dengan lincah menekan tombol-tombol keyboard laptop itu.
“Ahh,” teriaknya sambil merentangkan lebar kedua tangannya. Wajahnya tampak kusut. Cepolan rambutnya pun terlihat berantakan. Ia masih mengenakan piama warna biru pastel motif kotak-kotak. Duduk bersila di tengah-tengah tempat tidur, dengan laptop dan buku-buku serta kertas yang berserakan di sekitarnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Alisnya tertaut menatap rentetan angka yang muncul di layar depan ponselnya.
Assalammualaikum. Ini Zarel?

 
 



Zarel tersenyum geli membaca pesan singkat itu.

Waalaikummussalam. Iya. Ini siapa?

 
Ini Indra. Masih inget?

 
 







            Zarel termangu membaca isi pesan itu. Indra, batinya. Tentu ia masih ingat dengan pemuda berambut ikal berantakan yang ditemuinya sekitar beberapa waktu lalu. Zarel membalas pesan itu sambil senyum-senyum sendiri. Ia tidak menyangka jika Indra akan mengiriminya pesan singkat secepat ini. Ini bertolak belakang dengan apa yang ia pikirkan sebelumnya. Ia beranggapan bahwa Indra mungkin sudah lupa dengannya, bahkan mungkin namanya saja Indra sudah tidak ingat.
            Zarel menyingkirkan laptopnya sedikit ke kiri. Ia mencoba meluruskan kakinya dan menyandarkan punggungnya ke atas bantal besar yang empuk. Jemarinya masih sibuk mengetikkan balasan pesan untuk Indra.
            “Danau?” Tanya Zarel kepada dirinya sendiri. Ia terkejut saat membaca pesan dari Indra yang mengajaknya ke danau sore nanti.

Oke, ntar aku langsung ke sana
 
           
           

            Setelah membalas pesan terakhir itu, Zarel segera membereskan semua buku-buku dan kertas yang berantakan di atas tempat tidurnya. Cahaya  matahari sudah mulai terasa panas. Wajar saja, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Namun, kamar kesayangannya itu masih berantakan. Akibat libur kuliah hari ini, libur juga membersihkan kamar bagi Zarel.
            “Lo nggak keluar-keluar, Kak?”
            Zarel kaget mendengar suara yang datang tiba-tiba dari arah pintu kamarnya. Ternyata Ziva yang masih mengenakan seragam sekolahnya lengkap.
            “Tadi keluar nyari makan,” jawab Zarel singkat.
            “Dari gue pergi sekolah sampai gue pulang, lo semedian aja di kamar. Tumben nggak keluar,” ucap Ziva menyelidik.
            “Kepo banget sih lo, Dek,” Zarel berkata, menatap wajah adiknya. “Ntar sore gue mau jalan.” Tangannya masih sibuk memindahkan buku-buku dari tempat tidur ke dalam rak buku di samping meja komputer.
            Ziva melangkah masuk ke dalam kamar Zarel. Kini ia duduk di pinggir tempat tidur kakaknya itu.
            “Sama Darka?” Tanyanya.
            “Bukan.”
            Ziva spontan mengerutkan keningnya. “Jadi?” Tanyanya kemudian.
            “Sama Indra.”
            “Siapa lagi tuh?”
            “Temen baru gue. Sifatnya beda banget sama Darka.”
            Zarel menatap buku-buku miliknya yang kini sudah tertumpuk rapi di dalam rak bersekat itu.
            “Lo lebih nyaman sama dia ketimbang sama Darka?”
            Zarel segera memalingkan pandangan menatap adiknya. Ia diam sejenak. Terlihat berpikir. “Nggak tau juga. Gue baru ngobrol satu kali sama dia.”
            “Tapi lo langsung mau di ajak jalan setelah itu. Tandanya dia buat lo nyaman,” ucap Ziva. Zarel menatap adiknya itu lekat-lekat.
            “Bener juga omomngan lo, Dek,” balas Zarel. Ia melangkah mendekati tempat Ziva duduk sekarang. “Eh, Dek. Kok lo nggak pernah setuju sih kalau gue sama Darka?” Tanyanya menyelidik.
            Ziva adalah salah satu orang yang juga tidak terlalu setuju atas hubungan Zarel dengan Darka, setelah kedua sahabatnya, Leandra dan Fiona. Entah mengapa, tapi buktinya, setiap Darka berkunjung ke rumah Zarel, adiknya itu tidak pernah mau mengobrol dengan Darka, bahkan untuk sekedar saling menyapa.
            “Pertama liat udah langsung nggak ada kesan. Flat!” ucap Ziva.
            “Tapi bener sih lo, Dek. Makin ke sini, gue makin tahu sifat asli dia. Dan itu buat gue nggak nyaman.”
            “Yaudah, coba aja dulu sama yang, siapa itu namanya?” Tanya Ziva mencoba mengingat-ingat nama yang baru saja disebut kakaknya.
            “Indra.”
            “Ya, Indra. Siapa tau cocok,” balas Ziva. “Kata pepatah, carilah terus selagi belum merasa cocok. Jika sudah merasa cocok, maka pertahankan,” ucapnya bijak.
            “Tumben lo pinter,” Zarel berkata, tertawa mendengar ucapan Ziva.
***

No comments:

Post a Comment