Bagian 6
Indra
sibuk memencet remote contol televisi
miliknya dari setengah jam lalu. Tidak ada acara menarik yang membuatnya betah
di satu stasiun TV. Hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tapi ia masih
setia bermalas-malasan di atas tempat tidur dengan hanya mengenakan kaus putih
polos dan celana dasar sebatas lutut.
“Dra, lo hari ini nggak ada kuliah?”
Tanya Ardi mengagetkannya. Ardi langsung duduk di pinggir tempat tidurnya.
Indra bergeser sedikit ke pinggir,
mendekati Ardi untuk melihat kostumnya hari ini. “Rapi banget. Mau kuliah atau
mau ngeceng?” Tanyanya meledek.
Baju kemeja lengan pendek warna ungu
tua polos. Jeans warna hitam yang
agak kebesaran. Tas dukung hitam besar. Semuanya kelihatan rapi, ditunjang
dengan wajah Ardi yang tampak cerah pagi ini.
“Lo pakek jeli lagi,” ucap Indra, meraba rambut
temannya itu.
Ardi memang suka memakai jeli. Tapi
biasanya, ia melakukan itu jika ada sesuatu yang penting. Misalnya, lagi mau
nyari gebetan.
“Iya. Pakek dikit,” jawabnya
mesem-mesem.
“Mau gebet siapa lo?”
“Belum tahu sih mau gebet siapa.”
Ardi berdiri dan melangkah ke arah cermin besar di samping meja televisi milik
Indra. “Buat jaga-jaga aja.”
“Yaudah, lo pakek jeli aja terus.
Siapa tahu nggak hari ini, atau besok, atau mungkin besoknya lagi, ada yang mau
sama lo,” kata Indra asal. Ia tidak begitu bisa melihat Ardi dari tempat ia
duduk sekarang.
“Eh, Dra. Lo masih inget kan cewek
cantik yang watu kita ketemu di terminal?” Ardi mulai menerawang wajah gadis
itu.
“Zarel?” Tanya Indra datar.
Mendengar nama itu disebut, Ardi
langsung memutar badan dan mendekat ke arah Indra. “Lo masih inget namanya?”
Tanya Ardi, setengah tidak percaya. “Takjub gue, lo masih bisa inget nama cewek.
Biasa juga lo kenalan sama cewek, kenalan hari ini, besok udah lupa namanya,”
ucapnya meledek.
Indra tidak mengubris ucapan
temannya itu. Apa yang dikatakan Ardi memang benar. Biasanya, ia tidak akan
pernah menghapal setiap nama cewek yang berkenalan dengannya. Tapi, entah kali
ini. Indra yakin ia tidak menghapalkan nama Zarel. Mungkin saja karena nama
Zarel mudah diucapkan, jadi wajar jika ia bisa ingat dengan nama itu cukup
lama, pikirnya.
“Menurut lo, dia gimana?” Tanya Ardi
tiba-tiba. Raut wajahnya berubah serius.
“Apanya yang gimana?” Indra balik
bertanya. Masih dengan tangan mengutak-atik remote
televisi.
“Dia cantik kan?” Tanya Ardi lagi.
“Entar kalau gue ketemu dia lagi, gue bakal kasih dia bunga,” kata Ardi sambil
memperagakan adegan memberi bunga kepada seorang gadis.
Indra menatap geli ke arah Ardi.
“Dia suka sama pelangi,” celetuk Indra datar.
“Pelangi?”
Indra manggut-manggut. Matanya
kembali menatap layar televisi.
“Lo tau dari mana?” Tanya Ardi
heran.
“Kemarin gue ketemu dia.”
“Hah?” Ardi mangap. “Lo ketemu dia.
Tapi kok lo nggak cerita ke gue sih,” ucap Ardi dengan nada merajuk.
“Apa pentingnya?”
“Ya pentinglah.”
“Emang dia nganggep lo penting?”
Ardi diam. Wajahnya tertekuk masam
mendengar pernyataan Indra.
“Tapi pasti dia udah punya pacar.
Nggak mungkin cewek semanis dia masih jomblo, kayak kita gini,” ucapnya lesu.
“Kok lo bisa ketemu sama dia sih?” Ardi masih penasaran dengan cerita Indra.
“Nggak sengaja ketemu di terminal.”
“Dia sendirian?”
“Iya.”
“Dia sendirian, lo sendirian,” ucap
Ardi dengan nada serius. “Kalian ngobrolin apa aja? Siapa yang ngajak ngobrol
duluan? Lo tatap mata dia kan?” Tanya Ardi bersemangat.
“Ah, lo apaan sih. Kayak mau nyidang
gue aja,” sahut Indra, risih dengan sederetan pertanyaan Ardi. “Udah sana,
mending lo pergi sekarang. Mau ujan tuh,” perintah Indra, menatap ke luar
jendela.
“Masih terang gini lo bilang mau
hujan. Emang salah tu mata lo,” omel Ardi. “Buruan, Dra. Lo ngomongin apa aja
sih. Penasaran nih gue.” Ardi terus memaksa Indra.
“Lo kayak aneh banget liat gue
ngobrol sama orang.”
“Ini momen bersejarah banget, Indra
sayang.”
“Jijik gue denger lo manggil gue
pake sebutan itu,” serobot Indra cepat.
“Hahaha..” Ardi terkekeh. “Gue nggak
akan heran kalau lo ngobrol sama cowok. Tapi kali ini, lo ngobrolnya sama
cewek. Sama cewek,” ucap Ardi mempertegas.
“Ribut lo.” Indra menyumpal mulut
Ardi dengan remote TV. Kemudian ia
beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Ardi mengikutinya.
“Mau buat kopi?” Tanya Ardi kepada
Indra. Ia segera merampas gelas kosong dari tangan Indra. “Sini, biar gue yang
bikinin.”
Selama bersama Ardi, Indra menjadi
sangat tertolong. Bagi Indra, Ardi adalah mata penolongnya. Sebagai teman, Ardi
sangat peka terhadap apa yang diinginkannya.
“Lo persis kayak Mak gue,” ucap
Indra polos.
“Yaudah, sekarang lo duduk manis di
meja makan. Ntar gue siapin skalian sama sarapannya. Gue tahu lo pasti belum
makan.”
“Lo emang the best, Ar,” balas Indra, memeluk Ardi.
“Sebagai imbalannya hari ini, lo
harus cerita ke gue tentang pertemuan lo sama Zarel, gimana?” Ardi melakukan
perundingan dengan Indra. Indra langsung melepaskan pelukannya.
“Dasar lo. Musang.” Indra melangkah
ke luar dapur. Mendekati meja makan.
Ardi mulai sibuk melakukan ritualnya
di dalam dapur. Wangi bawang goreng sudah mulai menyebar ke sekeliling ruangan.
Sedangkan Indra, asyik mendengarkan rekaman pembelajaran melalui tape recorder, pemberian Ardi.
***
“Nih,” ucap Ardi sambil
menghidangkan sepiring telur orak-arik pedas, tumis kangkung dan dua piring
nasi putih ke atas meja makan.
Indra mencium wangi telur yang
diletakkan Ardi persisi di hadapannya. Pedas dan asin, aroma yang sangat
disukai Indra.
“Gue makan sekarang, ya.” Indra
langsung menarik piring berisi nasi putih. Ditariknya sayur kangkung yang
terlihat masih hijau dengan taburan bawang goreng di atasnya dan beberapa
irisan cabe merah yang menyempil diantaranya. Dan terakhir, telur orak-orak ala
Ardi.
“Nih kopinya.” Ardi meletakkan vanilla latte di atas meja. Ia kemudian
ikut mengambil piring yang sudah berisi nasi. Kemudian menyendok lauk yang
terhidang di hadapannya.
Mereka berdua makan dengan lahap.
Masakan sendiri apalagi masih hangat memang terasa lebih nikmat.
“Jadi, lo pulang bareng sama Zarel?”
Tanya Ardi membuka obrolan.
Ardi tampaknya benar-benar ingin
tahu cerita Indra saat bertemu gadis itu.
“Iya,” jawabnya singkat. “Dia mau
lihat pelangi, jadi nungguin hujan sampai berhenti.”
“Terus, nggak terjadi apa-apa kan antara
kalian?” Tanya Ardi setelah selesai mengunyah makanannya.
Indra menghentikan suapannya. “Sakit
gue kambuh. Dan dia lihat semuanya,” ucap Indra tenang.
“Tapi lo nggak sampai kenapa-napa
kan?” Air wajah Ardi berubah cemas.
Indra tersenyum menatap sahabatnya
itu. Ia sangat mengerti kekhawatiran Ardi kepadanya. “Nggak. Zarel langsung
bantuin gue.”
“Syukur deh lo nggak kenapa-napa.
Gue khawatir banget kalau sakit lo tiba-tiba kambuh saat gue nggak ada di
samping lo.
“Udah ah. Kenapa jadi melow gini
sih,” kata Indra. Kembali mengaduk-aduk makananya.
“Terus lo nganter dia pulang?”
“Nggak lah. Udah ada mobil yang
nungguin dia, pas kita turun di PS.”
“Pasti mobil cowoknya.”
“Mungkin.”
Tiba-tiba Ardi teringat sesuatu.
“Gue punya nomor HP-nya, Dra. Lo mau?”
“Nomor HP siapa?”
“Zarel.”
Indra menatap bingung ke arah Ardi.
“Kapan lo minta nomor HP dia?” Tanyanya.
“Ada
deh,” ucap Ardi bangga.
“Cekatan banget lo.”
Ardi mengangkat kerah kemejanya,
sambil berkata, “Gue gitu loh.”
Indra manggut-manggut. Masih dengan
wajah datar. Tidak terlalu tertarik dengan topik cerita pagi ini.
“Nih, nomornya.” Tiba-tiba Ardi
langsung menyodorkan ponselnya kepada Indra.
Indra bergantian menatap ponsel itu
dan Ardi. “Buat apaan?”
“Lo deketin dia,” saran Ardi sambil
memasang tampang serius.
“Nggak,” ucapnya tanpa ekspresi.
“Gue punya firasat kalau lo sama
Zarel bisa bersatu.”
“Ngaco lo.” Indra kembali menyantap
makanannya. Tidak menghiraukan ucapan Ardi.
“Masalahnya karena dia udah punya
cowok?” Tanya Ardi kepada Indra. “Selama undangan pernikahan belum tersebar,
berarti dia masih bebas milik siapapun,” ucapnya puitis.
“Lo lagi mabok?” Indra geleng-geleng kepala melihat tingkah
Ardi.
“Dra, lo udah selama ini jomblo.
Nggak ada satu pun cewek-cewek di luar sana yang bisa tahan ngobrol sama lo.
Tapi, Zarel, dia cewek pertama yang bisa buat lo betah ngobrol sama cewek,”
jelas Ardi. “Itu poin penting, Dra.”
“Gue ngobrol sama dia, karena gue
ngerasa nyaman. Bukan karena yang lain.”
“Tapi itu bisa disebut sebagai
pertanda.”
“Pertanda kalau lo mulai gila,” ucap
Indra, melayangkan telunjuknya ke wajah Ardi.
“Sampai
kapan sih, Dra , lo mau sendirian terus?” Tanya Ardi.
“Sampai gue bisa nunjukin ke semua
orang kalau gue bisa sukses walau dengan penyakit yang bersarang di sini.”
Ucapannya berakhir dengan telunjuk yang mendarat di matanya sendiri.
“Setiap orang sukses, selalu punya
sosok wanita di sampingnya yang selalu kasih dia motivasi,” jelas Ardi.
Indra termenung mendengar ucapan
Ardi. Ia tidak berpikir sampai ke situ. Tidak ada sedikitpun pikiran tentang perempuan
mana pun di dalam otaknya. Ia mulai merenungi kata-kata Ardi.
“Nggak ada salahnya mencoba. Kita
nggak akan tahu akhir ceritanya kalau kita belum memulai,” lanjut Ardi lagi.
“Tapi, Ar,” ucap Indra pelan.
“Kenapa? Lo minder?” Ardi
memperhatikan raut wajah sahabatnya itu. “Itu bisa jadi senjata lo, Dra. Kalau
dia sungguh-sungguh bisa nerima kekurangan lo, gue yakin itu cinta sejati lo.”
“Kelamaan mikir lo. Udah sini, mana handphone lo?” Ardi menengadahkan
tangannya seperti meminta sesuatu.
Indra seperti dihipnotis oleh ucapan
Ardi. Dengan santai, ia berikan ponselnya kepada Ardi. Membiarkan Ardi
menyimpan nomor gadis yang menjadi topik pembicaraan pagi ini. “Nih, udah gue simpen,” ucap Ardi seraya
mengembalikan ponsel milik Indra.
“Terus, mau diapain?” Indra bertanya
dengan polosnya.
Ardi langsung menepok jidatnya.
Merasa geram melihat sikap sahabatnya itu. “Lo pajang nomornya di dinding kamar
lo.” Ardi diam sejenak menunggu reaksi Indra. “Ya lo telponlah atau SMS kek.”
“Lo harus pakek taktik,” Ardi berkata.
“Sumpah,
gue nggak ngerti,” ucap Indra sambil menggelengkan kepalanya.
“Nih
anak bener-bener deh. Masak mesti gue jelasin sih caranya gebet cewek. Udah
semester berapa lo,” keluh Ardi.
Yang
ditanya hanya nyengir kuda. “Iya iya ntar gue pikirin lagi.”
“Ajak
dia ke danau. Biasanya sih cewek suka liat yang seger-seger,” saran Ardi. Indra
manggut-manggut tanda mengerti.
***
Zarel
masih berkutat di depan laptopnya. Jarinya dengan lincah menekan tombol-tombol
keyboard laptop itu.
“Ahh,”
teriaknya sambil merentangkan lebar kedua tangannya. Wajahnya tampak kusut.
Cepolan rambutnya pun terlihat berantakan. Ia masih mengenakan piama warna biru
pastel motif kotak-kotak. Duduk bersila di tengah-tengah tempat tidur, dengan
laptop dan buku-buku serta kertas yang berserakan di sekitarnya.
Tiba-tiba
ponselnya berdering. Alisnya tertaut menatap rentetan angka yang muncul di
layar depan ponselnya.
|
Zarel
tersenyum geli membaca pesan singkat itu.
|
|||
|
Zarel termangu membaca isi pesan
itu. Indra, batinya. Tentu ia masih ingat dengan pemuda berambut ikal
berantakan yang ditemuinya sekitar beberapa waktu lalu. Zarel membalas pesan
itu sambil senyum-senyum sendiri. Ia tidak menyangka jika Indra akan
mengiriminya pesan singkat secepat ini. Ini bertolak belakang dengan apa yang
ia pikirkan sebelumnya. Ia beranggapan bahwa Indra mungkin sudah lupa
dengannya, bahkan mungkin namanya saja Indra sudah tidak ingat.
Zarel
menyingkirkan laptopnya sedikit ke kiri. Ia mencoba meluruskan kakinya dan
menyandarkan punggungnya ke atas bantal besar yang empuk. Jemarinya masih sibuk
mengetikkan balasan pesan untuk Indra.
“Danau?”
Tanya Zarel kepada dirinya sendiri. Ia terkejut saat membaca pesan dari Indra
yang mengajaknya ke danau sore nanti.
|
Setelah
membalas pesan terakhir itu, Zarel segera membereskan semua buku-buku dan
kertas yang berantakan di atas tempat tidurnya. Cahaya matahari sudah mulai terasa panas. Wajar
saja, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Namun, kamar kesayangannya itu
masih berantakan. Akibat libur kuliah hari ini, libur juga membersihkan kamar
bagi Zarel.
“Lo
nggak keluar-keluar, Kak?”
Zarel
kaget mendengar suara yang datang tiba-tiba dari arah pintu kamarnya. Ternyata
Ziva yang masih mengenakan seragam sekolahnya lengkap.
“Tadi
keluar nyari makan,” jawab Zarel singkat.
“Dari
gue pergi sekolah sampai gue pulang, lo semedian aja di kamar. Tumben nggak
keluar,” ucap Ziva menyelidik.
“Kepo
banget sih lo, Dek,” Zarel berkata, menatap wajah adiknya. “Ntar sore gue mau
jalan.” Tangannya masih sibuk memindahkan buku-buku dari tempat tidur ke dalam
rak buku di samping meja komputer.
Ziva
melangkah masuk ke dalam kamar Zarel. Kini ia duduk di pinggir tempat tidur
kakaknya itu.
“Sama
Darka?” Tanyanya.
“Bukan.”
Ziva
spontan mengerutkan keningnya. “Jadi?” Tanyanya kemudian.
“Sama
Indra.”
“Siapa
lagi tuh?”
“Temen
baru gue. Sifatnya beda banget sama Darka.”
Zarel
menatap buku-buku miliknya yang kini sudah tertumpuk rapi di dalam rak bersekat
itu.
“Lo
lebih nyaman sama dia ketimbang sama Darka?”
Zarel
segera memalingkan pandangan menatap adiknya. Ia diam sejenak. Terlihat
berpikir. “Nggak tau juga. Gue baru ngobrol satu kali sama dia.”
“Tapi
lo langsung mau di ajak jalan setelah itu. Tandanya dia buat lo nyaman,” ucap
Ziva. Zarel menatap adiknya itu lekat-lekat.
“Bener
juga omomngan lo, Dek,” balas Zarel. Ia melangkah mendekati tempat Ziva duduk
sekarang. “Eh, Dek. Kok lo nggak pernah setuju sih kalau gue sama Darka?”
Tanyanya menyelidik.
Ziva
adalah salah satu orang yang juga tidak terlalu setuju atas hubungan Zarel
dengan Darka, setelah kedua sahabatnya, Leandra dan Fiona. Entah mengapa, tapi
buktinya, setiap Darka berkunjung ke rumah Zarel, adiknya itu tidak pernah mau
mengobrol dengan Darka, bahkan untuk sekedar saling menyapa.
“Pertama
liat udah langsung nggak ada kesan. Flat!”
ucap Ziva.
“Tapi
bener sih lo, Dek. Makin ke sini, gue makin tahu sifat asli dia. Dan itu buat
gue nggak nyaman.”
“Yaudah,
coba aja dulu sama yang, siapa itu namanya?” Tanya Ziva mencoba mengingat-ingat
nama yang baru saja disebut kakaknya.
“Indra.”
“Ya,
Indra. Siapa tau cocok,” balas Ziva. “Kata pepatah, carilah terus selagi belum
merasa cocok. Jika sudah merasa cocok, maka pertahankan,” ucapnya bijak.
“Tumben
lo pinter,” Zarel berkata, tertawa mendengar ucapan Ziva.
***
No comments:
Post a Comment