Bagian 5
Berbagai kendaraan di jalan-jalan
kota sudah mulai berdesak-desakan. Tidak jarang terkadang kemacetan sempat
singgah meski hanya sepuluh menit. Jalan-jalan kota sudah mulai terang akibat
cahaya kuning yang berasal dari lampu-lampu jalan dengan tiang tinggi yang
berjejer sepanjang jalan kota Palembang. Bukan hanya para pengendara yang sibuk
meramaikan suasana sore hari. Para pedagang pinggiran pun tidak mau
ketinggalan. Banyak dari mereka yang sudah menggelar tenda untuk segera mulai
berjualan. Batagor dan Siomay Bandung, Pecel Lele, Nasi dan Mi Goreng. Zarel mengeja
setiap judul yang tertulis di kaca depan setiap gerobak yang berjejer di
pinggir jalan sekitar halte Trans Musi. Tidak ketinggalan, aneka gorengan dan
aneka makanan laut siap saji juga tersedia di sana. Zarel mencoba bergabung
dengan orang-orang yang berada di dalam halte Trans Musi. Menunggu bis
selanjutnya untuk pulang ke rumahnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Berharap ada seseorang yang dikenalnya di tempat itu. Bisa jadi teman mengobrol
sembari menunggu, pikir Zarel. Tiba-tiba Ponsel miliknya berdering.
“Halo,” sahut gadis menempelkan
ponsel hitam itu ke telinganya.
“Kamu
dimana?” Terdengar suara pemuda dengan nada tinggi bertanya dari ujung telepon.
Zarel
menatap ke sekelilingnya. “Di halte, lagi nungguin TM. Tapi lama banget,”
jawabnya. “Kamu lagi sibuk nggak?” Tanya Zarel hati-hati.
“Baru
mau pulang?” Darka balik bertanya. “Lagi nggak sibuk. Kenapa?”
Zarel
menarik napas pelan. Ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya. “Kamu bisa
jemput aku nggak sekarang?”
“Kenapa
nggak bilang dari tadi, Za. Kamu itu kebiasaan, sering minta tolong mendadak,”
omel Darka dari balik ponsel.
“Iya,
maaf ngerepotin kamu terus. Tapi bisa kan? Aku tunggu ya,” Zarel berkata,
langsung menutup ponselnya kemudian. Tidak ingin mendengar apa yang akan
diucapkan Darka selanjutnya. Zarel yakin Darka akan menyiapkan banyak omelan
untuk dirinya. Dan untungnya telinganya telah terlatih untuk hal semacam itu.
Satu
persatu orang-orang di halte ini mulai berkurang. Ada yang sudah naik Trans
Musi sesuai tujuan mereka. Ada juga yang menunggu jemputan, sama seperti
dirinya. Zarel menyeka wajahnya yang kusam. Cahaya remang-remang dari lampu
halte ini, membuat gadis itu menguap berulang-ulang. Baju kaus putih polos yang
di balut cardigan warna cokelat,
terlihat mulai tidak beraturan di badan Zarel. Rambut ikalnya yang ia ikat
jumput ke atas, sudah mulai berantakan. Tas Channel
besar warna hitam yang semula ia gantung di bahunya, kini sudah berpindah
tempat ke atas pangkuannya. Sesekali Zarel memain-mainkan telapak kakinya yang
dibalut sepatu flat warna cokelat
tua. Ia terus melirik jam tangannya. Jarum jam itu merangkak dengan cepat.
Membuat jarum panjangnya sekarang berada di angka sembilan dan jarum pendeknya
ada di antara angka tujuh dan delapan. Ia terus memperhatikan setiap kendaraan
yang lewat, baik motor maupun mobil. Berharap salah satunya adalah Darka.
Merasa
bosan, Zarel beranjak dari tempat duduknya. Kini ia berdiri di samping terminal
dengan tangan menyilang di depan dada. Menatap jalanan kota di malam hari.
Pencahayaan di sini juga jauh lebih baik daripada di tempat ia duduk tadi.
Tiba-tiba Zarel menangkap sesuatu di matanya. Motor Ninja warna hitam dengan
kecepatan sedang melaju ke arahnya. Zarel tersenyum sesaat setelah motor itu
benar-benar berhenti di hadapannya. Zarel menyambut helm yang diberikan oleh
pacarnya itu.
“Kenapa
pulangnya malem banget?” Tanya Darka setelah Zarel duduk di belakangnya.
“Tadi
nemenin Fiona ke toko buku. Nggak sadar tahunya udah malem,” jawab Zarel,
mendekatkan kepalanya ke arah telinga Darka yang tertutupi helm.
“Mulai
besok udah deh, nggak usah nemenin temen ke mana-mana lagi,” ucap Darka
setengah berteriak. Suaranya samar-samar, terhalang oleh angin.
“Ya nggak enak lah. Dia kan sahabat
aku, Ka.”
“Terus Fionanya kemana tadi? Kenapa
nggak ada?”
“Kan rumah kita beda arah. Kebetulan
TM arah rumah dia datang duluan,” jelas Zarel.
“Pokoknya lain kali nggak ada lagi
kata nemenin temen, sampe buat pulang malem,” ucap Darka tegas.
“Iya,” jawab Zarel singkat. Tidak
ingin memperkeruh keadaan.
“Terus kalau mau minta jemput,
kabarin dari sebelumnya. Jangan kayak sekarang, buru-buru minta jemput,” omel
Darka lagi.
“Kenapa memangnya? Sungkan mau minta
tolong?” Tanya Darka lagi karena tidak terdengar sahutan dari arah belakangan.
“Bukan gitu, takut kamunya lagi
sibuk,” jawab Zarel setengah berteriak.
“Kamu takut minta tolong sama aku.
Aku kan udah pernah bilang sama kamu, kita ini semuanya temen, cuma statusnya
aja yang beda. Jadi kalau kamu berani minta tolong sama temen kamu yang lain,
kenapa sama aku nggak?” Suara Darka terdengar sangat jelas di telinga Zarel.
Telinganya seperti mendapat serangan bertubi-tubi dari musuh. Zarel bahkan lupa
dengan pertanyaan Darka sebelumnya.
“Nggak, nggak gitu kok.”
Zarel menyadari matanya mulai panas.
Tenggorokannya seperti masih menyimpan batu yang mungkin akan segera meledak.
Dadanya sesak. Ia semakin susah mengatur napas.
Darka menurunkan gas motornya saat
lampu merah di jalanan kota ini menyala.
“Terus juga, kamu jangan sok baik
terus deh. Temen minta temenin ke sini kamu mau. Entar minta temenin lagi ke
sini lagi, mau lagi. Temenin ke sana, juga nurut,” Darka berkata tanpa jeda. “Mau
jadi apa kalau kerjaanya nurutin orang aja.” Darka kembali melanjutkan
omelannya. Kali ini dengan posisi sedikit miring ke belakang.
Pengendara motor di samping mereka
sedikit menoleh ke arah Darka yang mengomel dan Zarel yang hanya menunduk.
Keadaan yang lengang membuat suara Darka terdengar jelas.
“Kamu itu kalau aku perhatiin, mudah
banget terbujuk sama orang. Mudah di hasut. Aku nggak suka punya pasangan yang
nggak punya pendirian. Mudah ikut-ikutan. Bisa kan kamu mulai punya pendirian
sendiri mulai dari sekarang?” Darka menatap Zarel yang bersembunyi di balik
kaca helmnya.
Aku
nggak suka punya pasangan yang nggak punya pendirian. Ucapan itu
berputar-putar di benak Zarel. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan
tangis.
Zarel tidak menjawab. Hanya anggukan
kecil yang ia lakukan. Ia masih sibuk menahan air mata yang sepertinya sebentar
lagi akan meledak. Tenggorokannya makin berat. Perasaan gondok yang ia rasakan
sekarang. Bukan situasi seperti ini yang ia inginkan. Zarel mencoba mengalah,
tidak menjawab semua omelan Darka. Ia hanya memikirkan untuk secepatnya tiba di
rumah dan menumpahkan semua air mata ini.
Darka memain-mainkan gas motornya. Traffic light sudah berwarna hijau.
Semua pengendara mulai memaju kendaraan mereka menerjang angin malam yang
dingin.
“Za?” Panggil Darka.
“Ya.”
“Omongan aku tadi jangan didengerin
aja. Diresapi terus dipraktekin,” Darka berkata, nada suaranya mulai melemah. “Aku
mau kamu jadi orang yang punya pendirian dan disiplin sama waktu. Nggak seperti
sekarang yang selalu teledor sama waktu.” Darka berkata dengan lambat, namun
tegas. “Apa aku harus ngingetin kamu terus? Nggak kan. Kamu kan udah gede,
pasti ngertilah gimana ngatur diri kamu sendiri. Pinter-pinter nyari temen. Jangan
berteman sama orang yang cuma mau enaknya aja dari kamu.” Darka masih
melanjutkan omelannya. Kepalanya dengan setia menoleh ke belakang, sesekali
memposisikan lagi ke depan, memantau jalan didepannya.
Zarel bukan gadis yang cengeng. Ia
tidak mudah meneteskan air mata. Hanya hal-hal yang benar-benar membuatnya
terpojok yang akan membuat air di sudut matanya menetes. Kali ini Zarel
benar-benar tidak dapat menahan rasa gondoknya terhadap Darka. Pulang kuliah
sore hari, letih yang Zarel rasakan ditambah dengan omelan panjang dari Darka
sepanjang perjalanan pulang, membuatnya benar-benar panas. Batu di
tenggorokannya sudah meledak. Begitu juga air di sudut matanya. Zarel tak
sanggup lagi menghapus air mata itu. Mencoba menutupinya dari Darka. Tak ingin
terlihat lemah di hadapan cowok itu. Angin dingin yang merayap di sekujur
tubuhnya tidak lagi terasa dingin. Udara malam yang segar tidak lagi terasa
segar olehnya. Kenyamanan yang semestinya bisa ia dapatkan, hanya berubah jadi
air mata.
“Udah sampai,” ucap cowok itu seraya
menoleh ke belakang, melihat keadaan Zarel.
Darka memarkirkan motornya di depan
pagar rumah Zarel. Hari sudah larut. Rumah dengan taman kecil di depan rumah
bergaya minimalis itu telihat damai saat malam. Kolam air dengan air terjun
mini yang terletak di pojok taman, memberikan kesegaran saat menatapnya. Darka
memandang setiap sudut rumah itu dari balik kaca helmnya. Meneliti setiap
detailnya. Semuanya masih sama seperti terakhir kali ia kesini. Sentuhan warna
merah pastel yang digabungkan dengan batu alam yang memiliki kontur berkarakter
yang kuat dengan warnanya yang lembut. Pintu depan rumah Zarel pun masih sama.
Pintu dari kayu jati bercat cokelat tua
dengan guratan yang masih jelas terlihat, walaupun di bawah sinar lampu teras
yang sedikit redup. Sudah lama tidak melihat keadaan di dalamnya, Darka
membatin.
Zarel turun dari motor besar itu
dengan kepala tertunduk. Dilepaskannya helm yang menyelubungi kepalanya.
Diserahkannya benda bulat besar itu kepada Darka dengan kepala tertunduk.
“Makasih,” ucap Zarel singkat.
Ia segera memutar badan dari hadapan
Darka. Tapi segera Darka menarik pergelangan tangan Zarel. Menahan gadis itu
untuk tidak pergi. Ditatapnya gadis yang masih menunduk itu.
Darka mengangkat kaca pelindung
helmnya. “Kamu nangis?” Tanya Darka kepada Zarel.
Zarel menggeleng. Memastikan bahwa
dirinya baik-baik saja. Ia berusaha melepaskan tangannya yang masih di pegang
Darka. Darka tidak melepaskannya. Zarel berusaha menyapu air matanya yang terus
mengalir. Ia ingin segera lari dari hadapan Darka. Kalau bisa ia ingin segera
menghilang.
“Udah, Za. Nggak usah nangis,” ucap
Darka menenangkan Zarel. “Maaf kalau aku udah buat kamu nangis. Aku cuma nggak
mau terjadi apa-apa sama kamu Za. Aku sayang sama kamu.” Darka terus menatap Zarel.
Mencoba meyakinkan gadis itu.
“Iya, nggak apa-apa kok. Udah ya Ka,
aku mau masuk.” Zarel menggerak-gerakkan tangannya. Berusaha melepaskannya dari
genggaman Darka. Tangan kanannya masih sibuk menghapus air mata yang tidak
kunjung berhenti menetes.
“Jangan lupa makan, terus
istirahat.”
Zarel mengangguk pelan. Ia merasakan
ada udara melewati pergelangan tangan kirinya. Darka sudah melepaskan
genggamannya. Ia langsung memutar balik badannya untuk membuka pintu pagar
rumah. Pagar rumah yang diselingi dengan batu alam bergaris-garis horizontal,
berwarna hitam. Sehingga memberi kesan kuat, kokoh, dan gagah. Zarel
menggerakkan tangan kanannya untuk membuka pintu pagar yang berbunyi berdecit
saat dibuka. Ia tidak menoleh ke belakang barang sedikit untuk melihat Darka.
Saat membuka pintu depan rumah, Zarel mendengar suara motor membelah suasa
malam yang sepi.
***
Zarel masih membenamkan diri di atas
tempat tidur empuk kesayangannya. Belum berniat bergerak barang sedikitpun.
Baju dan jeans yang ia kenakan dari
tadi pagi, masih melekat setia di badannya. Ia masih kesal bila mengingat-ingat
kejadian setengah jam lalu. Kekesalannya masih membuncah kepada Darka.
Tatapannya sejurus mengarah ke atas langit-langit kamar. Bayangan wajah Darka
seolah menari-nari di atas langit-langit itu. Zarel kemudian mengambil poselnya
yang tergeletak di sampingnya. Di saat seperti ini ia ingin sekali membagi
kisahnya dengan seseorang.
“Halo, Fin,” ucap Zarel sesaat
setelah terdengar bunyi ponsel diangkat. “Maaf ya ganggu malem-malem,” Zarel
berkata sambil membalikkan badannya.
“Iya, Za, nggak apa-apa. Pasti mau
curhat ya?” Tebak Fiona dari ujung ponsel.
Zarel tersenyum. Kemudian berkata,
“Kamu tahu aja.”
“Kok suara kamu agak beda, Za?”
Zarel tidak menyadari perubahan
suaranya. “Ah, iya ya?” Zarel balik bertanya.
“Jangan bilang kamu habis nangis
gara-gara kena omel Darka.” Fiona menebak lagi dengan benar.
“Kamu bener, Fi,” sahut Zarel pelan.
Ia kemudian mengangkat badannya. Memposisikan badannya agar duduk rapi. Zarel
akhirnya menceritakan semuanya dari awal. Sesekali ia mengubah posisi duduknya.
“Lama-lama
gue capek, Fi. Masak kayak gini terus sih,” keluh Zarel di akhir ceritanya.
“Lo udah pernah bilang ke Darka
langsung tentang sikapnya yang egois ini?” Tanya Fiona.
Zarel menghisap udara di sekitarnya
dalam-dalam. “Udah pernah sih waktu itu. Pas awal pacaran,” sahut Zarel
kemudian. “Atau mungkin dia udah lupa dengan itu semua.”
Zarel
berjalan kedekat kaca tinggi di sudut kamarnya. Menatap kosong ke langit luar.
“Lo masih sayang sama dia?” Tanya Fiona
menyelidik.
Zarel diam. Tidak langsung menjawab
pertanyaan sahabatnya itu. Tatapannya masih tertaut di luar. Menyaksikan
langit. Langit di luar gelap. Tidak ada satupun bintang yang terlihat di sana.
Tampaknya bintang sedang murung, sama seperti dirinya sekarang.
“Gue ngerti posisi lo sekarang, Za,”
sahut Fiona dari ujung ponsel. “Tapi lo termasuk hebat, Za. Bisa bertahan
sampai sejauh ini dengan tipe orang yang kayak gitu.”
“Gue bisa bertahan, Fi. Tapi hati
gue nggak bisa. Gue selalu coba buat nahan sakit ini sendirian, tanpa Darka
harus tahu. Gue selalu ngalah di depan dia,” ucapnya, menerawang kisah-kisahnya
bersama Darka bulan-bulan lalu.
Tidak terdengar jawaban dari balik
ponsel hitam itu.
“Jadi intinya, sekarang lo masih
belum bisa nemuin cinta sejati lo?” Ledek Fiona kemudian.
“Masih inget aja lo, Fi, omongan gue
waktu itu,” ucap Zarel, tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu.
“Iya, dong. Gue inget banget, waktu
itu lo bilang ke gue sama Le, kalau lo udah nemuin cinta sejati lo.”
“Tapi nyatanya sekarang, nggak,”
kata Zarel. “Selama ini gue ngerasa pakek topeng dan gue sukses meranin peran
gue.” Zarel perlahan berjalan menjauhi kaca tinggi itu. “Sekarang waktunya gue
harus lepasin topeng itu.”
“Za?” Terdengar suara panggil Fiona.
“Lo nggak bermaksud buat─” Fiona menghentikan kalimatnya.
“Nggak tahu, Fi. Gue harap nggak.
Gue bakal berusaha untuk terus bertahan sampai gue udah bener-bener nggak bisa
bertahan lagi,” ucap Zarel, seulas senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Gue cuma bisa kasih saran aja buat
lo, Fi. Semua keputusan nantinya ada di tangan lo.”
“Eh, Fi. Lo masih inget nggak sama
cowok yang waktu itu ketemu di terminal?” Zarel langsung mengalihkan
pertanyaan. “Bukan yang gendut,” lanjut Zarel. Ia masih ingat dengan jelas
setiap lekuk wajah Indra. Walau Zarel masih penasaran dengan penyakit yang di
alami oleh pemuda itu. “Kemarin, gue ketemu dia lagi.” Zarel menceritakan
pertemuannya dengan Indra beberapa waktu lalu dengan antusias.
“Lo tertarik sama dia?” Tanya Fiona
tiba-tiba.
“Ha?” Zarel linglung. “Gue cuma penasaran
aja sama dia. Soalnya dia kayaknya lagi sakit deh. Nggak tahu sakit apa,” ucap
Zarel, berusaha menguasai ucapannnya.
“Kalau sampai Darka tahu kalau lo
pulang bareng sama tuh cowok, habis lo, Za.”
Zarel nyengir lebar. Seolah Fiona
sekarang ada di hadapannya.
“Ah, sikapnya itu yang bikin gue
punya temen cowok dikit banget. Mana semua temen gue mesti terdaftar di
kontaknya dia.”
“Itu resiko, Za. Berarti dia sayang
sama lo.”
“Bukan sayang, tapi possesive,” komentar Zarel singkat.
Tanpa ia sadari, kini ia sudah berada di tempat awal ia duduk. Kasur empuk
berbalut seprai warna biru muda.
“Setiap orang punya cara yang
berbeda buat nunjukkin rasa sayangnya, Za.”
“Iya. Gue ngerti.”
***
No comments:
Post a Comment