Labels

Friday, March 15, 2013

Between


Bagian 5

            Berbagai kendaraan di jalan-jalan kota sudah mulai berdesak-desakan. Tidak jarang terkadang kemacetan sempat singgah meski hanya sepuluh menit. Jalan-jalan kota sudah mulai terang akibat cahaya kuning yang berasal dari lampu-lampu jalan dengan tiang tinggi yang berjejer sepanjang jalan kota Palembang. Bukan hanya para pengendara yang sibuk meramaikan suasana sore hari. Para pedagang pinggiran pun tidak mau ketinggalan. Banyak dari mereka yang sudah menggelar tenda untuk segera mulai berjualan. Batagor dan Siomay Bandung, Pecel Lele, Nasi dan Mi Goreng. Zarel mengeja setiap judul yang tertulis di kaca depan setiap gerobak yang berjejer di pinggir jalan sekitar halte Trans Musi. Tidak ketinggalan, aneka gorengan dan aneka makanan laut siap saji juga tersedia di sana. Zarel mencoba bergabung dengan orang-orang yang berada di dalam halte Trans Musi. Menunggu bis selanjutnya untuk pulang ke rumahnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Berharap ada seseorang yang dikenalnya di tempat itu. Bisa jadi teman mengobrol sembari menunggu, pikir Zarel. Tiba-tiba Ponsel miliknya berdering.
“Halo,” sahut gadis menempelkan ponsel hitam itu ke telinganya.
            “Kamu dimana?” Terdengar suara pemuda dengan nada tinggi bertanya dari ujung telepon.
            Zarel menatap ke sekelilingnya. “Di halte, lagi nungguin TM. Tapi lama banget,” jawabnya. “Kamu lagi sibuk nggak?” Tanya Zarel hati-hati.
            “Baru mau pulang?” Darka balik bertanya. “Lagi nggak sibuk. Kenapa?”
            Zarel menarik napas pelan. Ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya. “Kamu bisa jemput aku nggak sekarang?”
            “Kenapa nggak bilang dari tadi, Za. Kamu itu kebiasaan, sering minta tolong mendadak,” omel Darka dari balik ponsel.
            “Iya, maaf ngerepotin kamu terus. Tapi bisa kan? Aku tunggu ya,” Zarel berkata, langsung menutup ponselnya kemudian. Tidak ingin mendengar apa yang akan diucapkan Darka selanjutnya. Zarel yakin Darka akan menyiapkan banyak omelan untuk dirinya. Dan untungnya telinganya telah terlatih untuk hal semacam itu.
            Satu persatu orang-orang di halte ini mulai berkurang. Ada yang sudah naik Trans Musi sesuai tujuan mereka. Ada juga yang menunggu jemputan, sama seperti dirinya. Zarel menyeka wajahnya yang kusam. Cahaya remang-remang dari lampu halte ini, membuat gadis itu menguap berulang-ulang. Baju kaus putih polos yang di balut cardigan warna cokelat, terlihat mulai tidak beraturan di badan Zarel. Rambut ikalnya yang ia ikat jumput ke atas, sudah mulai berantakan. Tas Channel besar warna hitam yang semula ia gantung di bahunya, kini sudah berpindah tempat ke atas pangkuannya. Sesekali Zarel memain-mainkan telapak kakinya yang dibalut sepatu flat warna cokelat tua. Ia terus melirik jam tangannya. Jarum jam itu merangkak dengan cepat. Membuat jarum panjangnya sekarang berada di angka sembilan dan jarum pendeknya ada di antara angka tujuh dan delapan. Ia terus memperhatikan setiap kendaraan yang lewat, baik motor maupun mobil. Berharap salah satunya adalah Darka.
            Merasa bosan, Zarel beranjak dari tempat duduknya. Kini ia berdiri di samping terminal dengan tangan menyilang di depan dada. Menatap jalanan kota di malam hari. Pencahayaan di sini juga jauh lebih baik daripada di tempat ia duduk tadi. Tiba-tiba Zarel menangkap sesuatu di matanya. Motor Ninja warna hitam dengan kecepatan sedang melaju ke arahnya. Zarel tersenyum sesaat setelah motor itu benar-benar berhenti di hadapannya. Zarel menyambut helm yang diberikan oleh pacarnya itu.
            “Kenapa pulangnya malem banget?” Tanya Darka setelah Zarel duduk di belakangnya.
            “Tadi nemenin Fiona ke toko buku. Nggak sadar tahunya udah malem,” jawab Zarel, mendekatkan kepalanya ke arah telinga Darka yang tertutupi helm.
            “Mulai besok udah deh, nggak usah nemenin temen ke mana-mana lagi,” ucap Darka setengah berteriak. Suaranya samar-samar, terhalang oleh angin.
            “Ya nggak enak lah. Dia kan sahabat aku, Ka.”
            “Terus Fionanya kemana tadi? Kenapa nggak ada?”
            “Kan rumah kita beda arah. Kebetulan TM arah rumah dia datang duluan,” jelas Zarel.
            “Pokoknya lain kali nggak ada lagi kata nemenin temen, sampe buat pulang malem,” ucap Darka tegas.
            “Iya,” jawab Zarel singkat. Tidak ingin memperkeruh keadaan.
            “Terus kalau mau minta jemput, kabarin dari sebelumnya. Jangan kayak sekarang, buru-buru minta jemput,” omel Darka lagi.
            “Kenapa memangnya? Sungkan mau minta tolong?” Tanya Darka lagi karena tidak terdengar sahutan dari arah belakangan.
            “Bukan gitu, takut kamunya lagi sibuk,” jawab Zarel setengah berteriak.
            “Kamu takut minta tolong sama aku. Aku kan udah pernah bilang sama kamu, kita ini semuanya temen, cuma statusnya aja yang beda. Jadi kalau kamu berani minta tolong sama temen kamu yang lain, kenapa sama aku nggak?” Suara Darka terdengar sangat jelas di telinga Zarel. Telinganya seperti mendapat serangan bertubi-tubi dari musuh. Zarel bahkan lupa dengan pertanyaan Darka sebelumnya.
            “Nggak, nggak gitu kok.”
            Zarel menyadari matanya mulai panas. Tenggorokannya seperti masih menyimpan batu yang mungkin akan segera meledak. Dadanya sesak. Ia semakin susah mengatur napas.
            Darka menurunkan gas motornya saat lampu merah di jalanan kota ini menyala.
            “Terus juga, kamu jangan sok baik terus deh. Temen minta temenin ke sini kamu mau. Entar minta temenin lagi ke sini lagi, mau lagi. Temenin ke sana, juga nurut,” Darka berkata tanpa jeda. “Mau jadi apa kalau kerjaanya nurutin orang aja.” Darka kembali melanjutkan omelannya. Kali ini dengan posisi sedikit miring ke belakang.
            Pengendara motor di samping mereka sedikit menoleh ke arah Darka yang mengomel dan Zarel yang hanya menunduk. Keadaan yang lengang membuat suara Darka terdengar jelas.
            “Kamu itu kalau aku perhatiin, mudah banget terbujuk sama orang. Mudah di hasut. Aku nggak suka punya pasangan yang nggak punya pendirian. Mudah ikut-ikutan. Bisa kan kamu mulai punya pendirian sendiri mulai dari sekarang?” Darka menatap Zarel yang bersembunyi di balik kaca helmnya.
            Aku nggak suka punya pasangan yang nggak punya pendirian. Ucapan itu berputar-putar di benak Zarel. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangis.
            Zarel tidak menjawab. Hanya anggukan kecil yang ia lakukan. Ia masih sibuk menahan air mata yang sepertinya sebentar lagi akan meledak. Tenggorokannya makin berat. Perasaan gondok yang ia rasakan sekarang. Bukan situasi seperti ini yang ia inginkan. Zarel mencoba mengalah, tidak menjawab semua omelan Darka. Ia hanya memikirkan untuk secepatnya tiba di rumah dan menumpahkan semua air mata ini.
            Darka memain-mainkan gas motornya. Traffic light sudah berwarna hijau. Semua pengendara mulai memaju kendaraan mereka menerjang angin malam yang dingin.
            “Za?” Panggil Darka.
            “Ya.”
            “Omongan aku tadi jangan didengerin aja. Diresapi terus dipraktekin,” Darka berkata, nada suaranya mulai melemah. “Aku mau kamu jadi orang yang punya pendirian dan disiplin sama waktu. Nggak seperti sekarang yang selalu teledor sama waktu.” Darka berkata dengan lambat, namun tegas. “Apa aku harus ngingetin kamu terus? Nggak kan. Kamu kan udah gede, pasti ngertilah gimana ngatur diri kamu sendiri. Pinter-pinter nyari temen. Jangan berteman sama orang yang cuma mau enaknya aja dari kamu.” Darka masih melanjutkan omelannya. Kepalanya dengan setia menoleh ke belakang, sesekali memposisikan lagi ke depan, memantau jalan didepannya.
            Zarel bukan gadis yang cengeng. Ia tidak mudah meneteskan air mata. Hanya hal-hal yang benar-benar membuatnya terpojok yang akan membuat air di sudut matanya menetes. Kali ini Zarel benar-benar tidak dapat menahan rasa gondoknya terhadap Darka. Pulang kuliah sore hari, letih yang Zarel rasakan ditambah dengan omelan panjang dari Darka sepanjang perjalanan pulang, membuatnya benar-benar panas. Batu di tenggorokannya sudah meledak. Begitu juga air di sudut matanya. Zarel tak sanggup lagi menghapus air mata itu. Mencoba menutupinya dari Darka. Tak ingin terlihat lemah di hadapan cowok itu. Angin dingin yang merayap di sekujur tubuhnya tidak lagi terasa dingin. Udara malam yang segar tidak lagi terasa segar olehnya. Kenyamanan yang semestinya bisa ia dapatkan, hanya berubah jadi air mata.
            “Udah sampai,” ucap cowok itu seraya menoleh ke belakang, melihat keadaan Zarel.
            Darka memarkirkan motornya di depan pagar rumah Zarel. Hari sudah larut. Rumah dengan taman kecil di depan rumah bergaya minimalis itu telihat damai saat malam. Kolam air dengan air terjun mini yang terletak di pojok taman, memberikan kesegaran saat menatapnya. Darka memandang setiap sudut rumah itu dari balik kaca helmnya. Meneliti setiap detailnya. Semuanya masih sama seperti terakhir kali ia kesini. Sentuhan warna merah pastel yang digabungkan dengan batu alam yang memiliki kontur berkarakter yang kuat dengan warnanya yang lembut. Pintu depan rumah Zarel pun masih sama. Pintu dari kayu jati  bercat cokelat tua dengan guratan yang masih jelas terlihat, walaupun di bawah sinar lampu teras yang sedikit redup. Sudah lama tidak melihat keadaan di dalamnya, Darka membatin.
            Zarel turun dari motor besar itu dengan kepala tertunduk. Dilepaskannya helm yang menyelubungi kepalanya. Diserahkannya benda bulat besar itu kepada Darka dengan kepala tertunduk.
            “Makasih,” ucap Zarel singkat.
            Ia segera memutar badan dari hadapan Darka. Tapi segera Darka menarik pergelangan tangan Zarel. Menahan gadis itu untuk tidak pergi. Ditatapnya gadis yang masih menunduk itu.
            Darka mengangkat kaca pelindung helmnya. “Kamu nangis?” Tanya Darka kepada Zarel.
            Zarel menggeleng. Memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia berusaha melepaskan tangannya yang masih di pegang Darka. Darka tidak melepaskannya. Zarel berusaha menyapu air matanya yang terus mengalir. Ia ingin segera lari dari hadapan Darka. Kalau bisa ia ingin segera menghilang.
            “Udah, Za. Nggak usah nangis,” ucap Darka menenangkan Zarel. “Maaf kalau aku udah buat kamu nangis. Aku cuma nggak mau terjadi apa-apa sama kamu Za. Aku sayang sama kamu.” Darka terus menatap Zarel. Mencoba meyakinkan gadis itu.
            “Iya, nggak apa-apa kok. Udah ya Ka, aku mau masuk.” Zarel menggerak-gerakkan tangannya. Berusaha melepaskannya dari genggaman Darka. Tangan kanannya masih sibuk menghapus air mata yang tidak kunjung berhenti menetes.
            “Jangan lupa makan, terus istirahat.”
            Zarel mengangguk pelan. Ia merasakan ada udara melewati pergelangan tangan kirinya. Darka sudah melepaskan genggamannya. Ia langsung memutar balik badannya untuk membuka pintu pagar rumah. Pagar rumah yang diselingi dengan batu alam bergaris-garis horizontal, berwarna hitam. Sehingga memberi kesan kuat, kokoh, dan gagah. Zarel menggerakkan tangan kanannya untuk membuka pintu pagar yang berbunyi berdecit saat dibuka. Ia tidak menoleh ke belakang barang sedikit untuk melihat Darka. Saat membuka pintu depan rumah, Zarel mendengar suara motor membelah suasa malam yang sepi.
***
            Zarel masih membenamkan diri di atas tempat tidur empuk kesayangannya. Belum berniat bergerak barang sedikitpun. Baju dan jeans yang ia kenakan dari tadi pagi, masih melekat setia di badannya. Ia masih kesal bila mengingat-ingat kejadian setengah jam lalu. Kekesalannya masih membuncah kepada Darka. Tatapannya sejurus mengarah ke atas langit-langit kamar. Bayangan wajah Darka seolah menari-nari di atas langit-langit itu. Zarel kemudian mengambil poselnya yang tergeletak di sampingnya. Di saat seperti ini ia ingin sekali membagi kisahnya dengan seseorang.
            “Halo, Fin,” ucap Zarel sesaat setelah terdengar bunyi ponsel diangkat. “Maaf ya ganggu malem-malem,” Zarel berkata sambil membalikkan badannya.
            “Iya, Za, nggak apa-apa. Pasti mau curhat ya?” Tebak Fiona dari ujung ponsel.
            Zarel tersenyum. Kemudian berkata, “Kamu tahu aja.”
            “Kok suara kamu agak beda, Za?”
            Zarel tidak menyadari perubahan suaranya. “Ah, iya ya?” Zarel balik bertanya.
            “Jangan bilang kamu habis nangis gara-gara kena omel Darka.” Fiona menebak lagi dengan benar.
            “Kamu bener, Fi,” sahut Zarel pelan. Ia kemudian mengangkat badannya. Memposisikan badannya agar duduk rapi. Zarel akhirnya menceritakan semuanya dari awal. Sesekali ia mengubah posisi duduknya.
“Lama-lama gue capek, Fi. Masak kayak gini terus sih,” keluh Zarel di akhir ceritanya.
            “Lo udah pernah bilang ke Darka langsung tentang sikapnya yang egois ini?” Tanya Fiona.
            Zarel menghisap udara di sekitarnya dalam-dalam. “Udah pernah sih waktu itu. Pas awal pacaran,” sahut Zarel kemudian. “Atau mungkin dia udah lupa dengan itu semua.”
Zarel berjalan kedekat kaca tinggi di sudut kamarnya. Menatap kosong ke langit luar.
            “Lo masih sayang sama dia?” Tanya Fiona menyelidik.
            Zarel diam. Tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Tatapannya masih tertaut di luar. Menyaksikan langit. Langit di luar gelap. Tidak ada satupun bintang yang terlihat di sana. Tampaknya bintang sedang murung, sama seperti dirinya sekarang.
            “Gue ngerti posisi lo sekarang, Za,” sahut Fiona dari ujung ponsel. “Tapi lo termasuk hebat, Za. Bisa bertahan sampai sejauh ini dengan tipe orang yang kayak gitu.”
            “Gue bisa bertahan, Fi. Tapi hati gue nggak bisa. Gue selalu coba buat nahan sakit ini sendirian, tanpa Darka harus tahu. Gue selalu ngalah di depan dia,” ucapnya, menerawang kisah-kisahnya bersama Darka bulan-bulan lalu.
            Tidak terdengar jawaban dari balik ponsel hitam itu.
            “Jadi intinya, sekarang lo masih belum bisa nemuin cinta sejati lo?” Ledek Fiona kemudian.
            “Masih inget aja lo, Fi, omongan gue waktu itu,” ucap Zarel, tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu.
            “Iya, dong. Gue inget banget, waktu itu lo bilang ke gue sama Le, kalau lo udah nemuin cinta sejati lo.”
            “Tapi nyatanya sekarang, nggak,” kata Zarel. “Selama ini gue ngerasa pakek topeng dan gue sukses meranin peran gue.” Zarel perlahan berjalan menjauhi kaca tinggi itu. “Sekarang waktunya gue harus lepasin topeng itu.”
            “Za?” Terdengar suara panggil Fiona. “Lo nggak bermaksud buat─” Fiona menghentikan kalimatnya.
            “Nggak tahu, Fi. Gue harap nggak. Gue bakal berusaha untuk terus bertahan sampai gue udah bener-bener nggak bisa bertahan lagi,” ucap Zarel, seulas senyum kecil menghiasi wajahnya.
            “Gue cuma bisa kasih saran aja buat lo, Fi. Semua keputusan nantinya ada di tangan lo.”
            “Eh, Fi. Lo masih inget nggak sama cowok yang waktu itu ketemu di terminal?” Zarel langsung mengalihkan pertanyaan. “Bukan yang gendut,” lanjut Zarel. Ia masih ingat dengan jelas setiap lekuk wajah Indra. Walau Zarel masih penasaran dengan penyakit yang di alami oleh pemuda itu. “Kemarin, gue ketemu dia lagi.” Zarel menceritakan pertemuannya dengan Indra beberapa waktu lalu dengan antusias.
            “Lo tertarik sama dia?” Tanya Fiona tiba-tiba.
            “Ha?” Zarel linglung. “Gue cuma penasaran aja sama dia. Soalnya dia kayaknya lagi sakit deh. Nggak tahu sakit apa,” ucap Zarel, berusaha menguasai ucapannnya.
            “Kalau sampai Darka tahu kalau lo pulang bareng sama tuh cowok, habis lo, Za.”
            Zarel nyengir lebar. Seolah Fiona sekarang ada di hadapannya.
            “Ah, sikapnya itu yang bikin gue punya temen cowok dikit banget. Mana semua temen gue mesti terdaftar di kontaknya dia.”
            “Itu resiko, Za. Berarti dia sayang sama lo.”
            “Bukan sayang, tapi possesive,” komentar Zarel singkat. Tanpa ia sadari, kini ia sudah berada di tempat awal ia duduk. Kasur empuk berbalut seprai warna biru muda.
            “Setiap orang punya cara yang berbeda buat nunjukkin rasa sayangnya, Za.”
            “Iya. Gue ngerti.”
***

No comments:

Post a Comment