Bagian 2
Hawa
panas berjalan masuk menyusuri ruangan kecil yang rapi dengan deretan poster
artis Korea yang menempel rapi di dinding bagian kanan. Sebuah lemari tinggi
warna hitam, dengan dua pintu, berdiri di samping meja belajar lengkap dengan
rak buku yang disekat tiap raknya, disandingkan dengan meja komputer di
sebelahnya. Pencahayaan yang cukup untuk ruangan ini, karena ada dua jendela
tinggi yang transparan di sudut dinding dekat meja komputer. Bergeser sedikit
dari jendela, ada sebuah tempat tidur cukup besar bila ditempati oleh satu
orang. Seprai warna biru muda bergaris horizontal, tampak rapi membalut bed cover itu. Disebelahnya, ada lemari
kayu kecil satu pintu. Di atas meja itu berdiri sebuah lampu kamar warna biru
tua, lengkap dengan jam weker kecil di sebelah lampu itu. Di sebelah meja meja
kecil itu, terletak kokoh sebuah meja rias dengan cermin berbentuk oval
berukuran besar. Meja rias dari kayu jati yang diberi cat warna senada dengan
seprai tempat tidur, terdapat tumpukan berbagai jenis kosmetik di atasnya,
tersusun dengan rapi. Zarel duduk menghadap cermin besar itu dengan mengenakan
sebuah blouse hampir sepanjang lutut
berbahan hicone warna cokelat susu.
Dibalut dengan legging panjang berbahan
spandex warna hitam yang menampilkan
kesan jenjang pada kakinya. Tak lupa Zarel mengenakan kalung kayu yang terbuat
dari kayu jati dengan perpaduan batu agate dengan tali yang terbuat dari kulit
imitasi. Rambutnya ia ikat setengah ke belakangan dengan mengenakan jepit besar
warna hitam. Dan dengan sedikit poni miring ke kanan di bagian depan. Zarel
memoles wajahnya tipis dengan bedak dan sedikit polesan lip glose warna pink cerah
di atas bibirnya. Ia tidak perlu memberi warna hitam pada alisnya, karena alis
milik Zarel memang sudah tebal. Zarel juga tidak perlu menggunakan maskara
untuk melentikkan bulu mata, karena bulu mata yang ia punya sudah lentik. Zarel
masih mematut dirinya di depan cermin dengan sesekali mengulum senyum,
menyaksikan penampilannya siang ini. Setelah dirasa cukup, Zarel berdiri dari
kursi bulat empuk yang terletak di depan cermin. Ia berdiri dengan mantap
dengan menggunakan wedges warna
cokelat tanpa tali. Menimbulkan kesan anggun pada penampilannya. Tak lupa
sebuah tas kecil warna hitam dengan tali yang terbuat dari jalinan rantai warna
kuning, melingkar cantik di bahunya.
“Mau kemana, Kak?” Tanya Ziva yang
tiba-tiba masuk ke kamarnya.
Zarel melirik adiknya itu dari balik
cermin besar itu. “Mau keluar.”
“Sama siapa?” Tanya Ziva meneliti.
“Sama Darka.”
“Ikutan dong.”
“Nggak boleh.”
Ziva memberengutkan wajahnya. “Udah
deh, Kak. Lo siap-siap sekarang, palingan Kak Darka setengah jam lagi baru
dateng,” ucap Ziva jahil.
“Tau lo, Dek,” Zarel berkata sambil
merapikan kembali blouse yang ia
kenakan.
Ziva berjalan ke arah lemari kecil
di samping tempat tidur. Membuka pintu lemari itu sambil berjongkok dan
mengeluarkan setumpuk kaset DVD dari dalamnya.
“Lo baru beli kaset lagi ya?” Tanya
Ziva sambil duduk bersila.
“Iya, kemarin ada drama baru,
makanya gue langsung nyari.”
“Nah, yang itu,” ucap Zarel sambil
menunjuk ke salah satu kaset DVD yang dipegang Ziva.
Ziva melirik DVD yang dipegangnya.
“Itu kisah cinta yang romantis loh,”
Zarel berkata sambil senyum-senyum sendiri mengingat setiap potongan kisah
dalam drama itu. “Awalnya si cowoknya egois terus possesive berat. Si cewek bener-bener ngerasa nggak betah sama si
cowok,” lanjut Zarel. Cewek mana yang suka sama cowok yang terlalu possesive dan selalu ingin menang
sendiri. “Tapi tiba-tiba si cewek jatuh sakit lantaran tersiksa batin selama
pacaran.”
Ziva tertawa mendengar cerita Zarel.
Zarel ikut tersenyum. Ia merasa ini
adalah bagian terbaik dari drama itu. “Dan si cowok akhirnya mau berubah. Dia
sadar kalau selama ini sikapnya salah.” Zarel mengakhiri ucapannya dengan senyum mengembang.
“Sama kayak kisah lo dong, Kak,”
celetuk Ziva. Zarel menatap gadis belia itu dengan kening berkerut. “Cuma
bedanya, lo belum sampe sakit.” Ziva tertawa senang.
“Pinter banget sih nalar lo, Dek,”
Zarel berkata sambil merapikan peralatan make up yang berantakan di atas meja.
“Udah ah gue mau keluar.”
“Tapi Kak Darka kan belum dateng.”
Ziva masih sibuk melihat-lihat DVD.
“Gue mau nunggu di luar aja. Jangan
lupa rapiin lagi kasetnya,” perintah Zarel kepada adiknya. Gadis itu segera
melangkah ke luar dari kamarnya.
***
“Filmnya
bagus ya,” komentar Zarel sesaat setelah ia dan Darka keluar dari ruang teater
sebuah bioskop di salah satu mall.
Orang-orang
di dalam bioskop itu bertambah ramai, lebih ramai dari dua jam lalu. Tak
sedikit dari mereka ada yang duduk bersila di atas karper warna kuning gading
itu, karena tidak ada kursi kosong. Zarel mengedarkan pandangan menatap
gerombolan orang-orang itu satu persatu─mungkin saja ada yang dikenalnya. Zarel
menarik napas dalam-dalam. Aroma mentega dari popcorn di kedai sebelah sempat
mampir di hidungnya. Manis dan asin. Seperti kisah cintanya.
“Ka,”
panggil Zarel sambil membetulkan letak tasnya.
“Lumayan
kok filmnya,” sahut Darka kemudian. Ia langsung tanggap bahwa Zarel masih
menunggu jawaban darinya.
Zarel
merasa risih melihat sikap Darka yang sedari tadi sibuk sendiri dengan
ponselnya. “Sibuk banget ya? Dari mulai nonton sampai sekarang nggak berhenti
BBM.”
Darka
tidak mengubris perkataan gadis itu.
Kepalanya masih saja tertunduk menatap layar ponsel. Mereka berjalan menuju
eskalotor, turun ke lantai dasar dan berbelok ke arah kanan. Sesekali Darka
bergantian menatap eskalator dan layar ponsel.
“Za,”
panggil Darka. “Kamu aku anter pulang sekarang ya.”
“Loh,
kok langsung pulang?” Zarel menatap heran ke arah Darka. “ Bukannya kita masih
mau lanjut jalan?”
Darka
terlihat gelisah. Matanya sibuk menatap jam di tangannya. “Aku ada rapat
mendadak sama anggota BEM jurusan. Nggak bisa nggak hadir. Untuk acara
penting.”
Zarel
menghela napas. Ia sadar, bukan pertama kalinya Darka seperti ini. Tapi tidak
bisakah untuk hari ini, pemuda itu tetap di sampingnya.
“Oh,
gitu. Yaudah kamu duluan gih. Aku bisa pulang sendiri kok.”
“Sorry banget, Za. Hari ini nggak sesuai
rencana,” Darka berkata seraya menggenggam jemari gadis itu.
Zarel
buru-buru melepaskan genggaman Darka. “Iya, nggak apa-apa. Kan masih banyak
hari-hari lain,” Zarel berkata tanpa melihat mata Darka. Berusaha
menyembunyikan kekecewaannya.
“Yaudah,
aku duluan ya. Bye,” ucap Darka sambil
mengelus rambut ikal milik Zarel.
Gadis
itu tersenyum datar menatap punggung Darka yang perlahan menghilang di antara
kerumunan orang.
***
“Jadi
lo ditinggal lagi sama dia?” Le bertanya dengan mata setengah melotot menatap
Zarel.
“Dia
mau nganter pulang, tapi guenya nggak mau,” jawab Zarel sambil mengaduk-aduk ice lemon tea miliknya yang masih penuh.
Le
tertawa sinis mendengar kisah temannya itu. Hari anniversarry yang bagi sebagian orang di anggap sebagai hari
istimewa─hari berdua merayakan tanggal bersejarah─dimana seharusnya bahagia
yang didapat. Tapi sepertinya Zarel tidak termasuk ke dalam kelompok
orang-orang itu.
Di
sinilah mereka sekarang. Duduk saling berhadapan di barisan paling belakang
dekat kaca besar transparan yang menghadap langsung ke jalanan kota Palembang.
Zarel sengaja menelepon Leandra─ia lebih suka memanggil temannya itu dengan
sebutan Le─untuk menemaninya minum sambil mengobrol di sebuah resto di mall,
tempat ia ditinggal pergi oleh Darka.
“Sial
banget nasib lo hari ini, Za. Anniv yang
kedelapan bulan, eh malah ditinggal pergi,” celetuk Le menggoda sahabatnya itu.
“Resiko,
Le. Pacaran sama orang sibuk.”
Leandra
memotong black pepper steak miliknya
dan memasukkannya ke dalam mulut. “Apalagi entar kalau dia kepilih jadi ketua,
gue rasa waktu lo sama dia bener-bener terbatas deh,” ucapnya kemudian.
Sebelumnya,
Zarel tidak terlalu mempermasalahkan posisi Darka dalam organisasi. Selama itu
tidak mengganggu hari-harinya, no
problem. Tapi mendengar ucapan Leandra barusan, ia jadi berfikir, jadi ketua? Kayak gue mesti siap-siap
dinomor duakan. Ia menatap nanar ke luar jendela. Memperhatikan setiap
kendaraan yang lalu lalang. Langit yang menaungi kota siang ini tampak mendung,
sama seperti hatinya. Ia berharap hujan turun sekarang juga. Dan menyisakan
pelangi di akhir rintiknya.
“Le,”
panggil Zarel.
“Hmm..”
“Yang
ajakan lo waktu itu, Lombok, sorry gue
nggak bisa ikut,” ucap Zarel pelan. Terselip rasa kecewa di dalam hatinya.
Leandra
mendongak cepat. “Loh, kenapa? Bukannya waktu itu lo bilang udah dapet izin
dari ortu lo, Za.”
Gue nggak dapet izin dari Darka.
Pengunjung
resto itu mulai tampak ramai. Ada yang datang bersama keluarga. Ada yang
bersama pasangan. Ada juga yang bersama dengan teman-teman mereka. Aroma
masakan yang menyeruak dari dapur resto itu hilir mudik di depan hidung Zarel.
Membuat ia terlena dengan lamunannya.
“Za,”
sergah Leandra.
“Ah,
iya. Kenapa?” Zarel terjaga dari lamunannya.
“Kenapa
tiba-tiba nggak jadi ikut?” Leandra masih menyodorkan pertanyaan yang sama.
Zarel
memutar pelan kedua bola matanya.
“Nggak
dikasih izin sama Darka?” Tebak Leandra sambil menopang dagunya.
Tebakan
yang tepat. Zarel hanya manggut-manggut kecil menyetujui pernyataan sahabatnya
itu.
“Ah,
payah,” ucap Le sambil menghempaskan punggungnya ke atas sanderan sofa empuk
itu. “Lo bilang kan perginya sama gue?”
“Iya,
gue udah bilang. Tapi tetep nggak ngizinin.”
“Yaudah,
lo ngabur aja. Yang penting kan mama sama papa lo udah ngebolehin.”
Zarel
tidak menggubris perkataan sahabatnya itu. Matanya menatap ke arah yang lain.
Menatap seorang pemuda tambun berkulit putih dengan rambut sedikit cepak yang
duduk tidak jauh dari mereka, sekitar dua bangku ke arah kanan dari tempat
mereka duduk. Zarel merasa ia pernah bertemu dengan pemuda itu. Tapi dimana?
“Lo
ngeliatin siapa, Za?” Tanya Leandra kemudian, menyadari bahwa kedua bola mata
gadis itu tidak lagi menatapnya. Leandra menangkap Zarel sedang tersenyum
kepada pemuda berwajah bulat. Leandra coba meneliti pemuda tambun berwajah
bulat dengan baju kaus berkerah, warna abu-abu itu. Leandra menatap pemuda itu
dan Zarel bergantian.
“Teman
lo, Za?” Tanya Leandra kepada Zarel.
“Nggak. Gue juga baru kenal.”
Leandra
mengernyitkan alisnya. Menatap heran melihat sikap sahabatnya itu. “Maksud lo,
baru kenal sekarang?”
“Ya
nggak lah,” jawab gadis itu diselingi tawa. “Kemarin, pas gue lagi nunggu
Darka─” Zarel mencoba mengingat-ingat pertemuannya dengan pemuda berwajah datar
yang ia temui di pelataran toko sepatu. “Gue ketemu sama seorang cowok, manis
sih.” Zarel tersenyum kecil. “Nah cowok itu,” ucapnya sambil menunjuk ke arah
pemuda tambun itu.”Dia temennya cowok manis itu.”
“Terus,
lo naksir sama cowok manis itu?” Leandra asal menebak.
“Ya
nggaklah, dia aja wajahnya super datar gitu,” Zarel berkata, kemudian menyedot ice lemon tea-nya yang sudah tinggal
setengah. “Gue senyum, eh dia cuek aja. Nyebelin tau nggak.”
“Ya
jelaslah dia nggak bales senyum. Dia aja nggak kenal sama lo.”
“Sebelumnya,
gue juga udah pernah ketemu dia.” Zarel kembali membayangkan pertemuannya pertama
kali dengan pemuda yang sampai sekarang ia belum tahu namanya itu. Ia menarik
napas panjang sebelum melanjutkan kembali ucapannya. Ini bagian terbaiknya.
“Malah dia ngasih tempat duduknya ke gue. Nggak tega gitu liat gue berdiri.”
Zarel nyengir.
Leandra
tertawa geli mendengar cerita Zarel. “Kasihan banget nasib lo, Za,” komentarnya
iba. “Mungkin tuh cowok udah lupa sama lo. Lo aja kali yang masih ingat. Kenangan
sepihak gitu.”
Zarel
manyun. “Eh, Le. Tapi gue penasaran sama namanya,” kata Zarel sambil memasang
tampang seriusnya.
“Yaudah,
lo tanya aja langsung sama temennya,” saran Zarel sambil melirik ke arah pemuda
tambun tadi.
“Ah,
gila lo.” Zarel menyandarkan punggungnya ke sofa empuk itu. “Bego ya gue,
kenapa nggak gue tanya aja langsung namanya kemarin.”
“Inget,
Za, inget. Lo itu udah punya cowok.”
“Gue
inget kok, dan selalu inget.”
“Oh
iya, Za,” ucap Leandra tiba-tiba, seperti teringat sesuatu. “Masalah yang itu,
lo beneran nggak bisa?” Tanya Leandra dengan nada pelan di ujung kalimat.
Zarel
tersenyum kecut. Ia bimbang. Di satu sisi ia merasa tidak enak dengan Leandra,
dan lagipula, ia memang ingin ikut ke tempat itu. Tapi di sisi lain, ia punya
kewajiban menuruti perkataan Darka. “Sorry,
Le. Gue benar-benar nggak bisa.”
“Kalau
gitu, lo ajak aja Darka sekalian, siapa tau dia mau,” saran Leandra.
“Mana
dia mau, Le. Lo kayak nggak tau watak dia aja. Waktu kuliah, ya kuliah. Waktu
liburan, baru liburan.”
“Yaudah
deh, gue pergi sendirian,” ucap Leandra kecewa.
“Kenapa
lo nggak coba ajak Fiona? Siapa tahu dia mau.”
“Hahaha...”
Leandra tertawa renyah. “Fiona? Kalau lo ajak dia baca buku, baru mau tuh
anak.”
Zarel
tersenyum paham. Ia sudah hapal dengan sifat kedua sahabatnya itu. Punya dua
orang sahabat dengan karakter yang berberbeda, punya keseruan sendiri baginya.
Ia juga bisa mengandalkan mereka berdua di setiap situasi yang berbeda.
***
No comments:
Post a Comment