Bagian 10
Kelas
baru saja berakhir. Semuanya sibuk mengemasi buku-buku dan barang-barang lain
yang berserakan di atas meja masing-masing. Zarel dengan santai mengemasi
barangnya sambil sesekali melirik ke arah ponsel yang ia letakkan di pinggir
meja. Ia tersenyum ketika ponsel itu bergetar, kemudian dengan cepat ia membuka
pesan singkat yang dikirim untuknya.
“Za, langsung pulang yuk,” ajak
Fiona yang sudah berdiri di samping tempat duduknya.
“Kayaknya hari ini lo pulang berdua
sama Le aja ya, Fi,” ujar Zarel seraya mendongak menatap Fiona.
“Loh, emangnya lo mau kemana?”
“Ada janji sama Indra.”
“Ngapain?”
“Dia ngajakin makan siang.” Zarel
tersenyum. Ia sudah selesai mengemasi semua barangnya. “Le, gue duluan,”
teriaknya kepada Leandra. “Gue duluan ya, Fi.” Zarel berdiri kemudian menepuk
pelan pundak Fiona sebelum akhirnya berlalu dari pintu kelas.
Zarel melangkah santai menuju kantin
jurusan. Ia tidak menyangka kalau Indra mengajaknya makan siang bersama.
Sepanjang jalan menuju kantin, Zarel tidak henti-hentinya tersenyum. Setibanya
di kantin, Zarel celingukan mencari-cari tempat Indra duduk.
“Ah, itu dia.” Zarel tersenyum saat
melihat seseorang yang sudah pasti itu Indra.
“Hai,” sapanya setelah tiba di meja
paling ujung.
“Hai, Zarel,” Ardi balas menyapa
Zarel.
“Eh ada Ardi juga,” kata Zarel
seraya mengambil duduk di samping Ardi. “Kok lo nggak bilang sih, Dra, kalau
Ardi juga ikut?” Tanya Zarel kepada Indra yang duduk di hadapannya.
“Wah, gue ganggu acara kalian ya?”
Ardi langsung menyela.
Zarel dengan cepat melambaikan kedua
tangannya tanda menyangkal. “Ah, nggak kok, Ar. Bukan gitu,” ucapnya cepat.
“Kalau tahu tadi lo juga ikut, gue ajak juga Fiona sama Leandra sekalian. Gue
pikir cuma Indra doang, makanya gue nggak enak mau ajak mereka,” jelas Zarel,
tersenyum kepada Ardi.
“Oh, gitu. Sekarang mereka berdua
dimana?” Tanya Ardi.
“Udah pulang.”
“Tadi sih gue udah mau pulang
duluan. Tapi dipaksa sama dia, katanya mau traktir. Ya akhirnya mau nggak mau
deh,” ujar Ardi melirik jahil ke arah Indra.
Zarel tertawa kecil mendengar ucapan
Ardi.
“Jadi hari ini ada yang mau traktir?
Wah untung gue nggak nolak ajakannya,” ucap Zarel kepada Ardi. Ia tertawa saat
melirik ekspresi wajah Indra.
“Rugi lo kalau nolak ajakan Indra.
Kapan lagi.”
“Lo emang paling paham soal kapan Indra
mau traktir.” Zarel tertawa. Ardi pun ikut tertawa. Mereka berdua berusaha
menjahili Indra. Tapi tampaknya yang dijahili tidak memberikan respon apa-apa.
“Kalian masih mau ngobrol?” Tanya
Indra, menatap Zarel dan Ardi bergantian.
“Ah, nggak-nggak,” jawab Zarel
cepat. “Kita mau makan. Udah laper nih.” Zarel mengelus-elus perutnya.
“Gue juga. Pesen sekarang deh,” Ardi
menimpali.
***
“Gue duluan ya,” ucap Darka kepada
teman-temannya di kelas. Ia melangkah meninggalkan kelas menuju keluar
fakultas.
“Lo mau ke sekret?” Tanya Dino yang
membuntuti Darka.
“Nggak. Gue mau nemui Zarel.”
“Oh,” balas Dino singkat.
Darka tiba-tiba menghentikan
langkahnya. “Lo mau ngikutin gue?” Tanyanya menatap Dino.
Dino salah tingkah. “Gue, gue mau ke
terminal,” ucapnya terbata sambil menunjuk ke arah terminal.
Darka kemudian pergi meninggalkan
Dino yang masih bingung entah mau kemana. Ditengah perjalanan menuju fakultas
Zarel, ia bertemu Leandra dan Fiona─sahabat Zarel.
“Darka,” Fiona berkata pelan.
Mereka bertiga berpapasan. Saling
tersenyum satu sama lain. Tiba-tiba suasana terasa menjadi tegang.
“Kalian mau kemana?” Tanya Darka
menatap menatap mereka berdua.
“Mau pulang,” jawab Leandra.
“Nggak sama Zarel?”
Mereka menggeleng bersama. “Kita
pulang duluan,” tutur Leandra kemudian.
“Emangnya Zarel kemana?”
Leandra dan Fiona saling melempar
pandang. Ragu untuk mengatakannya kepada Darka.
“Zarel kemana?” Darka mengulang
bertanya.
“Dia makan dulu,” ungkap Leandra
akhirnya.
Darka menarik napas panjang.
Pikirannya langsung tertuju kepada teman cowok Zarel yang waktu itu diceritakan
Dino tempo hari.
“Yaudah, makasih ya. Kalau gitu gue
duluan,” ujar Darka. Kemudian berjalan kembali meninggalkan kedua gadis yang
masih berdiri diam di pinggir jalan itu.
***
Di kantin, Zarel bersama Indra dan
Ardi, begitu asyik mengobrol. Sesekali terdengar gelak tawa dari mereka
bertiga. Pengunjung kantin yang tidak terlampau ramai, membuat mereka sedikit
bebas untuk berbicara dengan nada tinggi.
“Zarel.”
Zarel segera menoleh saat seseorang
memanggil namanya.
“Darka,” ucap gadis itu terkejut. Ia
kemudian menatap Indra, Ardi, kembali lagi ke Indra dan berakhir ke Darka.
Zarel berusaha menguasai rasa terkejutnya. “Duduk, Ka,” ucap Zarel, tersenyum
kepada Darka.
Darka tidak membalas senyum gadis
itu. Tidak juga kepada Ardi dan Indra. Ia duduk di antara Zarel dan Indra.
“Ka, kenalin ini Indra,” ujar Zarel
sambil menunjuk ke Indra. “Dra, ini Darka,” balasnya, menunjuk ke arah Darka.
“Dan ini Ardi,” lanjutnya menunjuk Ardi. “ Ardi, ini Darka,” ucap Zarel,
gantian menunjuk Darka.
Indra dan Ardi langsung bisa
mengenali Darka sebagai kekasih Zarel. Hanya dengan melihat raut wajah Darka
yang tampaknya tidak terlalu senang dengan mereka berdua.
Zarel dapat merasakan ketegangan
yang menjalari mereka berempat, terutama antara Indra dan Darka. Ia hanya
melihat senyum sinis yang terpancar dari wajah Darka saat perkenalan tadi.
“Ka, kamu mau pesen minum nggak?”
Tanya Zarel kepada Darka.
“Ya,” jawab Darka singkat. Jemarinya
masih sibuk mengetuk-ngetuk meja. Perlahan ia menaikkan kaki kirinya ke atas
paha kanannya. Tatapannya meneliti tajam ke arah Indra.
Zarel memanggil pramusaji kantin
yang sudah siap dengan daftar menu di tangannya.
“Kamu tadi ketemu sama Le dan Fi?”
Tanya Zarel kepada Darka setelah Darka selesai memesan.
“Iya, tadi papasan di jalan,” jawab
Darka singkat.
“Oh iya, Ka, Indra juga anggota BEM
loh, kalian pasti udah pernah ketemu kan?” Zarel gantian menatap Indra dan
Darka.
Darka mentapa Indra sesaat. Kemudian
gantian menatap Zarel, lalu berkata, “Aku nggak hapal wajahnya satu persatu.”
Zarel manggut-manggut sambil
tersenyum. Ia melirik Ardi yang masih asyik menyantap nasi ayam rica-rica yang
ia pesan.
“Kamu kenal Zarel udah lama?” Darka
bertanya kepada Indra.
“Belum,” jawab Indra.
“Kenal Zarel dari mana?” Tanyanya
lagi.
“Dari temen.”
Darka menganggukan kepala tanda
mengerti.
“Indra orangnya emang gitu, Ka.
Nggak banyak omong.” Ardi tersenyum menatap Darka.
Zarel mengaduk-aduk minumnya yang
sudah tinggal setengah. Sedangkan Indra sudah menghabiskan minuman dan
makanannya sedari tadi.
“Lo jurusan apa, Ka?” Ardi akhirnya
mulai bicara.
“Ilmu Komputer. Kalian?” Tanya Darka
menatap Ardi dan Darka. Sebenarnya Darka sudah tahu semua tentang Indra. Tidak
sulit baginya untuk mencari tahu identitas Indra, mengingat statusnya yang
berasal dari keluarga terpandang.
“Kita anak akuntansi,” jawab Ardi,
tersenyum memandang Indra.
“Gue denger kalian ngekos ya?” Tanya
Darka menatap Indra.
Zarel merasa Darka mulai
mengakrabkan diri kepada Ardi dan Indra. Semoga saja Darka menyukai Indra,
Zarel berpikir.
“Iya.” Indra hanya menjawab
singkat-singkat pertanyaan Darka. Terlihat dengan jelas bahwa Indra tidak
terlalu menyukai Darka.
“Kita berdua dari Jakarta, Ka.
Merantau gitu,” tambah Ardi.
Pembicaraan mereka terhenti sejenak
saat pramusaji datang mengantarkan minuman pesanan Darka.
“Makasih, Mbak,” ucap Zarel kepada
pramusaji tersebut. Pramusaji itu balas tersenyum kepadanya.
“Diminum dulu, Ka!” perintah Zarel
sambil menyodorkan gelas berisi es kacang merah.
Darka menerima gelas tersebut.
Mengaduknya perlahan sebelum meminumnya.
“Pariwisata di sini bagus-bagus loh.
Kalian udah pernah kemana aja?” Darka bertanya kepada Ardi dan Indra.
“Iya, kita tahu kok. Paling sering
sih ke venue. Apalagi Indra, dia seneng banget liat danau di situ,” tutur Ardi.
“Aku emang punya rencana mau ngajak
mereka keliling Palembang kalau lagi ada waktu libur,” celetuk Zarel. “Skalian,
kamu ikut juga ya,” ajak Zarel, menatap Darka penuh harap.
“Kayaknya nggak bisa deh. Papa
ngajak aku ke Singapura buat mantau bisnisnya yang di sana.”
“Oh gitu. Padahal aku pengen banget
kita bisa jalan bareng-bareng. Pasti seru,” ujar Zarel. Ada sedikit rasa kecewa
di hatinya. Entah mengapa ia ingin sekali agar mereka berempat bisa berteman
bersama.
“Kamu kan bisa pergi sama Indra.”
Darka menoleh ke arah Indra. “Ya kan, Dra?”
Indra tidak membuka mulutnya. Ia
hanya tersenyum, balas menatap Darka.
“Lo kayaknya sibuk banget ya,” ujar
Ardi kepada Darka.
“Darka orangnya emang gitu. Banyak
yang mesti diurusin,” sahut Zarel sambil melirik Darka.
“Pasti kalian cuma punya waktu
sedikit ya buat berdua,” tamba Ardi lagi. Ia memasang tampang polos di hadapan
Darka.
“Nggak penting waktunya. Yang
penting sampai sekarang kita masih sama-sama,” ucap Darka dengan nada ketus.
Zarel hanya tersenyum kecil. Matanya
menatap Indra yang hanya duduk diam tanpa berkomentar apa-apa. Mengapa ia jadi
memikirkan perasaan Indra.
“Gue denger lo sering pulang bareng
Zarel ya?” Darka menatap Indra.
“Iya. Kenapa?”
“Saat itu apa lo tahu Zarel udah
punya pacar?”
Mendengar Darka bertanya demikian,
Zarel langsung bisa membaca situasi ini.
“Aku ketemu Indra tanpa sengaja kok.
Kebetulan dia mau pulang dan aku juga mau pulang, makanya kita jadi keliatannya
pulang bareng,” jawab Zarel cepat. Tidak ingin Indra menjawabnya lebih dulu.
“Masalah Zarel punya pacar atau
nggak, nggak ada urusannya sama gue.” Indra langsung menjawab ketika Zarel berhenti
bicara.
“Lo pasti dapet info dari orang yang
salah. Saat mereka pulang sama-sama, gue juga ada di situ. Dan lo cuma bilang
mereka berdua, tanpa gue?” Ardi angkat bicara. Menatap tajam ke arah Darka. Terlihat
guratan kesal di wajahnya.
“Ya terserah. Kalian mau pulang
berdua atau bertiga. Itu juga nggak ada urusannya sama aku,” Darka berkata.
Zarel mulai merasa risih dengan
keadaan ini. “Udahla, kok jadi kayak gini sih,” ucapnya kemudian.
Tiba-tiba Indra memegangi kepalanya,
tepat di bagian samping matanya. Bibirnya memucat. Ardi langsung panik melihat
keadaan itu.
“Dra, lo pusing lagi?” Ardi
melangkah mendekati Indra.
“Lo kenapa, Dra?” Zarel ikut panik.
“Lo punya penyakit ya?” Darka
bertanya dengan sinis. Tidak sedikit pun terlihat raut simpati di wajahnya.
“Darka,” sergah Zarel.
“Kenapa?”
“Nggak pantes nanya gituan,” ucap
Zarel pelan, menatap kesal ke arah Darka.
Darka menatap Indra yang masih
bertahan memegangi kepalanya. Ia dapat melihat kesakitan yang terpancar dari
wajah pemuda itu. Bulir-bulir keringat dingin mengucur pelan dari atas kening.
Mungkin pusing hebat yang dirasakan Indra. Darka tidak tahu pasti penyakit apa
yang di derita orang yang pertama kali ditemuinya itu.
“Apa perlu kita bawa Indra ke
dokter?” Zarel bertanya kepada Ardi.
Ardi mencoba menatap Indra. Indra
menggeleng pelan. “Kayaknya nggak perlu deh,” ucapnya meyakinkan Zarel.
“Tapi kayaknya sakit banget,” tutur
Zarel pelan. Zarel melihat Indra menggigit bibir bawahnya yang pucat. Dra, kamu sakit apa sih?
“Kayaknya
aku harus pergi sekarang deh,” Darka berkata sambil melirik jam tangannya.
“Za, kamu mau pulang sama aku atau
sama mereka?” Tanya Darka dengan nada tinggi.
Zarel bingung. Darka atau Indra.
Mungkin di saat seperti ini ia harus memilih Indra, yang notabenenya sedang
sakit. Namun, akan menimbulkan masalah baru baginya dan Darka jika ia memilih
Indra.
“Pulang sama─” Zarel menatap
bergantian ke arah Darka dan Indra. “Maaf ya, Dra. Aku pulang duluan.” Zarel
menatap Indra yang masih menunduk. Ia sudah memutuskan pilihannya. “Ar, tolong
jaga Indra ya. Kasih tahu aku nanti gimana kabarnya,” ucapnya sambil tersenyum
kepada Ardi. Zarel pun mengikuti Darka dari belakang.
“Kamu gimana sih, Ka. Orang lagi
sakit bukannya ditolongin dulu, malah langsung ngajak pergi,” keluh Zarel
sepanjang jalan menuju terminal.
Darka menghentikan langkahnya. “Kamu
mau nolongin dia? Tapi kenapa milih aku?”
“Kita kan bisa nolongin dia
sama-sama,” pinta Zarel menaikkan nada suaranya.
“Kalau kamu mau nolongin dia, sana!
Nggak usah ikutin aku lagi.”
“Aku tahu kamu nggak suka sama
Indra. Tapi nggak usah mojokin dia tentang penyakitnya segala.”
“Aku nggak mojokin dia.” Darka
berusaha membela diri.
“Aku tahu, kamu tahu tentang
penyakitnya Indra kan? Kamu pasti udah tahu semuanya,” tutur Zarel menatap
tajam ke mata Darka.
“Apa yang aku tahu itu nggak akan
penting bagi kamu.”
“Kamu takut aku deket-deket sama
dia? Iya kan, Ka?” Tanya Zarel mulai panas.
“Aku rasa pertanyaan itu nggak perlu
di jawab.” Darka berkata dengan nada datar.
Zarel masih memelototi Darka. Ia
yakin bahwa Darka tidak ingin melihat ia dan Indra menjadi dekat.
“Terserah kamu. Pokoknya aku akan
tetap berteman sama dia,” ucap Zarel tegas. Ia kemudian berlalu lebih dulu
meninggalkan Darka.
***
No comments:
Post a Comment