Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 10

            Kelas baru saja berakhir. Semuanya sibuk mengemasi buku-buku dan barang-barang lain yang berserakan di atas meja masing-masing. Zarel dengan santai mengemasi barangnya sambil sesekali melirik ke arah ponsel yang ia letakkan di pinggir meja. Ia tersenyum ketika ponsel itu bergetar, kemudian dengan cepat ia membuka pesan singkat yang dikirim untuknya.
            “Za, langsung pulang yuk,” ajak Fiona yang sudah berdiri di samping tempat duduknya.
            “Kayaknya hari ini lo pulang berdua sama Le aja ya, Fi,” ujar Zarel seraya mendongak menatap Fiona.
            “Loh, emangnya lo mau kemana?”
            “Ada janji sama Indra.”
            “Ngapain?”
            “Dia ngajakin makan siang.” Zarel tersenyum. Ia sudah selesai mengemasi semua barangnya. “Le, gue duluan,” teriaknya kepada Leandra. “Gue duluan ya, Fi.” Zarel berdiri kemudian menepuk pelan pundak Fiona sebelum akhirnya berlalu dari pintu kelas.
            Zarel melangkah santai menuju kantin jurusan. Ia tidak menyangka kalau Indra mengajaknya makan siang bersama. Sepanjang jalan menuju kantin, Zarel tidak henti-hentinya tersenyum. Setibanya di kantin, Zarel celingukan mencari-cari tempat Indra duduk.
            “Ah, itu dia.” Zarel tersenyum saat melihat seseorang yang sudah pasti itu Indra.
            “Hai,” sapanya setelah tiba di meja paling ujung.
            “Hai, Zarel,” Ardi balas menyapa Zarel.
            “Eh ada Ardi juga,” kata Zarel seraya mengambil duduk di samping Ardi. “Kok lo nggak bilang sih, Dra, kalau Ardi juga ikut?” Tanya Zarel kepada Indra yang duduk di hadapannya.
            “Wah, gue ganggu acara kalian ya?” Ardi langsung menyela.
            Zarel dengan cepat melambaikan kedua tangannya tanda menyangkal. “Ah, nggak kok, Ar. Bukan gitu,” ucapnya cepat. “Kalau tahu tadi lo juga ikut, gue ajak juga Fiona sama Leandra sekalian. Gue pikir cuma Indra doang, makanya gue nggak enak mau ajak mereka,” jelas Zarel, tersenyum kepada Ardi.
            “Oh, gitu. Sekarang mereka berdua dimana?” Tanya Ardi.
            “Udah pulang.”
            “Tadi sih gue udah mau pulang duluan. Tapi dipaksa sama dia, katanya mau traktir. Ya akhirnya mau nggak mau deh,” ujar Ardi melirik jahil ke arah Indra.
            Zarel tertawa kecil mendengar ucapan Ardi.
            “Jadi hari ini ada yang mau traktir? Wah untung gue nggak nolak ajakannya,” ucap Zarel kepada Ardi. Ia tertawa saat melirik ekspresi wajah Indra.
            “Rugi lo kalau nolak ajakan Indra. Kapan lagi.”
            “Lo emang paling paham soal kapan Indra mau traktir.” Zarel tertawa. Ardi pun ikut tertawa. Mereka berdua berusaha menjahili Indra. Tapi tampaknya yang dijahili tidak memberikan respon apa-apa.
            “Kalian masih mau ngobrol?” Tanya Indra, menatap Zarel dan Ardi bergantian.
            “Ah, nggak-nggak,” jawab Zarel cepat. “Kita mau makan. Udah laper nih.” Zarel mengelus-elus perutnya.
            “Gue juga. Pesen sekarang deh,” Ardi menimpali.
***
            “Gue duluan ya,” ucap Darka kepada teman-temannya di kelas. Ia melangkah meninggalkan kelas menuju keluar fakultas.
            “Lo mau ke sekret?” Tanya Dino yang membuntuti Darka.
            “Nggak. Gue mau nemui Zarel.”
            “Oh,” balas Dino singkat.
            Darka tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Lo mau ngikutin gue?” Tanyanya menatap Dino.
            Dino salah tingkah. “Gue, gue mau ke terminal,” ucapnya terbata sambil menunjuk ke arah terminal.
            Darka kemudian pergi meninggalkan Dino yang masih bingung entah mau kemana. Ditengah perjalanan menuju fakultas Zarel, ia bertemu Leandra dan Fiona─sahabat Zarel.
            “Darka,” Fiona berkata pelan.
            Mereka bertiga berpapasan. Saling tersenyum satu sama lain. Tiba-tiba suasana terasa menjadi tegang.
            “Kalian mau kemana?” Tanya Darka menatap menatap mereka berdua.
            “Mau pulang,” jawab Leandra.
            “Nggak sama Zarel?”
            Mereka menggeleng bersama. “Kita pulang duluan,” tutur Leandra kemudian.
            “Emangnya Zarel kemana?”
            Leandra dan Fiona saling melempar pandang. Ragu untuk mengatakannya kepada Darka.
            “Zarel kemana?” Darka mengulang bertanya.
            “Dia makan dulu,” ungkap Leandra akhirnya.
            Darka menarik napas panjang. Pikirannya langsung tertuju kepada teman cowok Zarel yang waktu itu diceritakan Dino tempo hari.
            “Yaudah, makasih ya. Kalau gitu gue duluan,” ujar Darka. Kemudian berjalan kembali meninggalkan kedua gadis yang masih berdiri diam di pinggir jalan itu.
***
            Di kantin, Zarel bersama Indra dan Ardi, begitu asyik mengobrol. Sesekali terdengar gelak tawa dari mereka bertiga. Pengunjung kantin yang tidak terlampau ramai, membuat mereka sedikit bebas untuk berbicara dengan nada tinggi.
            “Zarel.”
            Zarel segera menoleh saat seseorang memanggil namanya.
            “Darka,” ucap gadis itu terkejut. Ia kemudian menatap Indra, Ardi, kembali lagi ke Indra dan berakhir ke Darka. Zarel berusaha menguasai rasa terkejutnya. “Duduk, Ka,” ucap Zarel, tersenyum kepada Darka.
            Darka tidak membalas senyum gadis itu. Tidak juga kepada Ardi dan Indra. Ia duduk di antara Zarel dan Indra.
            “Ka, kenalin ini Indra,” ujar Zarel sambil menunjuk ke Indra. “Dra, ini Darka,” balasnya, menunjuk ke arah Darka. “Dan ini Ardi,” lanjutnya menunjuk Ardi. “ Ardi, ini Darka,” ucap Zarel, gantian menunjuk Darka.
            Indra dan Ardi langsung bisa mengenali Darka sebagai kekasih Zarel. Hanya dengan melihat raut wajah Darka yang tampaknya tidak terlalu senang dengan mereka berdua.
            Zarel dapat merasakan ketegangan yang menjalari mereka berempat, terutama antara Indra dan Darka. Ia hanya melihat senyum sinis yang terpancar dari wajah Darka saat perkenalan tadi.
            “Ka, kamu mau pesen minum nggak?” Tanya Zarel kepada Darka.
            “Ya,” jawab Darka singkat. Jemarinya masih sibuk mengetuk-ngetuk meja. Perlahan ia menaikkan kaki kirinya ke atas paha kanannya. Tatapannya meneliti tajam ke arah Indra.
            Zarel memanggil pramusaji kantin yang sudah siap dengan daftar menu di tangannya.
            “Kamu tadi ketemu sama Le dan Fi?” Tanya Zarel kepada Darka setelah Darka selesai memesan.
            “Iya, tadi papasan di jalan,” jawab Darka singkat.
            “Oh iya, Ka, Indra juga anggota BEM loh, kalian pasti udah pernah ketemu kan?” Zarel gantian menatap Indra dan Darka.
            Darka mentapa Indra sesaat. Kemudian gantian menatap Zarel, lalu berkata, “Aku nggak hapal wajahnya satu persatu.”
            Zarel manggut-manggut sambil tersenyum. Ia melirik Ardi yang masih asyik menyantap nasi ayam rica-rica yang ia pesan.
            “Kamu kenal Zarel udah lama?” Darka bertanya kepada Indra.
            “Belum,” jawab Indra.
            “Kenal Zarel dari mana?” Tanyanya lagi.
            “Dari temen.”
            Darka menganggukan kepala tanda mengerti.
            “Indra orangnya emang gitu, Ka. Nggak banyak omong.” Ardi tersenyum menatap Darka.
            Zarel mengaduk-aduk minumnya yang sudah tinggal setengah. Sedangkan Indra sudah menghabiskan minuman dan makanannya sedari tadi.
            “Lo jurusan apa, Ka?” Ardi akhirnya mulai bicara.
            “Ilmu Komputer. Kalian?” Tanya Darka menatap Ardi dan Darka. Sebenarnya Darka sudah tahu semua tentang Indra. Tidak sulit baginya untuk mencari tahu identitas Indra, mengingat statusnya yang berasal dari keluarga terpandang.
            “Kita anak akuntansi,” jawab Ardi, tersenyum memandang Indra.
            “Gue denger kalian ngekos ya?” Tanya Darka menatap Indra.
            Zarel merasa Darka mulai mengakrabkan diri kepada Ardi dan Indra. Semoga saja Darka menyukai Indra, Zarel berpikir.
            “Iya.” Indra hanya menjawab singkat-singkat pertanyaan Darka. Terlihat dengan jelas bahwa Indra tidak terlalu menyukai Darka.
            “Kita berdua dari Jakarta, Ka. Merantau gitu,” tambah Ardi.
            Pembicaraan mereka terhenti sejenak saat pramusaji datang mengantarkan minuman pesanan Darka.
            “Makasih, Mbak,” ucap Zarel kepada pramusaji tersebut. Pramusaji itu balas tersenyum kepadanya.
            “Diminum dulu, Ka!” perintah Zarel sambil menyodorkan gelas berisi es kacang merah.
            Darka menerima gelas tersebut. Mengaduknya perlahan sebelum meminumnya.
            “Pariwisata di sini bagus-bagus loh. Kalian udah pernah kemana aja?” Darka bertanya kepada Ardi dan Indra.
            “Iya, kita tahu kok. Paling sering sih ke venue. Apalagi Indra, dia seneng banget liat danau di situ,” tutur Ardi.
            “Aku emang punya rencana mau ngajak mereka keliling Palembang kalau lagi ada waktu libur,” celetuk Zarel. “Skalian, kamu ikut juga ya,” ajak Zarel, menatap Darka penuh harap.
            “Kayaknya nggak bisa deh. Papa ngajak aku ke Singapura buat mantau bisnisnya yang di sana.”
            “Oh gitu. Padahal aku pengen banget kita bisa jalan bareng-bareng. Pasti seru,” ujar Zarel. Ada sedikit rasa kecewa di hatinya. Entah mengapa ia ingin sekali agar mereka berempat bisa berteman bersama.
            “Kamu kan bisa pergi sama Indra.” Darka menoleh ke arah Indra. “Ya kan, Dra?”
            Indra tidak membuka mulutnya. Ia hanya tersenyum, balas menatap Darka.
            “Lo kayaknya sibuk banget ya,” ujar Ardi kepada Darka.
            “Darka orangnya emang gitu. Banyak yang mesti diurusin,” sahut Zarel sambil melirik Darka.
            “Pasti kalian cuma punya waktu sedikit ya buat berdua,” tamba Ardi lagi. Ia memasang tampang polos di hadapan Darka.
            “Nggak penting waktunya. Yang penting sampai sekarang kita masih sama-sama,” ucap Darka dengan nada ketus.
            Zarel hanya tersenyum kecil. Matanya menatap Indra yang hanya duduk diam tanpa berkomentar apa-apa. Mengapa ia jadi memikirkan perasaan Indra.
            “Gue denger lo sering pulang bareng Zarel ya?” Darka menatap Indra.
            “Iya. Kenapa?”
            “Saat itu apa lo tahu Zarel udah punya pacar?”
            Mendengar Darka bertanya demikian, Zarel langsung bisa membaca situasi ini.
            “Aku ketemu Indra tanpa sengaja kok. Kebetulan dia mau pulang dan aku juga mau pulang, makanya kita jadi keliatannya pulang bareng,” jawab Zarel cepat. Tidak ingin Indra menjawabnya lebih dulu.
            “Masalah Zarel punya pacar atau nggak, nggak ada urusannya sama gue.” Indra langsung menjawab ketika Zarel berhenti bicara.
            “Lo pasti dapet info dari orang yang salah. Saat mereka pulang sama-sama, gue juga ada di situ. Dan lo cuma bilang mereka berdua, tanpa gue?” Ardi angkat bicara. Menatap tajam ke arah Darka. Terlihat guratan kesal di wajahnya.
            “Ya terserah. Kalian mau pulang berdua atau bertiga. Itu juga nggak ada urusannya sama aku,” Darka berkata.
            Zarel mulai merasa risih dengan keadaan ini. “Udahla, kok jadi kayak gini sih,” ucapnya kemudian.
            Tiba-tiba Indra memegangi kepalanya, tepat di bagian samping matanya. Bibirnya memucat. Ardi langsung panik melihat keadaan itu.
            “Dra, lo pusing lagi?” Ardi melangkah mendekati Indra.
            “Lo kenapa, Dra?” Zarel ikut panik.
            “Lo punya penyakit ya?” Darka bertanya dengan sinis. Tidak sedikit pun terlihat raut simpati di wajahnya.
            “Darka,” sergah Zarel.
            “Kenapa?”
            “Nggak pantes nanya gituan,” ucap Zarel pelan, menatap kesal ke arah Darka.
            Darka menatap Indra yang masih bertahan memegangi kepalanya. Ia dapat melihat kesakitan yang terpancar dari wajah pemuda itu. Bulir-bulir keringat dingin mengucur pelan dari atas kening. Mungkin pusing hebat yang dirasakan Indra. Darka tidak tahu pasti penyakit apa yang di derita orang yang pertama kali ditemuinya itu.
            “Apa perlu kita bawa Indra ke dokter?” Zarel bertanya kepada Ardi.
            Ardi mencoba menatap Indra. Indra menggeleng pelan. “Kayaknya nggak perlu deh,” ucapnya meyakinkan Zarel.
            “Tapi kayaknya sakit banget,” tutur Zarel pelan. Zarel melihat Indra menggigit bibir bawahnya yang pucat. Dra, kamu sakit apa sih?
            “Kayaknya aku harus pergi sekarang deh,” Darka berkata sambil melirik jam tangannya.
            “Za, kamu mau pulang sama aku atau sama mereka?” Tanya Darka dengan nada tinggi.
            Zarel bingung. Darka atau Indra. Mungkin di saat seperti ini ia harus memilih Indra, yang notabenenya sedang sakit. Namun, akan menimbulkan masalah baru baginya dan Darka jika ia memilih Indra.
            “Pulang sama─” Zarel menatap bergantian ke arah Darka dan Indra. “Maaf ya, Dra. Aku pulang duluan.” Zarel menatap Indra yang masih menunduk. Ia sudah memutuskan pilihannya. “Ar, tolong jaga Indra ya. Kasih tahu aku nanti gimana kabarnya,” ucapnya sambil tersenyum kepada Ardi. Zarel pun mengikuti Darka dari belakang.
            “Kamu gimana sih, Ka. Orang lagi sakit bukannya ditolongin dulu, malah langsung ngajak pergi,” keluh Zarel sepanjang jalan menuju terminal.
            Darka menghentikan langkahnya. “Kamu mau nolongin dia? Tapi kenapa milih aku?”
            “Kita kan bisa nolongin dia sama-sama,” pinta Zarel menaikkan nada suaranya.
            “Kalau kamu mau nolongin dia, sana! Nggak usah ikutin aku lagi.”
            “Aku tahu kamu nggak suka sama Indra. Tapi nggak usah mojokin dia tentang penyakitnya segala.”
            “Aku nggak mojokin dia.” Darka berusaha membela diri.
            “Aku tahu, kamu tahu tentang penyakitnya Indra kan? Kamu pasti udah tahu semuanya,” tutur Zarel menatap tajam ke mata Darka.
            “Apa yang aku tahu itu nggak akan penting bagi kamu.”
            “Kamu takut aku deket-deket sama dia? Iya kan, Ka?” Tanya Zarel mulai panas.
            “Aku rasa pertanyaan itu nggak perlu di jawab.” Darka berkata dengan nada datar.
            Zarel masih memelototi Darka. Ia yakin bahwa Darka tidak ingin melihat ia dan Indra menjadi dekat.
            “Terserah kamu. Pokoknya aku akan tetap berteman sama dia,” ucap Zarel tegas. Ia kemudian berlalu lebih dulu meninggalkan Darka.
***

No comments:

Post a Comment