Bagian 11
Matahari
sudah mulai menginjakkan kakinya di ufuk timur. Sudah hampir satu jam Zarel
mondar-mandir di taman kota yang ramai oleh remaja itu. Kebanyakan dari mereka
bepasang-pasangan. Sedangkan ia masih menunggu pasangannya yang belum juga
datang. Sudah berapa kali ia harus merapikan rambut ikalnya yang ia biarkan
terurai karena tertiup angin. Ia sengaja berdandan sedikit rapi dari hari
biasanya. Dengan mengenakan cathy dress sepanjang
lutut berbahan chiffon furing warna
biru gelap, ditunjang dengan wedges hitam
tanpa tali. Memberi kesan anggun pada penampilannya. Ia harap Darka senang
dengan penampilannya. Zarel mencoba menghubungi Darka untuk kesekian kalinya.
Tapi hasilnya tetap sama. Tidak ada sahutan dari ujung sana. Lelah berdiri
Zarel akhirnya duduk di sebuah bangku taman panjang di dekat pohon akasia.
Sekali lagi ia berusaha mengirim pesan singkat untuk pacarnya itu.
“Kamu kemana sih, Ka?” bisik Zarel
kepada dirinya sendiri.
Zarel menghela napas panjang. Hari
ini ia memang mengajak Darka untuk bertemu. Dua hari tidak saling
berkomunikasi, akhirnya Zarellah yang harus mengalah, dan lebih dulu mengajak
Darka untuk bertemu. Ia pikir mungkin saja ada yang ingin disampaikan Darka
untuknya. Darka sudah menyetujui ajakannya. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja
Darka tidak mengangkat telepon darinya. Zarel menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya. Mencoba berpikir dimana sekarang keberadaan Darka.
“Mau es krim?”
Zarel membuka matanya mendengar
suara itu. Sebuah ice cream cokelat
berbentuk kerucut tergenggam erat di telapak tangan pemuda itu. Ia langsung
melihat wajah pemberi ice cream itu.
Menatap pemuda itu lama dengan mata kecewa, lalu memberikan pemuda itu sebuah
senyuman masam. Kemudian Zarel langsung merampas benda dingin itu tanpa berkata
apa-apa.
Pemuda itu perlahan mensejajarkan
duduk di sebelahnya. Mengikuti Zarel membuka ice cream. Mereka makan ice
cream bersama.
“Maaf udah buat kamu nunggu lama,”
ucap pemuda itu setelah mengunyah ice
cream miliknya.
Zarel tetap tidak menoleh. Ia sibuk
menikmati ice cream cokelat itu.
“Marah ya?” Pemuda itu merayunya
lagi.
“Marahnya udah cair,” jawab Zarel
datar. Kemudian melihat Darka yang tertawa kecil. “Kamu darimana aja sih?”
Tanyanya dengan nada kesal.
Darka tersenyum melihat wajah Zarel
yang kusut. “Aku tadi ketemu Papa bentar,” katanya.
Zarel menarik napas pendek. Kemudian
berkata, “Pantes telponnya nggak kamu angkat.”
“Aku pasti dateng kok.”
“Iya, aku tahu. Tapi tadi aku hampir
bosen nungguin kamu.” Zarel memandang jauh kedepan.
Dihadapan mereka terlihat dua orang
remaja laki-laki dan perempuan yang sedang bertengkar. Laki-laki itu terlihat
berusaha memberi penjelasan kepada perempuan dihadapannya. Tapi perempuan itu
malah pergi dengan meninggalkan satu tamparan di pipi laki-laki itu. Zarel
terkejut melihat kejadian itu. Matanya menatap nanar ke arah laki-laki yang
tengah memengangi pipi bekas tamparan.
“Ngeliatin siapa?” Tanya Darka memperhatikan
Zarel tidak berkedip memandang.
“Mereka.” Zarel menunjuk ke arah
remaja laki-laki yang berdiri agak jauh dari tempat mereka duduk. “Kasian
banget cowoknya. Kena tampar,” ucapnya iba.
“Pasti sakit,” Darka menimpali.
Zarel mengelus-elus pipi kanannya.
Mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh laki-laki itu, seolah-olah ia juga
ditampar.
“Cewek nggak mungkin bisa ngerasain
tamparan kayak gitu. Cuma cowok sering ngerasain itu.”
Zarel menoleh menatap Darka. Darka
benar, dibanding cewek, cowok lebih sering merasakan tamparan seperti itu.
“Ngomong-ngomong, aku mau minta maaf
soal kemarin-kemarin,” Zarel berkata pelan.
“Aku juga. Aku minta maaf ya.”
Zarel mengulas senyum menatap Darka.
Kembali menyantap ice cream yang
sempat ia tinggalkan.
“Kamu masih sering ketemu sama dia?”
Darka bertanya.
“Siapa? Indra?” Zarel menunggu
sejenak. “Kemarin aku ketemu dia,” ungkapnya.
“Ngapain?”
“Nggak ngapa-ngapain kok. Kita kan
udah temenan. Aku, kamu, Indra, dan Ardi,” kata Zarel mengarahkan telunjuknya
bergantian dari dirinya ke Darka. “Jadi, apa yang bakal dilakuin jika seorang
teman bertemu temannya?” Zarel mencoba menunggu jawaban dari Darka. Tapi pemuda
itu tak kunjung menjawab. Akhirnya ia menjawab sendiri pertanyaannya. “Kita
ngobrol.”
Zarel melebarkan senyumnya. Ia
bahagia jika mengingat nama Indra. Tanpa ia sadari, Darka menatapnya dengan
tatapan resah.
“Aku nggak mau berteman sama dia,”
tutur Darka tegas. Dilanjutkannya kembali kata-katanya tersebut setelah Zarel
melihat wajahnya. “Kamu juga jangan berteman sama dia.”
Zarel mengerutkan keningnya. Matanya
membulat mendengar ucapan Darka barusan. “Kenapa? Kenapa kamu ngelarang aku
berteman sama dia?”
“Dia itu nggak baik buat kamu.”
Zarel tidak terima dengan kata-kata
Darka barusan.
“Kamu tahu dia baik atau nggak itu
darimana?” Zarel berusaha mengontrol emosinya.
“Aku lebih tahu kamu, Za. Jadi
jauhin dia.” Darka meninggikan nada suaranya.
“Aku yang lebih tahu diri aku
sendiri, Ka. Jadi kamu nggak usah ngatur-ngatur aku.” Zarel menatap Darka
lekat-lekat.
“Oh, jadi sekarang kamu nganggep aku
apa?”
“Kamu itu pacar aku, Ka. Tapi kamu
bukan orang tua aku yang mesti ngelarang aku ini itu,” ujar Zarel.
“Sebagai pacar, aku punya hak buat
ngelarang kamu. Apapun itu.” Darka masih mempertahankan argumennya.
Zarel tersentak mendengar kata-kata
Darka. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia memiringkan sedikit
duduknya agar ia bisa lebih mudah melihat wajah Darka. “Termasuk ngelarang aku
buat punya temen?” Tanyanya tegas.
“Itu semua demi kebaikan kamu, Za.
Kamu nggak bakal tahu niat jahat mereka kalau kamu nggak segera menjauhi
mereka,” jelas Darka masih dengan emosi.
“Kamu juga ngelarang aku untuk nggak
terlalu deket sama Le dan Fi. Kamu bilang nggak selamanya sahabat itu baik.
Tiba saatnya nanti mereka akan menjatuhkan kita. Itu kan yang kamu tanamkan ke aku?”
Zarel membeberkan semua yang Darka ucapkan padanya dulu.
“Bagus kalau kamu masih inget.”
Darka tersenyum puas.
“Kamu egois, Ka,” bisik Zarel. Ia
berusaha menggigit bibir bawahnya menahan air mata yang ingin menetes.
Dipalingkannya wajahnya dari Darka. Nafasnya masih memburu pelan. Seperti ada
bom atom yang meledak-ledak di dalam dadanya.
“Sampai kapan kamu mau ngerti kalau
aku nggak ingin kehilangan kamu, Za,” Darka berucap pelan.
“Aku ngerti kalau kamu nggak mau
kehilangan aku. Tapi kamu cuma mikiri diri kamu sendiri. Kamu nggak mikirin
aku, Ka.”
“Justru karena aku mikirin kamu,
makanya aku ngelarang kamu untuk jangan terlalu dekat dengan orang lain.”
“Kamu bukan mikirin aku, Ka. Tapi
kamu mikirin diri kamu sendiri,” ucap Zarel keras. Amarahnya mulai membuncah. “Kamu
selalu nyamain aku dengan Mama kamu.”
“Nggak usah kamu bahas dia lagi,”
Darka segera menyahuti dengan cepat ucapan Zarel.
“Mama kamu, yang nikah lari dengan
rekan bisnisnya sendiri, yang nggak lain adalah sahabat Papa kamu. Jangan
tempatkan aku di posisi yang sama kayak mereka, Ka,” pinta Zarel lirih.
“Situasi kita berbeda. Nggak sama dengan mereka.” Zarel berusaha menyeka air
matanya yang mulai mengucur perlahan dengan kedua tangannya yang gemetaran.
“Bagaimanapun kemasannya,
penghianatan tetap menyakitkan,” ucap Darka getir. Kenangan-kenangan pahit yang
bergulir di pikirannya membuatnya tersiksa. Dua tahun baginya bukan waktu yang
lama.
“Aku nggak tahu sampai kapan aku
bisa bertahan di sisi kamu,” Zarel berkata lirih.
“Seperti mengurung burung dalam
sangkar. Tidak peduli itu sangkar emas atau bukan, ia akan tetap ingin terbang
keluar. Bebas.” Darka tersenyum sinis menatap Zarel.
Zarel membalas
senyuman dari Darka untuknya.
“Karena
itu memang kodratnya. Hanya akan membuatnya tersiksa bila kita mengurungnya
terus menerus,” Zarel berkata.
“Aku belum siap kehilangan lagi.”
Zarel tertegun mendengar ucapan
Darka. Kepalanya menjadi sakit bila terus menghadapi situasi seperti ini.
“Kalau kamu nggak mau berubah.
Mungkin kamu harus bersiap melepas burung itu.”
***
“Gimana keadaan lo, Dra?”
Indra tiba-tiba dikagetkan oleh Ardi
yang masuk ke dalam kamarnya. Ia sedang mendengar rekaman materi kuliah yang
sengaja direkam oleh Ardi untuknya selama ia sakit.
“Udah mendingan,” jawab Indra.
“Baguslah. Lo beneran nggak pengen
priksa keadaan mata lo ke dokter?”
“Nggak,” Indra menjawab tegas
pertanyaan Ardi.
“Lo mau gue masakin apa?” Tanya Ardi
yang kini sudah berada di dalam dapur Indra.
“Terserah, Ar. Apa pun yang lo masak
pasti gue makan kok,” sahutnya sambil nyengir.
“Lo udah telepon orangtuaa lo buat
kasih tahu mereka kondisi lo sekarang?”
Terdengar suara ribut gesekan antar
kantong plastik yang tersimpan di dalam lemari pendingin. Ardi pasti sedang
mengobrak-abrik kulkas mencari yang bisa dimasak, Indra berpikir.
“Dra,” panggil Ardi dengan nada
sedikit dinaikkan. “Lo denger gue kan?”
“Iya, denger. Ntar deh gue telepon
mereka.”
“Orangtua lo pasti khawatir sama
keadaan lo.”
“Makanya gue jarang kasih kabar ke
mereka. Gue nggak mau mereka cemas. Terus yang terjadi ntar mereka malah nyusul
gue kesini lagi,” ucap Indra. Ia berjalan menuju meja makan dengan sebuah gitar
di tangannya. Duduk di salah satu kursi makan. Ia masih mengenakan kaus dalam
dan celana pendek warna cokelat. Rambutnya yang curly masih berantakan.
“Mungkin kalau lo periksa terus mata
lo ke dokter, pasti ada kemajuan.” Ardi terus mendesak Indra.
“Udah enam kali gue operasi mata.
Dokter bilang itu cuma buat menahan atau paling nggak memperlambat kebutaan.
Tinggal tunggu waktunya aja.”
Indra mulai menyetel gitarnya. Sudah
lama ia tidal melatih jari-jarinya itu memetik senar. Entah kapan terakhir kali
ia bermain gitar. Ia sendiri sudah lupa. Perlahan tangan kirinya dengan mantap
membentuk kunci G dan tangan kanannya dengan santai mulai memetik senar gitar itu.
“Lo main gitar?” Tanya Ardi,
mengintip dari balik pembatas dapur.
Indra menatap Ardi samar-samar.
“Udah lama nggak main,” ucapnya.
“Jangan terlalu maksa. Ntar lo
pusing lagi,” Ardi memberitahu. Ia kemudian kembali ke dapur.
Aroma daging yang digoreng dalam
minyak panas membuat Indra semakin lapar. Ia tidak tahu pasti bumbu-bumbu apa
yang digunakan oleh Ardi untuk membuat daging itu menjadi wangi.
“Masak yang enak ya, Ar,” teriaknya
kepada Ardi.
Jemari-jemari kaku yang sudah lama
tidak dilatih kini mulai lincah menari-nari di atas senar, menghasilkan
nada-nada indah yang masih layak didengar. Berkolaborasi dengan bunyi percikan
minyak panas dari penggorengan. Suasana pagi yang sempurna.
“Taraaa..,” ucap Ardi sambil
menari-nari di hadapan Indra, mengenakan celemek cokelat polos sambil memegang
piring berisi masakan.
“Wah, apaan tuh?” Indra menghentikan
permainan gitarnya.
Ardi meletakkan piring itu di atas
meja makan. Tepat di hadapan Indra.
“Daging goreng lada hitam.” Indra
menundukkan kepalanya. Mencium aroma lada yang begitu memikat. Tanpa ia sadari
ternyata waktu berlalu dengan cepat. Mungkin karena ia terlalu berkonsentrasi
dengan gitarnya.
“Gue buatin lo kopi ya,” ucap Ardi,
tersenyum melihat Indra yang terkagum-kagum dengan masakannya.
Indra mencuil sedikit daging goreng
tersebut.
“Lo belajar masak dimana sih, Ar?”
Tanya Indra.
“Nyokap gue, Dra. Dia kan buka
restoran deket rumah. Gue belajar dari dia,” sahut Ardi sambil meletakkan
secangkir vanilla latte kesukaan
Indra.
“Terus lo mau lanjutin bisnis nyokap
lo? Cocok tuh lo masuk akuntansi.” Indra memamerkan giginya yang putih.
“Memang itu rencana gue,” ucap Ardi.
“Eh, Dra. Kapan-kapan undang Zarel
kesini yok. Ntar gue masak yang paling enak buat kalian,” ujar Ardi.
Indra tiba-tiba berhenti menyuap.
Diletakkannya kembali sendok berisi nasi dengan sepotong daging itu ke atas
piring.
“Lo harus izin dulu sama Darka kalau
mau ngajak Zarel,” tutur Indra. Ia kembali menyuap makanannya.
“Ahh, lo bener juga, Dra. Zarel udah
punya cowok. Pasti kalau mau kemana-mana dia harus izin dulu. Susah kalau
gitu,” Ardi berkata dengan nada kecewa.
“Tapi cowoknya Zarel kayaknya nggak
seneng deh sama kita. Gue bisa liat dari matanya.” Ardi memain-mainkan sendok
makannya sambil mengingat-ingat tatapan mata Darka kepadanya.
“Nggak usah lo pikirin,” Ardi
berkata datar.
“Eh, Dra, kita jalan-jalan yuk,”
ajak Ardi. “Katanya ada tempat bagus di malam hari.” Ardi mengubah alur
pembicaraan.
“Dimana?”
“Gue juga kurang tahu. Lo kan tahu,
gue masih buta jalanan di sini. Hmm..” Ardi berpikir sejenak. “Gue punya ide.
Gimana kalau ajak Zarel. Dia pasti tahu tempat-tempat bagus. Gimana?” Ardi
tersenyum jahil ke arah Indra.
“Itu sih emang maunya lo,” balas
Indra, perlahan menyeruput vanilla latte miliknya.
“Gue yakin, Zarel nggak nyaman sama
cowoknya yang sekarang. Gue bisa lihat dari kedua matanya,” ucap Ardi, berlagak
seperti peramal yang tahu segalanya.
“Teruuuss?” Indra menopang dagunya
dengan telapak tangan sebelah kanan. Memperhatikan tingkah konyol sahabatnya
itu.
“Kayaknya Zarel suka sama lo.” Ardi
mengacungkan telunjuknya tepat ke wajah Indra.
“Sableng loh!” Indra berdiri dari
tempat duduknya. Meninggalkan Ardi yang masih berusaha mengoceh.
***
Bagian
12
Tidak
ada alasan bagi Zarel untuk menolak ajakan Indra dan Ardi. Ia merasa nyaman
saat didekat mereka berdua, apalagi didekat Indra.
“Udah sampai,” teriak Ardi yang
duduk di belakang setir. Ia mematikan mesin mobilnya dan segera turun.
Zarel, Indra, Leandra dan Fiona pun
ikut turun dari kijang milik Ardi.
“Wah, lo bener, Za. Keren ya,” ucap
Ardi terkagum-kagum.
Zarel mengembangkan bibirnya
menanggapi ucapan Ardi. Ia masih ingat pertama kali ke tempat ini, Darka orang
pertama yang mengajaknya ke sini. Melihat sungai di malam hari di bawah sinar
bulan dan bintang. Ia sungguh merindukan suasana itu.
“Nah, Dra. Ini namanya BKB,” Ardi
memberitahu Indra.
“Nggak terlalu jelas.” Indra mencoba
menggerak-gerakkan kepalanya. Mencoba menatap jauh memperhatikan para penjual
makanan.
Zarel mencoba menangkap apa yang
dikatakan Indra. Ia merasa kasihan melihat Indra yang tidak mampu menatap
seluruh tempat ini.
“Kita ke sana yok,” ajak Leandra
kepada mereka semua.
Batu-batu pelataran BKB masih sama
dinginnya seperti delapan bulan silam. Saat ia dan Darka pertama kali ke sini. Pagat-pagar
beton pendek yang cukup lebar untuk di duduki dan sederet lampu-lampu penerang
dengan jarak masing-masing satu meter
yang berdiri di atas pagar beton itu, juga masih sama. Zarel menyilangkan kedua
tangannya di depan dada. Menghalau angin malam yang semakin dingin. Ia berjalan
pelan sambil menatap ke sekeliling tempat itu. Aroma makanan yang saling
bercampur satu sama lain, semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Namun,
Zarel merasakan ada yang berbeda saat ini. Ia menatap pemuda yang berdiri
membelakanginya. Indra yang membuat tempat ini menjadi berbeda.
“Ada banyak jualan makanan di sini─”
Zarel mendengar Leandra dan Fiona memberitahu
Indra dan Ardi dengan bergaya seperti guide.
Ia melangkah mendekati mereka berempat. Mensejajarkan diri dengan Indra.
Tiba-tiba Zarel memegangi perutnya. Ada yang mengganggu, pikirnya.
“Mie tek-tek yok,” ucap Zarel sambil
menatap keempat temannya penuh harap.
“Hmm...Ayok,” sahut Ardi semangat.
Dari sekian banyak penjual yang
berjejer mengelilingi tempat yang cukup luas itu, mereka memilih mie tek-tek
sebagai menu pembuka. Zarel tahu dimana letak penjual mie tek-tek yang enak
menurutnya. Mereka berjalan melewati para penjual yang sibuk dengan dagangan
mereka di bawah lampu dengan pencahayaan yang minim.
“Ada jual kerak telor juga ya?”
Tanya Indra kepada Zarel yang berjalan di sampingnya.
“Ada. Ntar kita coba ya,” ajak
Zarel. “Nah ini tempatnya.” Zarel menghentikan langkahnya. Melirik gerobak
bertuliskan ‘Mie Tek-Tek’.
Mereka melihat seorang laki-laki
yang sudah berumur duduk di belakang penggorengan dengan spatula di tangan
kananya.
“Pak,
5 piring ya,” ucap Zarel setelah mendekati laki-laki paruh baya itu.
Mereka
duduk di atas kursi-kursi plastik kecil tanpa sandaran yang sengaja disiapkan untuk
pembeli.
“Kayaknya
enak, Za,” komentar Ardi.
“Cobain
aja ntar.”
“Untung
gue dari rumah belum makan,” ujar Leandra sambil mesem-mesem.
“Gue
juga. Gue tahu banget sifat Zarel. Kalau ngasih tahu tempat yang enak, pasti
ada makanannya,” timpal Fiona.
Zarel
menyadari Indra melihatnya. Dibalasnya tatapan Indra. Mereka berdua saling
tersenyum satu sama lain.
“Ini
mienya.” Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memberitahukan sesuatu.
Zarel
segera memalingkan wajahnya. Menyambut piring berisi mie yang diulurkan ke
arahnya. “Makasih, Buk,” ucapnya, tersenyum ramah kepada wanita itu.
Perlahan,
mereka menyantap hidangan yang masih hangat itu.
“Gimana,
Ar. Enak nggak?” Fiona bertanya.
Ardi
masih dalam tahap mengunyah mienya. Ia hanya mengacungkan jempolnya mewakili
isi hatinya. Zarel sempat melirik tingkah Ardi dan tersenyum. Suasana makan
mereka menjadi ramai saat tiba-tiba lima orang pengamen cilik datang dan
menyanyikan lagu yang tidak terlalu jelas. Tidak ada yang berkomentar, hanya
sepiring mie dan lantunan lagu berantakan yang menemani mereka.
***
Mereka berjalan melewati para
penjual mainan di sekitar tempat itu. Sesekali mereka berhenti sejenak dan
mengabadikan momen malam ini, berfoto bersama Benteng Kuto Besak dan Jembatan
Ampera sebagai latarnya. Bahkan Ardi hampir memotret semua sudut di tempat ini.
“Oh iya, kita nyobain kerak telor
yok,” ajak Zarel.
“Wah, itu kan makanan yang di
cari-cari Indra selama ini.” Ardi sumringah.
“Di sini emang susah, Dra, nyari
makanan kayak gitu,” timpal Leandra.
Indra manggut-manggut tanda
mengerti. “Pas banget emang waktunya. Gue sekarang lagi ngidam tuh makanan,”
tuturnya.
Mereka berjalan mencari penjual
dengan gerobak bertuliskan kerak telor. Sepanjang perjalanan, mereka melihat
ada banyak pengamen yang bernyanyi untuk menghibur para pembeli di tempat itu.
Terkadang Ardi pun ikut bernyanyi kecil mendengar nyanyian pengamen tersebut.
Berbeda dengan Indra yang hanya mengatupkan bibirnya tanpa banyak komentar. Dan
akhirnya tidak butuh waktu lama untuk menemukan gerobak kerak telur itu.
“Wah,
ramai banget,” kata Ardi, menatap pembeli yang duduk memenuhi kursi pembeli.
Kursi yang sama dengan yang mereka duduki di tempat mie tek-tek.
Wajar
saja pembeli makanan ini begitu ramai. Hanya satu gerobak yang menjual makanan
asli Betawi tersebut di tempat ini. Setelah memesan, Zarel mengajak mereka
untuk duduk di atas pagar yang telah disemen. Dari tempat itu, mereka bisa
dengan bebas menyaksikan Sungai Musi yang terbentang luas. Mereka duduk
berjejer, menyaksikan keindahan malam kota Palembang
“Kamu bisa lihat sungai itu nggak?”
Zarel bertanya kepada Indra yang duduk di sampingnya.
“Nggak jelas,” jawabnya singkat.
“Sungainya cantik. Apalagi kena
pantulan sinar bulan, jadi bercahaya,” tutur Zarel, tersenyum menatap Indra. “Itu
Jembatan Ampera.” Tunjuk gadis itu tinggi ke arah Barat Laut. Lampu-lampu kecil
berwarna-warni tampak begitu cantik mengelilingi jembatan itu.
“Pasti cantik ya,” Indra
berkomentar.
Apa sudah sebegitu parahnya penyakit
itu, Zarel membatin. Indra mungkin tidak menyadari kalau Zarel sedang
menatapnya.
“Dra,” panggil Zarel.
Indra menoleh menatap Zarel. Ada
segurat pertanyaan yang mungkin akan disampaikan gadis itu kepadanya.
“Kamu...” Zarel menghentikan
ucapannya. Hatinya ragu untuk menanyakan hal itu kepada Indra. “Kamu...” ia
mengulanginya lagi.
“Nak, ini kerak telornya.” Tiba-tiba
seorang bapak tua menyodorkan dua piringan yang dilapisi kertas cokelat
berisikan kerak telor ke arahnya dan Indra
“Ah, iya, Pak. Makasih ya,” ucap
Zarel terbata. Ia merasa beruntung dengan kedatangan Bapak itu. Setidaknya ia
tidak harus menanyakan hal itu sekarang kepada Indra.
“Kamu tadi mau ngomong apa?” Indra
bertanya kepada Zarel.
Zarel segera memutar otak untuk
menjawab pertanyaan Indra. “Nggak kok. Cuma mau nanya. Kamu udah lama ya nggak
nyicip ini?” Tanya Zarel sambil mencomot sedikit kerak telor miliknya. “Hmm..
enak,” ucapnya senang.
“Lumayan sih. Kebetulan kalau di
Jakarta kan agak lebih mudah nyarinya.” Indra ikut menikmati kerak telurnya.
“Apa rasanya seenak di Jakarta?”
Indra tersenyum. “Ya, sama. Makan
ini dan duduk kayak gini, berasa kayak lagi di Jakarta,” ujarnya.
Zarel membalas senyum pemuda itu
dengan manis. Ia senang jika Indra menghargai rekomendasinya mengenai tempat
ini.
“Kamu kangen mereka?” Tanya Zarel
lagi.
“Siapa?”
“Keluarga di sana.”
“Kangen itu pasti. Tapi
Palembang-Jakarta itu nggak deket.”
“Kalau kamu kangen Jakarta, kamu
bisa ajak aku untuk makan ini dan duduk di sini. Aku seneng kok nemenin kamu,”
tutur Zarel.
Indra hanya menjawabnya dengan
senyum yang dikulum.
“Di sana..” Zarel lagi-lagi
menghentikan ucapannya.
Indra menatap heran. Ia menunggu
kelanjutan ucapan gadis itu. “Kenapa?” Tanyanya kemudian, karena Zarel tak
kunjung melanjutkan kalimatnya.
“Di sana orang tua kamu kerja apa?”
Bukan itu yang sebenarnya ingin ia
tanyakan. Tapi mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya masalah lain
lagi. Entah mengapa Zarel begitu ingin tahu masalah pribadi Indra.
“Ayah seorang pekerja swasta. Ibu
sendiri mengajar di salah satu SMA di sana,” jawab Indra.
Zarel menyimak ucapan Indra dengan
cermat. “Oh jadi kamu anak Ibu Guru,” ucapnya sambil mengulas senyum.
“Kamu sendiri?” Indra balik
bertanya.
“Papa aku kerjaannya sama kayak Ayah
kamu, swasta juga. Kalau Mama, ibu rumah tangga. Aku punya adik perempuan. Tapi
aku nggak punya kakak. Jadi kita adalah empat orang dalam satu keluarga yang
bahagia.” Zarel mengakhiri ucapannya dengan bibir terkembang.
Zarel melihat Indra tertawa kecil
mendengar ucapannya.
“Kok kamu ketawa?”
Indra langsung menghentikan tawanya.
“Kamu pikir aku mau sensus keluarga,” ledeknya.
Zarel memonyongkan bibirnya. “Aku
kan cuma mau ngasih informasi ke kamu,” ucapnya pelan.
Tiba-tiba ponsel milik Zarel
berdering. Ia lupa mengganti mode silent untuk nada deringnya. Alhasil Indra
meliriknya.
Darka.
Zarel menimang-nimang ponsel hitam
itu. Ia biarkan saja bunyi berisik itu berakhir dengan sendirinya. Namun Zarel
belum bisa bernapas lega. Karena lagi-lagi ponsel itu berbunyi lagi. Dan Zarel
tetap bereaksi sama. Tidak menjawabnya.
“Nggak diangkat?” Indra bertanya
heran kepada Zarel.
Zarel melirik Indra. Ia diam saja
tanpa menjawab pertanyaan itu. Ardi, Leandra dan Fiona pun berhenti mengobrol
akibat bunyi ponselnya. Seperti mendengarkan seseorang bernyanyi.
“Kenapa?” Indra bertanya lagi.
“Males.”
Akhirnya deringan itu berhenti juga.
“Darka, Za?” Leandra berbisik kepada
Zarel. Kebetulan mereka duduk berjejer.
Zarel mengangguk pelan. Ia kembali
sibuk melepaskan kerak telor itu dari bagiannya. Dan Leandra kembali bergabung
dengan Ardi dan Fiona yang duduk berjejer di sampingnya.
“Ceritanya lagi ada yang menghindar
nih,” ledek Indra.
Zarel masih mengunci mulutnya.
Seperti tidak ingin membahas masalah itu.
“Menghindar itu cuma memberi
kenyamanan untuk sementara. Semakin dihindari kamu akan merasa terdesak terus.”
“Aku nggak menghindar. Cuma lagi
males aja.” Zarel akhirnya membuka mulutnya.
“Karena males jadinya ngindar. Iya
kan?”
“Iya. Aku sengaja menghindar,” jawab
Zarel menyerah.
“Aku bukannya bermaksud ikut campur
urusan kamu, Za. Tapi lebih baik kamu terbuka sama pasangan kamu,” saran Indra.
“Aku udah terbuka sama dia, Dra.
Tapi dia nggak bisa terima.” Zarel tersenyum hampa.
“Terus kamu diem aja?”
“Aku mau gimana lagi?”
“Kamu tinggalin aja dia.”
Zarel tercengang mendengar kalimat
terakhir Indra. Mengingat Indra adalah pribadi yang tidak terlalu peduli dengan
orang lain, berkata demikian adalah sebuah perubahan menurut Zarel.
Ia
mencoba melirik kerak telor milik Indra yang tinggal setengah. “Makanan lo
nggak terasa aneh kan?” Zarel kemudian memindahkan tatapannya ke Indra.
“Apa
punya lo rasanya aneh?” Tanya Indra cuek.
Zarel
spontan mencuil kerak telor milik Indra. Dikunyahnya makanan itu dengan
seksama. Kemudian berkata, “Rasanya sama persis dengan punya gue.”
“Bilang
aja kalau lo mau nambah.” Indra lantas menarik piringnya sedikit menjauhi
Zarel.
Zarel
menatap Indra dengan kesal. “Lo kan nyuruh gue nyicip tadi,” ucapnya setengah
berteriak. Membuat ketiga temannya tiba-tiba menoleh.
“Gue
suruh lo nyicip punya lo sendiri. Bukan punya gue,” ucap Indra santai
sambil
mendaratkan telunjuknya di atas hidung Zarel. Kemudian ia kembali menikmati
makanan yang
sudah tinggal setengah itu.
Zarel
membeku sesaat menyadari tingkah Indra barusan. Ia lantas memegangi hidungnya
dengan tangan kanannya. Perlahan ia menundukkan kepala. Dirabanya kedua pipinya
yang mulai terasa panas. Mengapa ia jadi
sepertinya, pikirnya.
“Za, punya lo belum abis juga?”
Leandra tiba-tiba mengagetkannya.
“Buat kita aja ya,” Fiona menimpali.
“Ah, iya-iya. Ambil aja,” jawab
Zarel terbata. Ia masih terbenam dalam kejadian sekilas itu.
“Di sini ada jual sate juga nggak?”
Indra bertanya mengagetkannya.
Zarel berusaha bersikap normal
kembali. “Ada. Kenapa? Mau lanjut sate?” Tanyanya.
“Mmm.. Iya.” Indra menyeringai
menatap Zarel.
“Oke. Kita lanjut sate.”
“Hah? Sate?” Leandra dan Fiona
tersentak kaget.
Zarel mengangguk mantap.
“Perut gue udah nggak muat lagi,”
Fiona mengeluh.
“Kalau perut gue masih muat kok,”
Ardi yang duduk di ujung langsung berteriak sambil memegangi perutnya.
***
“Dra,” panggil Zarel.
“Nggak apa-apa,” jawabnya tersendat.
Ia masih memegangi kepalanya.
“Perlu gue telpon Ardi?”
Indra menggeleng. Zarel yakin Indra
tidak ingin melihat Ardi cemas.
Zarel mengambil kembali gelas
plastik warna hijau polos yang ia letakkan di sampingya. Kembali mengaduk-aduk
jagung yang bercampur susu dan keju parut itu. Selera makannya mendadak hilang
akibat melihat kondisi Indra.
“Dra, maafin gue ya,” ucap Zarel
lirih.
Ia merasa bersalah karena mengajak
Indra menemaninya untuk mencari makanan yang sedang ia pegang sekarang. Mereka
berpisah dari Leandra, Fiona dan Ardi yang masih duduk di dekat gerobak sate.
Karena hanya Indra yang mau menemaninya pergi mencari, maka tidak ada pilihan
lain.
“Sakit banget ya?” Zarel kembali
meletakkan gelas itu di sampingnya lagi dan segera memegangi pundak Indra.
Pencahayaan di tempat itu tidak
terlalu cukup, akibatnya Zarel tidak bisa melihat dengan jelas raut wajah Indra
sekarang. Namun, ia yakin betapa sakitnya yang dirasakan Indra.
Mereka kini duduk di atas tempat
bertingkat yang di beri keramik warna cokelat susu. Tidak terlalu banyak orang
yang duduk di situ. Namun dari tempat itu Zarel bisa melihat sekeliling, karena
tempat itu terletak di tengah-tengah area BKB. Ia kembali teringat Indra yang
mengeluh pusing setelah ia membeli Jasuke.
“Semangat, Dra. Kamu pasti bisa
ngelawan penyakit kamu,” ucap Zarel sambil menepuk-nepuk pundak Indra.
Zarel menjadi terbiasa dengan
kondisi Indra yang seperti ini. Ia bahkan akan merasa canggung bila tiba-tiba
penyakit Indra kambuh sedangkan ia tidak sedang berada di sisinya. Meski ada
Ardi yang siap membantu Indra kapanpun, tapi entah mengapa ia menjadi senang
ikut terlibat dengan kehidupan pemuda itu.
“Zarel.”
“Iya, Dra. Kenapa?” Tanyanya cemas.
“Maaf udah buat kamu repot.”
Zarel memperhatikan wajah Indra yang
sudah tidak tertunduk lagi. Namun rona mukanya masih terlihat lesu. Mungkin
Indra butuh istirahat.
“Aku nggak merasa direpotin kok.
Santai aja,” sahut Zarel, tersenyum melihat Indra.
“Sekarang kita dimana?” Indra
bertanya.
“Kita lagi ada di tengah-tengah.”
“Terus di sekeliling kita siapa?”
Zarel mencoba memperhatikan
sekitarnya. “Di sebelah kiri kita ada penjual mainan yang lagi berdebat sama
seorang ibu yang anaknya merengek minta dibeliin mainan itu,” tutur Zarel.
“Terus di depan kita. Agak jauh sih, ada penjual bakso bakar sama gerobaknya.
Dia punya banyak pembeli.” Zarel kemudian mencoba memperhatikan sisi lainnya.
“Di sebelah kanan kita ada tempat tanding catur.” Zarel menatap Indra dengan
cemas. “Kamu bisa lihat mereka kan. Di sini ramai banget, Dra.”
“Aku cuma bisa denger suara mereka.”
Zarel menutup mulutnya dengan
sebelah telapak tangan. Ia merasa ketakutan melihat Indra seperti ini. Tubuhnya
sedikit gemetaran dengan kedua bola mata yang mulai memerah. Perlahan ia
menurunkan telapak tangannya. “Kamu bisa lihat aku?”
“Semuanya terlihat kabur, Za.
Termasuk kamu,” Indra berkata lirih.
Zarel merasakan lututnya lemas.
Jantungnya benar-benar berdetak cepat. Mengapa hatinya menjadi pedih saat Indra
berkata demikian.
“Za, bisa kita pulang sekarang?”
Zarel tidak berkata apa-apa. Ia
segera menaikkan lengan Indra ke atas pundaknya. Sepanjang jalan menemui ketiga
temannya, Zarel tak henti-hentinya membagi tangannya untuk Indra dan untuk air
matanya yang mengucur.
***
No comments:
Post a Comment