Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 11

            Matahari sudah mulai menginjakkan kakinya di ufuk timur. Sudah hampir satu jam Zarel mondar-mandir di taman kota yang ramai oleh remaja itu. Kebanyakan dari mereka bepasang-pasangan. Sedangkan ia masih menunggu pasangannya yang belum juga datang. Sudah berapa kali ia harus merapikan rambut ikalnya yang ia biarkan terurai karena tertiup angin. Ia sengaja berdandan sedikit rapi dari hari biasanya. Dengan mengenakan cathy dress sepanjang lutut berbahan chiffon furing warna biru gelap, ditunjang dengan wedges hitam tanpa tali. Memberi kesan anggun pada penampilannya. Ia harap Darka senang dengan penampilannya. Zarel mencoba menghubungi Darka untuk kesekian kalinya. Tapi hasilnya tetap sama. Tidak ada sahutan dari ujung sana. Lelah berdiri Zarel akhirnya duduk di sebuah bangku taman panjang di dekat pohon akasia. Sekali lagi ia berusaha mengirim pesan singkat untuk pacarnya itu.
            “Kamu kemana sih, Ka?” bisik Zarel kepada dirinya sendiri.
            Zarel menghela napas panjang. Hari ini ia memang mengajak Darka untuk bertemu. Dua hari tidak saling berkomunikasi, akhirnya Zarellah yang harus mengalah, dan lebih dulu mengajak Darka untuk bertemu. Ia pikir mungkin saja ada yang ingin disampaikan Darka untuknya. Darka sudah menyetujui ajakannya. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja Darka tidak mengangkat telepon darinya. Zarel menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mencoba berpikir dimana sekarang keberadaan Darka.
            “Mau es krim?”
            Zarel membuka matanya mendengar suara itu. Sebuah ice cream cokelat berbentuk kerucut tergenggam erat di telapak tangan pemuda itu. Ia langsung melihat wajah pemberi ice cream itu. Menatap pemuda itu lama dengan mata kecewa, lalu memberikan pemuda itu sebuah senyuman masam. Kemudian Zarel langsung merampas benda dingin itu tanpa berkata apa-apa.
            Pemuda itu perlahan mensejajarkan duduk di sebelahnya. Mengikuti Zarel membuka ice cream. Mereka makan ice cream bersama.
            “Maaf udah buat kamu nunggu lama,” ucap pemuda itu setelah mengunyah ice cream  miliknya.
            Zarel tetap tidak menoleh. Ia sibuk menikmati ice cream cokelat itu.
            “Marah ya?” Pemuda itu merayunya lagi.
            “Marahnya udah cair,” jawab Zarel datar. Kemudian melihat Darka yang tertawa kecil. “Kamu darimana aja sih?” Tanyanya dengan nada kesal.
            Darka tersenyum melihat wajah Zarel yang kusut. “Aku tadi ketemu Papa bentar,” katanya.
            Zarel menarik napas pendek. Kemudian berkata, “Pantes telponnya nggak kamu angkat.”
            “Aku pasti dateng kok.”
            “Iya, aku tahu. Tapi tadi aku hampir bosen nungguin kamu.” Zarel memandang jauh kedepan.
            Dihadapan mereka terlihat dua orang remaja laki-laki dan perempuan yang sedang bertengkar. Laki-laki itu terlihat berusaha memberi penjelasan kepada perempuan dihadapannya. Tapi perempuan itu malah pergi dengan meninggalkan satu tamparan di pipi laki-laki itu. Zarel terkejut melihat kejadian itu. Matanya menatap nanar ke arah laki-laki yang tengah memengangi pipi bekas tamparan.
            “Ngeliatin siapa?” Tanya Darka memperhatikan Zarel tidak berkedip memandang.
            “Mereka.” Zarel menunjuk ke arah remaja laki-laki yang berdiri agak jauh dari tempat mereka duduk. “Kasian banget cowoknya. Kena tampar,” ucapnya iba.
            “Pasti sakit,” Darka menimpali.
            Zarel mengelus-elus pipi kanannya. Mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh laki-laki itu, seolah-olah ia juga ditampar.
            “Cewek nggak mungkin bisa ngerasain tamparan kayak gitu. Cuma cowok sering ngerasain itu.”
            Zarel menoleh menatap Darka. Darka benar, dibanding cewek, cowok lebih sering merasakan tamparan seperti itu.
            “Ngomong-ngomong, aku mau minta maaf soal kemarin-kemarin,” Zarel berkata pelan.
            “Aku juga. Aku minta maaf ya.”
            Zarel mengulas senyum menatap Darka. Kembali menyantap ice cream yang sempat ia tinggalkan.
            “Kamu masih sering ketemu sama dia?” Darka bertanya.
            “Siapa? Indra?” Zarel menunggu sejenak. “Kemarin aku ketemu dia,” ungkapnya.
            “Ngapain?”
            “Nggak ngapa-ngapain kok. Kita kan udah temenan. Aku, kamu, Indra, dan Ardi,” kata Zarel mengarahkan telunjuknya bergantian dari dirinya ke Darka. “Jadi, apa yang bakal dilakuin jika seorang teman bertemu temannya?” Zarel mencoba menunggu jawaban dari Darka. Tapi pemuda itu tak kunjung menjawab. Akhirnya ia menjawab sendiri pertanyaannya. “Kita ngobrol.”
            Zarel melebarkan senyumnya. Ia bahagia jika mengingat nama Indra. Tanpa ia sadari, Darka menatapnya dengan tatapan resah.
            “Aku nggak mau berteman sama dia,” tutur Darka tegas. Dilanjutkannya kembali kata-katanya tersebut setelah Zarel melihat wajahnya. “Kamu juga jangan berteman sama dia.”
            Zarel mengerutkan keningnya. Matanya membulat mendengar ucapan Darka barusan. “Kenapa? Kenapa kamu ngelarang aku berteman sama dia?”
            “Dia itu nggak baik buat kamu.”
            Zarel tidak terima dengan kata-kata Darka barusan.
            “Kamu tahu dia baik atau nggak itu darimana?” Zarel berusaha mengontrol emosinya.
            “Aku lebih tahu kamu, Za. Jadi jauhin dia.” Darka meninggikan nada suaranya.
            “Aku yang lebih tahu diri aku sendiri, Ka. Jadi kamu nggak usah ngatur-ngatur aku.” Zarel menatap Darka lekat-lekat.
            “Oh, jadi sekarang kamu nganggep aku apa?”
            “Kamu itu pacar aku, Ka. Tapi kamu bukan orang tua aku yang mesti ngelarang aku ini itu,” ujar Zarel.
            “Sebagai pacar, aku punya hak buat ngelarang kamu. Apapun itu.” Darka masih mempertahankan argumennya.
            Zarel tersentak mendengar kata-kata Darka. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia memiringkan sedikit duduknya agar ia bisa lebih mudah melihat wajah Darka. “Termasuk ngelarang aku buat punya temen?” Tanyanya tegas.
            “Itu semua demi kebaikan kamu, Za. Kamu nggak bakal tahu niat jahat mereka kalau kamu nggak segera menjauhi mereka,” jelas Darka masih dengan emosi.
            “Kamu juga ngelarang aku untuk nggak terlalu deket sama Le dan Fi. Kamu bilang nggak selamanya sahabat itu baik. Tiba saatnya nanti mereka akan menjatuhkan kita. Itu kan yang kamu tanamkan ke aku?” Zarel membeberkan semua yang Darka ucapkan padanya dulu.
            “Bagus kalau kamu masih inget.” Darka tersenyum puas.
            “Kamu egois, Ka,” bisik Zarel. Ia berusaha menggigit bibir bawahnya menahan air mata yang ingin menetes. Dipalingkannya wajahnya dari Darka. Nafasnya masih memburu pelan. Seperti ada bom atom yang meledak-ledak di dalam dadanya.
            “Sampai kapan kamu mau ngerti kalau aku nggak ingin kehilangan kamu, Za,” Darka berucap pelan.
            “Aku ngerti kalau kamu nggak mau kehilangan aku. Tapi kamu cuma mikiri diri kamu sendiri. Kamu nggak mikirin aku, Ka.”
            “Justru karena aku mikirin kamu, makanya aku ngelarang kamu untuk jangan terlalu dekat dengan orang lain.”
            “Kamu bukan mikirin aku, Ka. Tapi kamu mikirin diri kamu sendiri,” ucap Zarel keras. Amarahnya mulai membuncah. “Kamu selalu nyamain aku dengan Mama kamu.”
            “Nggak usah kamu bahas dia lagi,” Darka segera menyahuti dengan cepat ucapan Zarel.
            “Mama kamu, yang nikah lari dengan rekan bisnisnya sendiri, yang nggak lain adalah sahabat Papa kamu. Jangan tempatkan aku di posisi yang sama kayak mereka, Ka,” pinta Zarel lirih. “Situasi kita berbeda. Nggak sama dengan mereka.” Zarel berusaha menyeka air matanya yang mulai mengucur perlahan dengan kedua tangannya yang gemetaran.
            “Bagaimanapun kemasannya, penghianatan tetap menyakitkan,” ucap Darka getir. Kenangan-kenangan pahit yang bergulir di pikirannya membuatnya tersiksa. Dua tahun baginya bukan waktu yang lama.
            “Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan di sisi kamu,” Zarel berkata lirih.
            “Seperti mengurung burung dalam sangkar. Tidak peduli itu sangkar emas atau bukan, ia akan tetap ingin terbang keluar. Bebas.” Darka tersenyum sinis menatap Zarel.
Zarel membalas senyuman dari Darka untuknya.
“Karena itu memang kodratnya. Hanya akan membuatnya tersiksa bila kita mengurungnya terus menerus,” Zarel berkata.
             “Aku belum siap kehilangan lagi.”
            Zarel tertegun mendengar ucapan Darka. Kepalanya menjadi sakit bila terus menghadapi situasi seperti ini.
            “Kalau kamu nggak mau berubah. Mungkin kamu harus bersiap melepas burung itu.”
***
            “Gimana keadaan lo, Dra?”
            Indra tiba-tiba dikagetkan oleh Ardi yang masuk ke dalam kamarnya. Ia sedang mendengar rekaman materi kuliah yang sengaja direkam oleh Ardi untuknya selama ia sakit.
            “Udah mendingan,” jawab Indra.
            “Baguslah. Lo beneran nggak pengen priksa keadaan mata lo ke dokter?”
            “Nggak,” Indra menjawab tegas pertanyaan Ardi.
            “Lo mau gue masakin apa?” Tanya Ardi yang kini sudah berada di dalam dapur Indra.
            “Terserah, Ar. Apa pun yang lo masak pasti gue makan kok,” sahutnya sambil nyengir.
            “Lo udah telepon orangtuaa lo buat kasih tahu mereka kondisi lo sekarang?”
            Terdengar suara ribut gesekan antar kantong plastik yang tersimpan di dalam lemari pendingin. Ardi pasti sedang mengobrak-abrik kulkas mencari yang bisa dimasak, Indra berpikir.
            “Dra,” panggil Ardi dengan nada sedikit dinaikkan. “Lo denger gue kan?”
            “Iya, denger. Ntar deh gue telepon mereka.”
            “Orangtua lo pasti khawatir sama keadaan lo.”
            “Makanya gue jarang kasih kabar ke mereka. Gue nggak mau mereka cemas. Terus yang terjadi ntar mereka malah nyusul gue kesini lagi,” ucap Indra. Ia berjalan menuju meja makan dengan sebuah gitar di tangannya. Duduk di salah satu kursi makan. Ia masih mengenakan kaus dalam dan celana pendek warna cokelat. Rambutnya yang curly masih berantakan.
            “Mungkin kalau lo periksa terus mata lo ke dokter, pasti ada kemajuan.” Ardi terus mendesak Indra.
            “Udah enam kali gue operasi mata. Dokter bilang itu cuma buat menahan atau paling nggak memperlambat kebutaan. Tinggal tunggu waktunya aja.”
            Indra mulai menyetel gitarnya. Sudah lama ia tidal melatih jari-jarinya itu memetik senar. Entah kapan terakhir kali ia bermain gitar. Ia sendiri sudah lupa. Perlahan tangan kirinya dengan mantap membentuk kunci G dan tangan kanannya dengan santai mulai memetik senar gitar itu.
            “Lo main gitar?” Tanya Ardi, mengintip dari balik pembatas dapur.
            Indra menatap Ardi samar-samar. “Udah lama nggak main,” ucapnya.
            “Jangan terlalu maksa. Ntar lo pusing lagi,” Ardi memberitahu. Ia kemudian kembali ke dapur.
            Aroma daging yang digoreng dalam minyak panas membuat Indra semakin lapar. Ia tidak tahu pasti bumbu-bumbu apa yang digunakan oleh Ardi untuk membuat daging itu menjadi wangi.
            “Masak yang enak ya, Ar,” teriaknya kepada Ardi.
            Jemari-jemari kaku yang sudah lama tidak dilatih kini mulai lincah menari-nari di atas senar, menghasilkan nada-nada indah yang masih layak didengar. Berkolaborasi dengan bunyi percikan minyak panas dari penggorengan. Suasana pagi yang sempurna.
            “Taraaa..,” ucap Ardi sambil menari-nari di hadapan Indra, mengenakan celemek cokelat polos sambil memegang piring berisi masakan.
            “Wah, apaan tuh?” Indra menghentikan permainan gitarnya.
            Ardi meletakkan piring itu di atas meja makan. Tepat di hadapan Indra.
            “Daging goreng lada hitam.” Indra menundukkan kepalanya. Mencium aroma lada yang begitu memikat. Tanpa ia sadari ternyata waktu berlalu dengan cepat. Mungkin karena ia terlalu berkonsentrasi dengan gitarnya.
            “Gue buatin lo kopi ya,” ucap Ardi, tersenyum melihat Indra yang terkagum-kagum dengan masakannya.
            Indra mencuil sedikit daging goreng tersebut.
            “Lo belajar masak dimana sih, Ar?” Tanya Indra.
            “Nyokap gue, Dra. Dia kan buka restoran deket rumah. Gue belajar dari dia,” sahut Ardi sambil meletakkan secangkir vanilla latte kesukaan Indra.
            “Terus lo mau lanjutin bisnis nyokap lo? Cocok tuh lo masuk akuntansi.” Indra memamerkan giginya yang putih.
            “Memang itu rencana gue,” ucap Ardi.
            “Eh, Dra. Kapan-kapan undang Zarel kesini yok. Ntar gue masak yang paling enak buat kalian,” ujar Ardi.
            Indra tiba-tiba berhenti menyuap. Diletakkannya kembali sendok berisi nasi dengan sepotong daging itu ke atas piring.
            “Lo harus izin dulu sama Darka kalau mau ngajak Zarel,” tutur Indra. Ia kembali menyuap makanannya.
            “Ahh, lo bener juga, Dra. Zarel udah punya cowok. Pasti kalau mau kemana-mana dia harus izin dulu. Susah kalau gitu,” Ardi berkata dengan nada kecewa.
            “Tapi cowoknya Zarel kayaknya nggak seneng deh sama kita. Gue bisa liat dari matanya.” Ardi memain-mainkan sendok makannya sambil mengingat-ingat tatapan mata Darka kepadanya.
            “Nggak usah lo pikirin,” Ardi berkata datar.
            “Eh, Dra, kita jalan-jalan yuk,” ajak Ardi. “Katanya ada tempat bagus di malam hari.” Ardi mengubah alur pembicaraan.
            “Dimana?”
            “Gue juga kurang tahu. Lo kan tahu, gue masih buta jalanan di sini. Hmm..” Ardi berpikir sejenak. “Gue punya ide. Gimana kalau ajak Zarel. Dia pasti tahu tempat-tempat bagus. Gimana?” Ardi tersenyum jahil ke arah Indra.
            “Itu sih emang maunya lo,” balas Indra, perlahan menyeruput vanilla latte miliknya.
            “Gue yakin, Zarel nggak nyaman sama cowoknya yang sekarang. Gue bisa lihat dari kedua matanya,” ucap Ardi, berlagak seperti peramal yang tahu segalanya.
            “Teruuuss?” Indra menopang dagunya dengan telapak tangan sebelah kanan. Memperhatikan tingkah konyol sahabatnya itu.
            “Kayaknya Zarel suka sama lo.” Ardi mengacungkan telunjuknya tepat ke wajah Indra.
            “Sableng loh!” Indra berdiri dari tempat duduknya. Meninggalkan Ardi yang masih berusaha mengoceh.
***
            Bagian 12

            Tidak ada alasan bagi Zarel untuk menolak ajakan Indra dan Ardi. Ia merasa nyaman saat didekat mereka berdua, apalagi didekat Indra.
            “Udah sampai,” teriak Ardi yang duduk di belakang setir. Ia mematikan mesin mobilnya dan segera turun.
            Zarel, Indra, Leandra dan Fiona pun ikut turun dari kijang milik Ardi.
            “Wah, lo bener, Za. Keren ya,” ucap Ardi terkagum-kagum.
            Zarel mengembangkan bibirnya menanggapi ucapan Ardi. Ia masih ingat pertama kali ke tempat ini, Darka orang pertama yang mengajaknya ke sini. Melihat sungai di malam hari di bawah sinar bulan dan bintang. Ia sungguh merindukan suasana itu.
            “Nah, Dra. Ini namanya BKB,” Ardi memberitahu Indra.
            “Nggak terlalu jelas.” Indra mencoba menggerak-gerakkan kepalanya. Mencoba menatap jauh memperhatikan para penjual makanan.
            Zarel mencoba menangkap apa yang dikatakan Indra. Ia merasa kasihan melihat Indra yang tidak mampu menatap seluruh tempat ini.
            “Kita ke sana yok,” ajak Leandra kepada mereka semua.
            Batu-batu pelataran BKB masih sama dinginnya seperti delapan bulan silam. Saat ia dan Darka pertama kali ke sini. Pagat-pagar beton pendek yang cukup lebar untuk di duduki dan sederet lampu-lampu penerang dengan jarak masing-masing satu  meter yang berdiri di atas pagar beton itu, juga masih sama. Zarel menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menghalau angin malam yang semakin dingin. Ia berjalan pelan sambil menatap ke sekeliling tempat itu. Aroma makanan yang saling bercampur satu sama lain, semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Namun, Zarel merasakan ada yang berbeda saat ini. Ia menatap pemuda yang berdiri membelakanginya. Indra yang membuat tempat ini menjadi berbeda.
            “Ada banyak jualan makanan di sini─”
            Zarel mendengar Leandra dan Fiona memberitahu Indra dan Ardi dengan bergaya seperti guide. Ia melangkah mendekati mereka berempat. Mensejajarkan diri dengan Indra. Tiba-tiba Zarel memegangi perutnya. Ada yang mengganggu, pikirnya.
            “Mie tek-tek yok,” ucap Zarel sambil menatap keempat temannya penuh harap.
            “Hmm...Ayok,” sahut Ardi semangat.
            Dari sekian banyak penjual yang berjejer mengelilingi tempat yang cukup luas itu, mereka memilih mie tek-tek sebagai menu pembuka. Zarel tahu dimana letak penjual mie tek-tek yang enak menurutnya. Mereka berjalan melewati para penjual yang sibuk dengan dagangan mereka di bawah lampu dengan pencahayaan yang minim.
            “Ada jual kerak telor juga ya?” Tanya Indra kepada Zarel yang berjalan di sampingnya.
            “Ada. Ntar kita coba ya,” ajak Zarel. “Nah ini tempatnya.” Zarel menghentikan langkahnya. Melirik gerobak bertuliskan ‘Mie Tek-Tek’.
            Mereka melihat seorang laki-laki yang sudah berumur duduk di belakang penggorengan dengan spatula di tangan kananya.
“Pak, 5 piring ya,” ucap Zarel setelah mendekati laki-laki paruh baya itu.
Mereka duduk di atas kursi-kursi plastik kecil tanpa sandaran yang sengaja disiapkan untuk pembeli.
“Kayaknya enak, Za,” komentar Ardi.
“Cobain aja ntar.”
“Untung gue dari rumah belum makan,” ujar Leandra sambil mesem-mesem.
“Gue juga. Gue tahu banget sifat Zarel. Kalau ngasih tahu tempat yang enak, pasti ada makanannya,” timpal Fiona.
Zarel menyadari Indra melihatnya. Dibalasnya tatapan Indra. Mereka berdua saling tersenyum satu sama lain.
“Ini mienya.” Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memberitahukan sesuatu.
Zarel segera memalingkan wajahnya. Menyambut piring berisi mie yang diulurkan ke arahnya. “Makasih, Buk,” ucapnya, tersenyum ramah kepada wanita itu.
Perlahan, mereka menyantap hidangan yang masih hangat itu.
“Gimana, Ar. Enak nggak?” Fiona bertanya.
Ardi masih dalam tahap mengunyah mienya. Ia hanya mengacungkan jempolnya mewakili isi hatinya. Zarel sempat melirik tingkah Ardi dan tersenyum. Suasana makan mereka menjadi ramai saat tiba-tiba lima orang pengamen cilik datang dan menyanyikan lagu yang tidak terlalu jelas. Tidak ada yang berkomentar, hanya sepiring mie dan lantunan lagu berantakan yang menemani mereka.
***
            Mereka berjalan melewati para penjual mainan di sekitar tempat itu. Sesekali mereka berhenti sejenak dan mengabadikan momen malam ini, berfoto bersama Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera sebagai latarnya. Bahkan Ardi hampir memotret semua sudut di tempat ini.
            “Oh iya, kita nyobain kerak telor yok,” ajak Zarel.
            “Wah, itu kan makanan yang di cari-cari Indra selama ini.” Ardi sumringah.
            “Di sini emang susah, Dra, nyari makanan kayak gitu,” timpal Leandra.
            Indra manggut-manggut tanda mengerti. “Pas banget emang waktunya. Gue sekarang lagi ngidam tuh makanan,” tuturnya.
            Mereka berjalan mencari penjual dengan gerobak bertuliskan kerak telor. Sepanjang perjalanan, mereka melihat ada banyak pengamen yang bernyanyi untuk menghibur para pembeli di tempat itu. Terkadang Ardi pun ikut bernyanyi kecil mendengar nyanyian pengamen tersebut. Berbeda dengan Indra yang hanya mengatupkan bibirnya tanpa banyak komentar. Dan akhirnya tidak butuh waktu lama untuk menemukan gerobak kerak telur itu.
“Wah, ramai banget,” kata Ardi, menatap pembeli yang duduk memenuhi kursi pembeli. Kursi yang sama dengan yang mereka duduki di tempat mie tek-tek.
Wajar saja pembeli makanan ini begitu ramai. Hanya satu gerobak yang menjual makanan asli Betawi tersebut di tempat ini. Setelah memesan, Zarel mengajak mereka untuk duduk di atas pagar yang telah disemen. Dari tempat itu, mereka bisa dengan bebas menyaksikan Sungai Musi yang terbentang luas. Mereka duduk berjejer, menyaksikan keindahan malam kota Palembang
            “Kamu bisa lihat sungai itu nggak?” Zarel bertanya kepada Indra yang duduk di sampingnya.
            “Nggak jelas,” jawabnya singkat.
            “Sungainya cantik. Apalagi kena pantulan sinar bulan, jadi bercahaya,” tutur Zarel, tersenyum menatap Indra. “Itu Jembatan Ampera.” Tunjuk gadis itu tinggi ke arah Barat Laut. Lampu-lampu kecil berwarna-warni tampak begitu cantik mengelilingi jembatan itu.
            “Pasti cantik ya,” Indra berkomentar.
            Apa sudah sebegitu parahnya penyakit itu, Zarel membatin. Indra mungkin tidak menyadari kalau Zarel sedang menatapnya.
            “Dra,” panggil Zarel.
            Indra menoleh menatap Zarel. Ada segurat pertanyaan yang mungkin akan disampaikan gadis itu kepadanya.
            “Kamu...” Zarel menghentikan ucapannya. Hatinya ragu untuk menanyakan hal itu kepada Indra. “Kamu...” ia mengulanginya lagi.
            “Nak, ini kerak telornya.” Tiba-tiba seorang bapak tua menyodorkan dua piringan yang dilapisi kertas cokelat berisikan kerak telor ke arahnya dan Indra
            “Ah, iya, Pak. Makasih ya,” ucap Zarel terbata. Ia merasa beruntung dengan kedatangan Bapak itu. Setidaknya ia tidak harus menanyakan hal itu sekarang kepada Indra.
            “Kamu tadi mau ngomong apa?” Indra bertanya kepada Zarel.
            Zarel segera memutar otak untuk menjawab pertanyaan Indra. “Nggak kok. Cuma mau nanya. Kamu udah lama ya nggak nyicip ini?” Tanya Zarel sambil mencomot sedikit kerak telor miliknya. “Hmm.. enak,” ucapnya senang.
            “Lumayan sih. Kebetulan kalau di Jakarta kan agak lebih mudah nyarinya.” Indra ikut menikmati kerak telurnya.
            “Apa rasanya seenak di Jakarta?”
            Indra tersenyum. “Ya, sama. Makan ini dan duduk kayak gini, berasa kayak lagi di Jakarta,” ujarnya.
            Zarel membalas senyum pemuda itu dengan manis. Ia senang jika Indra menghargai rekomendasinya mengenai tempat ini.
            “Kamu kangen mereka?” Tanya Zarel lagi.
            “Siapa?”
            “Keluarga di sana.”
            “Kangen itu pasti. Tapi Palembang-Jakarta itu nggak deket.”
            “Kalau kamu kangen Jakarta, kamu bisa ajak aku untuk makan ini dan duduk di sini. Aku seneng kok nemenin kamu,” tutur Zarel.
            Indra hanya menjawabnya dengan senyum yang dikulum.
            “Di sana..” Zarel lagi-lagi menghentikan ucapannya.
            Indra menatap heran. Ia menunggu kelanjutan ucapan gadis itu. “Kenapa?” Tanyanya kemudian, karena Zarel tak kunjung melanjutkan kalimatnya.
            “Di sana orang tua kamu kerja apa?”
            Bukan itu yang sebenarnya ingin ia tanyakan. Tapi mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya masalah lain lagi. Entah mengapa Zarel begitu ingin tahu masalah pribadi Indra.
            “Ayah seorang pekerja swasta. Ibu sendiri mengajar di salah satu SMA di sana,” jawab Indra.
            Zarel menyimak ucapan Indra dengan cermat. “Oh jadi kamu anak Ibu Guru,” ucapnya sambil mengulas senyum.
            “Kamu sendiri?” Indra balik bertanya.
            “Papa aku kerjaannya sama kayak Ayah kamu, swasta juga. Kalau Mama, ibu rumah tangga. Aku punya adik perempuan. Tapi aku nggak punya kakak. Jadi kita adalah empat orang dalam satu keluarga yang bahagia.” Zarel mengakhiri ucapannya dengan bibir terkembang.
            Zarel melihat Indra tertawa kecil mendengar ucapannya.
            “Kok kamu ketawa?”
            Indra langsung menghentikan tawanya. “Kamu pikir aku mau sensus keluarga,” ledeknya.
            Zarel memonyongkan bibirnya. “Aku kan cuma mau ngasih informasi ke kamu,” ucapnya pelan.
            Tiba-tiba ponsel milik Zarel berdering. Ia lupa mengganti mode silent  untuk nada deringnya. Alhasil Indra meliriknya.
            Darka.
            Zarel menimang-nimang ponsel hitam itu. Ia biarkan saja bunyi berisik itu berakhir dengan sendirinya. Namun Zarel belum bisa bernapas lega. Karena lagi-lagi ponsel itu berbunyi lagi. Dan Zarel tetap bereaksi sama. Tidak menjawabnya.
            “Nggak diangkat?” Indra bertanya heran kepada Zarel.
            Zarel melirik Indra. Ia diam saja tanpa menjawab pertanyaan itu. Ardi, Leandra dan Fiona pun berhenti mengobrol akibat bunyi ponselnya. Seperti mendengarkan seseorang bernyanyi.
            “Kenapa?” Indra bertanya lagi.
            “Males.”
            Akhirnya deringan itu berhenti juga.
            “Darka, Za?” Leandra berbisik kepada Zarel. Kebetulan mereka duduk berjejer.
            Zarel mengangguk pelan. Ia kembali sibuk melepaskan kerak telor itu dari bagiannya. Dan Leandra kembali bergabung dengan Ardi dan Fiona yang duduk berjejer di sampingnya.
            “Ceritanya lagi ada yang menghindar nih,” ledek Indra.
            Zarel masih mengunci mulutnya. Seperti tidak ingin membahas masalah itu.
            “Menghindar itu cuma memberi kenyamanan untuk sementara. Semakin dihindari kamu akan merasa terdesak terus.”
            “Aku nggak menghindar. Cuma lagi males aja.” Zarel akhirnya membuka mulutnya.
            “Karena males jadinya ngindar. Iya kan?”
            “Iya. Aku sengaja menghindar,” jawab Zarel menyerah.
            “Aku bukannya bermaksud ikut campur urusan kamu, Za. Tapi lebih baik kamu terbuka sama pasangan kamu,” saran Indra.
            “Aku udah terbuka sama dia, Dra. Tapi dia nggak bisa terima.” Zarel tersenyum hampa.
            “Terus kamu diem aja?”
            “Aku mau gimana lagi?”
            “Kamu tinggalin aja dia.”
            Zarel tercengang mendengar kalimat terakhir Indra. Mengingat Indra adalah pribadi yang tidak terlalu peduli dengan orang lain, berkata demikian adalah sebuah perubahan menurut Zarel.
Ia mencoba melirik kerak telor milik Indra yang tinggal setengah. “Makanan lo nggak terasa aneh kan?” Zarel kemudian memindahkan tatapannya ke Indra.
“Apa punya lo rasanya aneh?” Tanya Indra cuek.
Zarel spontan mencuil kerak telor milik Indra. Dikunyahnya makanan itu dengan seksama. Kemudian berkata, “Rasanya sama persis dengan punya gue.”
“Bilang aja kalau lo mau nambah.” Indra lantas menarik piringnya sedikit menjauhi Zarel.
Zarel menatap Indra dengan kesal. “Lo kan nyuruh gue nyicip tadi,” ucapnya setengah berteriak. Membuat ketiga temannya tiba-tiba menoleh.
“Gue suruh lo nyicip punya lo sendiri. Bukan punya gue,” ucap Indra santai
sambil mendaratkan telunjuknya di atas hidung Zarel. Kemudian ia kembali menikmati
makanan yang sudah tinggal setengah itu.
Zarel membeku sesaat menyadari tingkah Indra barusan. Ia lantas memegangi hidungnya dengan tangan kanannya. Perlahan ia menundukkan kepala. Dirabanya kedua pipinya yang mulai terasa panas.  Mengapa ia jadi sepertinya, pikirnya.
            “Za, punya lo belum abis juga?”
            Leandra tiba-tiba mengagetkannya.
            “Buat kita aja ya,” Fiona menimpali.
            “Ah, iya-iya. Ambil aja,” jawab Zarel terbata. Ia masih terbenam dalam kejadian sekilas itu.
            “Di sini ada jual sate juga nggak?” Indra bertanya mengagetkannya.
            Zarel berusaha bersikap normal kembali. “Ada. Kenapa? Mau lanjut sate?” Tanyanya.
            “Mmm.. Iya.” Indra menyeringai menatap Zarel.
            “Oke. Kita lanjut sate.”
            “Hah? Sate?” Leandra dan Fiona tersentak kaget.
            Zarel mengangguk mantap.
            “Perut gue udah nggak muat lagi,” Fiona mengeluh.
            “Kalau perut gue masih muat kok,” Ardi yang duduk di ujung langsung berteriak sambil memegangi perutnya.
***
            “Dra,” panggil Zarel.
            “Nggak apa-apa,” jawabnya tersendat. Ia masih memegangi kepalanya.
            “Perlu gue telpon Ardi?”
            Indra menggeleng. Zarel yakin Indra tidak ingin melihat Ardi cemas.
            Zarel mengambil kembali gelas plastik warna hijau polos yang ia letakkan di sampingya. Kembali mengaduk-aduk jagung yang bercampur susu dan keju parut itu. Selera makannya mendadak hilang akibat melihat kondisi Indra.
            “Dra, maafin gue ya,” ucap Zarel lirih.
            Ia merasa bersalah karena mengajak Indra menemaninya untuk mencari makanan yang sedang ia pegang sekarang. Mereka berpisah dari Leandra, Fiona dan Ardi yang masih duduk di dekat gerobak sate. Karena hanya Indra yang mau menemaninya pergi mencari, maka tidak ada pilihan lain.
            “Sakit banget ya?” Zarel kembali meletakkan gelas itu di sampingnya lagi dan segera memegangi pundak Indra.
            Pencahayaan di tempat itu tidak terlalu cukup, akibatnya Zarel tidak bisa melihat dengan jelas raut wajah Indra sekarang. Namun, ia yakin betapa sakitnya yang dirasakan Indra.
            Mereka kini duduk di atas tempat bertingkat yang di beri keramik warna cokelat susu. Tidak terlalu banyak orang yang duduk di situ. Namun dari tempat itu Zarel bisa melihat sekeliling, karena tempat itu terletak di tengah-tengah area BKB. Ia kembali teringat Indra yang mengeluh pusing setelah ia membeli Jasuke.
            “Semangat, Dra. Kamu pasti bisa ngelawan penyakit kamu,” ucap Zarel sambil menepuk-nepuk pundak Indra.
            Zarel menjadi terbiasa dengan kondisi Indra yang seperti ini. Ia bahkan akan merasa canggung bila tiba-tiba penyakit Indra kambuh sedangkan ia tidak sedang berada di sisinya. Meski ada Ardi yang siap membantu Indra kapanpun, tapi entah mengapa ia menjadi senang ikut terlibat dengan kehidupan pemuda itu.
            “Zarel.”
            “Iya, Dra. Kenapa?” Tanyanya cemas.
            “Maaf udah buat kamu repot.”
            Zarel memperhatikan wajah Indra yang sudah tidak tertunduk lagi. Namun rona mukanya masih terlihat lesu. Mungkin Indra butuh istirahat.
            “Aku nggak merasa direpotin kok. Santai aja,” sahut Zarel, tersenyum melihat Indra.
            “Sekarang kita dimana?” Indra bertanya.
            “Kita lagi ada di tengah-tengah.”
            “Terus di sekeliling kita siapa?”
            Zarel mencoba memperhatikan sekitarnya. “Di sebelah kiri kita ada penjual mainan yang lagi berdebat sama seorang ibu yang anaknya merengek minta dibeliin mainan itu,” tutur Zarel. “Terus di depan kita. Agak jauh sih, ada penjual bakso bakar sama gerobaknya. Dia punya banyak pembeli.” Zarel kemudian mencoba memperhatikan sisi lainnya. “Di sebelah kanan kita ada tempat tanding catur.” Zarel menatap Indra dengan cemas. “Kamu bisa lihat mereka kan. Di sini ramai banget, Dra.”
            “Aku cuma bisa denger suara mereka.”
            Zarel menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan. Ia merasa ketakutan melihat Indra seperti ini. Tubuhnya sedikit gemetaran dengan kedua bola mata yang mulai memerah. Perlahan ia menurunkan telapak tangannya. “Kamu bisa lihat aku?”
            “Semuanya terlihat kabur, Za. Termasuk kamu,” Indra berkata lirih.
            Zarel merasakan lututnya lemas. Jantungnya benar-benar berdetak cepat. Mengapa hatinya menjadi pedih saat Indra berkata demikian.
            “Za, bisa kita pulang sekarang?”
            Zarel tidak berkata apa-apa. Ia segera menaikkan lengan Indra ke atas pundaknya. Sepanjang jalan menemui ketiga temannya, Zarel tak henti-hentinya membagi tangannya untuk Indra dan untuk air matanya yang mengucur.
***


No comments:

Post a Comment