Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 13

            Plak!
            Zarel langsung memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan Darka.
            “Sampai kapan kamu mau main kasar terus sama aku?” Zarel berteriak kencang. Tali pengikat emosinya sudah renggang. Tidak lagi ingin selalu mengalah.
            “Sampai kamu jujur sama aku.”
            “Apa aku selama ini bohong?”
            “Yang tahu kamu bohong atau nggak, ya cuma diri kamu sendiri,” ucap Darka. Ia seperti habis makan bawang. Emosinya sungguh tidak terkontrol.
            “Aku bilang aku nggak bohong,” ujar Zarel dengan penuh penekanan. Lututnya sudah tidak mampu lagi untuk menopang badannya. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di kursi taman dengan kepala tertunduk.
            “Sering-sering aja bohong kayak gini!” Sergah Darka dengan mata menyalak geram.
            Jantungnya turun naik tidak teratur. Zarel merasakan badannya mulai gemetaran. Di tenggorokannya seperti berkumpul batu-batu kecil yang siap runtuh kapanpun itu. Ia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi Darka.
            “Aku nggak bohong, Ka. Aku nggak pergi berdua sama Indra. Ada Leandra, Fiona dan Ardi di sana.” Zarel mendongak cepat. Ia merasa kecewa melihat Darka tidak mempercayainya.
            “Tapi kenapa kamu nggak angkat telepon aku?” Darka menundukkan kepalanya menatap Zarel.
            “Aku nggak tahu kalau kamu telepon,” jawabnya pelan. Ia terpaksa berbohong.
            “Kamu nggak sadar aku nelpon atau kamu emang nggak mau di ganggu?”
            “Dua-duanya.” Zarel menjawab apa adanya.
            “Oh jadi sekarang kamu merasa kehadiran aku mengganggu kegiatan kamu? Iya, Za?” Indra tersenyum kering.
            “Bukan gitu, Ka. Tapi ada saatnya dimana aku pengen sama mereka. Tanpa kamu harus ikut campur.”
            “Aku udah bilang berapa kali sama kamu, hah? Aku itu pacar kamu. Jadi kamu harus ngeduluin aku daripada temen-temen kamu itu,” teriaknya lantang.
            Zarel sudah tidak tahan lagi dengan kondisi seperti ini. Semakin ia diam, semakin Darka menekannya.
            “Ka, aku nggak mungkin selamanya sama kamu. Disaat nggak ada kamu, cuma mereka yang nemenin aku,” Zarel balas meneriaki Darka.
            “Tapi kamu selalu memprioritaskan mereka lebih dulu. Bukan aku.”
            “Aku selalu duluin kamu, Ka. Apa aku harus selalu batalin janji aku sama mereka saat tiba-tiba kamu butuh aku?” Zarel memberanikan menatap mata Darka. “Kapan kamu mau ngerti aku?”
            “Aku kurang ngerti apa lagi sama kamu?” Darka menunjuk Zarel dengan muka garang.
            Di taman yang cukup luas itu dan di hari yang belum terlalu malam, bukan hanya mereka berdua yang berada di situ. Ada cukup banyak pasang mata di taman itu. Tapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya.
            “Kamu cuma ngerti ngerti sama diri kamu sendiri.” Zarel meneriaki Darka yang berdiri kokoh di hadapannya.
            “Kamu yang nggak pernah sadar bahwa aku punya cara sendiri buat mahamin kamu.”
            “Dengan cara yang selalu marah-marah? Selalu main tangan kalau aku kamu anggap aku salah? Apa itu cara kamu, Ka?” Tanpa ia sadari air matanya mulai mengucur pelan. “Apa itu?” Tanyanya tersedu-sedu.
            “Za, aku bukannya mau buat kamu terbebani sama sikap aku. Aku cuma pengen kamu selalu sama aku.” Darka mulai menurunkan nada bicaranya.
            Zarel masih sibuk menghapus air matanya yang tidak kunjung berhenti. “Aku udah bilang, kita nggak mungkin bisa sama-sama terus.” Zarel berusaha mengatur pernapasannya.
            “Apa maksud kamu dengan nggak mungkin selamanya sama aku?” Darka menurunkan nada suaranya.
            “Aku nggak bisa jamin kita bisa terus lanjut,” ucap Zarel pelan.
            “Aku yang bakal ngejamin kalau kita bisa terus lanjut.” Darka menatap Zarel lekat-lekat.
            “Kita terlalu banyak beda, Ka,” Zarel berkata. Ia kembali menduduki kursi taman yang panjang itu.
            Darka mengikutinya dengan duduk di samping Zarel. “Kita dipertemukan untuk menyatukan perbedaan. Aku butuh kamu, Za, untuk menyatukan itu,” ucapnya pelan.
            “Maaf, Ka. Nyatanya aku nggak bisa menyatukan itu. Kamu salah orang.”
            “Za.” Darka menggenggam tangan Zarel yang dingin. Namun Zarel berusaha melepaskannya.
            “Aku jenuh, Ka.”
            “Apa maksud kamu dengan jenuh?”
            “Aku pikir dengan mengalah, aku bisa melunakkan hati kamu. Tapi ternyata nggak,” ujar Zarel.
            Darka mendekatkan tangan Zarel ke dadanya. “Hati ini sudah di tangan kamu, Za.”
            Zarel memandang pemuda dihadapannya itu dengan penuh arti. Apa yang ia jalani selama delapan bulan bersama Darka, ternyata tidak juga membuat pemuda itu merubah sikapnya. Itu membuat Zarel kecewa.
            “Aku akan melepaskan hati itu dan mengembalikannya ketempat semula.”
            “Hati ini akan tetap berada di tempat yang semestinya. Nggak akan pernah berpindah.” Darka tetap bersikukuh.
            “Maafin aku, Ka.” Zarel memalingkan wajahnya dari Darka. Ia sudah memutuskan untuk mengakhiri semuanya malam ini.
“Za, kamu nggak bermaksud untuk mengakhiri semua ini, kan?” Darka memegang kedua pundak Zarel. Memaksanya untuk menatap matanya.
“Sesuatu yang sudah kusut akan sulit untuk diluruskan. Termasuk hati.”
“Kita pasti bisa meluruskannya bersama-sama, Za. Aku dan kamu.”
            “Aku pengen sendirian dulu, Ka.”
            “Aku nggak akan biarin kamu sendirian, Za.”
“Sebaiknya kamu luruskan dulu egois kamu, Ka. Setelah itu kamu bisa melanjutkannya bersama yang lain.” Zarel berusaha melepaskan genggaman Darka dari pundaknya. Lalu menggapai tas kecil bertali panjang yang ia letakkan di sampingnya. Kemudian melangkah meninggalkan Darka.
Darka mencoba mengejar Zarel. “Za, kamu mau ninggalin aku?” Tanya Darka setelah ia berhasil menggenggam tangan Zarel.
“Maaf, Ka. Aku mau sendiri. Makasih untuk delapan bulannya,” ucap Zarel, tersenyum tawar ke arah Darka. Ia meletakkan telapak tangannya di atas tangan Darka dan berusaha melepaskannya.
            Zarel berjalan menyusuri jalanan yang ditumbuhi rumput-rumput hijau tipis itu. Tubuhnya sungguh lelah. Begitu pun dengan hati dan pikirannya. Tapi mulai sekarang semuanya sudah kembali normal dan ia bisa tersenyum dan tertawa tanpa beban.
***
            “Zarel.”
            Gadis itu segera menengadahkan kepalanya.
            “Darka. Mau ikut makan?”
            “Za, gue sama Fiona ke kelas duluan ya. Kita belum selesai buat tugas yang tadi,” ucap Leandra sambil melirik ke arah Fiona.
            “Iya, Za kita duluan ya.” Fiona tersenyum kepada Zarel. “Darka, kita duluan ya.” Fiona memaksakan mengangkat kedua ujung bibirnya.
            “Mau makan siang?” Zarel bertanya dengan santainya. Ia mengaduk-aduk ice lemon tea yang sudah hampir habis.
            “Aku yakin kamu semalam cuma lelah. Jadi omongan kamu ngawur. Aku maklum kok, Za.”
            “Nggak mau pesen minum dulu?”
            “Za, aku janji nggak bakal marah-marah lagi sama kamu. Aku akan lebih baik sama kamu.” Darka berusaha meraih tangan Zarel.
            “Ah, Buk,” panggil Zarel kepada seorang wanita tua pemilik kantin jurusan sambil melambaikan tangan.
            “Biar aku yang pesenin ya,” ucapnya kepada Darka. “Vanilla latte dingin satu, Buk.”
            Darka bertanya-tanya heran melihat sikap Zarel pagi ini.
            “Kamu kenapa?” Tanya Zarel.
            “Aku minta maaf, Za,” Darka bicara pelan.
            “Nggak apa-apa, Ka. Awalnya memang sulit. Tapi aku yakin kamu akan cepat terbiasa.”
            “Ucapan kamu semalam itu cuma ngawur, iya kan?”
            “Segala hal di atas bumi ini punya masanya sendiri-sendiri. Ada masanya meninggalkan dan ditinggalkan. Kapanpun itu kita harus siap.”
            “Tapi ini belum waktunya kamu buat ninggalin aku, Za?”
            “Kamu harus belajar ikhlas, Ka.”
            “Kamu mau mengkhianati aku juga?”
            Zarel bisa merasakan emosi Darka mulai tersulut.
“Apa kamu lupa, waktu itu kamu bilang aku mirip Mama kamu.” Zarel melayangkan pandangannnya ke arah lain. Mencoba mengingat-ingat ucapan Darka beberapa waktu silam. “Dan sekarang aku ngerti alasan kenapa Mama kamu bersikap seperti itu. May be dia tertekan.”
Pembicaraan mereka terhenti sejenak, karena Ibu kantin datang membawa pesanan Zarel.
“Silakan dinikmati,” ucap wanita itu ramah. Ia menaruh gelas kaca tinggi itu di hadapan Darka.
Zarel membalasnya dengan senyuman. “Terima kasih.”
“Kenapa kamu jadi kayak gini, Za?” Tanya Darka gusar.
“Aku belajar dari kamu, Ka. Aku belajar gimana caranya menjadi wanita yang selalu tegar di mata kamu,” tutur Zarel dengan santainya.
“Selain dia, belum ada satu orang pun yang sanggup menyakiti aku sedalam itu,” Indra berkata tegas kepada Zarel. Rahangnya menegang menatap gadis bermata hitam di hadapannya. Tangannya mengepal keras sampai buku-buku jarinya memutih. “Tapi sekarang─”
Zarel tahu siapa yang dimaksud Darka dengan ‘dia’.
Gadis itu tersenyum simpul menatap Darka. Sepertinya sebentar lagi Darka akan menamparnya untuk kesekian kalinya.
“Jangan bicara seolah-olah yang lain tidak tersakiti. Itu membuat dirimu terlihat lucu,” ungkap Zarel.
“Dikhianati oleh dua orang yang sangat dicintai. Apa itu tidak menyakitkan?”
“Kalau kamu nggak merubah sikap kamu, kamu bakal terus diperlakukan sama seperti ini.”
“Apa alasannya?” Darka menyolot.
“Karena keegoisan cuma bikin orang di sekitar kamu nggak betah. Makanya mereka akan lebih memilih menjauh dari kamu.”
“Jadi sekarang kamu sadar?’
            “Sifat dan sikap kamu yang menyadarkan aku kalau kamu bukan yang terbaik.”
            “Jadi kamu anggap cowok itu lebih baik daripada aku? Iya?” Darka meninggikan suaranya.
            “Maksud kamu Indra?”
            Darka tidak menjawab pertanyaannya. Sudah jelas yang dimaksud Darka pasti adalah Indra.
            “Iya. Seenggaknya dia lebih bisa menghargai wanita.” Zarel melanjutkan ucapannya.
            “Apa yang kamu lihat dari cowok itu, Za?” Tanya Darka geram.
            Orang-orang di kantin ini mulai melirik ke arah mereka. Zarel sadar amarah Darka yang sudah membangunkan perhatian orang-orang di sini. Tapi ia sama sekali tidak menghiraukan tatapan penuh tanya yang ditujukan mereka kepadanya.
            Zarel masih membungkam mulutnya. Tidak kunjung menjawab pertanyaan Darka.
            “Dia itu buta. Apa bagusnya dia.” Raut wajah tidak senang jelas sekali tergambar di wajah Darka.
            Zarel mulai pegal hati menghadapi Darka.
            “Dia buta mata tapi nggak buta hati.” Zarel tersenyum simpul melihat Darka.
            “Kamu nggak akan bahagia, Za.’
            Zarel masih mengulas senyumnya. Ia betul-betul harus menata hatinya di depan Darka.
            “Aku akan kasih kabar ke kamu kalau aku nggak bahagia. Dan di saat itu kamu bisa datang.”
            Darka menaikkan sebelah alisnya. “Oke. I’ll waiting for you.
***

No comments:

Post a Comment