Bagian 13
Plak!
Zarel
langsung memegangi pipinya yang sakit akibat tamparan Darka.
“Sampai kapan kamu mau main kasar
terus sama aku?” Zarel berteriak kencang. Tali pengikat emosinya sudah renggang.
Tidak lagi ingin selalu mengalah.
“Sampai kamu jujur sama aku.”
“Apa aku selama ini bohong?”
“Yang tahu kamu bohong atau nggak,
ya cuma diri kamu sendiri,” ucap Darka. Ia seperti habis makan bawang. Emosinya
sungguh tidak terkontrol.
“Aku bilang aku nggak bohong,” ujar
Zarel dengan penuh penekanan. Lututnya sudah tidak mampu lagi untuk menopang
badannya. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di kursi taman dengan kepala
tertunduk.
“Sering-sering aja bohong kayak gini!”
Sergah Darka dengan mata menyalak geram.
Jantungnya turun naik tidak teratur.
Zarel merasakan badannya mulai gemetaran. Di tenggorokannya seperti berkumpul
batu-batu kecil yang siap runtuh kapanpun itu. Ia berusaha mengumpulkan
keberaniannya untuk menghadapi Darka.
“Aku nggak bohong, Ka. Aku nggak
pergi berdua sama Indra. Ada Leandra, Fiona dan Ardi di sana.” Zarel mendongak
cepat. Ia merasa kecewa melihat Darka tidak mempercayainya.
“Tapi kenapa kamu nggak angkat
telepon aku?” Darka menundukkan kepalanya menatap Zarel.
“Aku nggak tahu kalau kamu telepon,”
jawabnya pelan. Ia terpaksa berbohong.
“Kamu nggak sadar aku nelpon atau
kamu emang nggak mau di ganggu?”
“Dua-duanya.” Zarel menjawab apa
adanya.
“Oh jadi sekarang kamu merasa
kehadiran aku mengganggu kegiatan kamu? Iya, Za?” Indra tersenyum kering.
“Bukan gitu, Ka. Tapi ada saatnya
dimana aku pengen sama mereka. Tanpa kamu harus ikut campur.”
“Aku udah bilang berapa kali sama
kamu, hah? Aku itu pacar kamu. Jadi kamu harus ngeduluin aku daripada
temen-temen kamu itu,” teriaknya lantang.
Zarel sudah tidak tahan lagi dengan
kondisi seperti ini. Semakin ia diam, semakin Darka menekannya.
“Ka, aku nggak mungkin selamanya
sama kamu. Disaat nggak ada kamu, cuma mereka yang nemenin aku,” Zarel balas
meneriaki Darka.
“Tapi kamu selalu memprioritaskan
mereka lebih dulu. Bukan aku.”
“Aku selalu duluin kamu, Ka. Apa aku
harus selalu batalin janji aku sama mereka saat tiba-tiba kamu butuh aku?”
Zarel memberanikan menatap mata Darka. “Kapan kamu mau ngerti aku?”
“Aku kurang ngerti apa lagi sama
kamu?” Darka menunjuk Zarel dengan muka garang.
Di taman yang cukup luas itu dan di
hari yang belum terlalu malam, bukan hanya mereka berdua yang berada di situ.
Ada cukup banyak pasang mata di taman itu. Tapi mereka sama sekali tidak
menghiraukannya.
“Kamu cuma ngerti ngerti sama diri
kamu sendiri.” Zarel meneriaki Darka yang berdiri kokoh di hadapannya.
“Kamu yang nggak pernah sadar bahwa
aku punya cara sendiri buat mahamin kamu.”
“Dengan cara yang selalu marah-marah?
Selalu main tangan kalau aku kamu anggap aku salah? Apa itu cara kamu, Ka?”
Tanpa ia sadari air matanya mulai mengucur pelan. “Apa itu?” Tanyanya
tersedu-sedu.
“Za, aku bukannya mau buat kamu
terbebani sama sikap aku. Aku cuma pengen kamu selalu sama aku.” Darka mulai
menurunkan nada bicaranya.
Zarel masih sibuk menghapus air
matanya yang tidak kunjung berhenti. “Aku udah bilang, kita nggak mungkin bisa
sama-sama terus.” Zarel berusaha mengatur pernapasannya.
“Apa maksud kamu dengan nggak mungkin
selamanya sama aku?” Darka menurunkan nada suaranya.
“Aku nggak bisa jamin kita bisa
terus lanjut,” ucap Zarel pelan.
“Aku yang bakal ngejamin kalau kita
bisa terus lanjut.” Darka menatap Zarel lekat-lekat.
“Kita terlalu banyak beda, Ka,”
Zarel berkata. Ia kembali menduduki kursi taman yang panjang itu.
Darka mengikutinya dengan duduk di
samping Zarel. “Kita dipertemukan untuk menyatukan perbedaan. Aku butuh kamu,
Za, untuk menyatukan itu,” ucapnya pelan.
“Maaf, Ka. Nyatanya aku nggak bisa
menyatukan itu. Kamu salah orang.”
“Za.” Darka menggenggam tangan Zarel
yang dingin. Namun Zarel berusaha melepaskannya.
“Aku jenuh, Ka.”
“Apa maksud kamu dengan jenuh?”
“Aku pikir dengan mengalah, aku bisa
melunakkan hati kamu. Tapi ternyata nggak,” ujar Zarel.
Darka mendekatkan tangan Zarel ke
dadanya. “Hati ini sudah di tangan kamu, Za.”
Zarel memandang pemuda dihadapannya
itu dengan penuh arti. Apa yang ia jalani selama delapan bulan bersama Darka,
ternyata tidak juga membuat pemuda itu merubah sikapnya. Itu membuat Zarel
kecewa.
“Aku akan melepaskan hati itu dan
mengembalikannya ketempat semula.”
“Hati ini akan tetap berada di
tempat yang semestinya. Nggak akan pernah berpindah.” Darka tetap bersikukuh.
“Maafin aku, Ka.” Zarel memalingkan
wajahnya dari Darka. Ia sudah memutuskan untuk mengakhiri semuanya malam ini.
“Za,
kamu nggak bermaksud untuk mengakhiri semua ini, kan?” Darka memegang kedua
pundak Zarel. Memaksanya untuk menatap matanya.
“Sesuatu
yang sudah kusut akan sulit untuk diluruskan. Termasuk hati.”
“Kita
pasti bisa meluruskannya bersama-sama, Za. Aku dan kamu.”
“Aku pengen sendirian dulu, Ka.”
“Aku nggak akan biarin kamu
sendirian, Za.”
“Sebaiknya
kamu luruskan dulu egois kamu, Ka. Setelah itu kamu bisa melanjutkannya bersama
yang lain.” Zarel berusaha melepaskan genggaman Darka dari pundaknya. Lalu
menggapai tas kecil bertali panjang yang ia letakkan di sampingnya. Kemudian
melangkah meninggalkan Darka.
Darka
mencoba mengejar Zarel. “Za, kamu mau ninggalin aku?” Tanya Darka setelah ia berhasil
menggenggam tangan Zarel.
“Maaf,
Ka. Aku mau sendiri. Makasih untuk delapan bulannya,” ucap Zarel, tersenyum
tawar ke arah Darka. Ia meletakkan telapak tangannya di atas tangan Darka dan
berusaha melepaskannya.
Zarel berjalan menyusuri jalanan yang
ditumbuhi rumput-rumput hijau tipis itu. Tubuhnya sungguh lelah. Begitu pun
dengan hati dan pikirannya. Tapi mulai sekarang semuanya sudah kembali normal
dan ia bisa tersenyum dan tertawa tanpa beban.
***
“Zarel.”
Gadis itu segera menengadahkan
kepalanya.
“Darka. Mau ikut makan?”
“Za, gue sama Fiona ke kelas duluan
ya. Kita belum selesai buat tugas yang tadi,” ucap Leandra sambil melirik ke
arah Fiona.
“Iya, Za kita duluan ya.” Fiona
tersenyum kepada Zarel. “Darka, kita duluan ya.” Fiona memaksakan mengangkat
kedua ujung bibirnya.
“Mau makan siang?” Zarel bertanya
dengan santainya. Ia mengaduk-aduk ice
lemon tea yang sudah hampir habis.
“Aku yakin kamu semalam cuma lelah.
Jadi omongan kamu ngawur. Aku maklum kok, Za.”
“Nggak mau pesen minum dulu?”
“Za, aku janji nggak bakal
marah-marah lagi sama kamu. Aku akan lebih baik sama kamu.” Darka berusaha
meraih tangan Zarel.
“Ah, Buk,” panggil Zarel kepada
seorang wanita tua pemilik kantin jurusan sambil melambaikan tangan.
“Biar aku yang pesenin ya,” ucapnya
kepada Darka. “Vanilla latte dingin
satu, Buk.”
Darka bertanya-tanya heran melihat
sikap Zarel pagi ini.
“Kamu kenapa?” Tanya Zarel.
“Aku minta maaf, Za,” Darka bicara
pelan.
“Nggak apa-apa, Ka. Awalnya memang
sulit. Tapi aku yakin kamu akan cepat terbiasa.”
“Ucapan kamu semalam itu cuma
ngawur, iya kan?”
“Segala hal di atas bumi ini punya
masanya sendiri-sendiri. Ada masanya meninggalkan dan ditinggalkan. Kapanpun
itu kita harus siap.”
“Tapi ini belum waktunya kamu buat
ninggalin aku, Za?”
“Kamu harus belajar ikhlas, Ka.”
“Kamu mau mengkhianati aku juga?”
Zarel bisa merasakan emosi Darka
mulai tersulut.
“Apa
kamu lupa, waktu itu kamu bilang aku mirip Mama kamu.” Zarel melayangkan
pandangannnya ke arah lain. Mencoba mengingat-ingat ucapan Darka beberapa waktu
silam. “Dan sekarang aku ngerti alasan kenapa Mama kamu bersikap seperti itu. May be dia tertekan.”
Pembicaraan
mereka terhenti sejenak, karena Ibu kantin datang membawa pesanan Zarel.
“Silakan
dinikmati,” ucap wanita itu ramah. Ia menaruh gelas kaca tinggi itu di hadapan
Darka.
Zarel
membalasnya dengan senyuman. “Terima kasih.”
“Kenapa
kamu jadi kayak gini, Za?” Tanya Darka gusar.
“Aku
belajar dari kamu, Ka. Aku belajar gimana caranya menjadi wanita yang selalu
tegar di mata kamu,” tutur Zarel dengan santainya.
“Selain
dia, belum ada satu orang pun yang sanggup menyakiti aku sedalam itu,” Indra
berkata tegas kepada Zarel. Rahangnya menegang menatap gadis bermata hitam di
hadapannya. Tangannya mengepal keras sampai buku-buku jarinya memutih. “Tapi sekarang─”
Zarel
tahu siapa yang dimaksud Darka dengan ‘dia’.
Gadis
itu tersenyum simpul menatap Darka. Sepertinya sebentar lagi Darka akan
menamparnya untuk kesekian kalinya.
“Jangan
bicara seolah-olah yang lain tidak tersakiti. Itu membuat dirimu terlihat lucu,”
ungkap Zarel.
“Dikhianati
oleh dua orang yang sangat dicintai. Apa itu tidak menyakitkan?”
“Kalau
kamu nggak merubah sikap kamu, kamu bakal terus diperlakukan sama seperti ini.”
“Apa
alasannya?” Darka menyolot.
“Karena
keegoisan cuma bikin orang di sekitar kamu nggak betah. Makanya mereka akan
lebih memilih menjauh dari kamu.”
“Jadi
sekarang kamu sadar?’
“Sifat dan sikap kamu yang
menyadarkan aku kalau kamu bukan yang terbaik.”
“Jadi kamu anggap cowok itu lebih
baik daripada aku? Iya?” Darka meninggikan suaranya.
“Maksud kamu Indra?”
Darka tidak menjawab pertanyaannya.
Sudah jelas yang dimaksud Darka pasti adalah Indra.
“Iya. Seenggaknya dia lebih bisa
menghargai wanita.” Zarel melanjutkan ucapannya.
“Apa yang kamu lihat dari cowok itu,
Za?” Tanya Darka geram.
Orang-orang di kantin ini mulai
melirik ke arah mereka. Zarel sadar amarah Darka yang sudah membangunkan
perhatian orang-orang di sini. Tapi ia sama sekali tidak menghiraukan tatapan
penuh tanya yang ditujukan mereka kepadanya.
Zarel masih membungkam mulutnya.
Tidak kunjung menjawab pertanyaan Darka.
“Dia itu buta. Apa bagusnya dia.”
Raut wajah tidak senang jelas sekali tergambar di wajah Darka.
Zarel mulai pegal hati menghadapi
Darka.
“Dia buta mata tapi nggak buta
hati.” Zarel tersenyum simpul melihat Darka.
“Kamu nggak akan bahagia, Za.’
Zarel masih mengulas senyumnya. Ia
betul-betul harus menata hatinya di depan Darka.
“Aku akan kasih kabar ke kamu kalau
aku nggak bahagia. Dan di saat itu kamu bisa datang.”
Darka menaikkan sebelah alisnya.
“Oke. I’ll waiting for you.”
***
No comments:
Post a Comment