Bagian 12
Tidak
ada alasan bagi Zarel untuk menolak ajakan Indra dan Ardi. Ia merasa nyaman
saat didekat mereka berdua, apalagi didekat Indra.
“Udah sampai,” teriak Ardi yang
duduk di belakang setir. Ia mematikan mesin mobilnya dan segera turun.
Zarel, Indra, Leandra dan Fiona pun
ikut turun dari kijang milik Ardi.
“Wah, lo bener, Za. Keren ya,” ucap
Ardi terkagum-kagum.
Zarel mengembangkan bibirnya
menanggapi ucapan Ardi. Ia masih ingat pertama kali ke tempat ini, Darka orang
pertama yang mengajaknya ke sini. Melihat sungai di malam hari di bawah sinar
bulan dan bintang. Ia sungguh merindukan suasana itu.
“Nah, Dra. Ini namanya BKB,” Ardi
memberitahu Indra.
“Nggak terlalu jelas.” Indra mencoba
menggerak-gerakkan kepalanya. Mencoba menatap jauh memperhatikan para penjual
makanan.
Zarel mencoba menangkap apa yang
dikatakan Indra. Ia merasa kasihan melihat Indra yang tidak mampu menatap
seluruh tempat ini.
“Kita ke sana yok,” ajak Leandra
kepada mereka semua.
Batu-batu pelataran BKB masih sama
dinginnya seperti delapan bulan silam. Saat ia dan Darka pertama kali ke sini. Pagat-pagar
beton pendek yang cukup lebar untuk di duduki dan sederet lampu-lampu penerang
dengan jarak masing-masing satu meter
yang berdiri di atas pagar beton itu, juga masih sama. Zarel menyilangkan kedua
tangannya di depan dada. Menghalau angin malam yang semakin dingin. Ia berjalan
pelan sambil menatap ke sekeliling tempat itu. Aroma makanan yang saling
bercampur satu sama lain, semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Namun,
Zarel merasakan ada yang berbeda saat ini. Ia menatap pemuda yang berdiri
membelakanginya. Indra yang membuat tempat ini menjadi berbeda.
“Ada banyak jualan makanan di sini─”
Zarel mendengar Leandra dan Fiona memberitahu
Indra dan Ardi dengan bergaya seperti guide.
Ia melangkah mendekati mereka berempat. Mensejajarkan diri dengan Indra.
Tiba-tiba Zarel memegangi perutnya. Ada yang mengganggu, pikirnya.
“Mie tek-tek yok,” ucap Zarel sambil
menatap keempat temannya penuh harap.
“Hmm...Ayok,” sahut Ardi semangat.
Dari sekian banyak penjual yang
berjejer mengelilingi tempat yang cukup luas itu, mereka memilih mie tek-tek
sebagai menu pembuka. Zarel tahu dimana letak penjual mie tek-tek yang enak
menurutnya. Mereka berjalan melewati para penjual yang sibuk dengan dagangan
mereka di bawah lampu dengan pencahayaan yang minim.
“Ada jual kerak telor juga ya?”
Tanya Indra kepada Zarel yang berjalan di sampingnya.
“Ada. Ntar kita coba ya,” ajak
Zarel. “Nah ini tempatnya.” Zarel menghentikan langkahnya. Melirik gerobak
bertuliskan ‘Mie Tek-Tek’.
Mereka melihat seorang laki-laki
yang sudah berumur duduk di belakang penggorengan dengan spatula di tangan
kananya.
“Pak,
5 piring ya,” ucap Zarel setelah mendekati laki-laki paruh baya itu.
Mereka
duduk di atas kursi-kursi plastik kecil tanpa sandaran yang sengaja disiapkan untuk
pembeli.
“Kayaknya
enak, Za,” komentar Ardi.
“Cobain
aja ntar.”
“Untung
gue dari rumah belum makan,” ujar Leandra sambil mesem-mesem.
“Gue
juga. Gue tahu banget sifat Zarel. Kalau ngasih tahu tempat yang enak, pasti
ada makanannya,” timpal Fiona.
Zarel
menyadari Indra melihatnya. Dibalasnya tatapan Indra. Mereka berdua saling
tersenyum satu sama lain.
“Ini
mienya.” Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memberitahukan sesuatu.
Zarel
segera memalingkan wajahnya. Menyambut piring berisi mie yang diulurkan ke
arahnya. “Makasih, Buk,” ucapnya, tersenyum ramah kepada wanita itu.
Perlahan,
mereka menyantap hidangan yang masih hangat itu.
“Gimana,
Ar. Enak nggak?” Fiona bertanya.
Ardi
masih dalam tahap mengunyah mienya. Ia hanya mengacungkan jempolnya mewakili
isi hatinya. Zarel sempat melirik tingkah Ardi dan tersenyum. Suasana makan
mereka menjadi ramai saat tiba-tiba lima orang pengamen cilik datang dan
menyanyikan lagu yang tidak terlalu jelas. Tidak ada yang berkomentar, hanya
sepiring mie dan lantunan lagu berantakan yang menemani mereka.
***
Mereka berjalan melewati para
penjual mainan di sekitar tempat itu. Sesekali mereka berhenti sejenak dan
mengabadikan momen malam ini, berfoto bersama Benteng Kuto Besak dan Jembatan
Ampera sebagai latarnya. Bahkan Ardi hampir memotret semua sudut di tempat ini.
“Oh iya, kita nyobain kerak telor
yok,” ajak Zarel.
“Wah, itu kan makanan yang di
cari-cari Indra selama ini.” Ardi sumringah.
“Di sini emang susah, Dra, nyari
makanan kayak gitu,” timpal Leandra.
Indra manggut-manggut tanda
mengerti. “Pas banget emang waktunya. Gue sekarang lagi ngidam tuh makanan,”
tuturnya.
Mereka berjalan mencari penjual
dengan gerobak bertuliskan kerak telor. Sepanjang perjalanan, mereka melihat
ada banyak pengamen yang bernyanyi untuk menghibur para pembeli di tempat itu.
Terkadang Ardi pun ikut bernyanyi kecil mendengar nyanyian pengamen tersebut.
Berbeda dengan Indra yang hanya mengatupkan bibirnya tanpa banyak komentar. Dan
akhirnya tidak butuh waktu lama untuk menemukan gerobak kerak telur itu.
“Wah,
ramai banget,” kata Ardi, menatap pembeli yang duduk memenuhi kursi pembeli.
Kursi yang sama dengan yang mereka duduki di tempat mie tek-tek.
Wajar
saja pembeli makanan ini begitu ramai. Hanya satu gerobak yang menjual makanan
asli Betawi tersebut di tempat ini. Setelah memesan, Zarel mengajak mereka
untuk duduk di atas pagar yang telah disemen. Dari tempat itu, mereka bisa
dengan bebas menyaksikan Sungai Musi yang terbentang luas. Mereka duduk
berjejer, menyaksikan keindahan malam kota Palembang
“Kamu bisa lihat sungai itu nggak?”
Zarel bertanya kepada Indra yang duduk di sampingnya.
“Nggak jelas,” jawabnya singkat.
“Sungainya cantik. Apalagi kena
pantulan sinar bulan, jadi bercahaya,” tutur Zarel, tersenyum menatap Indra. “Itu
Jembatan Ampera.” Tunjuk gadis itu tinggi ke arah Barat Laut. Lampu-lampu kecil
berwarna-warni tampak begitu cantik mengelilingi jembatan itu.
“Pasti cantik ya,” Indra
berkomentar.
Apa sudah sebegitu parahnya penyakit
itu, Zarel membatin. Indra mungkin tidak menyadari kalau Zarel sedang
menatapnya.
“Dra,” panggil Zarel.
Indra menoleh menatap Zarel. Ada
segurat pertanyaan yang mungkin akan disampaikan gadis itu kepadanya.
“Kamu...” Zarel menghentikan
ucapannya. Hatinya ragu untuk menanyakan hal itu kepada Indra. “Kamu...” ia
mengulanginya lagi.
“Nak, ini kerak telornya.” Tiba-tiba
seorang bapak tua menyodorkan dua piringan yang dilapisi kertas cokelat
berisikan kerak telor ke arahnya dan Indra
“Ah, iya, Pak. Makasih ya,” ucap
Zarel terbata. Ia merasa beruntung dengan kedatangan Bapak itu. Setidaknya ia
tidak harus menanyakan hal itu sekarang kepada Indra.
“Kamu tadi mau ngomong apa?” Indra
bertanya kepada Zarel.
Zarel segera memutar otak untuk
menjawab pertanyaan Indra. “Nggak kok. Cuma mau nanya. Kamu udah lama ya nggak
nyicip ini?” Tanya Zarel sambil mencomot sedikit kerak telor miliknya. “Hmm..
enak,” ucapnya senang.
“Lumayan sih. Kebetulan kalau di
Jakarta kan agak lebih mudah nyarinya.” Indra ikut menikmati kerak telurnya.
“Apa rasanya seenak di Jakarta?”
Indra tersenyum. “Ya, sama. Makan
ini dan duduk kayak gini, berasa kayak lagi di Jakarta,” ujarnya.
Zarel membalas senyum pemuda itu
dengan manis. Ia senang jika Indra menghargai rekomendasinya mengenai tempat
ini.
“Kamu kangen mereka?” Tanya Zarel
lagi.
“Siapa?”
“Keluarga di sana.”
“Kangen itu pasti. Tapi
Palembang-Jakarta itu nggak deket.”
“Kalau kamu kangen Jakarta, kamu
bisa ajak aku untuk makan ini dan duduk di sini. Aku seneng kok nemenin kamu,”
tutur Zarel.
Indra hanya menjawabnya dengan
senyum yang dikulum.
“Di sana..” Zarel lagi-lagi
menghentikan ucapannya.
Indra menatap heran. Ia menunggu
kelanjutan ucapan gadis itu. “Kenapa?” Tanyanya kemudian, karena Zarel tak
kunjung melanjutkan kalimatnya.
“Di sana orang tua kamu kerja apa?”
Bukan itu yang sebenarnya ingin ia
tanyakan. Tapi mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya masalah lain
lagi. Entah mengapa Zarel begitu ingin tahu masalah pribadi Indra.
“Ayah seorang pekerja swasta. Ibu
sendiri mengajar di salah satu SMA di sana,” jawab Indra.
Zarel menyimak ucapan Indra dengan
cermat. “Oh jadi kamu anak Ibu Guru,” ucapnya sambil mengulas senyum.
“Kamu sendiri?” Indra balik
bertanya.
“Papa aku kerjaannya sama kayak Ayah
kamu, swasta juga. Kalau Mama, ibu rumah tangga. Aku punya adik perempuan. Tapi
aku nggak punya kakak. Jadi kita adalah empat orang dalam satu keluarga yang
bahagia.” Zarel mengakhiri ucapannya dengan bibir terkembang.
Zarel melihat Indra tertawa kecil
mendengar ucapannya.
“Kok kamu ketawa?”
Indra langsung menghentikan tawanya.
“Kamu pikir aku mau sensus keluarga,” ledeknya.
Zarel memonyongkan bibirnya. “Aku
kan cuma mau ngasih informasi ke kamu,” ucapnya pelan.
Tiba-tiba ponsel milik Zarel
berdering. Ia lupa mengganti mode silent untuk nada deringnya. Alhasil Indra
meliriknya.
Darka.
Zarel menimang-nimang ponsel hitam
itu. Ia biarkan saja bunyi berisik itu berakhir dengan sendirinya. Namun Zarel
belum bisa bernapas lega. Karena lagi-lagi ponsel itu berbunyi lagi. Dan Zarel
tetap bereaksi sama. Tidak menjawabnya.
“Nggak diangkat?” Indra bertanya
heran kepada Zarel.
Zarel melirik Indra. Ia diam saja
tanpa menjawab pertanyaan itu. Ardi, Leandra dan Fiona pun berhenti mengobrol
akibat bunyi ponselnya. Seperti mendengarkan seseorang bernyanyi.
“Kenapa?” Indra bertanya lagi.
“Males.”
Akhirnya deringan itu berhenti juga.
“Darka, Za?” Leandra berbisik kepada
Zarel. Kebetulan mereka duduk berjejer.
Zarel mengangguk pelan. Ia kembali
sibuk melepaskan kerak telor itu dari bagiannya. Dan Leandra kembali bergabung
dengan Ardi dan Fiona yang duduk berjejer di sampingnya.
“Ceritanya lagi ada yang menghindar
nih,” ledek Indra.
Zarel masih mengunci mulutnya.
Seperti tidak ingin membahas masalah itu.
“Menghindar itu cuma memberi
kenyamanan untuk sementara. Semakin dihindari kamu akan merasa terdesak terus.”
“Aku nggak menghindar. Cuma lagi
males aja.” Zarel akhirnya membuka mulutnya.
“Karena males jadinya ngindar. Iya
kan?”
“Iya. Aku sengaja menghindar,” jawab
Zarel menyerah.
“Aku bukannya bermaksud ikut campur
urusan kamu, Za. Tapi lebih baik kamu terbuka sama pasangan kamu,” saran Indra.
“Aku udah terbuka sama dia, Dra.
Tapi dia nggak bisa terima.” Zarel tersenyum hampa.
“Terus kamu diem aja?”
“Aku mau gimana lagi?”
“Kamu tinggalin aja dia.”
Zarel tercengang mendengar kalimat
terakhir Indra. Mengingat Indra adalah pribadi yang tidak terlalu peduli dengan
orang lain, berkata demikian adalah sebuah perubahan menurut Zarel.
Ia
mencoba melirik kerak telor milik Indra yang tinggal setengah. “Makanan lo
nggak terasa aneh kan?” Zarel kemudian memindahkan tatapannya ke Indra.
“Apa
punya lo rasanya aneh?” Tanya Indra cuek.
Zarel
spontan mencuil kerak telor milik Indra. Dikunyahnya makanan itu dengan
seksama. Kemudian berkata, “Rasanya sama persis dengan punya gue.”
“Bilang
aja kalau lo mau nambah.” Indra lantas menarik piringnya sedikit menjauhi
Zarel.
Zarel
menatap Indra dengan kesal. “Lo kan nyuruh gue nyicip tadi,” ucapnya setengah
berteriak. Membuat ketiga temannya tiba-tiba menoleh.
“Gue
suruh lo nyicip punya lo sendiri. Bukan punya gue,” ucap Indra santai
sambil
mendaratkan telunjuknya di atas hidung Zarel. Kemudian ia kembali menikmati
makanan yang
sudah tinggal setengah itu.
Zarel
membeku sesaat menyadari tingkah Indra barusan. Ia lantas memegangi hidungnya
dengan tangan kanannya. Perlahan ia menundukkan kepala. Dirabanya kedua pipinya
yang mulai terasa panas. Mengapa ia jadi
sepertinya, pikirnya.
“Za, punya lo belum abis juga?”
Leandra tiba-tiba mengagetkannya.
“Buat kita aja ya,” Fiona menimpali.
“Ah, iya-iya. Ambil aja,” jawab
Zarel terbata. Ia masih terbenam dalam kejadian sekilas itu.
“Di sini ada jual sate juga nggak?”
Indra bertanya mengagetkannya.
Zarel berusaha bersikap normal
kembali. “Ada. Kenapa? Mau lanjut sate?” Tanyanya.
“Mmm.. Iya.” Indra menyeringai
menatap Zarel.
“Oke. Kita lanjut sate.”
“Hah? Sate?” Leandra dan Fiona
tersentak kaget.
Zarel mengangguk mantap.
“Perut gue udah nggak muat lagi,”
Fiona mengeluh.
“Kalau perut gue masih muat kok,”
Ardi yang duduk di ujung langsung berteriak sambil memegangi perutnya.
***
“Dra,” panggil Zarel.
“Nggak apa-apa,” jawabnya tersendat.
Ia masih memegangi kepalanya.
“Perlu gue telpon Ardi?”
Indra menggeleng. Zarel yakin Indra
tidak ingin melihat Ardi cemas.
Zarel mengambil kembali gelas
plastik warna hijau polos yang ia letakkan di sampingya. Kembali mengaduk-aduk
jagung yang bercampur susu dan keju parut itu. Selera makannya mendadak hilang
akibat melihat kondisi Indra.
“Dra, maafin gue ya,” ucap Zarel
lirih.
Ia merasa bersalah karena mengajak
Indra menemaninya untuk mencari makanan yang sedang ia pegang sekarang. Mereka
berpisah dari Leandra, Fiona dan Ardi yang masih duduk di dekat gerobak sate.
Karena hanya Indra yang mau menemaninya pergi mencari, maka tidak ada pilihan
lain.
“Sakit banget ya?” Zarel kembali
meletakkan gelas itu di sampingnya lagi dan segera memegangi pundak Indra.
Pencahayaan di tempat itu tidak
terlalu cukup, akibatnya Zarel tidak bisa melihat dengan jelas raut wajah Indra
sekarang. Namun, ia yakin betapa sakitnya yang dirasakan Indra.
Mereka kini duduk di atas tempat
bertingkat yang di beri keramik warna cokelat susu. Tidak terlalu banyak orang
yang duduk di situ. Namun dari tempat itu Zarel bisa melihat sekeliling, karena
tempat itu terletak di tengah-tengah area BKB. Ia kembali teringat Indra yang
mengeluh pusing setelah ia membeli Jasuke.
“Semangat, Dra. Kamu pasti bisa
ngelawan penyakit kamu,” ucap Zarel sambil menepuk-nepuk pundak Indra.
Zarel menjadi terbiasa dengan
kondisi Indra yang seperti ini. Ia bahkan akan merasa canggung bila tiba-tiba
penyakit Indra kambuh sedangkan ia tidak sedang berada di sisinya. Meski ada
Ardi yang siap membantu Indra kapanpun, tapi entah mengapa ia menjadi senang
ikut terlibat dengan kehidupan pemuda itu.
“Zarel.”
“Iya, Dra. Kenapa?” Tanyanya cemas.
“Maaf udah buat kamu repot.”
Zarel memperhatikan wajah Indra yang
sudah tidak tertunduk lagi. Namun rona mukanya masih terlihat lesu. Mungkin
Indra butuh istirahat.
“Aku nggak merasa direpotin kok.
Santai aja,” sahut Zarel, tersenyum melihat Indra.
“Sekarang kita dimana?” Indra
bertanya.
“Kita lagi ada di tengah-tengah.”
“Terus di sekeliling kita siapa?”
Zarel mencoba memperhatikan
sekitarnya. “Di sebelah kiri kita ada penjual mainan yang lagi berdebat sama
seorang ibu yang anaknya merengek minta dibeliin mainan itu,” tutur Zarel.
“Terus di depan kita. Agak jauh sih, ada penjual bakso bakar sama gerobaknya.
Dia punya banyak pembeli.” Zarel kemudian mencoba memperhatikan sisi lainnya.
“Di sebelah kanan kita ada tempat tanding catur.” Zarel menatap Indra dengan
cemas. “Kamu bisa lihat mereka kan. Di sini ramai banget, Dra.”
“Aku cuma bisa denger suara mereka.”
Zarel menutup mulutnya dengan
sebelah telapak tangan. Ia merasa ketakutan melihat Indra seperti ini. Tubuhnya
sedikit gemetaran dengan kedua bola mata yang mulai memerah. Perlahan ia
menurunkan telapak tangannya. “Kamu bisa lihat aku?”
“Semuanya terlihat kabur, Za.
Termasuk kamu,” Indra berkata lirih.
Zarel merasakan lututnya lemas.
Jantungnya benar-benar berdetak cepat. Mengapa hatinya menjadi pedih saat Indra
berkata demikian.
“Za, bisa kita pulang sekarang?”
Zarel tidak berkata apa-apa. Ia
segera menaikkan lengan Indra ke atas pundaknya. Sepanjang jalan menemui ketiga
temannya, Zarel tak henti-hentinya membagi tangannya untuk Indra dan untuk air
matanya yang mengucur.
***
No comments:
Post a Comment