Labels

Saturday, March 16, 2013

Between


Bagian 12

            Tidak ada alasan bagi Zarel untuk menolak ajakan Indra dan Ardi. Ia merasa nyaman saat didekat mereka berdua, apalagi didekat Indra.
            “Udah sampai,” teriak Ardi yang duduk di belakang setir. Ia mematikan mesin mobilnya dan segera turun.
            Zarel, Indra, Leandra dan Fiona pun ikut turun dari kijang milik Ardi.
            “Wah, lo bener, Za. Keren ya,” ucap Ardi terkagum-kagum.
            Zarel mengembangkan bibirnya menanggapi ucapan Ardi. Ia masih ingat pertama kali ke tempat ini, Darka orang pertama yang mengajaknya ke sini. Melihat sungai di malam hari di bawah sinar bulan dan bintang. Ia sungguh merindukan suasana itu.
            “Nah, Dra. Ini namanya BKB,” Ardi memberitahu Indra.
            “Nggak terlalu jelas.” Indra mencoba menggerak-gerakkan kepalanya. Mencoba menatap jauh memperhatikan para penjual makanan.
            Zarel mencoba menangkap apa yang dikatakan Indra. Ia merasa kasihan melihat Indra yang tidak mampu menatap seluruh tempat ini.
            “Kita ke sana yok,” ajak Leandra kepada mereka semua.
            Batu-batu pelataran BKB masih sama dinginnya seperti delapan bulan silam. Saat ia dan Darka pertama kali ke sini. Pagat-pagar beton pendek yang cukup lebar untuk di duduki dan sederet lampu-lampu penerang dengan jarak masing-masing satu  meter yang berdiri di atas pagar beton itu, juga masih sama. Zarel menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menghalau angin malam yang semakin dingin. Ia berjalan pelan sambil menatap ke sekeliling tempat itu. Aroma makanan yang saling bercampur satu sama lain, semuanya masih sama, tidak ada yang berubah. Namun, Zarel merasakan ada yang berbeda saat ini. Ia menatap pemuda yang berdiri membelakanginya. Indra yang membuat tempat ini menjadi berbeda.
            “Ada banyak jualan makanan di sini─”
            Zarel mendengar Leandra dan Fiona memberitahu Indra dan Ardi dengan bergaya seperti guide. Ia melangkah mendekati mereka berempat. Mensejajarkan diri dengan Indra. Tiba-tiba Zarel memegangi perutnya. Ada yang mengganggu, pikirnya.
            “Mie tek-tek yok,” ucap Zarel sambil menatap keempat temannya penuh harap.
            “Hmm...Ayok,” sahut Ardi semangat.
            Dari sekian banyak penjual yang berjejer mengelilingi tempat yang cukup luas itu, mereka memilih mie tek-tek sebagai menu pembuka. Zarel tahu dimana letak penjual mie tek-tek yang enak menurutnya. Mereka berjalan melewati para penjual yang sibuk dengan dagangan mereka di bawah lampu dengan pencahayaan yang minim.
            “Ada jual kerak telor juga ya?” Tanya Indra kepada Zarel yang berjalan di sampingnya.
            “Ada. Ntar kita coba ya,” ajak Zarel. “Nah ini tempatnya.” Zarel menghentikan langkahnya. Melirik gerobak bertuliskan ‘Mie Tek-Tek’.
            Mereka melihat seorang laki-laki yang sudah berumur duduk di belakang penggorengan dengan spatula di tangan kananya.
“Pak, 5 piring ya,” ucap Zarel setelah mendekati laki-laki paruh baya itu.
Mereka duduk di atas kursi-kursi plastik kecil tanpa sandaran yang sengaja disiapkan untuk pembeli.
“Kayaknya enak, Za,” komentar Ardi.
“Cobain aja ntar.”
“Untung gue dari rumah belum makan,” ujar Leandra sambil mesem-mesem.
“Gue juga. Gue tahu banget sifat Zarel. Kalau ngasih tahu tempat yang enak, pasti ada makanannya,” timpal Fiona.
Zarel menyadari Indra melihatnya. Dibalasnya tatapan Indra. Mereka berdua saling tersenyum satu sama lain.
“Ini mienya.” Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memberitahukan sesuatu.
Zarel segera memalingkan wajahnya. Menyambut piring berisi mie yang diulurkan ke arahnya. “Makasih, Buk,” ucapnya, tersenyum ramah kepada wanita itu.
Perlahan, mereka menyantap hidangan yang masih hangat itu.
“Gimana, Ar. Enak nggak?” Fiona bertanya.
Ardi masih dalam tahap mengunyah mienya. Ia hanya mengacungkan jempolnya mewakili isi hatinya. Zarel sempat melirik tingkah Ardi dan tersenyum. Suasana makan mereka menjadi ramai saat tiba-tiba lima orang pengamen cilik datang dan menyanyikan lagu yang tidak terlalu jelas. Tidak ada yang berkomentar, hanya sepiring mie dan lantunan lagu berantakan yang menemani mereka.
***
            Mereka berjalan melewati para penjual mainan di sekitar tempat itu. Sesekali mereka berhenti sejenak dan mengabadikan momen malam ini, berfoto bersama Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera sebagai latarnya. Bahkan Ardi hampir memotret semua sudut di tempat ini.
            “Oh iya, kita nyobain kerak telor yok,” ajak Zarel.
            “Wah, itu kan makanan yang di cari-cari Indra selama ini.” Ardi sumringah.
            “Di sini emang susah, Dra, nyari makanan kayak gitu,” timpal Leandra.
            Indra manggut-manggut tanda mengerti. “Pas banget emang waktunya. Gue sekarang lagi ngidam tuh makanan,” tuturnya.
            Mereka berjalan mencari penjual dengan gerobak bertuliskan kerak telor. Sepanjang perjalanan, mereka melihat ada banyak pengamen yang bernyanyi untuk menghibur para pembeli di tempat itu. Terkadang Ardi pun ikut bernyanyi kecil mendengar nyanyian pengamen tersebut. Berbeda dengan Indra yang hanya mengatupkan bibirnya tanpa banyak komentar. Dan akhirnya tidak butuh waktu lama untuk menemukan gerobak kerak telur itu.
“Wah, ramai banget,” kata Ardi, menatap pembeli yang duduk memenuhi kursi pembeli. Kursi yang sama dengan yang mereka duduki di tempat mie tek-tek.
Wajar saja pembeli makanan ini begitu ramai. Hanya satu gerobak yang menjual makanan asli Betawi tersebut di tempat ini. Setelah memesan, Zarel mengajak mereka untuk duduk di atas pagar yang telah disemen. Dari tempat itu, mereka bisa dengan bebas menyaksikan Sungai Musi yang terbentang luas. Mereka duduk berjejer, menyaksikan keindahan malam kota Palembang
            “Kamu bisa lihat sungai itu nggak?” Zarel bertanya kepada Indra yang duduk di sampingnya.
            “Nggak jelas,” jawabnya singkat.
            “Sungainya cantik. Apalagi kena pantulan sinar bulan, jadi bercahaya,” tutur Zarel, tersenyum menatap Indra. “Itu Jembatan Ampera.” Tunjuk gadis itu tinggi ke arah Barat Laut. Lampu-lampu kecil berwarna-warni tampak begitu cantik mengelilingi jembatan itu.
            “Pasti cantik ya,” Indra berkomentar.
            Apa sudah sebegitu parahnya penyakit itu, Zarel membatin. Indra mungkin tidak menyadari kalau Zarel sedang menatapnya.
            “Dra,” panggil Zarel.
            Indra menoleh menatap Zarel. Ada segurat pertanyaan yang mungkin akan disampaikan gadis itu kepadanya.
            “Kamu...” Zarel menghentikan ucapannya. Hatinya ragu untuk menanyakan hal itu kepada Indra. “Kamu...” ia mengulanginya lagi.
            “Nak, ini kerak telornya.” Tiba-tiba seorang bapak tua menyodorkan dua piringan yang dilapisi kertas cokelat berisikan kerak telor ke arahnya dan Indra
            “Ah, iya, Pak. Makasih ya,” ucap Zarel terbata. Ia merasa beruntung dengan kedatangan Bapak itu. Setidaknya ia tidak harus menanyakan hal itu sekarang kepada Indra.
            “Kamu tadi mau ngomong apa?” Indra bertanya kepada Zarel.
            Zarel segera memutar otak untuk menjawab pertanyaan Indra. “Nggak kok. Cuma mau nanya. Kamu udah lama ya nggak nyicip ini?” Tanya Zarel sambil mencomot sedikit kerak telor miliknya. “Hmm.. enak,” ucapnya senang.
            “Lumayan sih. Kebetulan kalau di Jakarta kan agak lebih mudah nyarinya.” Indra ikut menikmati kerak telurnya.
            “Apa rasanya seenak di Jakarta?”
            Indra tersenyum. “Ya, sama. Makan ini dan duduk kayak gini, berasa kayak lagi di Jakarta,” ujarnya.
            Zarel membalas senyum pemuda itu dengan manis. Ia senang jika Indra menghargai rekomendasinya mengenai tempat ini.
            “Kamu kangen mereka?” Tanya Zarel lagi.
            “Siapa?”
            “Keluarga di sana.”
            “Kangen itu pasti. Tapi Palembang-Jakarta itu nggak deket.”
            “Kalau kamu kangen Jakarta, kamu bisa ajak aku untuk makan ini dan duduk di sini. Aku seneng kok nemenin kamu,” tutur Zarel.
            Indra hanya menjawabnya dengan senyum yang dikulum.
            “Di sana..” Zarel lagi-lagi menghentikan ucapannya.
            Indra menatap heran. Ia menunggu kelanjutan ucapan gadis itu. “Kenapa?” Tanyanya kemudian, karena Zarel tak kunjung melanjutkan kalimatnya.
            “Di sana orang tua kamu kerja apa?”
            Bukan itu yang sebenarnya ingin ia tanyakan. Tapi mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya masalah lain lagi. Entah mengapa Zarel begitu ingin tahu masalah pribadi Indra.
            “Ayah seorang pekerja swasta. Ibu sendiri mengajar di salah satu SMA di sana,” jawab Indra.
            Zarel menyimak ucapan Indra dengan cermat. “Oh jadi kamu anak Ibu Guru,” ucapnya sambil mengulas senyum.
            “Kamu sendiri?” Indra balik bertanya.
            “Papa aku kerjaannya sama kayak Ayah kamu, swasta juga. Kalau Mama, ibu rumah tangga. Aku punya adik perempuan. Tapi aku nggak punya kakak. Jadi kita adalah empat orang dalam satu keluarga yang bahagia.” Zarel mengakhiri ucapannya dengan bibir terkembang.
            Zarel melihat Indra tertawa kecil mendengar ucapannya.
            “Kok kamu ketawa?”
            Indra langsung menghentikan tawanya. “Kamu pikir aku mau sensus keluarga,” ledeknya.
            Zarel memonyongkan bibirnya. “Aku kan cuma mau ngasih informasi ke kamu,” ucapnya pelan.
            Tiba-tiba ponsel milik Zarel berdering. Ia lupa mengganti mode silent  untuk nada deringnya. Alhasil Indra meliriknya.
            Darka.
            Zarel menimang-nimang ponsel hitam itu. Ia biarkan saja bunyi berisik itu berakhir dengan sendirinya. Namun Zarel belum bisa bernapas lega. Karena lagi-lagi ponsel itu berbunyi lagi. Dan Zarel tetap bereaksi sama. Tidak menjawabnya.
            “Nggak diangkat?” Indra bertanya heran kepada Zarel.
            Zarel melirik Indra. Ia diam saja tanpa menjawab pertanyaan itu. Ardi, Leandra dan Fiona pun berhenti mengobrol akibat bunyi ponselnya. Seperti mendengarkan seseorang bernyanyi.
            “Kenapa?” Indra bertanya lagi.
            “Males.”
            Akhirnya deringan itu berhenti juga.
            “Darka, Za?” Leandra berbisik kepada Zarel. Kebetulan mereka duduk berjejer.
            Zarel mengangguk pelan. Ia kembali sibuk melepaskan kerak telor itu dari bagiannya. Dan Leandra kembali bergabung dengan Ardi dan Fiona yang duduk berjejer di sampingnya.
            “Ceritanya lagi ada yang menghindar nih,” ledek Indra.
            Zarel masih mengunci mulutnya. Seperti tidak ingin membahas masalah itu.
            “Menghindar itu cuma memberi kenyamanan untuk sementara. Semakin dihindari kamu akan merasa terdesak terus.”
            “Aku nggak menghindar. Cuma lagi males aja.” Zarel akhirnya membuka mulutnya.
            “Karena males jadinya ngindar. Iya kan?”
            “Iya. Aku sengaja menghindar,” jawab Zarel menyerah.
            “Aku bukannya bermaksud ikut campur urusan kamu, Za. Tapi lebih baik kamu terbuka sama pasangan kamu,” saran Indra.
            “Aku udah terbuka sama dia, Dra. Tapi dia nggak bisa terima.” Zarel tersenyum hampa.
            “Terus kamu diem aja?”
            “Aku mau gimana lagi?”
            “Kamu tinggalin aja dia.”
            Zarel tercengang mendengar kalimat terakhir Indra. Mengingat Indra adalah pribadi yang tidak terlalu peduli dengan orang lain, berkata demikian adalah sebuah perubahan menurut Zarel.
Ia mencoba melirik kerak telor milik Indra yang tinggal setengah. “Makanan lo nggak terasa aneh kan?” Zarel kemudian memindahkan tatapannya ke Indra.
“Apa punya lo rasanya aneh?” Tanya Indra cuek.
Zarel spontan mencuil kerak telor milik Indra. Dikunyahnya makanan itu dengan seksama. Kemudian berkata, “Rasanya sama persis dengan punya gue.”
“Bilang aja kalau lo mau nambah.” Indra lantas menarik piringnya sedikit menjauhi Zarel.
Zarel menatap Indra dengan kesal. “Lo kan nyuruh gue nyicip tadi,” ucapnya setengah berteriak. Membuat ketiga temannya tiba-tiba menoleh.
“Gue suruh lo nyicip punya lo sendiri. Bukan punya gue,” ucap Indra santai
sambil mendaratkan telunjuknya di atas hidung Zarel. Kemudian ia kembali menikmati
makanan yang sudah tinggal setengah itu.
Zarel membeku sesaat menyadari tingkah Indra barusan. Ia lantas memegangi hidungnya dengan tangan kanannya. Perlahan ia menundukkan kepala. Dirabanya kedua pipinya yang mulai terasa panas.  Mengapa ia jadi sepertinya, pikirnya.
            “Za, punya lo belum abis juga?”
            Leandra tiba-tiba mengagetkannya.
            “Buat kita aja ya,” Fiona menimpali.
            “Ah, iya-iya. Ambil aja,” jawab Zarel terbata. Ia masih terbenam dalam kejadian sekilas itu.
            “Di sini ada jual sate juga nggak?” Indra bertanya mengagetkannya.
            Zarel berusaha bersikap normal kembali. “Ada. Kenapa? Mau lanjut sate?” Tanyanya.
            “Mmm.. Iya.” Indra menyeringai menatap Zarel.
            “Oke. Kita lanjut sate.”
            “Hah? Sate?” Leandra dan Fiona tersentak kaget.
            Zarel mengangguk mantap.
            “Perut gue udah nggak muat lagi,” Fiona mengeluh.
            “Kalau perut gue masih muat kok,” Ardi yang duduk di ujung langsung berteriak sambil memegangi perutnya.
***
            “Dra,” panggil Zarel.
            “Nggak apa-apa,” jawabnya tersendat. Ia masih memegangi kepalanya.
            “Perlu gue telpon Ardi?”
            Indra menggeleng. Zarel yakin Indra tidak ingin melihat Ardi cemas.
            Zarel mengambil kembali gelas plastik warna hijau polos yang ia letakkan di sampingya. Kembali mengaduk-aduk jagung yang bercampur susu dan keju parut itu. Selera makannya mendadak hilang akibat melihat kondisi Indra.
            “Dra, maafin gue ya,” ucap Zarel lirih.
            Ia merasa bersalah karena mengajak Indra menemaninya untuk mencari makanan yang sedang ia pegang sekarang. Mereka berpisah dari Leandra, Fiona dan Ardi yang masih duduk di dekat gerobak sate. Karena hanya Indra yang mau menemaninya pergi mencari, maka tidak ada pilihan lain.
            “Sakit banget ya?” Zarel kembali meletakkan gelas itu di sampingnya lagi dan segera memegangi pundak Indra.
            Pencahayaan di tempat itu tidak terlalu cukup, akibatnya Zarel tidak bisa melihat dengan jelas raut wajah Indra sekarang. Namun, ia yakin betapa sakitnya yang dirasakan Indra.
            Mereka kini duduk di atas tempat bertingkat yang di beri keramik warna cokelat susu. Tidak terlalu banyak orang yang duduk di situ. Namun dari tempat itu Zarel bisa melihat sekeliling, karena tempat itu terletak di tengah-tengah area BKB. Ia kembali teringat Indra yang mengeluh pusing setelah ia membeli Jasuke.
            “Semangat, Dra. Kamu pasti bisa ngelawan penyakit kamu,” ucap Zarel sambil menepuk-nepuk pundak Indra.
            Zarel menjadi terbiasa dengan kondisi Indra yang seperti ini. Ia bahkan akan merasa canggung bila tiba-tiba penyakit Indra kambuh sedangkan ia tidak sedang berada di sisinya. Meski ada Ardi yang siap membantu Indra kapanpun, tapi entah mengapa ia menjadi senang ikut terlibat dengan kehidupan pemuda itu.
            “Zarel.”
            “Iya, Dra. Kenapa?” Tanyanya cemas.
            “Maaf udah buat kamu repot.”
            Zarel memperhatikan wajah Indra yang sudah tidak tertunduk lagi. Namun rona mukanya masih terlihat lesu. Mungkin Indra butuh istirahat.
            “Aku nggak merasa direpotin kok. Santai aja,” sahut Zarel, tersenyum melihat Indra.
            “Sekarang kita dimana?” Indra bertanya.
            “Kita lagi ada di tengah-tengah.”
            “Terus di sekeliling kita siapa?”
            Zarel mencoba memperhatikan sekitarnya. “Di sebelah kiri kita ada penjual mainan yang lagi berdebat sama seorang ibu yang anaknya merengek minta dibeliin mainan itu,” tutur Zarel. “Terus di depan kita. Agak jauh sih, ada penjual bakso bakar sama gerobaknya. Dia punya banyak pembeli.” Zarel kemudian mencoba memperhatikan sisi lainnya. “Di sebelah kanan kita ada tempat tanding catur.” Zarel menatap Indra dengan cemas. “Kamu bisa lihat mereka kan. Di sini ramai banget, Dra.”
            “Aku cuma bisa denger suara mereka.”
            Zarel menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan. Ia merasa ketakutan melihat Indra seperti ini. Tubuhnya sedikit gemetaran dengan kedua bola mata yang mulai memerah. Perlahan ia menurunkan telapak tangannya. “Kamu bisa lihat aku?”
            “Semuanya terlihat kabur, Za. Termasuk kamu,” Indra berkata lirih.
            Zarel merasakan lututnya lemas. Jantungnya benar-benar berdetak cepat. Mengapa hatinya menjadi pedih saat Indra berkata demikian.
            “Za, bisa kita pulang sekarang?”
            Zarel tidak berkata apa-apa. Ia segera menaikkan lengan Indra ke atas pundaknya. Sepanjang jalan menemui ketiga temannya, Zarel tak henti-hentinya membagi tangannya untuk Indra dan untuk air matanya yang mengucur.
***

No comments:

Post a Comment