Labels

Tuesday, March 19, 2013

Seminggu Sebelum Kepergianmu


Kini terasa sungguh
Semakin engkau jauh
Semakin terasa dekat
Akan ku kembangkan
Kasih yang kau tanam
Di dalam hatiku
Suara Vidi Aldiano bergema di setiap sudut ruangan. Lagu ini menjadi lagu paling favorit di sekolah dua tingkat ini. Satu persatu murid Sekolah Menengah Atas ini mulai keluar dari kelas bagai ayam yang lepas dari sangkar. Mereka begitu gaduh. Saling sikut menyikut demi keluar dari pintu ruangan yang membuat mereka harus bertahan selama hampir delapan jam.
“Mel, kamu pulang bareng Riko?” Keiza bertanya kepada Melly, teman sebangku sekaligus sahabatnya.
Melly mengangguk. “Iya. Dia udah nunggu di depan kelas katanya.”
Keiza memperhatikan sahabatnya yang terburu-buru mengemaskan buku-buku pelajaran.
“Jangan lupa piket dulu, Mel.” Keiza mengingatkan Melly yang sepertinya sangat diburu waktu.
Melly tidak menjawab. Keiza kembali merapikan barang-barang miliknya. Dimasukkannya semua kertas-kertas tebal dan buku-buku itu
meski tidak ada lagi ruang kosong di dalam tas kain miliknya.
“Kei, aku duluan ya,” ucap Melly sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Kemudian ia berlari-lari kecil sambil mendukung tas ransel yang terlihat berat.
Keiza balas melambaikan tangan kepada Melly. Tapi kemudian ia baru sadar bahwa Melly sudah lari dari tugas wajibnya setiap Selasa.
“Eh Mel, kamu belum piket,” teriaknya kepada Melly yang sudah lolos dari pintu kelas. “Melly.” Keiza berteriak lagi dari tempat duduknya.
Namun tidak ada tanda-tanda bahwa Melly akan akan datang kembali.
            Keiza menarik napas dalam-dalam. Dihembuskannya dengan satu kali gerakan cepat. Selalu begini, pikirnya. Melly akan melupakan apa yang menjadi tugasnya dan apa yang akan dilakukannya jika sudah berjanji bertemu dengan pacarnya. Dan, nantinya ia sendiri yang akan membereskan pekerjaan sahabatnya itu. Salah satunya piket kelas. Bukan karena Keiza anak yang rajin, hobi bersih-bersih. Namun karena tuntutannya sebagai sekretaris kelas sekaligus pengawas piket harian di kelasnya. Jadi jika ada murid yang membolos dari kewajibannya, maka Keiza lah yang harus menggantikannya. Dengan malas, ia beranjak dari kursi kayu yang mulai keropos itu. Berjalan ke pojok ruangan dan mengambil salah satu sapu yang masih tersisa. Disapukannya pandangan ke seisi kelas. Ada beberapa temannya yang satu regu piket dengan Melly, terlihat membersihkan sampah-sampah yang berkeliaran di dalam kelas.
            “Keiza. Ada Galang di depan kelas,” teriak salah satu temannya yang berdiri di dekat jendela kelas.
            Keiza terbangun dari lamunannya. “Dimana?” Tanyanya ulang kepada gadis yang masih berdiri di dekat jendela.
            Telunjuk gadis itu mengarah ke pintu masuk sambil berkata, “Di depan.”
            Galang memang tidak pernah mau masuk ke dalam kelas Keiza. Hampir satu tahun pacaran, ia tidak pernah satu kali pun masuk ke kelas yang berjarak 5 meter dari kelasnya itu. Selalu menunggu di depan pintu kelas jika ingin bertemu Keiza.
            “Ada apa?” Tanya Keiza setelah berdiri di depan Galang.
            “Kangen,” jawab Galang singkat.
            Keiza mengulum senyum mendengar jawaban Galang.
            “Ke sini cuma mau bilang itu?”
            Galang mengangguk. “Mmm...”
            “Pulang sekarang, yuk,” ajak Galang kepada Keiza.
            Keiza tidak langsung menjawab. Ia menolehkan kepala menatap ke dalam kelas yang ia tinggalkan lima menit lalu.
            “Aku masih piket,” ucapnya kepada Galang.
            “Loh, bukannya kamu piket hari Sabtu.”
            “Melly kabur lagi.”
            Galang tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi dengan Keiza.
            “Yaudah, lanjutin dulu aja piketnya. Aku tunggu kamu di depan gerbang,” ujar Galang sambil tersenyum.
            Keiza membalasnya dengan senyuman yang tidak kalah lebarnya. “Oke,” sahutnya, mengacungkan jempol tanda setuju.
            “Aku balik ke kelas ya. Daaa.” Galang melambaikan tangan ke arah Keiza, masih dengan senyum yang sama. Ia berjalan menyusuri koridor kelas yang mulai sepi. Keiza balas melambaikan tangan. Ditatapnya Galang yang bertubuh jangkung dengan senyum yang selalu mampu membuat dirinya menjadi senang.
***
            “Hei,” ucap Keiza mengagetkan Galang yang sedang duduk melamun di luar pos satpam sekolah.
            Galang segera berdiri begitu mendengar suara yang sangat ditunggu-tunggunya itu.
            “Pulang sekarang?” Tanyanya kepada Keiza.
            Keiza menggangguk cepat. “Ayok.”
            “Pak, kita pulang duluan ya,” ucap Galang kepada Pak Satpam yang duduk di dalam pos.
            “Duluan, Pak,” Keiza menimpali.
            Pak Satpam itu tersenyum melihat mereka berdua. “Hati-hati ya,” ucapnya menasihati.
            “Daaa, Pak.” Galang melambaikan tangan ke arah bapak paruh baya itu.
            Keiza tertawa melihat ulah Galang.
            Kini mereka berjalan keluar dari pekarangan sekolah. Masih ada beberapa murid yang berdiri di sekitar pagar sekolah. Kebanyakan dari mereka sedang menunggu jemputan. Hampir semua dari mereka yang berdiri di sepanjang gerbang masuk sekolah itu menyapa Keiza dan Galang. Keiza dengan senyumnya yang membalas setiap sapaan itu. Dan Galang, masih dengan ciri khasnya, melambaikan tangan.
            “Kayaknya selama setahun ini kita jadi pasangan terfavorit,” ucap Galang sambil memandang Keiza yang berjalan di sampingnya.
            “Yang favorit itu kamu, bukan aku,” komentar Keiza.
            “Ya emang harusnya gitu.”
            Keiza menoleh ke arah Galang. Keningnya berkerut mendengar ucapan itu.
            “Karena kamu itu hanya boleh jadi favorit aku,” lanjutnya, tersenyum lebar memandang  Keiza.
            Raut wajah Keiza berubah. Sebuah senyum jahil kini menghiasi wajahnya.
            “Tapi kamu bukan favorit aku tuh,” ucapnya cuek.
            “Terserah. Pokoknyo kamu tetap jadi favorit aku.” Gilang menempelkan kedua telapak tangannya ke atas dadanya.
            “Sampai kapan?”
            “Sampai kamu minta putus.”
            Keiza terdiam. Masih memandang Galang. Ia tidak menjawab. Hanya senyum simpul yang terbentuk di wajahnya.
            Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju jalan raya. Letak sekolah yang cukup jauh dari keramaian, membuat Keiza dan Galang harus berjalan setiap hari untuk sampai ke depan gang kecil tersebut. Tidak sedikit dari murid sekolah tersebut yang sudah membawa kendaraan pribadi roda dua ke sekolah dengan alasan jarak sekolah yang jauh dari rumah.
            Keiza menundukkan kepala sepanjang perjalanan itu. Sinar matahari yang begitu terik membuatnya berusaha menyembunyikan wajahnya. Galang berusaha memayungi Keiza dengan tas ransel miliknya. Namun Keiza menolak. Ia tidak ingin Galang terlihat kewalahan karenanya.
            “Kei, maafin aku ya,” ucap Galang tiba-tiba setelah mereka tiba di depan gang kecil.
            Keiza yang sedang asyik mengibas-ngibaskan tangannya demi mendapatkan angin segar, langsung menoleh saat Galang menyuarakan kata-kata itu. Ia terlihat bingung.
            “Maaf untuk apa?”
            “Untuk semuanya.”
            Keiza memandang Galang lekat-lekat. Dipicingkannya matanya sambil mengarahkan telunjuk ke arah Galang.
            “Kamu buat salah ya?”
            Tidak terima dengan tampang Keiza yang seperti menghakiminya, Galang buru-buru menjawab, “Nggak kok. Siapa yang buat salah.”
            “Itu tadi kamu minta maaf.” Keiza menurunkan telunjuknya. “Pasti kamu buat kesalahan. Iya kan?”
            “Emangnya minta maaf itu kalau buat kesalahan aja?” Galang balik bertanya.
            “Ya nggak juga sih.” Keiza mengangkat kedua bahunya. “Tapi minta maaf untuk apa?”
            Galang menarik kedua ujung bibirnya. “Maaf karena aku belum bisa buat kamu bahagia. Aku selalu buat kamu susah, Kei.”
            “Loh, kok jadi melow gini sih. Kamu kenapa? Sakit?” Keiza meraba kening Galang. Tidak ada yang lain di sana. Suhu tubuhnya normal.
            “Aku belum bisa antar jemput kamu kayak mereka. Aku masih belum bisa naik motor atau mobil,” ujar Galang.
            “Ya ampun Galang, kamu masih aja ngomongin itu. Aku nggak pernah masalahin hal itu kok.
            Galang menatap Keiza dari arah samping. Mata gadis itu terlihat fokus memandang ke arah jalan raya yang luas. Berbagai macam kendaraan berlalu lalang di sana. Namun yang ditunggunya belum juga datang. Rambut Keiza berterbangan ditiup angin sore. Galang tidak melewatkan setiap lekuk wajah gadis itu. Debu-debu sore yang sempat menempel di wajah bundar Keiza, tidak mengurangi kecantikannya sedikit pun. Ia suka dengan hidung Keiza yang tidak mancung, mata Keiza yang tidak bulat, kulit Keiza yang tidak putih, dan Keiza yang tidak pendiam.
            “Kei, kamu malu nggak pacaran sama aku?”
            Keiza terlihat bingung mendengar Galang yang tiba-tiba menyuarakan pertanyaan itu.
            “Ya nggak lah. Aku malu kalau kamu itu nyopet, maling, atau jadi pembunuh,” jawabnya. “Kamu jadi badut aja aku nggak malu.” Keiza terkekeh melihat wajah Galang yang berubah jutek.
            “Tuh jemputan kamu udah dateng,” ucap Galang sambil menunjuk ke arah mobil kecil yang menghampiri mereka.
            Keiza segera beranjak dari tempatnya menuju angkot yang telah berhenti tepat di gang kecil tersebut. Disusul Galang yang mengekor di belakangnya.
            “Aku pulang duluan ya,” ucapnya kepada Galang.
            “Hati-hati ya,” balas Galang.
            Keiza tersenyum kepada Galang sebelum berjalan menuju pintu angkot. Namun tiba-tiba pintu angkot itu terbuka sebelum Keiza sempat membukanya.
            “Galang.” Keiza memandang Galang yang berdiri di hadapannya, sedang mempersilakannya masuk ke dalam angkot yang dipenuhi penumpang itu.
            Dengan malu Keiza akhirnya masuk ke dalam mobil kecil tersebut.
            “Daaa...” Galang melambaikan tangan ke arah Keiza setelah pintu angkot itu ia tutup kembali. Senyumnya terkembang saat Keiza membalas lambaiannya.
***
            Tuuuttt...tuuuttt...tuuuttt.
            Suara yang sama terdengar berulang kali dari balik ponsel Keiza. Sudah berulang kali ia menelepon Galang namun tidak kunjung ada respon. Keiza kembali mondar-mandir dan sesekali membolak-balik halaman demi halaman buku di toko buku tersebut. Diliriknya jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya itu. Pukul tiga tepat. Dan Galang sudah satu jam terlambat dari waktu yang semestinya mereka sepakati.
            Baru akan membuka sebuah novel yang menurutnya menarik, tiba-tiba ponselnya bergetar cukup lama. Keiza segera mengangkat telepon itu.
            “Halo.”
            “Halo, Kei. Ini aku, Galang.”
            Keiza segera menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Dilihatnya kembali nomor yang menghubunginya itu. Tidak tertera nama Galang di sana.
            “Halo, Kei,” suara penelepon itu memanggil lagi.
            Keiza segera menempelkan kembali ponsel itu ke telinganya.
            “Iya, Lang.”
            “Handphone aku barusan mati. Jadi aku pinjem handphone Mang Juki dulu,” jelas Galang.
            “Oh, gitu. Kamu sekarang dimana?”
            Keiza berjalan meninggalkan tumpukan novel itu. Ia menuruni tangga dan berbelok ke kanan. Maih dengan ponsel menepel di telinga.
            “Aku ada di depan Gramedia.”
            Keiza segera mengedarkan pandangan ke luar jendela.
            “Oke. Aku ke sana sekarang,” sahutnya. Kemudian mematikan ponsel tersebut dan segera menghampiri Galang yang sudah terlihat sedang berdiri menunggu dirinya.
            “Galang,” panggil Keiza sambil berlari-lari kecil menuruni tangga dari pintu keluar.
            “Tadi Mang Juki mogok. Makanya lama.” Gilang segera memberikan penjelasan sebelum diminta.
            Mang Juki, ojek langganan Galang setiap waktu. Ia selalu setia menemani Galang kemanapun Galang pergi. Ia lebih setia dibanding Keiza sendiri. Terkadang Keiza merasa cemburu, karena Mang Juki sudah pernah naik motor bersama Galang. Sedangkan ia belum.
            “Mang Jukinya mana?” Tanya Keiza.
            “Udah pergi. Dia ada orderan lain katanya.”
            “Oh.” Keiza manggut-manggut tanda mengerti. Ia melirik Galang yang berdiri di sampingnya. “Mau kemana?”
            “Sekarang kita cicipin semua makanan yang ada di sekitar sini,” ucap Galang memberi usul.
            Mata Keiza membulat saat mendengar hal itu.
“Makan? Semuanya?”
Galang mengangguk.
“Nggak usah semuanya. Besok-besok kan bisa dilanjuti lagi,” ujar Keiza.
Galang masih bersikukuh untuk mengajak Keiza melakukan yang ia inginkan. Ia ingin memberikan banyak kenangan indah dan menarik kepada Keiza sebelum kepergiannya seminggu lagi ke Bogor. Dan mungkin nantinya ia dan Keiza sudah tidak bisa seperti sekarang.
***





No comments:

Post a Comment