You
say good morning
When
it's midnight
Going
out of my headAlone in this bed
I wake
up to your sunset
And it's driving me madI miss you so bad
And my heart, heart, heart is so jetlagged
Heart,
heart, heart is so jetlagged
Heart,
heart, heart is so jetlagged
Lagu
beraliran rock galau itu bergema di dalam
ruangan kecil dengan pintu tertutup rapat. Seorang gadis duduk bersila di atas
tempat tidur dengan mata menerawang ke arah jendela. Tatapannya kosong. Pundak
gadis itu bergerak turun naik. Jemarinya yang kecil terlihat sibuk
mengucek-ngucek matanya yang mulai memerah. Sebuah kotak persegi panjang
tergeletak di sampingnya. Sesekali ditariknya benda tipis berwarna putih yang
ada di dalam kotak itu. Kertas tipis itu tidak lagi bersih kala cairan kental keluar
dari indra penciumannya. Lantai kamar itu pun kini sudah dipenuhi tisu yang ia
buang sembarangan.
Tok.. tok... tok...
“Leoni,
buka pintunya!” Terdengar teriakan seorang gadis dari balik pintu kamar.
Ternyata
telinga gadis itu masih konsentrasi mendengar. Gadis yang dipanggil Leoni itu
memandangi pintu yang diketuk barusan.
“Leoni,
buka pintunya. Ini gue Tara.”
Cukup
lama ia hanya memandangi pintu jati itu. Akhirnya dengan langkah gontai, ia
berjalan menuju pintu. Dipegangnya daun pintu itu dan terdengar bunyi berdecit
setelahnya.
“Yaampun,
Le. Lo berantakan banget.” Tara memperhatikan Leoni setelah pintu terbuka.
Dipandanginya sahabatnya itu dari ujung rambut sampai mata kaki.
Tangis
Leoni kembali pecah saat melihat sahabatnya itu. Dipeluknya Tara dengan erat.
Ia menangis lagi, cengukan lagi, ingusnya keluar lagi. Sakit itu terasa lagi.
Tara
sempat kaget melihat ekspresi Leoni yang tiba-tiba. “Sabar, Le. Lo harus sabar.
Semuanya nggak akan berakhir cuma gara-gara ini,” ucap Tara sambil menepuk-nepuk
pundak Leoni.
Tara
perlahan melepaskan pelukan Leoni dan mengajaknya untuk duduk di pinggir tempat
tidur milik Leoni. Tara meninggalkan sahabatnya itu sendiri di sana. Sementara
ia memunguti tisu-tisu yang memenuhi lantai. Tak lupa ia mematikan tape, menghentikan grup band itu untuk
bernyanyi.
***
Leoni
masih terisak, berusaha menghentikan tangisnya. Namun terasa sulit baginya.
Tara tidak memaksa Leoni untuk berhenti, karena ia pikir sahabatnya itu tahu
sendiri dimana batas kemampuan air matanya.
“Kalau
lo udah bisa cerita, gue siap buat dengerin,” ujar Leoni.
Leoni
menutup mulutnya yang bersendawa dengan sebelah telapak. Kemudian membenamkan
wajahnya ke dalam kedua telapak tangan berjari-jari kecil tersebut. Leoni
menarik napas dalam-dalam setelah melepaskan kedua tangan yang menutupi
wajahnya. Ia berusaha tersenyum meski pipinya masih terasa sakit.
“Gue
baik-baik aja kok,” ucapnya kepada Tara.
Tara
mencelos. “Gimana lo bisa baik-baik aja setelah diselingkuhi sama Nata.”
Perlahan
Leoni berjalan menuju meja rias yang terletak di dekat jendela. Ia duduk di
atas sebuah kursi kecil menghadap ke arah cermin besar.
“Jadi
ini wajah gue setelah diselingkuhi,” ucapnya getir.
Kedua
matanya bengkak. Hidungnya merah. Wajahnya sembab. Kesimpulannya, Leoni sudah
menghadapi semuanya dari semalam.
“Gue
bodoh. Ya, gue emang bodoh.”
“Lo
nggak bodoh, Le. Orang yang mencintai orang lain itu nggak bodoh.” Tara kini
sudah berdiri di belakang Leoni. Ia genggam pundak sahabatnya itu. Berusaha
memberi semangat.
“Gue
tahu ini berat. Tapi lo harus berusaha ngelewati ini semua,” Tara memberi
saran. “ Jangan sampai ada dendam di dalam hati lo, Le.”
“Kok
nasib gue jelek banget ya, Ra,” tutur Leoni dengan mata berbinar.
“Bukan
nasib yang jelek, tapi Allah memberi lo pengalaman dan pelajaran baru di dalam
hidup lo.”
Leoni
menatap Tara dari balik cermin. “Jadi gue harus berterimakasih sama Allah
karena udah kasih gue hadiah kayak gini?” Tanyanya dengan nada datar.
“Bukan
gitu, Le,” sanggah Tara. “Lo sekarang ambil hikmahnya aja. Lo mungkin belum
bisa ngerti sekarang, tapi nanti, gue yakin lo bisa ngerti apa yang gue
maksud,” ucapnya meyakinkan.
“Gue
nggak nyangka mereka bisa nusuk gue dari belakang.” Tara kembali melambungkan
pikirannya ke masa lalu.
“Udah
gue bilang, jangan mudah percaya sama orang yang baru kita kenal. Lo tau kalau
Nesya itu mantan Rangga, tapi lo malah curhat semuanya ke dia.”
“Gue
juga nggak tahu kenapa. Gue ngerasa awalnya Nesya itu satu pikiran sama gue.
Makanya gue bisa anggep dia temen,” ungkap Leoni.
“Nggak
semua yang senasib sama kita jadi punya pikiran yang sama.”
Leoni
mengangguk. “Ya. Lo bener, Ra. Gue masih rada bingung aja sama semua kejadian
ini. Gue masih bingung sama Rangga. Bingung sama Nesya. Dan, bingung sama diri
gue sendiri.”
Tara
meraih kursi yang terletak di sebelah kanan meja rias. Ia kini duduk di samping
Leoni.
“Rangga
katanya suka sama lo. Entah atas dasar apa dia langsung nembak lo setelah putus
dua hari dari Nesya.”
Leoni
menyimak ucapan Tara dengan seksama.
“Saat
itu, Nesya mungkin ngelakuin kayak apa yang lo lakuin sekarang. Dan, disaat itu
lo terpikat sama Rangga sampai lo mau nerima dia.”
Leoni
tidak berkomentar apa-apa. Ia masih menunggu kelanjutannya.
“Cuma
30 hari kalian bisa bertahan, karena lo ngerasa Rangga berubah. Dan akhirnya lo
cari tahu tentang Rangga dulu saat pacaran dengan Nesya langsung ke orangnya.”
Leoni
mengangguk. Ia membenarkan ucapan sahabatnya itu.
“Lo
ceritain semuanya ke Nesya dengan alasan dia dulu diposisi yang sama kayak lo.
Tapi kenyataannya, di saat itu juga ternyata dia dan Rangga udah sama-sama lagi
walau tanpa status.” Tara menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya.
“Kesimpulannya, cinta mereka belum selesai.” Tara tersenyum di akhir ucapannya.
“Dan
secara nggak langsung gue adalah orang ke tiga diantara mereka.” Leoni
menyimpulkan.
“Lo
bukan pihak ketiga, Le. Lo cuma kena imbas Rangga saat dia ngerasa bosen sama
Nesya. Dan lo─” ucap Tara mengarahkan telunjuknya ke wajah Leoni. “Termakan
rayuannya.”
“Hahaha...”
Leoni tertawa. “Lo bener, Ra. Gue masuk mulut buaya saat itu. Tapi sekarang gue
udah bebas.”
“Dia
nggak nanya kenapa lo tiba-tiba mutusin dia?” Tanya Tara.
Leoni
menggelang. “Nggak. Dia cuma minta maaf.”
Tara
geleng-geleng kepala mendengar jawaban Leoni.
“Udah,
sekarang lo lupain semuanya. Jangan galau-galau lagi. Cowok kayak dia nggak
pantes buat digalauin. Yakin deh, lo pasti bisa dapet yang lebih baik.” Tara
tersenyum lebar memandang sahabatnya itu. “Sekarang gimana kalau kita
karaokean,” ucapnya memberi usul.
Raut
wajah Leoni langsung berubah antusias. “Ayok. Gue mau banget.”
“Oke.
Sekarang lo siap-siap. Gue mau nelpon Mayang sama Sisil dulu.”
***
“Le,
lo mau nyanyi apaan?” Tanya Mayang disela-sela suara Tara yang sedang asyik
bernyanyi.
“Pastinya
lagu galau,” sahut Sisil yang duduk di paling ujung.
Mereka
berempat kini berada di dalam ruang karaoke yang cukup besar. Ketiga sahabatnya
itu memberikan hiburan yang sangat membantu bagi Leoni.
“Terserah
deh, gue nyanyi apa yang ada di playlist aja,”
ucapnya.
“Mau
lagu galaunya Rio Febrian atau Marcell atau Glen atau─”
“Lo
sebutin aja semuanya,” ucap Mayang memotong kata-kata Sisil.
“Biasanya
kalau kita lagi galau, rada-rada lupa sama lagu yang sesuai suasana hati. Jadi
gue bantu ingetin Leoni,” tutur Sisil sambil nyengir.
Leoni
tertawa melihat ulah kedua sahabatnya itu. Ia bahagia memiliki mereka yang
sangat peduli pada dirinya. Sekarang ia sadar, tidak boleh berlarut-larut dalam
kesedihan. Waktunya bangkit dan menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ia
mampu.
***
Waktu
bergulir begitu lambat. Sisa-sisa kenangan itu masih sering terlintas di
benaknya. Singkat namun begitu berbekas baginya. Setiap sudut kota ini memiliki
kenangan tersendiri baginya.
“Gimana,
udah bisa move on?” Tanya Mayang
kepadanya saat mereka makan di sebuah tempat makan.
Leoni
memandang sahabatnya itu persatu. Jelas terlihat raut penasaran di sana.
Beberapa hari ini mereka sering sekali meluangkan waktu untuknya.
“Perlahan.
Pelan-pelan gue yakin gue akan biasa aja sama dia.”
“Wajar
sih, Le, lo susah lupa. Rangga kan yang pertama buat lo. Gue juga dulunya gitu.
Sampe sekarang aja kadang masih sering inget,” tutur Sisil sambil mengaduk-aduk
jus jambunya.
Leoni
tidak berkomentar dengan ucapan Sisil barusan. Matanya menatap bebas ke arah
jendela besar di sampingnya. Ada banyak orang lalu lalang di sana. Ia teringat
lagi. Ia melihat lagi.
Rangga,
bisiknya dalam hati. Ia melihat orang yang sama seperti di masa lalunya.
“Le,
itu kan Rangga.” Tunjuk Tara ketika melihat seorang pemuda mengenakan kaus
polos warna merah masuk ke dalam resto yang sama dengan mereka.
Spontan
Mayang dan Sisil langsung sibuk sendiri mencari yang ditunjuk Tara. “Mana,
mana?” tanya mereka berbarengan.
“Dia
sendirian,” ucap Tara lagi.
Leoni
tidak ikut menoleh melihat yang dilihat ketiga sahabatnya itu. Ia masih
diposisi yang sama seperti sebelumnya. Duduk menunduk dengan mata menatap
butiran soda di dalam gelas plastik.
“Apa
nggak ada tempat lain selain tempat yang gue datangi,” Leoni bergumam.
Belakangan
ini ia jadi sering bertemu dengan Rangga. Entah itu di kampus─mengingat
fakultas mereka yang bersebelahan─atau di luar kampus. Seperti sekarang ini.
Bagaimana ia bisa sukses move on bila
terus dikejar bayang-bayang mantan.
“Le,
lo udah selesai makan kan? Kita pergi sekarang yuk,” ajak Mayang.
Leoni
mengerti dengan kecemasan yang dirasakan sahabatnya itu.
“Ntar
aja, May. Kenapa buru-buru.” Leoni mengangkat kepalanya. Menatap Mayang yang
masih memandangnya. Seperti menunggu jawaban. “Tenang aja, gue baik-baik aja
kok. Nggak harus menghindar kan?”
Tara,
Sisil, dan Mayang saling pandang saat Leoni melemparkan pandangan itu ke arah
mereka.
“Iya,
Le. Lo nggak harus kabur kok. Emangnya lo maling yang ketangkap basah. Yang ada
tuh dia yang mesti kabur dari sini,” ucap Sisil semangat.
Leoni
memberikan senyum termanis kepada Sisil.
“Iya.
Buat apa gue lari. Anggep aja ini latihan.”
“Latihan?”
Tanya Tara dengan kening berkerut.
“Iya.
Latihan mental,” jawab Leoni singkat.
Tiba-tiba
Sisil bertepuk tangan. “Gue setuju sama lo, Le,” ucapnya kepada Leoni.
Ada
banyak cara di dunia ini yang membuat kita bisa bertahan. Selalu saja ada kata
aku merindukanmu dibalik kalimat aku ingin melupakanmu.
***
Deg!
Sesaat
angin yang berhembus di sekitar lehernya terhenti. Mendadak seperti ada yang
mencekik hatinya. Bibirnya kering dan bergetar. Otaknya limbung dan sekarang
matanya panas. Leoni cemburu.
“Dia
sengaja atau apa sih?”
Leoni
masih bisa mendengar Tara yang mengomentari sepasang kekasih yang sedang duduk
sambil makan bubur ayam enam meter dari tempat mereka duduk sekarang.
“Le,
lo baik-baik aja?” Tanya Mayang.
Leoni
mengangguk pelan. Bagaimana bisa untuk saat ini ia masih baik-baik saja
sementara ia menyaksikan sendiri mantannya makan bersama gadis lain. Di hadapannya.
Begitu dekat. Luka itu datang lagi.
“Lo
jangan terpancing, Le,” ucap Sisil. “Lo nggak usah peduliin mereka. Anggep aja
mereka bukan orang yang lo kenal.”
Leoni
memandang ketiga temannya itu. Ia bisa merasakan kekhawatiran mereka terhadap
dirinya.
“Gue
baik-baik aja,” ucapnya.
“Jangan
nangis, Le.” Tara segera memeluk Leoni yang terlihat hendak menangis.
Di
pundak Tara, Leoni mengucurkan air matanya. Ia tidak menghapus setiap
tetesannya yang mengalir. Dibiarkannya setiap tetes itu jatuh membasahi baju
Tara. Tidak ada kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Hanya isak tangis
yang berusaha ia tahan. Hatinya belum sepenuhnya kuat menerima kenyataan yang
sudah terjadi.
“Udah,
Le. Lo harus kuat. Ini ujian buat lo.”
Sisil
mengelus-elus pundak Leoni yang turun naik. “Tara bener, Le. Lo harus bisa
ngelewati ujian ini biar ngebuktiin kalau lo udah bener-bener bisa move on dari Rangga.”
“Makin
lo nangis, makin mereka seneng. Apalagi Rangga, dia bakal ngerasa kalau lo
pasti belum bisa ngelupain dia,” ujar Tara.
Leoni
melepaskan pelukan Tara. Dihapusnya air mata yang membasahi kedua pipinya yang
tirus.
“Gue
tahu ini yang pertama bagi lo. Jadi gue ngerti banget perasaan lo, Le. Lo harus
bisa ngelawan rasa cemburu dan rasa kecewa lo itu,” ucap Tara semangat,
memandang mata bulat Leoni yang dinaungi alis tebal berbulu mata lentik.
Leoni
mengangguk mantap. Kemudian berusaha menarik kedua ujung bibirnya.
“Nah
gitu dong. Itu baru Leoni yang tegar,” tutur Mayang. Leoni tertawa. Semua ikut
tertawa.
“Eh,
Le, gue dapet rekomendasi dari temen gue. Katanya ada peramal kartu tarot yang
bisa ngeramal dengan tepat sesuai yang lagi lo rasain.”
Bukan
hanya Leoni yang tercengang dengan ucapan Sisil. Tara dan Mayang pun, mereka
ikut antusias ingin tahu kelanjutannya.
“Dimana
tempatnya?” Tanya Mayang langsung.
“Bisa
ngeramal apa aja?” Tara menimpali.
“Duh,
satu-satu dong kalau nanya. Bingung nih gue,” gerutu Sisil sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Tempatnya
deket rumah gue. Dan dia bisa ngeramal apa aja,” lanjutnya.
“Gue
mau dong diramal,” ucap Tara.
“Kayaknya
asyik tuh,” Mayang menambahi.
“Gue
juga pengen. Makanya gue mau sekalian ajak kalian. Gimana, Le, lo mau ikut
kan?”
Ketiga
sahabatnya itu menatap Leoni. Menunggu jawaban darinya.
“Oke.
Gue ikut,” jawabnya.
***
“Lo
yakin ini tempatnya?” Tanya Mayang saat mereka menginjakkan kaki di sebuah
bangunan mirip rumah adat khas Sumatera Selatan.
“Iya,
gue yakin kok. Udah sesuai alamatnya,” jawab Sisil.
Leoni
berjalan di paling belakang setelah Tara. Tidak ada tanda-tanda orang lain
selain mereka di tempat itu. Ia merasakan aura mistis begitu kental di tempat
itu. Entah kejutan apa yang menanti mereka di ujung lorong.
“Sil,
lo yakin ini berpenghuni? Gue takut banget nih.” Mayang bergidik ketakutan.
Sisil
mempercepat langkahnya. “Kayaknya ini semacam kejutan deh,” sahutnya dengan
mata terus menatap ke depan.
“Gue
benci kejutan,” balas Mayang.
Di
tempat itu mereka melihat banyak keris dan batu giok yang dijadikan hiasan
untuk cincin dan kalung. Semuanya tersusun rapi di dalam etalase kaca yang
berjejer di sisi kanan dan kiri lorong rumah tersebut.
“Gila,
ni tempat horor banget.” Leoni memandang ke sekeliling ruangan yang didominasi
warna hitam. Mulai dari alas lantai, cat dinding yang setengahnya hitam, dan
pernak-pernik yang berbau mistis. Bulu kuduknya berdiri saat tatapannya
mendarat di sebuah hiasan dinding berupa kepala burung hantu dengan mata
membelalak lebar.
“Selamat
datang, Mbak.”
Tiba-tiba
terdengar suara yang menyapa mereka. Leoni langsung memindahkan tatapannya dari
sana. Mencoba melihat apa yang terjadi di barisan depan. Kemudian ia melangkah
mendekati Sisil dan Mayang. Berdiri di samping Tara.
“Dia
siapa?” Tanya Leoni kepada Tara.
“Resepsionisnya,”
jawab Tara.
“Oh.
Gue kirain madamnya.”
Leoni
memperhatikan Sisil yang sibuk menulis data di buku besar yang sudah hampir
penuh. Butuh waktu lima menit untuk menyelesaikan semua administrasi mereka.
“Silakan,
Mbak. Madamnya ada di atas. Masuknya satu-satu ya,” ucap gadis resepsionis itu
ramah.
“Iya.
Makasih, Mbak,” sahut Sisil. Kemudian ia berjalan duluan dengan yang lain
mengekor di belakang.
Mereka
berjalan melewati lorong yang lebih sempit dari lorong sebelumnya. Sepertinya
rumah ini memang punya banyak lorong, pikir Leoni. Jalannya terhenti ketika
Tara yang berjalan di depannya menghentikan langkah.
“Kenapa?”
Bisik Leoni.
Tara
mengangkat bahunya tanda tidak tahu.
“Siapa
yang mau masuk duluan?”
Leoni
memandang Sisil yang bertanya ke arah mereka. Ia tidak mau menjawab, karena jelas
ia tidak ingin jadi yang pertama mencoba.
“Le,
lo mau duluan nggak?”
“Nggak,”
jawabnya cepat.
“Yaudah
kalau nggak ada yang mau, gue masuk duluan aja ya,” ucap Sisil kepada ketiga
sahabatnya. Mereka semua mengangguk setuju.
Leoni
memandang Sisil yang menaiki tangga menuju tempat madam tarot yang membuatnya
penasaran.
***
Leoni
akhirnya mengubah semua persepsinya mengenai peramal tarot yang ia ciptakan di
bawah alam imajinasinya. Wanita yang dipanggill Madam itu, tidak seperti
peramal yang ia bayangkan. Tidak ada bola kristal di atas meja kayu yang hampir
mirip dengan meja kerja denga tumpukan kertas dan rak-rak plastik. Tidak ada
rambut panjang dan mantra-mantra aneh yang seperti yang pernah ia lihat di
sebuah tayangan di televisi mengenai peramal.
“Namanya
siapa?” Tanya madam itu memulai pembicaraan.
“Leoni.”
“Kamu
baru putus ya?”
Leoni
tercekat saat menyadari pertanyaan madam tersebut.
“Emangnya
keliatan jelas ya, Madam?”
Leoni
masih kelihatan takut-takut untuk bertanya kepada wanita itu.
“Kelihatan
sekali. Dan, malah kamu punya keinginan untuk balas dendam. Saya benar kan?”
“A─”
Ia bingung harus menjawab apa. Sepertinya ia tidak perlu lagi bertanya, karena
madam ini sudah tahu semuanya, Leoni membatin.
“Mau
menyangkal?” Tanya madam itu sekali lagi.
“Awalnya
emang ada niat mau balas dendam sih, Madam. Tapi─” Leoni menggantungkan
kalimatnya.
Peramal itu tidak mendesaknya.
Sepertinya ia masih menunggu kelanjutan kalimat Leoni.
“Saya pikir itu bukan cara yang
terbaik,” lanjutnya.
“Coba kamu ambil tiga kartu di
hadapan kamu,” Madam itu memberi perintah kepada Leoni.
Dengan ragu-ragu Leoni mengambil
tiga kartu secara acak. Ia berikan kartu itu kepada wanita itu. Masih dalam
keadaan tertutup.
“Ini.” Perlahan peramal wanita
itu membalik kartu tarotnya. “Kartu pertama ini menyatakan kalau kamu akan
terkena masalah jika tidak segera melupakan dia.”
Leoni memandang kartu berwarna
agak keunguan bergambar seorang wanita seperti suku Indian yang sedang
terkurung di dalam sangkar.
“Masalah apa ya, Madam?”
“Semua pekerjaan kamu mudah
terganggu karena kamu akan sering ingat masa lalu.”
“Jadi saya harus gimana, Madam?”
Ia tidak pernah mengira bahwa
karena seorang laki-laki bisa mengacaukan pikirannya.
“Kartu kedua.” Madam itu
mengetuk-ngetuk kartu yang masih belum dibaliknya. “Laki-laki.” Ia menunjuk
kartu yang telah dibaliknya. “Dua orang laki-laki yang sedang mendekati kamu.”
“Siapa, Madam?” Leoni terlihat
penasaran dengan ucapan yang dikatakan wanita itu barusan.
“Bisa jadi orang yang sudah kamu
kenal, dan yang satu lagi orang baru dalam kehidupan kamu.”
Leoni menatap mata wanita itu
dalam-dalam.
“Apa saya bisa membuka hati untuk
mereka?” Tanyanya kemudian.
“Itu jalan lain selain fokus ke
masa depan yang ingin kamu raih.”
“Menurut pengamatan Madam, berapa
lama lagi saya bisa mendapatkan salah satunya?”
Madam itu tidak langsung
menjawab. Ia melempar senyum kepada gadis muda dihadapannya itu. “Kartu ketiga
ini, seperti yang kamu lihat. Laki-laki itu berada begitu dekat denganmu,”
jelasnya.
Leoni mendengus pelan. “Yang
bener, Madam,” ucapnya setengah tidak percaya.
“Saya bukan Tuhan yang bisa tahu
persis nasib kamu, saya cuma perantara yang di atas untuk menyampaikan apa yang
bisa saya lihat dari kamu. Jadi atau tidak jadinya nanti, yang di atas yang
akan mengaturnya.”
“Iya, Madam. Saya tahu.” Leoni
menundukkan kepala. Memandangi ketiga kartu dihadapannya.
“Dari awal, memang kamu sudah
salah pilih.”
Leoni mendongakkan kepalanya
cepat. “Maksud Madam?”
“Sepertinya kamu tidak tahu kalau
laki-laki itu memang tidak berniat baik dari awal.”
Matanya panas kala mendengar
ucapan yang meluncur bebas dari mulut wanita yang baru setengah jam dikenalnya
itu. Wanita yang hampir mengetahui semua tentang dirinya. Sampai tentang hal
yang ia sendiri tidak menyadarinya.
“Cinta nggak cukup cuma pakai
hati. Ada logika yang semestinya berfungsi di sana. Cinta yang tidak
menggunakan logika, itu cinta-cintaan namanya.”
Tulang-tulangnya mendadak ngilu.
Seperti mendengar teriakan dari masa lalu. Ia kembali terbayang cinta-cintaan
yang ia ciptakan bersama Rangga.
“Kamu sekarang sudah punya
pengalaman yang jangan sampai kamu lakukan lagi,” tutur Madam itu memberi
nasihat.
“Hahaha,” Leoni tertawa.
“Harusnya dari awal saya bilang terima makasih sama dia.”
***