Labels

Monday, October 21, 2013

Orang Baru

Hai blog, mau cerita sedikit nih :))

Sekarang aku udah tau gimana  rasanya dapat keluarga baru. Bahagia dan merasa beruntung bisa kenal dengan mereka dan masuk ke dalam kehidupannya. Aku merasa lega ketika tahu bahwa mereka bisa menerimaku dan menghiraukanku ketika aku berada ditengah-tengah mereka, tanpa mempermasalahkan status sosial atau apapun, mereka menyambutku dengan tangan terbuka. Dan aku sendiri merasa nyaman dan baik-baik saja ketika berada di dekat mereka. Tawa, canda, dan senyuman mereka betul-betul mengalir begitu saja tanpa dibuat-buat. Keponakan-keponakannya yang masih kecil dan lucu-lucu itu kelihatannya juga bisa menerima kehadiran orang baru sepertiku.

Awalnya aku sempat bingung akan melakukan apa ketika pertama kali bertemu mereka. Aku menebak sendiri dalam hati bagaimana kira-kira sikap dan sifat mereka bercermin dari dirimu. Pikirku mereka akan banyak bertanya masalah keluarga, dengan mendudukkanku di tengah-tengah ruang tamu dengan keluargamu di sekelilingku. Tapi ternyata aku salah. Mereka begitu ramah dan terlihat tidak banyak tanya, tapi aku sadar mereka pasti mengamati.

Berada di tengah-tengah mereka sama saja seperti berada di dalam keluarga sendiri. Aku perhatikan betul gerak-gerik mereka. Semoga aku tidak salah tebak. Sikap dan sifat mereka yang humoris dan apa adanya, membuat aku tidak merasa kaku. Persis sama di dalam keluarga sendiri. Semoga saja sampai nanti sampai seterusnya sikap mereka tidak berubah terhadapku. Bisakah suatu saat nanti aku menjadikan dirimu dan keluargamu rumah kedua bagiku? Semoga saja :))
Oh iya terakhir, sampaikan rasa terima kasihku kepada mereka yaa :))

Saturday, October 19, 2013

Happy Birthday Dear

         Selamat bertambah umur Anton Vedericco, abang tersayangku. Di usia yang udah masuk kepala dua ini, jangan jadi tua yang menyebalkan ya.
Gimana? Suka nggak sama surprise yang aku dan teman-teman kasih kemarin?
Aku udah ngerencanain semuanya dari sebulan yang lalu loh. Mulai dari ngebuat anime, pilih-pilih kado, buat stop motion, sampai buat skenario surprise yang semoga aja nggak akan bisa kamu lupain.
Rencananya sih aku mau kasih kamu karikatur, tapi berhubung yang kayak gituan udah banyak dan terlalu sering dikasih buat hadiah, jadinya aku pilih anime. Masih termasuk kategori jarang, orang ngasih kado anime atau manga Jepang atau biasa disebut commis. Setelah aku lihat bentuk jadinya ternyata keren juga, ya walaupun nggak terlalu mirip-mirip amat. Tapi aku puas kok dengan hasilnya. Aku sengaja milih tema yang sangat berkesan bagiku. Temanya sih sederhana. Momen saat penembakan. Eitss bukan tembak-tembakan perang. Tapi tembakan menyatakan cinta. Hahaha
Jadi gini, aku ambil momen itu karena menurutku itu adalah momen manis malah termanis mungkin yang pernah aku dapatkan sejauh ini. Seorang cowok yang menyatakan cinta pada cewek di sebuah ayunan di taman pada pagi hari. Dimana penembakan dilakukan setelah selesai jogging. Gimana? Romantis nggak tu? Mirip kayak yang di FTV yang aku tonton. Nah jalan cerita yang kayak itu yang aku alami waktu kamu nembak aku. Makanya gambar commisnya cewek dan cowok lagi duduk di atas ayunan sambil pakai baju olahraga. Aku cuma ingin kamu inget selalu kejadian itu. Semoga dengan aku kasih gambarnya kamu bisa inget terus momen manis itu. Walaupun aku sempet lupa waktu itu kamu pakai baju warna apa, celana kamu panjang atau pendek, sepatu kamu juga aku lupa warna apa, yang aku inget cuma wajah kamu yang polos dan kebingungan banget waktu itu. Hahaha.
Terus masalah kado. Aku sempet bingung mau kasih kamu kado apa. Bingung banget malah. Sempet minta saran kesana kesini. Dan akhirnya aku dapet saran, kenapa nggak kasih jersey Liverpool. Kebetulan kan kamu emang fans Liverpool dan setahu aku kamu belum punya jersey tim itu. Nggak buang-buang waktu lagi, tiga minggu sebelum ulang tahun kamu, aku langsung pesen jerseynya. Nggak terlalu lama kok, kira-kira lima hari, jersey tersebut udah sampai ke tangan aku. Aku puas dengan hasilnya yang menurutku aku keren. Jersey Liverpool merah dengan nama Anton 18 tercetak besar di bagian belakang baju tersebut. Semoga kamu suka ya sama kadoku yang kedua.
Sekarang ngebongkar kado yang ketiga sekaligus keempat. Yang ini sederha sih, cuma baju kaus polos berkerah warna hitam dan putih. Katanya sih, yang aku tau kalau pasangan ngasih baju ke pasangannya itu tanda-tanda bakal putus nantinya. Waduh serem amat. Jadi jangan coba-coba deh :p Tapi aku nggak percaya. Kamu kan pernah bilang “Hidup jangan penuh mitos”. Thanks Anton untuk nasihatnya. Makanya aku nggak takut untuk kasih kamu baju.
Lanjut nih untuk kado yang menurut aku paling ribet prosesnya. Stop motion. Emang ribet sih, tapi kalau udah jadi rasanya bahagia banget. Apalagi ngebuatnya untuk pacar tercinta. Sirna deh capeknya. Hahaha.
Makan waktu seharian penuh untuk sesi foto-foto kertas-kertas yang nantinya aku gabungin di aplikasi movie maker. Dari siang sampai sore. Makasih banget buat yang udah bantuin tanpa mengeluh. Setelah semuanya selesai difoto, besoknya aku langsung edit fotonya di movie maker, kemudian bakar CD, dan masukin videonya ke CD. Stop motionpun selesai. Aku inget waktu itu aku pernah punya janji sama kamu untuk ngebuatin stop motion. Dan sekaranglah aku tebus janji itu. Semoga kamu suka dan nggak kecewa dengan video sederhana tersebut. Aku sengaja kasih copyannya dalam bentuk CD, biar bisa kamu simpan terus. Takutnya nanti handphone kamu rusak atau akun google aku error, kamu kan masih punya yang di CD.
Kado mengado selesai. Terakhir kue. Kalau kue sih aku beli. Maaf ya aku belum bisa buat kue sendiri. Entar deh aku udah mahir, pasti aku buatin kue ulang tahun yang super enak. Ditunggu ya abang.
Dan ini yang paling berkesan. Penjebakan. Skenario surprisenya udah lama aku pikirin, tapi emang kebiasaan suka dapet ide di waktu mepet, jadinya aku baru dapet ide ngerjain kamu pas pagi hari tanggal 18 Oktober. Di saat itulah semua ide jahil aku keluar. Mulai dari menyamar jadi Ibu Widia yang ceritanya mau ketemuan di KFC untuk nego harga mobil sampai minta tolong Annis untuk ngumpulin temen-temen kamu.
Aku, yang ceritanya nyamar jadi Bu Widia, sengaja ngajakin kamu ketemuan jam 7 biar suasananya lebih santai ditambah alasan karena kebetulan lagi di rumah sakit deket daerah situ. Kamu nggak tau kalau aku girang banget saat dapat balesan persetujuan ketemuan dari kamu. Kamu masuk perangkap dan dipastikan rencana berhasil. Saat itu yang aku pikirin hanya aku harus buat kamu menunggu kedatangan si Ibu Widia sampai kesel. Sebenarnya rencana yang sederhana sih, tapi kalau yang namanya disuruh nunggu itu yang paling membosankan. Sedangkan aku nggak sabar lagi liat wajah kamu yang bakal kesel abis kalau tau semua rencana busuk itu aku yang ngerencanainnya. Jadi dari jam 6 sore semuanya udah beres. Rencananya habis sholat maghrib aku dan Teye mau langsung berangkat, tapi gara-gara hujan jadi kita harus nunggu sekitar setengah jam untuk mastiin kalau hujannya udah reda. Tapi ternyata gerimis masih saja mengundang. Mengundangku untuk semakin menjahilimu. Hahaha.
Singkat cerita, aku, Annis, Teye, Imam, Tri, Gandi, dan Fariz, kita jam setengah delapan udah kumpul di depan KFC, terus dengan wajah jahil akhirnya kita naik ke atas dan yang di atas sana sedang sendirian menunggu Ibu Widia pun akhirnya tersenyum kesal. Aku yang berjalan duluan sambil membawa kue melihat betul rona kebahagiaan dari wajahmu. Itu tandanya semua rencana yang aku buat berhasil. Semoga abang senang dan tidak melupakan momen sederhana dari aku dan teman-temanmu J
Sekali lagi Happy Birthday Happy Birthday Happy Birthday Abang *peluk bahagia*





Thursday, May 16, 2013

Hilang

Denting jam berdetak pelan
Napasku memburu bersama waktu mengejar bayangmu
Meraih asa yang mulai mengabur 
Menguap bersama angan
Menatap kepingan wajah utuh dalam mimpi
Berusaha mengeratkan jemari yang mulai mengendur dalam peganganku
Kau harus tetap di sini
Menemani bulan bersama bintang
Dibawah teduhnya awan hitam
Bersenandung bersama lembutnya angin malam
Menjelma ke dalam hati
Bagai kepingan kecil bentuk hati yang bertebaran
Jangan pergi,
Tetaplah bagai daun dan embun
Dimana daun tidak perlu warna untuk membuat embun jatuh cinta
Bagai hujan dan petir yang tidak pernah saling meninggalkan
Tidak akan lengkap jika salah satunya pupus
Bagai menapak dalam gelap
Berteriak memanggil cahaya yang hilang
Mengendus aroma yang mulai dingin
Tak ada lagi nada riuh rendah dari bibir tipismu
Kau tak lagi di sini
Tidak di tempat dimana aku bisa menemukanmu
Kau telah hilang.
Luruh bersama waktu.

Thursday, April 11, 2013

Masih

Kangen.
Memangnya kalau kamu udah punya orang lain, aku nggak boleh kangen lagi? Ada larangannya? Nggak ada kan.
Aku tiba-tiba aja kangen sama kamu. Jadi harus gimana dong? Ketemuan secara langsung udah nggak mungkin lagi. Harapan satu-satunya sih bisa ketemu dalam mimpi.
Kalau nanti ketemu, aku mau bilang apa ya? Hmmm...
Sttttt...aku kangen kamu :)
Segitu aja kali ya.
Kamunya denger nggak? Aku bilang, stttt...aku kangen kamu banget :)
Denger kan apa yang aku bisikin tadi?
Apa?
Suara aku kehalang angin?
Sttt...aku kangen kamu banget :)
Masih nggak kedengeran?
AKU KANGEN KAMU BANGET :)
Apa?
Kamu bilang jangan teriak ntar kedengeran ama orang lain?
Iya iya, aku tau kok, kamu takut yang lain tau. Tenang aja, aku cuma mau bilang itu aja kok.
Sttt...aku pergi ya :)

Saturday, March 30, 2013

Curmalming

Happy saturday night, readers :)
Malam minggu kali masih sama kayak malam minggu malam minggu sebelumnya. Gue dari siang udah keluar rumah. Biasa, sama siapa lagi kalau bukan sama salah satu best friend gue yang kece badai, Arina.
Awalnya gue nemenin Arin nyari buku kuliahnya dia di toko-toko buku. Berhubung buku yang dicari cuma dapet satu, dan cacing-cacing di perut udah pada manggil, so, kita langsung capcus cari makan. Lagi asik-asik makan, si Arin keinget buat ngajak Imam, satu lagi sahabat gue dengan kategori pede tingkat entah berapa tingkat. Karena udah lama nggak ngobrol bareng, dan lagian banyak yang mau diomongi, akhirnya kami janjian ketemuan di BKB. Si Imam sih janjinya mau traktir mi tek-tek. Ya kami berdua jelas maulah :D dibeliin Jasuko Keren lagi.
Setelah dari BKB, tempat berikutnya adalah rumah gue. Kayaknya belum selesai ya melepas kangen. Salah. Bukan melepas kangen. Tapi tuh si Imam, mau numpang ngeprint piagam.
Gue, Arina, dan Imam, kami pulang terpisah. Gue sama Arin  pulang duluan. Sedangkan Imam, dia mau pulang dulu buat ngambil flashdish sama kertas keras piagam.
Hampir satu jam gue dan Arina nunggu di rumah gue. Dua gelas Jasuko Keren udah ludes kami santap. Tapi Imam belum juga datang. Inisiatif buat nelpon tuh orang, karena kalau nggak gitu dia pasti nggak ngabarin.
Ternyata dia pecah ban di arah Sekip. Pantes aja lama banget. Jadi akhirnya kita putusin buat nyusul dia ke sana. Nggak taunya setelah sampai di sana, dia cuma minta tolong sama kita buat prin piagam-piagam yang bakal dibagikan besok. Alhasil gue sama Arina nurut aja apa yang dia bilang. Jadi kami segera berbelok buat balik lagi ke rumah gue.Di dekat rumah gue sih ada jasa menerima prinan. Tapi ternyata orangnya lagi malmingan. Jadi terpaksa deh gue sama Arin pergi ke rumah kakak sepupu gue di arah Kalidoni. Ternyata Imam udah nyusul kita di belakang. Sampai di sana, harapan gue pupus seketika saat kakak gue bilang catricknya nggak sanggup buat ngeprint kertas tebal. Hufftttt kecewa lagi yang kami dapet.
Belum menyerah sampai situ. Kami memaju kembali gas motor memantau dimana adanya warnet yang masih buka jam 9 malem. Bahagia banget pas lihat di pinggir jalan ternyata masih ada warnet yang buka. Tapi bahagia itu tenggelam lagi saat si bapak penjaga warnet bilang printernya dia nggak bisa ngeprint kertas tebal. Ampun deh, kok jadi gue yang kesel. Padahal si Imam yang kurang beruntung. Mungkin karena gue sama Arina kali ya yang nenger langsung ketidakbisaan tersebut.
Akhirnya Imam mutusin muat nveprint besok pagi. Untungny tuh piagam perlunya jam 11. Jadi masih bisa kejar-kejaran sama waktu. Dan akhirnya gue bisa sampai ke rumah dengan badan yang udah nggak jelas lagi baunya. Asli deh, ini adalah malam minggu konyol buat gue.

Thursday, March 28, 2013

Lima Detik

Malem, blog :)
Mau cerita nih. Tadi pas pulang kampus, aku ketemu sama dia loh. Nggak sengaja papasan saat aku mau ke terminal pulang ke Palembang. Aku nggak tahu harus gimana. Momentnya mendadak banget. Seneng sih, karena udah cukup lama nggak liat wajahnya. Nggak ada yg berubah dari dia. Masih sama kayak dulu. Dan aku pun sama, masih bertahan dengan egoku, tetap tidak mau tersenyum duluan.
Aku tatap dia. Tatapan datar. 1 2 3 4 5. Yap hanya 5 detik. Dan setelah itu aku tidak tahu apakah dia juga melihatku atau mengabaikanku.
Sekarang, saat ketemu dia rasanya nggak segelisah dulu. Kalau dulu kan gelisah banget, apalagi kalau dia bawa pacarnya, panas. Tapi sekarang, biasa aja. Emang karena nggak ada rasa apa-apa lagi kali ya.
Sebenernya aku mau negur dia duluan, tapi, tapi dan tapi. Banyakan tapinya. Hahaha... aku masih kecewa dengannya. Meski udah lama, bekasnya belum hilang. Kayak kata orang. Luka bisa hilang, tapi bekas luka sulit dihilangkan. Aku setuju, karena sampai detik ini bekas itu masih mendasar di benakku.
Hufttt... Entah kapan aku dan dia, kami, bisa berbaikan :)

Sunday, March 24, 2013

Nama Pena


Hari ini aku mau ngirim satu lagi naskah cerpen untuk ikutan lomba menulis cepen. Tapi kali ini ada yang berbeda dari isi biodata yang diminta sama penerbitnya. Penerbitnya minta penulis buat nyantumin nama pena. Aku udah tahu dari lama soal nama pena, tapi belum kepikiran untuk buatnya. Soalnya, aku belum punya tulisan yang terbit. Jadi aku pikir ntar deh kalau tulisan aku udah ada yang terbit, baru deh buat nama pena.
Aku bingung mau buat nama pena yang bagus, unik dan mudah diingat orang. Nih naskah udah siap kirim, tapi dibagian biodata, nama penanya masih kosong. Butuh dua jam buat mikirin tuh nama. Mulai dari searcing  di mbah google tentang rekomendasi nama pena yang keren sampai download aplikasi buat bikin nama pena. Tapi semuanya gatot. Nggak ada satupun yang nyambung. Jadi cara terakhir yang aku lakukan adalah melamun. Nerawang sambil nulis nama aku di secarik kertas. Terus berulang kali nyoba-nyoba disingkat, tapi nggak ada yang enak didenger. Tapi tiba-tiba, triiiingggg, aku inget salah satu nama yang dipakai oleh Yu Eun Hye dalam salah satu drama yang ia perankan. Zoey. Nama itu keren setelah aku coba nyebutinnya sebanyak tiga kali. Zoey. Zoey. Zoey.
Aku coba-coba lagi buat ambil sedikit bagian dari namaku. Akhirnya terpilihlah Rianty, dari nama depanku, Febrianty. Digabungkan dengan Zoey dan diberi sedikit akhiran, hingga terciptalah nama penaku, Rianty Zoeya.
Rianty sendiri berasal dari nama asliku. Sedangkan Zoeya, yang ternyata nama yang berasal dari Yunani itu memiliki arti kehidupan. Kalau aku sendiri sih ngartiinnya, Rianty Zoeya, artinya Rianty yang bisa menginspirasi kehidupan di dunia lewat tulisan-tulisan tanganku. Aamiinn. Semoga Rianty Zoeya menjadi nama yang baik dan membawa manfaat.

Bittersweet


             You say good morning
When it's midnight
Going out of my headAlone in this bed
I wake up to your sunset
And it's driving me madI miss you so bad
And my heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged

            Lagu beraliran rock galau itu bergema di dalam ruangan kecil dengan pintu tertutup rapat. Seorang gadis duduk bersila di atas tempat tidur dengan mata menerawang ke arah jendela. Tatapannya kosong. Pundak gadis itu bergerak turun naik. Jemarinya yang kecil terlihat sibuk mengucek-ngucek matanya yang mulai memerah. Sebuah kotak persegi panjang tergeletak di sampingnya. Sesekali ditariknya benda tipis berwarna putih yang ada di dalam kotak itu. Kertas tipis itu tidak lagi bersih kala cairan kental keluar dari indra penciumannya. Lantai kamar itu pun kini sudah dipenuhi tisu yang ia buang sembarangan.
            Tok.. tok... tok...
            “Leoni, buka pintunya!” Terdengar teriakan seorang gadis dari balik pintu kamar.
            Ternyata telinga gadis itu masih konsentrasi mendengar. Gadis yang dipanggil Leoni itu memandangi pintu yang diketuk barusan.
            “Leoni, buka pintunya. Ini gue Tara.”
            Cukup lama ia hanya memandangi pintu jati itu. Akhirnya dengan langkah gontai, ia berjalan menuju pintu. Dipegangnya daun pintu itu dan terdengar bunyi berdecit setelahnya.
            “Yaampun, Le. Lo berantakan banget.” Tara memperhatikan Leoni setelah pintu terbuka. Dipandanginya sahabatnya itu dari ujung rambut sampai mata kaki.
            Tangis Leoni kembali pecah saat melihat sahabatnya itu. Dipeluknya Tara dengan erat. Ia menangis lagi, cengukan lagi, ingusnya keluar lagi. Sakit itu terasa lagi.
            Tara sempat kaget melihat ekspresi Leoni yang tiba-tiba. “Sabar, Le. Lo harus sabar. Semuanya nggak akan berakhir cuma gara-gara ini,” ucap Tara sambil menepuk-nepuk pundak Leoni.
            Tara perlahan melepaskan pelukan Leoni dan mengajaknya untuk duduk di pinggir tempat tidur milik Leoni. Tara meninggalkan sahabatnya itu sendiri di sana. Sementara ia memunguti tisu-tisu yang memenuhi lantai. Tak lupa ia mematikan tape, menghentikan grup band itu untuk bernyanyi.
***
            Leoni masih terisak, berusaha menghentikan tangisnya. Namun terasa sulit baginya. Tara tidak memaksa Leoni untuk berhenti, karena ia pikir sahabatnya itu tahu sendiri dimana batas kemampuan air matanya.
            “Kalau lo udah bisa cerita, gue siap buat dengerin,” ujar Leoni.
            Leoni menutup mulutnya yang bersendawa dengan sebelah telapak. Kemudian membenamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangan berjari-jari kecil tersebut. Leoni menarik napas dalam-dalam setelah melepaskan kedua tangan yang menutupi wajahnya. Ia berusaha tersenyum meski pipinya masih terasa sakit.
            “Gue baik-baik aja kok,” ucapnya kepada Tara.
            Tara mencelos. “Gimana lo bisa baik-baik aja setelah diselingkuhi sama Nata.”
            Perlahan Leoni berjalan menuju meja rias yang terletak di dekat jendela. Ia duduk di atas sebuah kursi kecil menghadap ke arah cermin besar.
            “Jadi ini wajah gue setelah diselingkuhi,” ucapnya getir.
            Kedua matanya bengkak. Hidungnya merah. Wajahnya sembab. Kesimpulannya, Leoni sudah menghadapi semuanya dari semalam.
            “Gue bodoh. Ya, gue emang bodoh.”
            “Lo nggak bodoh, Le. Orang yang mencintai orang lain itu nggak bodoh.” Tara kini sudah berdiri di belakang Leoni. Ia genggam pundak sahabatnya itu. Berusaha memberi semangat.
            “Gue tahu ini berat. Tapi lo harus berusaha ngelewati ini semua,” Tara memberi saran. “ Jangan sampai ada dendam di dalam hati lo, Le.”
            “Kok nasib gue jelek banget ya, Ra,” tutur Leoni dengan mata berbinar.
            “Bukan nasib yang jelek, tapi Allah memberi lo pengalaman dan pelajaran baru di dalam hidup lo.”
            Leoni menatap Tara dari balik cermin. “Jadi gue harus berterimakasih sama Allah karena udah kasih gue hadiah kayak gini?” Tanyanya dengan nada datar.
            “Bukan gitu, Le,” sanggah Tara. “Lo sekarang ambil hikmahnya aja. Lo mungkin belum bisa ngerti sekarang, tapi nanti, gue yakin lo bisa ngerti apa yang gue maksud,” ucapnya meyakinkan.
            “Gue nggak nyangka mereka bisa nusuk gue dari belakang.” Tara kembali melambungkan pikirannya ke masa lalu.
            “Udah gue bilang, jangan mudah percaya sama orang yang baru kita kenal. Lo tau kalau Nesya itu mantan Rangga, tapi lo malah curhat semuanya ke dia.”
            “Gue juga nggak tahu kenapa. Gue ngerasa awalnya Nesya itu satu pikiran sama gue. Makanya gue bisa anggep dia temen,” ungkap Leoni.
            “Nggak semua yang senasib sama kita jadi punya pikiran yang sama.”
            Leoni mengangguk. “Ya. Lo bener, Ra. Gue masih rada bingung aja sama semua kejadian ini. Gue masih bingung sama Rangga. Bingung sama Nesya. Dan, bingung sama diri gue sendiri.”
            Tara meraih kursi yang terletak di sebelah kanan meja rias. Ia kini duduk di samping Leoni.
            “Rangga katanya suka sama lo. Entah atas dasar apa dia langsung nembak lo setelah putus dua hari dari Nesya.”
            Leoni menyimak ucapan Tara dengan seksama.
            “Saat itu, Nesya mungkin ngelakuin kayak apa yang lo lakuin sekarang. Dan, disaat itu lo terpikat sama Rangga sampai lo mau nerima dia.”
            Leoni tidak berkomentar apa-apa. Ia masih menunggu kelanjutannya.
            “Cuma 30 hari kalian bisa bertahan, karena lo ngerasa Rangga berubah. Dan akhirnya lo cari tahu tentang Rangga dulu saat pacaran dengan Nesya langsung ke orangnya.”
            Leoni mengangguk. Ia membenarkan ucapan sahabatnya itu.
            “Lo ceritain semuanya ke Nesya dengan alasan dia dulu diposisi yang sama kayak lo. Tapi kenyataannya, di saat itu juga ternyata dia dan Rangga udah sama-sama lagi walau tanpa status.” Tara menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya. “Kesimpulannya, cinta mereka belum selesai.” Tara tersenyum di akhir ucapannya.
            “Dan secara nggak langsung gue adalah orang ke tiga diantara mereka.” Leoni menyimpulkan.
            “Lo bukan pihak ketiga, Le. Lo cuma kena imbas Rangga saat dia ngerasa bosen sama Nesya. Dan lo─” ucap Tara mengarahkan telunjuknya ke wajah Leoni. “Termakan rayuannya.”
            “Hahaha...” Leoni tertawa. “Lo bener, Ra. Gue masuk mulut buaya saat itu. Tapi sekarang gue udah bebas.”
            “Dia nggak nanya kenapa lo tiba-tiba mutusin dia?” Tanya Tara.
            Leoni menggelang. “Nggak. Dia cuma minta maaf.”
            Tara geleng-geleng kepala mendengar jawaban Leoni.
            “Udah, sekarang lo lupain semuanya. Jangan galau-galau lagi. Cowok kayak dia nggak pantes buat digalauin. Yakin deh, lo pasti bisa dapet yang lebih baik.” Tara tersenyum lebar memandang sahabatnya itu. “Sekarang gimana kalau kita karaokean,” ucapnya memberi usul.
            Raut wajah Leoni langsung berubah antusias. “Ayok. Gue mau banget.”
            “Oke. Sekarang lo siap-siap. Gue mau nelpon Mayang sama Sisil dulu.”
***
            “Le, lo mau nyanyi apaan?” Tanya Mayang disela-sela suara Tara yang sedang asyik bernyanyi.
            “Pastinya lagu galau,” sahut Sisil yang duduk di paling ujung.
            Mereka berempat kini berada di dalam ruang karaoke yang cukup besar. Ketiga sahabatnya itu memberikan hiburan yang sangat membantu bagi Leoni.
            “Terserah deh, gue nyanyi apa yang ada di playlist aja,” ucapnya.
            “Mau lagu galaunya Rio Febrian atau Marcell atau Glen atau─”
            “Lo sebutin aja semuanya,” ucap Mayang memotong kata-kata Sisil.
            “Biasanya kalau kita lagi galau, rada-rada lupa sama lagu yang sesuai suasana hati. Jadi gue bantu ingetin Leoni,” tutur Sisil sambil nyengir.
            Leoni tertawa melihat ulah kedua sahabatnya itu. Ia bahagia memiliki mereka yang sangat peduli pada dirinya. Sekarang ia sadar, tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Waktunya bangkit dan menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu.
***
            Waktu bergulir begitu lambat. Sisa-sisa kenangan itu masih sering terlintas di benaknya. Singkat namun begitu berbekas baginya. Setiap sudut kota ini memiliki kenangan tersendiri baginya.
            “Gimana, udah bisa move on?” Tanya Mayang kepadanya saat mereka makan di sebuah tempat makan.
            Leoni memandang sahabatnya itu persatu. Jelas terlihat raut penasaran di sana. Beberapa hari ini mereka sering sekali meluangkan waktu untuknya.
            “Perlahan. Pelan-pelan gue yakin gue akan biasa aja sama dia.”
            “Wajar sih, Le, lo susah lupa. Rangga kan yang pertama buat lo. Gue juga dulunya gitu. Sampe sekarang aja kadang masih sering inget,” tutur Sisil sambil mengaduk-aduk jus jambunya.
            Leoni tidak berkomentar dengan ucapan Sisil barusan. Matanya menatap bebas ke arah jendela besar di sampingnya. Ada banyak orang lalu lalang di sana. Ia teringat lagi. Ia melihat lagi.
            Rangga, bisiknya dalam hati. Ia melihat orang yang sama seperti di masa lalunya.
            “Le, itu kan Rangga.” Tunjuk Tara ketika melihat seorang pemuda mengenakan kaus polos warna merah masuk ke dalam resto yang sama dengan mereka.
            Spontan Mayang dan Sisil langsung sibuk sendiri mencari yang ditunjuk Tara. “Mana, mana?” tanya mereka berbarengan.
            “Dia sendirian,” ucap Tara lagi.
            Leoni tidak ikut menoleh melihat yang dilihat ketiga sahabatnya itu. Ia masih diposisi yang sama seperti sebelumnya. Duduk menunduk dengan mata menatap butiran soda di dalam gelas plastik.
            “Apa nggak ada tempat lain selain tempat yang gue datangi,” Leoni bergumam.
            Belakangan ini ia jadi sering bertemu dengan Rangga. Entah itu di kampus─mengingat fakultas mereka yang bersebelahan─atau di luar kampus. Seperti sekarang ini. Bagaimana ia bisa sukses move on bila terus dikejar bayang-bayang mantan.
            “Le, lo udah selesai makan kan? Kita pergi sekarang yuk,” ajak Mayang.
            Leoni mengerti dengan kecemasan yang dirasakan sahabatnya itu.
            “Ntar aja, May. Kenapa buru-buru.” Leoni mengangkat kepalanya. Menatap Mayang yang masih memandangnya. Seperti menunggu jawaban. “Tenang aja, gue baik-baik aja kok. Nggak harus menghindar kan?”
            Tara, Sisil, dan Mayang saling pandang saat Leoni melemparkan pandangan itu ke arah mereka.
            “Iya, Le. Lo nggak harus kabur kok. Emangnya lo maling yang ketangkap basah. Yang ada tuh dia yang mesti kabur dari sini,” ucap Sisil semangat.
            Leoni memberikan senyum termanis kepada Sisil.
            “Iya. Buat apa gue lari. Anggep aja ini latihan.”
            “Latihan?” Tanya Tara dengan kening berkerut.
            “Iya. Latihan mental,” jawab Leoni singkat.
            Tiba-tiba Sisil bertepuk tangan. “Gue setuju sama lo, Le,” ucapnya kepada Leoni.
            Ada banyak cara di dunia ini yang membuat kita bisa bertahan. Selalu saja ada kata aku merindukanmu dibalik kalimat aku ingin melupakanmu.
***
            Deg!
            Sesaat angin yang berhembus di sekitar lehernya terhenti. Mendadak seperti ada yang mencekik hatinya. Bibirnya kering dan bergetar. Otaknya limbung dan sekarang matanya panas. Leoni cemburu.
            “Dia sengaja atau apa sih?”
            Leoni masih bisa mendengar Tara yang mengomentari sepasang kekasih yang sedang duduk sambil makan bubur ayam enam meter dari tempat mereka duduk sekarang.
            “Le, lo baik-baik aja?” Tanya Mayang.
            Leoni mengangguk pelan. Bagaimana bisa untuk saat ini ia masih baik-baik saja sementara ia menyaksikan sendiri mantannya makan bersama gadis lain. Di hadapannya. Begitu dekat. Luka itu datang lagi.
            “Lo jangan terpancing, Le,” ucap Sisil. “Lo nggak usah peduliin mereka. Anggep aja mereka bukan orang yang lo kenal.”
            Leoni memandang ketiga temannya itu. Ia bisa merasakan kekhawatiran mereka terhadap dirinya.
            “Gue baik-baik aja,” ucapnya.
            “Jangan nangis, Le.” Tara segera memeluk Leoni yang terlihat hendak menangis.
            Di pundak Tara, Leoni mengucurkan air matanya. Ia tidak menghapus setiap tetesannya yang mengalir. Dibiarkannya setiap tetes itu jatuh membasahi baju Tara. Tidak ada kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Hanya isak tangis yang berusaha ia tahan. Hatinya belum sepenuhnya kuat menerima kenyataan yang sudah terjadi.
            “Udah, Le. Lo harus kuat. Ini ujian buat lo.”
            Sisil mengelus-elus pundak Leoni yang turun naik. “Tara bener, Le. Lo harus bisa ngelewati ujian ini biar ngebuktiin kalau lo udah bener-bener bisa move on dari Rangga.”
            “Makin lo nangis, makin mereka seneng. Apalagi Rangga, dia bakal ngerasa kalau lo pasti belum bisa ngelupain dia,” ujar Tara.
            Leoni melepaskan pelukan Tara. Dihapusnya air mata yang membasahi kedua pipinya yang tirus.
            “Gue tahu ini yang pertama bagi lo. Jadi gue ngerti banget perasaan lo, Le. Lo harus bisa ngelawan rasa cemburu dan rasa kecewa lo itu,” ucap Tara semangat, memandang mata bulat Leoni yang dinaungi alis tebal berbulu mata lentik.
            Leoni mengangguk mantap. Kemudian berusaha menarik kedua ujung bibirnya.
            “Nah gitu dong. Itu baru Leoni yang tegar,” tutur Mayang. Leoni tertawa. Semua ikut tertawa.
            “Eh, Le, gue dapet rekomendasi dari temen gue. Katanya ada peramal kartu tarot yang bisa ngeramal dengan tepat sesuai yang lagi lo rasain.”
            Bukan hanya Leoni yang tercengang dengan ucapan Sisil. Tara dan Mayang pun, mereka ikut antusias ingin tahu kelanjutannya.
            “Dimana tempatnya?” Tanya Mayang langsung.
            “Bisa ngeramal apa aja?” Tara menimpali.
            “Duh, satu-satu dong kalau nanya. Bingung nih gue,” gerutu Sisil sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
            “Tempatnya deket rumah gue. Dan dia bisa ngeramal apa aja,” lanjutnya.
            “Gue mau dong diramal,” ucap Tara.
            “Kayaknya asyik tuh,” Mayang menambahi.
            “Gue juga pengen. Makanya gue mau sekalian ajak kalian. Gimana, Le, lo mau ikut kan?”
            Ketiga sahabatnya itu menatap Leoni. Menunggu jawaban darinya.
            “Oke. Gue ikut,” jawabnya.
***
            “Lo yakin ini tempatnya?” Tanya Mayang saat mereka menginjakkan kaki di sebuah bangunan mirip rumah adat khas Sumatera Selatan.
            “Iya, gue yakin kok. Udah sesuai alamatnya,” jawab Sisil.
            Leoni berjalan di paling belakang setelah Tara. Tidak ada tanda-tanda orang lain selain mereka di tempat itu. Ia merasakan aura mistis begitu kental di tempat itu. Entah kejutan apa yang menanti mereka di ujung lorong.
            “Sil, lo yakin ini berpenghuni? Gue takut banget nih.” Mayang bergidik ketakutan.
            Sisil mempercepat langkahnya. “Kayaknya ini semacam kejutan deh,” sahutnya dengan mata terus menatap ke depan.
            “Gue benci kejutan,” balas Mayang.
            Di tempat itu mereka melihat banyak keris dan batu giok yang dijadikan hiasan untuk cincin dan kalung. Semuanya tersusun rapi di dalam etalase kaca yang berjejer di sisi kanan dan kiri lorong rumah tersebut.
            “Gila, ni tempat horor banget.” Leoni memandang ke sekeliling ruangan yang didominasi warna hitam. Mulai dari alas lantai, cat dinding yang setengahnya hitam, dan pernak-pernik yang berbau mistis. Bulu kuduknya berdiri saat tatapannya mendarat di sebuah hiasan dinding berupa kepala burung hantu dengan mata membelalak lebar.
            “Selamat datang, Mbak.”
            Tiba-tiba terdengar suara yang menyapa mereka. Leoni langsung memindahkan tatapannya dari sana. Mencoba melihat apa yang terjadi di barisan depan. Kemudian ia melangkah mendekati Sisil dan Mayang. Berdiri di samping Tara.
            “Dia siapa?” Tanya Leoni kepada Tara.
            “Resepsionisnya,” jawab Tara.
            “Oh. Gue kirain madamnya.”
            Leoni memperhatikan Sisil yang sibuk menulis data di buku besar yang sudah hampir penuh. Butuh waktu lima menit untuk menyelesaikan semua administrasi mereka.
            “Silakan, Mbak. Madamnya ada di atas. Masuknya satu-satu ya,” ucap gadis resepsionis itu ramah.
            “Iya. Makasih, Mbak,” sahut Sisil. Kemudian ia berjalan duluan dengan yang lain mengekor di belakang.
            Mereka berjalan melewati lorong yang lebih sempit dari lorong sebelumnya. Sepertinya rumah ini memang punya banyak lorong, pikir Leoni. Jalannya terhenti ketika Tara yang berjalan di depannya menghentikan langkah.
            “Kenapa?” Bisik Leoni.
            Tara mengangkat bahunya tanda tidak tahu.
            “Siapa yang mau masuk duluan?”
            Leoni memandang Sisil yang bertanya ke arah mereka. Ia tidak mau menjawab, karena jelas ia tidak ingin jadi yang pertama mencoba.
            “Le, lo mau duluan nggak?”
            “Nggak,” jawabnya cepat.
            “Yaudah kalau nggak ada yang mau, gue masuk duluan aja ya,” ucap Sisil kepada ketiga sahabatnya. Mereka semua mengangguk setuju.
            Leoni memandang Sisil yang menaiki tangga menuju tempat madam tarot yang membuatnya penasaran.
***
            Leoni akhirnya mengubah semua persepsinya mengenai peramal tarot yang ia ciptakan di bawah alam imajinasinya. Wanita yang dipanggill Madam itu, tidak seperti peramal yang ia bayangkan. Tidak ada bola kristal di atas meja kayu yang hampir mirip dengan meja kerja denga tumpukan kertas dan rak-rak plastik. Tidak ada rambut panjang dan mantra-mantra aneh yang seperti yang pernah ia lihat di sebuah tayangan di televisi mengenai peramal.
            “Namanya siapa?” Tanya madam itu memulai pembicaraan.
            “Leoni.”
            “Kamu baru putus ya?”
            Leoni tercekat saat menyadari pertanyaan madam tersebut.
            “Emangnya keliatan jelas ya, Madam?”
            Leoni masih kelihatan takut-takut untuk bertanya kepada wanita itu.
            “Kelihatan sekali. Dan, malah kamu punya keinginan untuk balas dendam. Saya benar kan?”
            “A─” Ia bingung harus menjawab apa. Sepertinya ia tidak perlu lagi bertanya, karena madam ini sudah tahu semuanya, Leoni membatin.
            “Mau menyangkal?” Tanya madam itu sekali lagi.
            “Awalnya emang ada niat mau balas dendam sih, Madam. Tapi─” Leoni menggantungkan kalimatnya.
Peramal itu tidak mendesaknya. Sepertinya ia masih menunggu kelanjutan kalimat Leoni.
“Saya pikir itu bukan cara yang terbaik,” lanjutnya.
“Coba kamu ambil tiga kartu di hadapan kamu,” Madam itu memberi perintah kepada Leoni.
Dengan ragu-ragu Leoni mengambil tiga kartu secara acak. Ia berikan kartu itu kepada wanita itu. Masih dalam keadaan tertutup.
“Ini.” Perlahan peramal wanita itu membalik kartu tarotnya. “Kartu pertama ini menyatakan kalau kamu akan terkena masalah jika tidak segera melupakan dia.”
Leoni memandang kartu berwarna agak keunguan bergambar seorang wanita seperti suku Indian yang sedang terkurung di dalam sangkar.
“Masalah apa ya, Madam?”
“Semua pekerjaan kamu mudah terganggu karena kamu akan sering ingat masa lalu.”
“Jadi saya harus gimana, Madam?”
Ia tidak pernah mengira bahwa karena seorang laki-laki bisa mengacaukan pikirannya.
“Kartu kedua.” Madam itu mengetuk-ngetuk kartu yang masih belum dibaliknya. “Laki-laki.” Ia menunjuk kartu yang telah dibaliknya. “Dua orang laki-laki yang sedang mendekati kamu.”
“Siapa, Madam?” Leoni terlihat penasaran dengan ucapan yang dikatakan wanita itu barusan.
“Bisa jadi orang yang sudah kamu kenal, dan yang satu lagi orang baru dalam kehidupan kamu.”
Leoni menatap mata wanita itu dalam-dalam.
“Apa saya bisa membuka hati untuk mereka?” Tanyanya kemudian.
“Itu jalan lain selain fokus ke masa depan yang ingin kamu raih.”
“Menurut pengamatan Madam, berapa lama lagi saya bisa mendapatkan salah satunya?”
Madam itu tidak langsung menjawab. Ia melempar senyum kepada gadis muda dihadapannya itu. “Kartu ketiga ini, seperti yang kamu lihat. Laki-laki itu berada begitu dekat denganmu,” jelasnya.
Leoni mendengus pelan. “Yang bener, Madam,” ucapnya setengah tidak percaya.
“Saya bukan Tuhan yang bisa tahu persis nasib kamu, saya cuma perantara yang di atas untuk menyampaikan apa yang bisa saya lihat dari kamu. Jadi atau tidak jadinya nanti, yang di atas yang akan mengaturnya.”
“Iya, Madam. Saya tahu.” Leoni menundukkan kepala. Memandangi ketiga kartu dihadapannya.
“Dari awal, memang kamu sudah salah pilih.”
Leoni mendongakkan kepalanya cepat. “Maksud Madam?”
“Sepertinya kamu tidak tahu kalau laki-laki itu memang tidak berniat baik dari awal.”
Matanya panas kala mendengar ucapan yang meluncur bebas dari mulut wanita yang baru setengah jam dikenalnya itu. Wanita yang hampir mengetahui semua tentang dirinya. Sampai tentang hal yang ia sendiri tidak menyadarinya.
“Cinta nggak cukup cuma pakai hati. Ada logika yang semestinya berfungsi di sana. Cinta yang tidak menggunakan logika, itu cinta-cintaan namanya.”
Tulang-tulangnya mendadak ngilu. Seperti mendengar teriakan dari masa lalu. Ia kembali terbayang cinta-cintaan yang ia ciptakan bersama Rangga.
“Kamu sekarang sudah punya pengalaman yang jangan sampai kamu lakukan lagi,” tutur Madam itu memberi nasihat.
“Hahaha,” Leoni tertawa. “Harusnya dari awal saya bilang terima makasih sama dia.”
***